Kamis, 25 September 2008
Hukum Iqamah Bagi Wanita
Bagaimana hukumnya iqomah bagi wanita?
Jawab:
Iqomah Shalat bagi wanita hukumnya mubah selama tidak keras (tidak memakai pengeras suara atau mix) dan semua jama’ahnya adalah wanita. Wallahu Ta’ala A’lam Bis Showab. (Lihat Majmu Fatawa wa Rasaail, Syeikh Muhammad Shalih Al Utsaimin 12/160).
www.info-iman.blogspot.com
Rabu, 24 September 2008
Doa Setelah Adzan
Ketika membaca doa setelah adzan apakah kita dituntunkan untuk membacanya hingga “Innaka Laa Tukhliful Mii’ad” atau hanya sebatas “Wa attah” saja? (Budi, Padang Ratu)
Jawab:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menuntunkan kepada kita bahwa setelah kita mendengarkan adzan kita hendaknya membaca sholawat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah itu kita membaca doa :
اَللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ، [إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ]
“Ya Allah, Rabb Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalat (wajib) yang didirikan, Berilah Al-Wasilah (derajat di Surga, yang tidak akan diberikan selain kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) dan fadhilah kepada Muhammad. Dan bangkitkan beliau sehingga bisa menempati maqam terpuji yang telah Engkau janjikan. [Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji].”
(HR. Al-Bukhari 1/152. Untuk kalimat: Innaka laatukhliful mii’aad, menurut riwayat Al-Baihaqi 1/410, Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz berpendapat, isnad hadits tersebut hasan dalam Tuhfatul Akhyar, hal. 38).
Jadi diperbolehkan bagi orang yang membaca doa setelah adzan hingga kata-kata “Innaka Laa Tukhliful Mii’ad” , dan juga dibenarkan jika hanya sebatas kata “Wa attah” saja, karena kedua riwayat tentang hal ini masing-masing sanadnya hasan dan shahih. Wallahu A’lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Selasa, 23 September 2008
Hikmah Dibalik Penciptaan Setan Dan Jin
Apa faidah Alllah Ta'ala menciptakan setan dan jin? (Yusdi Rizal, Bandar Lampung)
Jawab:
Didalam Al Quran Allah Ta'ala menjelaskan bahwa Allah Ta'ala menciptakan alam semesta dan semua yang ada di dalamnya, satu pun tidak ada yang batil atau sia-sia (QS Ali Imran : 191).
Oleh karena itu ketika Allah Ta'ala menciptakan iblis atau makhluk yang disebut setan Itu, bila dilihat dari sisi nilai ibadah, pada hakikatnya juga ada hikmahnya.
Imam al-Ghazali pernah menyatakan; jika ingin melihat kesalahan/kelemahan kita, carilah pada sahabat karib kita, karena sahabat kitalah yang tahu kesalahan/ kelemahan kita. Jika kita tidak mendapatkannya pada sahabat kita, carilah pada musuh kita, karena musuh kita itu paling tahu kesalahan/kelemahan kita. Sifat musuh adalah selalu mencari kelemahan lawan untuk dijatuhkan.
Demikian pula setan. la selalu mencari kesalahan/kelemahan orang-orang beriman untuk kemudian digelincirkan dengan segala macam cara.
Nah, jika kita telah mengetahui kesalahan/kelemahan kita, entah dari kawan, lawan, bahkan dari setan, lalu kita memperbaiki diri, insya Allah kita akan menjadi orang baik dan sukses. Jadi, kalau kita berpikir positif, ada juga hikmahnya setan itu buat orang-orang beriman.
Lebih rinci, di antara hikmah diciptakannya setan ialah :
1. Untuk menguji keimanan dan komitmen manusia beriman terhadap perintah Allah.
Karena setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah pasti akan diuji (QS. 29:2). Jika dengan godaan setan seorang mukmin tetap istiqamah dengan keimanannya, maka derajatnya akan ditinggikan oleh Allah Ta'ala dan hidupnya akan bahagia. Tetapi jika ia tergoda dan mengikuti ajakan setan, derajatnya akan jatuh, hina kedudukannya dan dipersulit hidupnya oleh Allah. (QS. 41 : 30-31).
2. Menguji keikhlasan manusia beriman dalam mengabdi kepada Allah Ta'ala.
Allah Ta'ala menjelaskan bahwa Dia menciptakan jin dan manusia tidak lain supaya mereka mengabdi kepada-Nya (QS. 51 : 56). Kemudian setan datang menggoda manusia, membangkit-bangkitkan syahwat kepada kenikmatan duniawi, rnembisikkan ke dalam hatinya angan-angan kosong dan keraguan, supaya manusia lupa terhadap tujuan dan tugas hidupnya di dunia. Jika manusia tetap sadar akan tujuan dan tugas hidupnya di dunia, dia akan tetap ridha menjadi hamba Allah Ta'ala dan mengabdi kepada-Nya. Terhadap hamba Allah seperti ini, setan tidak akan mampu menggodanya (QS. 15 : 40). Tetapi jika manusia tergoda, pada gilirannya ia akan menjadi hamba setan.
3. Untuk meningkatkan perjuangan di jalan Allah.
Sebab tanpa ada setan yang memusuhi kebenaran, maka tidak akan ada semangat perjuangan (jihad) untuk mempertahankan kebenaran. Dan sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Al Jazairi dalam Minhajul Muslim-nya bahwa salah satu bentuk jihad adalah jihad melawan setan. Ini merupakan sebuah tantangan yang cukup berat bagi orang yang beriman dalam mempertahankan komitmen keimanannya.
4. Allah Ta'ala hendak memberi pahala yang lebih besar kepada para hamba-Nya.
Semakin besar godaan setan kepada manusia dan dia mampu menghadapinya dengan baik, maka semakin besar pahalanya di sisi Allah Ta'ala.
5. Agar manusia waspada setiap saat, selalu memperbaiki kesalahan, meningkatkan kualitas ibadah dengan bertaqarrub kepada Allah Ta'ala.
Karena setan senantiasa mengintai kelengahan manusia. Sekejap saja manusia lengah, setan akan masuk, lalu mengacaukan hati dan syahwat. Tapi orang yang selalu waspada, akan senantiasa ingat kepada Allah sehingga setan tidak punya kesempatan untuk mengganggunya.
Jadi, bagi orang yang sudah kuat imannya, gangguan setan itu tidak akan merusak ibadahnya. tetapi malah mempertinggi kualitas iman dan ibadahnya. Masalahnya, tayangan-tayangan setan yang makin marak di televisi, tidak ditonton oleh mereka yang telah kuat imannya, melainkan oleh masyarakat dari berbagai lapisan umur dan kadar iman yang terbanyak masih memerlukan bimbingan. Bagi mereka ini, tayangan-tayangan itu sangat kontra produktif, bahkan bisa mendangkalkan iman mereka. (diadaptasi dari swaramuslim). Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Berinfaq Untuk Orang Tua Yang Sudah Meninggal Dunia
Bolehkah kita berinfaq lalu pahalanya kita berikan kepada orang tua yang sudah meninggal dunia? (081540889XXX)
Jawab:
Berinfaq atas nama orang tua yang sudah meninggal dunia termasuk amalan mulia dan disyariatkan dalam Islam, baik sedekah tersebut dalam bentuk uang maupun barang atau benda yang bermanfaat bagi orang banyak, semisal membuat sumur, mewakafkan buku-buku agama, mushaf Al Qur'an, meja belajar, peralatan sholat dan lain-lain. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah 9/25).
Adapun dalil diperbolehkannya bersedekah atas nama orang tua yang telah meninggal dunia adalah:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ سَعْدًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَلَمْ تُوصِ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
"Dari Ibnu Abbas bahwa Saad bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam : "Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan tidak berwasiat, apakah aku boleh bersedekah atas namanya?" Beliau menjawab: "Ya." (HR. Nasa'i No 3654, dishahihkan oleh Syeikh Albani)
Dan sedekah atas nama orang tua yang meninggal dunia ini akan bermanfaat bagi orang yang telah meninggal dunia tersebut berdasarkan ijma' (kesepakatan) para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah 9/27). Jika sedekah ini tidak bermanfaat bagi orang yang telah meninggal dunia maka tidak ada manfaatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan Saad bin Ubadah untuk bersedekah atas nama ibunya sebagaimana dikisahkan dalam hadits diatas, padahal setiap tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pasti memiliki manfaat dan tidak mungkin sia-sia belaka. Wallahu A'lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Perihal Mentalkinkan Mayat Di Kuburan
Larangan mentalqinkan mayit setelah dikuburkan itu terdapat disurat apa dan ayat berapa? (Suwito, Way Abung)
Jawab:
Mengenai larangan mentalqinkan mayit setelah dikuburkan tidak terdapat di dalam al Qur'an, dan juga secara tekstual juga tidak kita dapatkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Namun larangan mentalqinkan mayit setelah dikuburkan ini merupakan kesimpulan para ulama yang didasarkan pada amaliyah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam memprosesi jenazah sejak meninggal sampai dikuburkan, dimana tidak didapati bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melakukan hal tersebut padahal ini merupakan ibadah dan ibadah tidak boleh kita lakukan kecuali ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .
Maka ketika kita tidak mendapati adanya tuntunan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang mentalqinkan mayit setelah dikuburkan berarti ini termasuk amalan yang tidak boleh dilakukan. Jika tetap dilakukan maka ini termasuk perbuatan bid'ah yang diada-adakan dalam Dien. Sementara setiap bid'ah adalah sesat sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabda beliau :
َإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku maka ia akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham (kalian). Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena setiap perkara yang baru (dalam persoalan agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud No 4607, dishahihkan oleh Syeikh Albani)
(Lihat Fatawa Arkanil Islam, Syeikh Utsaimin : 404)
www.info-iman.blogspot.com
Minggu, 21 September 2008
Bershadaqoh Melebihi Kadar Zakat
Bagaimana jika seseorang bershodaqoh melebihi kadar zakat yang semestinya harus dikeluarkan, apakah ia masih harus mengeluarkan zakat lagi? (Sugiman, Lampung Barat)
Jawab:
Jika seseorang ketika mengeluarkan harta dengan niat sebagai infaq atau shodaqoh, maka jatuhnya harta yang ia keluarkan tersebut adalah infaq atau shodaqoh, bukan zakat, meskipun kadarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar zakat yang harus ia keluarkan. Maka ia harus mengeluarkan harta lagi dengan niat khusus sebagai zakat dengan kadar yang telah ditentukan oleh syariat.
Hal ini dikarenakan setiap amalan itu tergantung pada niatnya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari No 1)
www.info-iman.blogspot.com
Zakat Mal Untuk Masjid
Apakah sebagian zakat mal saya dapat diberikan ke masjid? (Samsul Arif, Bandar Lampung)
Jawab:
Ketika ditanya demikian Syeikh Sholeh Utsaimin menjelaskan: Pembelanjaan (penyaluran) zakat tidak boleh dilakukan kecuali kepada delapan golongan yang telah disebutkan oleh Allah, karena Allah menyebutkan hal itu dengan pola pembatasan yakni dengan ‘innama’, Allah ta'ala berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ {60}
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah ; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [At-Taubah : 60]
Sehingga tidak boleh dibelanjakan untuk pembangunan masjid dan semacamnya lantaran pembangunan masjid tidak masuk dalam lingkup kandungan makna firman Allah Subahanhu wa Ta’ala ‘wa fi sabilillah’ , karena makna yang dipaparkan oleh para mufasir (ahli tafsir) sebagai tafsir dari ayat ini adalah jihad fi sabilillah. Karena jika kita katakan, ‘Sesungguhnya yang dimaksud dari fi sabilillah adalah semua yang mengarah kepada kebaikan maka pembatasan pada firmanNya:
“Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir….”
menjadi tidak ada gunannya, padahal sebuah pembatasan seperti yang diketahui adalah penetapan hukum pada hal yang disebutkan dan menafikan selainnya. Apabila kita katakan, ‘Sesunnguhnya ‘wa fi sabilillah’ adalah semua jalan kebaikan, maka ayat itu menjadi tidak berguna, berkenaan dengan asal kata ‘innama’ yang menunjukan adanya pembatasan.
Kemudian, sesungguhnya di dalam kebolehan pembelanjaan zakat untuk pembangunan masjid dan jalan-jalan kebaikan lainnya terdapat penelantaran kebaikan, karena sebagian besar manusia dikalahkan oleh kekikiran dirinya. Apabila mereka melihat bahwa pembangunan masjid dan jalan-jalan kebaikannya boleh dijadikan tujuan penyaluran zakat, maka mereka akan menyalurkan zakat mereka ke sana, sedangkan orang-orang fakir dan miskin tetap dihimpit kefakiran selamanya (lantaran mereka tidak mendapatkan bagian dari zakat).
[Lihat kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, (edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah), Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
www.info-iman.blogspot.com
Sabtu, 20 September 2008
Zakat Anak Kepada Orang Tuanya
Apakah boleh seorang anak membayar zakat kepada orang tuanya?
Jawab:
Ketika ditanya tentang hal demikian, Syeikh Bin Bazz menjelaskan: “Seorang muslim tidak boleh mengeluarkan zakat untuk diberikan kepada kedua orang tuanya, juga tidak boleh mengeluarkan zakat untuk diberikan kepada anak-anaknya, akan tetapi hendaknya seseorang memberi nafkah kepada kedua orang tua dan kepada anak-anaknya dari hartanya jika mereka membutuhkannya, demikian ini jika ia memang mampu memberi infaq kepada mereka.[Fatawa Al-Mar'ah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/44]
www.info-iman.blogspot.com
Bertayammum Ketika Sakit Dan Cuaca Dingin
Ditempat saya cuacanya sangat dingin, sedang saya dalam kondisi tidak sehat, ketika junub saya hanya bertayammum, apakah ini tidak salah? (081379009XXX)
Jawab:
Jika memang demikian keadaannya, maka tindakan anda sudah benar, tidak salah. Karena kondisi sakit merupakan salah satu udzur yang dibenarkan bagi seseorang untuk melakukan tayammum, apalagi ditambah cuaca yang begitu dingin, sehingga dikhawatirkan penyakitnya akan semakin parah jika ia menyentuh air.
Hal ini selaras dengan firman Allah ta'ala:
وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ {6}
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Surat Al Maidah : 6)
www.info-iman.blogspot.com
Wanita Haid Memotong Kuku dan Rambut
Adakah hadits yang menyatakan bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh memotong kuku dan rambut? (08197999XXX)
Jawab:
Tidak ada hadits shahih yang melarang wanita yang sedang haid untuk memotong kuku atau rambutnya. Yang ada adalah larangan bagi wanita haid untuk mengerjakan sholat dan puasa. Larangan ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
"Bukankah jika wanita sedang haidh tidak shalat dan tidak puasa" [HR. Bukhari No 298]
[Lihat At-Tanbihat, Syaikh Shalih Al-Fauzan, halaman : 213]
www.info-iman.blogspot.com
Waktu Membaca Doa Buka Puasa
Doa berbuka puasa dibaca sesudah atau sebelum makan atau minum (081321523XXX)
Jawab:
Doa buka puasa dibaca ketika kita akan berbuka puasa. Adapun doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kita ketika akan berbuka puasa adalah:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
"Hilanglah rasa dahaga, basah kembali urat-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah" (HR. Abu Daud No 3257)
www.info-iman.blogspot.com
Puasa dibulan Rajab
Apakah ada tuntunannya puasa rajab dan apa keutamaannya?
Jawab:
Tidak ada satupun hadits shahih yang menjelaskan tuntunan atau keutamaan melaksanakan puasa pada bulan Rajab. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh imam Ibnul Qayyim dalam Al-Manar Al-Munif hal : 96: “Setiap hadits yang menyebutkan tentang puasa Rajab dan sholat pada sebagian malamnya, merupakan kedustaan yang diada-adakan.”
Demikian pula pernyataan Al Faqih Majdudin Fairuz Abadi dalam Safar As-Sa’adah : 150.
www.info-iman.blogspot.com
Adzan Ketika Terjadi Musibah
Apakah disyari’atkan adzan jika dikhawatirkan akan terjadi tsunami, kebakaran atau musibah-musibah lainnya?
Jawab:
Adzan adalah lafadz-lafadz tertentu yang digunakan untuk menyeru kaum muslimin dan memberitahukan kepada mereka bahwa waktu sholat telah masuk, sehingga dengan mendengar suara tersebut kaum muslimin diharapkan segera datang ke arah sumber suara tersebut apakah dari masjid atau musholla untuk melaksanakan sholat-sholat wajib secara berjamaah
Ini adalah prinsip dasar disyariatkannya adzan. Oleh karenanya seseorang tidak boleh melakukan adzan diluar untuk memanggil sholat kecuali ada dalil yang menjelaskannya. Seperti adzan ditelinga kanan dari bayi yang baru dilahirkan, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
“Dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari bapaknya, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengumandangkan adzan seperti adzan untuk sholat ditelinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya.” (HR. Abu Daud No 5105)
Meskipun hadits ini diperselisihkan keshahihannya dikalangan para ulama.
Sementara itu kita tidak mendapati dalil tentang disyariatkannya adzan ketika terjadi tsunami, atau kebakaran atau musibah-musibah lainnya termasuk kematian. Oleh karenanya hendaknya kita tidak ikut-ikutan orang lain dalam mengamalkan suatu amalan sehingga kita tidak terjebak dalam persoalan yuang tidak dituntunkan. Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Cara Menggenapkan Adzan Dan Mengganjilkan Iqamah
Didalam bab adzan diterangkan agar kita menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah? Bagaimanakah caranya? (Abbas)
Jawab:
Memang dalam kitab-kitab fiqih bab adzan kita dituntunkan untuk menggenapkan bilangan adzan dan mengganjilkan iqamah. Ini berdasarkan riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَأَنْ يُوتِرَ الْإِقَامَةَ
“Dari Anas ia berkata: “Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah. (HR. Bukhari No 580)
Adapun cara mempraktekkan apa yang diperintahkan kepada Bilal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini adalah sebagaimana yang digambarkan dalam riwayat berikut ini :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاقُوسِ يُعْمَلُ لِيُضْرَبَ بِهِ لِلنَّاسِ لِجَمْعِ الصَّلَاةِ طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوسًا فِي يَدِهِ فَقُلْتُ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَتَبِيعُ النَّاقُوسَ قَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهِ فَقُلْتُ نَدْعُو بِهِ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ أَفَلَا أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ فَقُلْتُ لَهُ بَلَى قَالَ فَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّي غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ قَالَ وَتَقُولُ إِذَا أَقَمْتَ الصَّلَاةَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا رَأَيْتُ فَقَالَ إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ
“Dari Abdullah bin Zaid ia berkata: “Dimasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan membunyikan lonceng untuk mengumpulkan orang-orang guna melaksanakan sholat, dikala aku tidur aku bermimpi melihat seorang laki-laki yang mengitariku sambil membawa sebuah lonceng ditangannnya.” Lalu aku bertanya: “Hai hamba Allah, apakah engkau akan menjual lonceng itu? ”Akan engkau pergunakan untuk apa lonceng ini?” tanyanya. ”Akan kami gunakan untuk memanggil orang-orang untuk sholat,” jawabku. Orang itu berkata: “Maukah engkau aku tunjukkan yang lebih baik dari itu?”. “Mau,” jawabku. Ia berkata: “Engkau ucapkanlah:
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Kemudian orang laki-laki itupun menjauhiku, lalu berkata: “Dan jika engkau mau iqamah maka ucapkanlah:
اللَّهُ أَكْبَرُ أَكْبَرُ
أَشْهَدُ اللَّهُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Dipagi harinya aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan aku ceritakan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam perihal mimpikiu tersebut. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya mimpi itu benar, insya Allah. Berdiri dan temuilah Bilal, lalu ajarkanlah kepadanya (lafadz-lafadz) yang ada dalam mimpimu supaya ia mengumandangnkan adzan dengannya karena ia lebih keras dan nyaring suaranya daripada engkau.” (HR. Abu Daud No 499 dan Ahmad No 16042, menurut Syeikh Albani hasan shahih)
www.info-iman.blogspot.com
Jumat, 19 September 2008
Kirim Al Fatihah Kepada Arwah Orang Yang Telah Meninggal Dunia
Adakah dalilnya kirim al fatihah kepada arwah orang yang telah meninggal dunia?
Jawab:
Syeikh Abdul Aziz bin Bazz pernah ditanya dengan pertanyaan yang serupa, dan beliau menjawab: “Perbuatan ini dan yang serupa itu tidak ada asalnya, tidak diketahui bahwa itu berasal dari Nabi Shallalahu 'alaihi wasallam dan tidak diriwayatkan pula dari sahabat beliau Shallalahu 'alaihi wasallam bahwa mereka membacakan Al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal dunia, bahkan Nabi Shallalahu 'alaihi wasallam telah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka itu tertolak” [Dikeluarkan oleh Muslim dalam Al-Aqdhiyyah (18-1718)
Disebutkan dalam Ash-Shahihain, dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallalahu 'alaihi wasallam beliau bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunannya) padanya, maka ia tertolak” [Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697), Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718)]
Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Jabir bahwa dalam salah satu khutbah Jum’at Nabi Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-sebaik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Shallalahu 'alaihi wasallam, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru (bid’ah)adalah sesat” [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Jumu’ah 867]
An-Nasa’i menambahkan pada riwayat ini dengan isnad shahih:
وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka” [Hadits Riwayat Nasa’i dalam Al-Idain 1578, dishahihkan oleh Syeikh Albani]
Adapun bersedekah atas nama si mayat dan mendo’akannya, bisa berguna baginya dan sampai kepadanya menurut ijma’ kaum msulimin. Hanya Allah-lah yang kuasa memberi petunjuk dan Hanya Allah-lah tempat meminta. [Kitab Ad-Da’wah, Juz 1, hal.215, Syaikh Ibnu Baz]
www.info-iman.blogspot.com
Mendengar Adzan Atau Meneruskan Bacaan Al Qur’an
Jika ketika kita sedang membaca Al Qur’an di rumah, tiba-tiba terdengar suara adzan, mana yang lebih utama di lakukan, menjawab adzan atau meneruskan bacaan Al Qur’an? (081379098XXX)
Jawab:
Jika kita sedang membaca Al Qur’an baik dirumah ataupun di masjid lalu kita mendengar adzan dikumandangkan, maka hendaknya kita menyelesaikan ayat yang kita baca lalu mendengarkan sang muadzin dan menjawab adzan sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
َ إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
“Jika kalian mendengar adzan maka ucapkanlah apa-apa yang diucapkan oleh sang muadzin.” (HR. Bukhari No 586)
www.info-iman.blogspot.com
Menjawab Adzan Ketika Sedang Berjalan Menuju Masjid
Apabila kita menuju masjid lalu dijalan kita mendengarkan adzan, apakah kita harus menjawabnya? (M. Rohli, Way Kandis Bandar Lampung)
Jawab:
Menjawab adzan adalah suatu amalan sunnah yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat yang shahih:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian mendengar seorang muadzin (sedang mengumandangkan adzan) maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan, kemudian bersholawatlah kalian untukku karena sesungguhnya barangsiapa yang sekali bersholawat untukku maka Allah akan bersholawat untuknya sepuluh kali, kemudian mohonkanlah kepada Allah “Al wasilah” untukku, karena sesungguhnya al wasilah itu adalah sebuah kedudukan di jannah yang tidak patut diberikan kecuali kepada seorang hamba Allah dan aku berharap akulah yang mendapatkannya, maka barangsiapa yang memohonkan al wasilah untukku maka halal baginya syafaatku.” (HR. Muslim No 384)
Apabila kita sedang berada di rumah atau sedang di pasar, atau sedang dikantor, di kebun dan ditempat-tempat lainnya, atau kita sedang berjalan menuju masjid lalu kita mendengar adzan sedang dikumandangkan, maka kita disunnahkan untuk menjawab adzan tersebut, sebagaimana dianjurkan dalam hadits shahih di atas. Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Kamis, 18 September 2008
Status Ibu Mertua Setelah Istri Meninggal Dunia
Bagaimana hubungan ibu mertua dengan kita bila istri kita telah meninggal dunia, apakah beliau masih termasuk mahram? (081369041XXX)
Jawab:
Ibu mertua adalah merupakan salah satu dari wanita yang haram dinikahi kerena sebab pernikahan untuk selama lamanya. Sehingga kendatipun istri kita sudah meninggal dunia atau masih hidup namun sudah dicerai, ibu mertua tetap menjadi mahram bagi kita. Hal ini berdasarkan pada keumuman firman Allah ta’ala :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua).” (Surat An Nisa; 23)
www.info-iman.blogspot.com
Apa dan Siapa Mahram Itu?
Apakah yang dimaksud dengan mahram? Dan siapa sajakah mereka itu? (081540926XXX)
Jawab:
Pengertian mahram menurut Imam Ibnu Qudamah adalah: “Semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab (keturunan) persusuan dan pernikahan.” (Al Mughni 6/555. Lihat juga Tanbihat Alal Ahkam Takhtassu bil Mukminat, Syekh Sholih Al Fauzan : 67).
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa mahram mencakup tiga macam, karena sebab keturunan, persususan dan pernikahan. Adapun perinciannya adalah:
Mahram karena nasab (keturunan).
Bapak. Termasuk kategari bapak adalah kakek, baik kakek dari bapak maupun dari pihak ibu. Adapun bapak angkat bukan termasuk mahram, ia adalah orang asing seperti laki-laki asing pada umumnya.
Anak laki-laki. Termasuk kategori anak laki-laki adalah cucu, baik cucu dari anak laki-laki maupun cucu dari anak perempuan.
Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki kandung, maupun seayah atau seibu saja.
Anak laki-laki dari saudara (keponakan) baik keponakan dari saudara laki-laki maupun perempuan dan anak keturunan mereka.
Paman, baik paman dari bapak maupun paman dari ibu.
Adapun dalil dari point mahram karena sebab nasab ini adalah firman Allah ta’ala :
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّمَاظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka.” (Surat An Nuur : 31)
Mahram karena persusuan.
Bapak persusuan (suami dari ibu/wanita yang menyusuinya) terus keatas.
Anak laki-laki dari ibu susu, termasuk cucu dan anak keturunannya.
Saudara laki-laki sepersusuan.
Keponakan sepersusuan (anak saudara sepersusuan)
Paman persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu)
Adapun dalil hubungan mahram dari hubungan persusuan adalah firman Allah ta’ala :
وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ
“(Diharamkan atas kamu (mengawini)) ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.” (Suarat An Nisa : 23)
Adapun dalil dari hadits adalah dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يُحْرَمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يُحْرَمُ مِنَ النَّسَبِ
“Diharamkan karena sebab persusuan apa-apa yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan darah).” (HR. Bukhari N0 2645)
Mahram karena pernikahan.
Bapak mertua (bapak dari suami). Termasuk kakek dari suami dan terus keatas.
Anak tiri, termasuk cucu tiri dan terus kebawah.
Bapak tiri (suami ibu tapi bukan bapak kandungnya, jika bapak tiri tersebut sudah menggauli ibunya)
Menantu laki-laki (suami dari putri kandungnya)
Adapun dalil-dalil tentang mahram yang disebabkan karena pernikahan ini adalah firman Allah ta’ala :
وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ
“Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka.” (Surat An Nuur : 31)
وَلاَتَنكِحُوا مَانَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَاقَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَآءَ سَبِيلاً {22}
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (Surat An Nisaa : 22)
وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبُكُمُ الاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ الاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلآَئِلُ أَبْنَآئِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
“(Diharamkan atas kamu (mengawini)) ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu).” (Surat An Nisaa : 23)
www.info-iman.blogspot.com
Perihal Menikah Setelah Berzina
Apakah yang harus dilakukan terlebih dahulu jika seseorang telah berzina lalu ia hamil dan anaknya lahir, apakah orang tuanya harus menikah dulu atau mengaqiqahi dan memberi nama anaknya? (081540881XXX)
Jawab:
Berzina adalah perbuatan dosa besar yang harus dijauhi dan ditinggalkan. Allah ta’ala telah memperingatkan akan hal ini sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”(Surat Al Isra : 32)
Jika seseorang berzina, lalu akibat perzinaan tersebut ia hamil, maka ia tidak boleh untuk menikah, baik menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau laki-laki lain, sehingga ia melahirkan janin yang dikandungnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Surat At-Thalaq : 4)
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :
وَلاَ تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ {235}
”Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya.” (QS. Al-Baqarah : 235).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini berkata: Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas 'iddah-nya. Kemudian beliau berkata : Dan para 'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa 'iddah. (Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma'ad 5/156.)
Jika ia sudah melahirkan, mana yang harus didahulukan apakah orang tuanya menikah terlebih dahulu atau mengaqiqahi anaknya terlebih dahulu itu tergantung keadaan. Jika ia mau langsung menikah diperbolehkan karena tidak ada penghalang secara syar’i yang melarangnya, yang jelas pada hari ketujuh jika ia mampu hendaknya ia mengaqiqahi anaknya, jika bayinya laki-laki maka ia sembelihkan dua ekor kambing, dan jika bayinya perempuan maka ia sembelihkan seekor kambing. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ أُمِّ كُرْزٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ لَا يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ أَمْ إِنَاثًا
“Dari Umi Kurzin bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “(Aqiqah) bagi anak laki-laki berupa dua ekor kambing dan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing, tidak mengapa bagi kalian, apakah hewan tersebut berkelamin jantan atau betina.” (HR. Nasa’i No 4218 dan dishahihkan oleh Albani)
Pendek kata, tidak ada keharusan untuk mendahulukan menikah dari aqiqah atau sebaliknya. Artinya jika sebelum hari ketujuh bisa melaksanakan aqad nikah, maka silakan dilaksanakan. Namun jika sampai hari ketujuh belum bisa dilaksanakan maka pada hari ketujuh tersebut sebaiknya ia mengaqiqahi anaknya terlebih dahulu, ini jika ia mampu melaksanakannya. Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showab
www.info-iman.blogspot.com
Syafaat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Pada Hari Kiamat
Benarkah di hari kiamat nanti tidak ada syafaat dari Rasul? (Sumardiyanto, Metro)
Jawab:
Dihari kiamat nanti beliau Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam dapat memberikan syafa’at kepada umatnya, bahkan paman beliaupun mendapat syafa’at dengan diringankan adzabnya oleh Allah ta'ala .
Untuk lebih jelasnya, kita ikuti penjelasan Syeikh Sholih Al Utsaimin tentang syafaat, beliau berkata:
Kata as-syafa’ah diambil dari kata as-syaf’u yang artinya adalah lawan dari kata al-witru (ganjil), yaitu menjadikan yang ganjil menjadi genap (as-syaf’u), seperti anda menjadikan satu menjadi dua dan tiga menjadi empat. Demikian menurut arti “lughawinya” (makna secara etimologis/bahasa).
Adapun menurut istilah, syafa’at adalah penengah (perantara) bagi yang lain dengan mendatangkan suatu kemanfaatan atau menolak suatu kemudharatan. Maksudnya, syafi’ (pemberi syafa’at) itu berada di antara masyfu’ lahu (yang diberi syafa’at) dan masyfu’ ilaih (syafa’at yang diberikan) sebagai wasithah (perantara) untuk mendatangkan keuntungan (manfaat) bagi masyfu’ lahu atau menolak mudharat darinya.
Syafa’at Itu Ada Dua Macam
PERTAMA: SYAFAAT TSABITAH SHAHIHAH (yang tetap dan benar),
yaitu yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya atau yang ditetapkan oleh RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syafa’at ini hanya bagi ‘Ahlut Tauhid wal Ikhlas’, karena Abu Hurairah pernah bertanya kepada Nabi : “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafa’at baginda ?” Beliau menjawab:
“Orang yang mengatakan Laa ilaaha illallah secara ikhlas (murni) dari kalbunya”.
Syafa’at ini bisa diperoleh dengan adanya tiga syarat, yaitu:
Pertama : Keridhaan Allah terhadap yang memberi syafa’at (syafi’)
Kedua : Keridhaan Allah terhadap yang diberi syafa’at (masyfu’ lahu)
Ketiga : Izin Allah Ta’ala bagi syafi’ untuk memberi syafa’at.
Syarat-syarat ini secara global terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لاَتُغْنِى شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلاَّ مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرْضَى {26}
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai(Nya)” [An-Najm: 26]
Kemudian diperinci oleh firmanNya.
مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” [Al-Baqarah : 255]
يَوْمَئِذٍ لاَتَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً {109}
“Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya dan Dia telah meridhai perkataanNya” [Thaha : 109]
وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى {28}
“Mereka tidak bisa memberi syafa’at kecuali kepada orang yang diridhai oleh Allah” [Al-Anbiya : 28]
Ketiga syarat ini harus ada untuk bisa memperoleh suatu syafa’at.
Selanjutnya para ulama –Rahimahullah- membagi syafa’at ini menjadi dua macam:
Pertama : Syafa’at ‘Ammah (syafa’at yang bersifat umum).
Arti umum disini bahwa Allah Ta’ala mengizinkan siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hambaNya yang shalih untuk memberikan syafa’at kepada orang yang juga diizinkan oleh Allah untuk memperoleh syafa’at.
Syafa’at semacam ini bisa didapatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain beliau dari para Nabi yang lain, shidiqqin, syuhada’ dan shalihin. Yaitu bisa berupa syafa’at kepada penghuni naar dari kalangan orang beriman yang bermaksiat agar mereka bisa keluar dari neraka.
Kedua : Syafa’ah Khasshah (syafa’at yang bersifat khusus).
Syafa’at ini khusus dimiliki oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan syafa’at yang paling agung. Syafa’at yang paling agung ini adalah syafa’at pada hari kiamat ketika manusia tertimpa kesedihan dan kesukaran yang tidak mampu mereka pikul, kemudian mereka meminta orang yang bisa memohonkan syafa’at kepada Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan mereka dari keadaan yang demikian itu.
Mereka datang kepada Adam, kemudian kepada Nuh, kemudian Ibrahim, Musa dan Isa --‘alaihimus salam--, namun mereka semua tidak bisa memberi syafa’at, sehingga akhirnya meminta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliaupun bangkit untuk memohonkan syafa’at di sisi Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan hamba-hambaNya dari keadaan seperti ini. Allah mengabulkan do’a beliau dan menerima syafa’atnya. Ini merupakan termasuk Al-maqam Al-Mahmud (tempat yang terpuji) yang telah dijanjikan oleh Allah dan firmanNya.
وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu ; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” [Al-Isra’ : 79]
Diantara syafa’at khusus dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah syafa’at beliau terhadap ahlul jannah untuk masuk jannah. Karena ahlul jannah itu ketika melewati shirath, mereka diberhentikan di atas jembatan antara jannah dan naar, lalu hati mereka satu sama lain disucikan sehingga menjadi suci, kemudian barulah diizinkan masuk jannah dan dibukakan untuk mereka pintunya dengan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
KEDUA: SYAFAAT BATHILAH (syafa’at yang batil).
Yaitu syafa’at yang tidak akan bisa memberi manfaat. Itulah syafa’at yang jadi anggapan orang-orang musyrik berupa syafa’at dari ilah-ilah mereka yang dianggap bisa menyelamatkan mereka di sisi Allah Azza wa Jalla. Syafa’at ini sama sekali tidak akan memberikan manfaat kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman.
فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at” [Al-Muddatsir : 48]
Itu karena Allah tidak ridha terhadap kemusyrikan orang-orang musyrik tersebut dan tidak mungkin mengizinkan kepada siapapun untuk mensyafa’ati mereka, karena tiada syafa’at kecuali bagi orang-orang yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla. Allah tidak ridha akan kekufuran bagi hamba-hambaNya dan tidak menyukai kerusakan. Ketergantungan orang-orang musyrik terhadap ilah-ilah mereka yang mereka ibadahi serta mengatakan : “(Mereka adalah para pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah), adalah ketergantungan yang batil yang tidak bermanfaat”. Bahkan hal ini tidak akan menambah mereka di sisi Allah melainkan kejauhan. Orang-orang musyrik mengharap syafa’at dari berhala-berhala mereka dengan cara yang batil, yaitu dengan mengibadahi berhala-berhala ini, yang merupakan kebodohan mereka yang berupa usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang justru malah semakin menjauhkan mereka dari Allah.
[Fatawa Anil Iman wa Arkaniha, yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud, (edisi Indonesia Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Pustaka At-Tibyan)]
www.info-iman.blogspot.com
Hukum Menghadiri Perayaan Natal
Apakah boleh menghadiri perayaan natal dan mengucapkan selamat Natal kepada orang-orang Kristen?
Jawab:
Tidak diperbolehkan menghadiri acara natalan atau mengucapkan selamat hari natal kepada orang-orang yang merayakannya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –rahimahullah- ditanya : Bagaimana hukum mengucapkan “Merry Christmas” (Selamat Natal) kepada orang-orang Kafir? Bagaimana pula memberikan jawaban kepada mereka bila mereka mengucapkannya kepada kita? Apakah boleh pergi ke tempat-tempat pesta yang mengadakan acara seperti ini? Apakah seseorang berdosa, bila melakukan sesuatu dari yang disebutkan tadi tanpa sengaja (maksud yang sebenarnya) namun dia melakukannya hanya untuk berbasa-basi, malu, nggak enak perasaan atau sebab-sebab lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka di dalam hal itu?
Lalu beliau menjawab:
Mengucapkan “Merry Christmas” (Selamat Natal) atau perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang Kafir adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama (Ijma’). Hal ini sebagaimana dinukil dari Ibn al-Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya “Ahkâm Ahl adz-Dzimmah”, beliau berkata:
“Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap Hari-Hari besar mereka dan puasa mereka, sembari mengucapkan, ‘Semoga Hari raya anda diberkahi’ atau anda yang diberikan ucapan selamat berkenaan dengan perayaan hari besarnya itu dan semisalnya. Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya dapat lolos dari kekufuran, maka dia tidak akan lolos dari melakukan hal-hal yang diharamkan. Ucapan semacam ini setara dengan ucapannya terhadap perbuatan sujud terhadap Salib bahkan lebih besar dari itu dosanya di sisi Allah. Dan amat dimurka lagi bila memberikan selamat atas minum-minum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan dan sebagainya. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut. Jadi, barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena melakukan suatu maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi Kemurkaan Allah dan Kemarahan-Nya.”
Mengenai kenapa Ibnu al-Qayyim sampai menyatakan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang Kafir berkenaan dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka haram dan posisinya demikian, karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran yang mereka lakukan dan meridlai hal itu dilakukan mereka sekalipun dirinya sendiri tidak rela terhadap kekufuran itu, akan tetapi adalah HARAM bagi seorang Muslim meridlai syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat kepada orang lain berkenaan dengannya karena Allah Ta’ala tidak meridlai hal itu, sebagaimana dalam firman-Nya:
إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلاَيَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ {7}
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” [Az-Zumar:7]
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” [Al-Ma`idah :3]
Jadi, mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengan hal itu adalah haram, baik mereka itu rekan-rekan satu pekerjaan dengan seseorang (Muslim) ataupun tidak.
Bila mereka mengucapkan selamat berkenaan dengan hari-hari besar mereka kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari besar itu bukanlah hari-hari besar kita. Juga karena ia adalah hari besar yang tidak diridlai Allah Ta’ala; baik disebabkan perbuatan mengada-ada ataupun disyari’atkan di dalam agama mereka akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dienul Islam yang dengannya Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam diutus Allah kepada seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ اْلأِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ {85}
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran :85]
Karena itu, hukum bagi seorang Muslim yang memenuhi undangan mereka berkenaan dengan hal itu adalah HARAM karena lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengannya. Memenuhi undangan tersebut mengandung makna ikut berpartisipasi bersama mereka di dalamnya.
Demikian pula, haram hukumnya bagi kaum Muslimin menyerupai orang-orang Kafir, seperti mengadakan pesta-pesta berkenaan dengan hari besar mereka tersebut, saling berbagi hadiah, membagi-bagikan manisan, hidangan makanan, meliburkan pekerjaan dan semisalnya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [Hadits Riwayat Abu Daud No 4031]
Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata di dalam kitabnya Iqtidlâ` ash-Shirâth al-Mustaqîm, Mukhâlafah Ashhâb al-Jahîm:
“Menyerupai mereka di dalam sebagian hari-hari besar mereka mengandung konsekuensi timbulnya rasa senang di hati mereka atas kebatilan yang mereka lakukan, dan barangkali hal itu membuat mereka antusias untuk mencari-cari kesempatan (dalam kesempitan) dan mengihinakan kaum lemah (iman).”
Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah berdosa, baik melakukannya karena berbasa-basi, ingin mendapatkan simpati, rasa malu atau sebab-sebab lainnya karena ia termasuk bentuk peremehan terhadap Dienullah dan merupakan sebab hati orang-orang kafir menjadi kuat dan bangga terhadap agama mereka.
Kepada Allah kita memohon agar memuliakan kaum Muslimin dengan dien mereka, menganugerahkan kemantapan hati dan memberikan pertolongan kepada mereka terhadap musuh-musuh mereka, sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
[Disalin dari Majmû’ Fatâwa Fadlîlah asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, Jilid.III, h.44-46, No.403]
www.info-iman.blogspot.com
Haid Datang Ketika Sedang Puasa Syawwal
Bagaimana hukum seorang wanita yang melakukan puasa syawal namun tidak lengkap 6 hari karena haid?
Jawab:
Sebenarnya untuk melakukan puasa syawal, tidak diharuskan seseorang itu melakukannya secara berturut-turut. Yang penting puasa itu dilakukan selama bulan syawal. Sehingga masing-masing dari kita hendaknya dapat mengatur waktunya sedemikian rupa supaya kita dapat menyempurnakan puasa sunnah ini sebelum habis waktunya.
Terlebih lagi bagi seorang wanita, dimana ia mesti harus membayar terlebih dahulu puasa ramadhan yang ditinggalkan pada bulan ramadhan lantaran haid, maka ia harus benar-benar cermat berhitung sehingga disamping ia dapat membayar hutang puasanya, iapun dapat menyempurnakannya dengan puasa enam hari dibulan syawwal.
Jika ketika ia sedang melaksanakan puasa enam hari dibulan syawwal kemudian haidnya datang, maka praktis ia harus membatalkan puasa pada hari tersebut, namun puasa yang belum ia sempurnakan ini tidak bisa di qadha pada hari yang lain, kecuali jika bulan syawwal masih tersisa. Namun ia akan tetap mendapat pahala puasa pada hari-hari sebelum haidnya datang. Wallahu A'lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Muntah Ketika Sedang Berpuasa
Tanya:
Saya sedang berpuasa tetapi kemudian muntah karena masuk angin, apakah puasa saya batal? (085669943XXX)
Jawab:
Jika seseorang sedang berpuasa kemudian ia muntah dengan tidak sengaja, seperti muntah karena masuk angin atau yang lainnya, maka hal itu tidak membatalkan puasanya.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ
‘Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi Shallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa muntah dengan tidak sengaja maka ia tidak perlu mengqadha (puasanya). Namun barangsiapa muntah dengan sengaja maka hendaklah ia mengqadha (puasanya).” (HR. Turmudzi No 720, dishahihkan oleh Syeikh Albani)
Muntah yang membatalkan puasa adalah muntah yang dilakukan dengan sengaja berdasarkan hadits diatas. (Lihat Minhajul Muslim, Syeikh Al Jazairi) Jika ia muntah dengan tidak sengaja, maka ia tetap meneruskan puasanya karena puasanya tidak batal lantaran muntah yang tidak sengaja tersebut. Wallahu A'lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Selasa, 16 September 2008
Wanita Yang Sedang Nifas Boleh Menikah
Bolehkah wanita yang masih nifas menikah ulang atau harus menunggu sampai 40 hari? (085691355XXX)
Jawab:
Tidak mengapa seorang wanita menikah dalam keadaan haid atau nifas, karena tidak disyaratkan bagi seorang wanita bahwa ketika menikah harus dalam keadaan suci, demikian pula tidak termasuk syarat sahnya nikah adalah kedua mempelai dalam keadaan suci tidak berhadats, baik hadats besar maupun hadats kecil. Hanya saja jika seorang laki-laki menikahi wanita dalam keadaan nifas atau haid maka ia tidak boleh mengumpuli istrinya sehingga istrinya tersebut suci dari nifas atau haidnya. Wallahu A’lam Bish Showab. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah 18/ 107-109)
www.info-iman.blogspot.com
Hukum Orang Yang Lupa Mandi Junub
Bagaimana hukum orang yang lupa mandi junub dan ketika sedang sholat ashar baru ingat, apakah sholatnya harus di qadha? (081369731XXX)
Jawab:
Orang yang junub tetapi ia terlupa sehingga tidak mandi dan ia teringat ketika sedang sholat ashar, maka ia harus membatalkan sholatnya dan mengulangi sholat yang telah dikerjakannya. (Lihat Fatawa Syeikh Utsaimin 12/367)
www.info-iman.blogspot.com
Membaca Shalawat Mendatangkan Syafaat
Saya sering mendengar bahwa jika kita membaca shalawat, maka kita akan mendapat Syafaat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam, adakah dalilnya?
Jawab:
Memang benar bahwa diantara sekian banyak keutamaan membaca shalawat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam satu diantaranya kita akan mendapat syafaat dari beliau Shallallahu 'alaihi Wasallam pada hari Kiamat kelak. Hal ini berdasarkan pada sebuah riwayat :
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ حِيْنَ يُصْبِحُ عَشْراً وَ حِيْنَ يُمْسِى عَشْراً أَدْرَكَتْهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa bershalawat kepadaku dipagi hari sebanyak sepuluh kali dan disore hari sebanyak sepuluh kali maka ia akan mendapatkan syafaat dariku pada hari Kiamat.” (HR. Thabrani dan dihasankan oleh Syeikh Albani)
www.info-iman.blogspot.com
Wanita Haid Boleh Berdoa
Apakah wanita yang sedang haid boleh berdoa setelah azan dan diwaktu-waktu yang mustajab lainnya?
Jawab:
Tidak ada larangan bagi wanita haid untuk berdoa setelah adzan maupun pada waktu-waktu yang mustajab lainnya. Yang dilarang bagi wanita haid adalah melakukan sholat, puasa, thawaf dan memegang mushaf. Adapun dzikir dan doa bahkan membaca Al qur'an tidak dilarang bagi wanita yang sedang haid, selama ia tidak memegang mushaf. Wallahu A'lam Bish Showab
www.info-iman.blogspot.com
Senin, 15 September 2008
Seseorang Tidak Mengetahui Kapan Ajalnya Akan Tiba
Apakah benar sejak 40 hari sebelum ajal seseorang datang, orang tersebut sudah mengetahuinya? (Hamzah, Lampung Selatan)
Jawab:
Pendapat ini tidak benar sama sekali, karena ajal adalah salah satu perkara ghaib yang hanya Allah U saja yang mengetahuinya, tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan ia akan meninggal dunia. Seandainya seseorang mengetahui kapan ia akan meninggal dunia tentunya ia akan menyiapkan diri sebaik-baiknya dengan melakukan berbagai amal sholih yang diharapkan dapat menjadi bekal baginya ketika menghadap Allah ta'ala.
Allah ta'ala berfirman:
قُل لآَّأَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَاشَآءَ اللهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَامَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (Wahai Muhammad): "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (Surat Al A’raf : 188)
إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَافِي اْلأَرْحَامِ وَمَاتَدْرِي نَفْسٌ مَاذَاتَكْسِبُ غَدًا وَمَاتَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Surat Luqman : 34)
Jika orang yang akan meninggal dunia telah mengetahui ajalnya 40 hari sebelumnya, niscaya ia akan banyak berbuat kebaikan dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya amal shalih untuk menghadapi hari H kematian tersebut. Dan jika ini terjadi maka tidak ada hikmahnya Allah ta'ala menciptakan Neraka, karena semua orang pasti akan menjadi baik. Mereka akan menghindarkan semua hal yang mengakibatkan murka Allah dipenghujung hidupnya agar terhindar dari Neraka. Ini adalah sebuah pendapat atau keyakinan yang bertentangan dengan aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Wallahu A’lam.
www.info-iman.blogspot.com
Menyoal Ramalan Cuaca
Kalau ramalan itu tidak boleh bagaimana dengan ramalan cuaca diakhir berita? (Hamba Allah, Way Kandis-Bandar Lampung)
Jawab:
Ramalan cuaca yang biasanya terdapat dipenghujung berita, yang dilakukan oleh BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) pada hakekatnya adalah sebuah prakiraan (perkiraan), bukan sebuah kepastian.
Jika seseorang atau suatu badan/lembaga memperkirakan turunnya hujan atau panasnya cuaca di suatu tempat berdasarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya yang terkait dengan hal itu, maka hal ini tidak mengapa, toh hanya sebatas perkiraan, bukan kepastian. Tetapi kalau ia sudah pada tahap memastikan turunnya hujan, maka ini telah menyimpang, karena kepastian turunnya hujan adalah perkara yang ghaib, hanya Allahlah yang mengetahuinya dan Dialah yang memastikan turun atau tidaknya hujan di suatu tempat. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَافِي اْلأَرْحَامِ وَمَاتَدْرِي نَفْسٌ مَاذَاتَكْسِبُ غَدًا وَمَاتَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Surat Luqman : 34)
www.info-iman.blogspot.com
Minggu, 14 September 2008
Membantu Acara Yang Menjurus Kepada Kesyirikan
Tanya:
Apakah boleh membantu orang yang punya hajat menjurus kepada kemusyrikan? (Sugy, PGSD Metro Kibang)
Jawab:
Tidak boleh seseorang membantu orang lain yang memiliki hajat (acara) tetapi acara tersebut menjurus kepada kesyirikan, karena ini termasuk tolong menolong dalam dosa dan tindakan melampaui batas yang dilarang oleh Allah Ta'ala .
Allah Ta'ala berfirman:
وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah : 2)
www.info-iman.blogspot.com
Hukum Membaca Sholawat Badar
Apakah hukum membaca sholawat badar? (Budi, Padang Ratu)
Jawab:
Sholawat badar adalah salah satu bentuk sholawat yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam. Di dalam sholawat tersebut banyak terdapat lafadz-lafadz tawassul yang bid’ah, yaitu tawassul kepada ahli badar, mereka para sahabat yang meninggal dunia ketika perang Badar. Para Ulama telah menjelaskan bahwa tawassul dengan orang yang meninggal dunia adalah bentuk tawassul yang dilarang. (Lihat Kitabut Tauhid, Syaikh Sholih Fauzan)
Oleh karena itu tidak boleh kita membaca sholawat Badar ini,apalagi sampai meyakini keutamaan-keutamaan tertentu jika membaca sholawat badar, ini adalah keyakinan yang sama sekali tidak ada dasar dan tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam. Dan kalau kita ingin membaca sholawat maka bacalah sholawat Ibrahimiyah, sholawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam kepada ummatnya sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut :
عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ لَقِيَنِي كَعْبُ بْنُ عُجْرَةَ فَقَالَ أَلَا أُهْدِي لَكَ هَدِيَّةً سَمِعْتُهَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ بَلَى فَأَهْدِهَا لِي فَقَالَ سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الصَّلَاةُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ عَلَّمَنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكُمْ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Dari Abdurrahman bin Abi Laila ia berkata: “Kaab bin Ujrah bertemu denganku lalu berkata: “Maukah engkau aku beri hadiah yang aku dengar dari Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam ?” “Mau hadiahkanlah untukku,” jawabku. Ia berkata: “Kami pernah bertanya kepada Rasulullah, kami berkata: “Hai Rasulullah, bagaimana lafadz bersholawat kepadamu para ahli bait, karena sesungguhnya Allah telah mengajari kami bagaimana mengucapkan salam atasmu, Beliau bersabda: “Ucapkanlah oleh kalian: “Allahumma Sholli ‘alaa Muhammad… innaka hamidun majid” (Artinya) Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, Berilah berkah kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (HR. Bukhari No 3190)
www.info-iman.blogspot.com
Membayar Fidyah Kepada Orang Tua
Bolehkah fidyah dibayarkan untuk orang tua sendiri? (Mujilan, Way Hui)
Jawab:
Fidyah tidak boleh diberikan atau dibayarkan untuk orang tua sendiri kendatipun orang tua kita termasuk golongan fakir miskin, karena jika mereka kekurangan, maka sang anak wajib memberikan bantuan untuk menanggung dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Fidyah diberikan kepada orang-orang miskin yang hidupnya tidak berada dalam tanggungannya. Wallahu Ta’ala A’lam Bis Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Berpuasa Atau Berbuka Ketika Bepergian
Ketika dalam perjalanan manakah yang lebih baik, berpuasa atau berbuka? (Badaruddin)
Jawab:
Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat bahwa yang lebih utama bagi seorang musafir apakah berpuasa ataukah berbuka itu tergantung kepada kondisi fisiknya. Jika ia merasa bahwa puasa tidak memberatkan dirinya ketika safar maka baginya yang afdhal dan utama adalah tetap berpuasa. Namun jika ia merasakan bahwa puasa itu memberatkan dirinya, sehingga jika dipaksakan maka akan menyebabkan sakit, dalam keadaan ini yang lebih utama baginya adalah berbuka.
Allah Ta'ala berfirman:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Surat Al Baqarah : 185)
www.info-iman.blogspot.com
Puasa Sunnah Digabung Dengan Puasa Nadzar
Boleh tidak puasa sunnah tiga hari digabung dengan puasa nadzar tiga hari? (081585481XXX)
Jawab:
Puasa nadzar hukumnya wajib sedangkan puasa tiga hari setiap bulan hukumnya sunnah. Maka tidak boleh jika seseorang berniat puasa sunnah tiga hari digabung dengan puasa nadzar tiga hari, karena niatan awalnya adalah mengerjakan yang sunnah maka yang wajib belum gugur.
Namun dibenarkan jika seandainya seseorang yang ingin menunaikan puasa nadzar tiga hari dikerjakan pada tanggal 13, 14 dan 15 pada bulan hijriyah, yang berarti bertepatan dengan pelaksanaan puasa putih, maka Insya Allah ia akan mendapatkan keutamaan dari keduanya. Wallahu Ta’ala A’lam Bis Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Perihal Puasa Muharram
Saya pernah mendengar bahwa kita disunnahkan untuk puasa Muharram dari tanggal satu sampai dengan tanggal 10, apakah pernyataan ini benar?
Jawab:
Pada dasarnya puasa sunnah pada bulam Muharram adalah salah satu bentuk puasa sunnah yang paling utama untuk dilakukan dan diamalkan. Hal ini berdasarkan pada keumuman hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda: “Seutama-utama puasa setelah bulan Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yang bernama Muharram. Dan seutama-utama sholat setelah sholat yang difardhukan adalah sholat malam.” (HR. Muslim No 1163)
Namun puasa pada bulan Muharram ini tidak dilakukan dari tanggal satu sampai sepuluh. Yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam adalah puasa Asyura. Kata-kata Asyura diambil dari kata Asyir atau asroh yang berarti sepuluh. Sehingga puasa asyuro ini jatuh pada tanggal sepuluh Muharram. Puasa Asyuro ini sangat diperhatikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam sebagimana dijelaskan dalam riwayat :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّه عَنْهمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
“Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ia berkata: “Aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam lebih mengutamakan puasa pada suatu hari dibandingkan hari-hari lainnya dari puasa pada hari ini yaitu puasa pada hari asyura dan puasa pada bulan ini yaitu puasa pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari No 1902)
Dan sebelum meninggal dunia Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam menyatakan bahwa jika usianya sampai pada tahun berikutnya beliau akan berpuasa pada hari yang kesembilan. Namun pada tahun berikutnya beliau sudah meninggal dunia sehingga niatnya tidak terkesampaikan, seperti yang dikisahkan dalam sebuah riwayat berikut yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّه عَنْهمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Dari Abdullan bin Abbas Radhiyallahu 'anhu ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda: “Sekiranya Aku masih hidup hingga tahun depan aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan.” (HR. Bukhari No 1134)
Oleh karena itu, jumhur ulama sebagimana disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Lathaiful Ma’arif berpendapat bahwa pada bulan Muharram ini kita disunnahkan melaksakanan puasa asyura selama dua hari yaitu pada hari yang kesembilan dan hari yang kesepuluh. Wallahu Ta’ala A’lam Bis Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Kedudukan Hadits Tentang Shoum Senin Kamis
Bagaimana kedudukan hadits tentang shoum sunnah pada hari Senin dan Kamis serta shoum tiga hari pada pertengahan bulan, shahih atau tidak? (08127910XXX)
Jawab:
Hadits tentang disunnahkannya shoum pada hari Senin dan Kamis adalah shahih, diriwayatkan oleh banyak imam, diantaranya oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dan Imam Abu Daud dalam Sunannya:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
“(Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam) ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau menjawab: “Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu aku diangkat menjadi Rasul atau diturunkan padaku (al Qur’an).” (HR. Muslim No 1977)
عَنْ مَوْلَى أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ انْطَلَقَ مَعَ أُسَامَةَ إِلَى وَادِي الْقُرَى فِي طَلَبِ مَالٍ لَهُ فَكَانَ يَصُومُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَقَالَ لَهُ مَوْلَاهُ لِمَ تَصُومُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ وَأَنْتَ شَيْخٌ كَبِيرٌ فَقَالَ إِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ وَسُئِلَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّ أَعْمَالَ الْعِبَادِ تُعْرَضُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ
“Dari maula Usamah bin Zaid bahwasanya ia pergi bersama Usamah ke Wadi Qura untuk mencari barang miliknya. Ia (Usamah) berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Maka sang Maula bertanya kepadanya: “Mengapa engkau berpuasa pada hari Senin dan Kamis padahal usiamu sudah tua?” Ia menjawab; “Sesungguhnya Nabiyullah Shallallahu 'alaihi Wasallam berpuasa pada hari Senin dan Kamis, dan beliau ditanya tentang hal itu. Lalu beliau menjawab: “Sesungguhnya amal-amal para hamba itu dipaparkan pada hari Senin dan Kamis.” (HR. Abu Daud No 2436, hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Albani Dalam Shahih Sunan Abu Daud)
Demikian pula tentang shoum tiga hari pada pertengahan bulan, haditsnya shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَا أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
”Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam) berwasiat kepadaku dengan tiga perkara yang aku benar-benar tidak akan meninggalkannya sampai meninggal dunia: shoum tiga hari setiap bulan, sholat dhuha dan tidur dengan telah melakukan sholat witir.” (HR. Bukhari No 1124)
Namun perlu diketahui bahwa sebenarnya sholat witir lebih utama dilakukan diakhir malam yang lazimnya dilakukan setelah tidur. Sehingga Imam Ibnu Hajar Al Asqalani yang mensyarah hadits ini dalam kitab Fathul Bari menyatakan bahwa bagi orang yang dapat bangun malam lebih baik sholat witirnya setelah tidur yaitu pada waktu yang paling utama. Namun jika seseorang dikhawatirkan sulit bangun malam maka utamanya ia melakukan sholat witir sebelum tidur.
Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat yang shahih yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Dari Jabir ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam maka hendaklah ia melakukan sholat witir di awalnya (sebelum tidur). Namun barangsiapa yang mampu bangun pada akhir malam maka hendaklah ia melakukan sholat witir dipenghujung malam, karena sholat dipenghujung malam itu disaksikan (oleh para Malaikat) dan ini lebih utama.” (HR. Muslim No 755)
Wallahu Ta’ala A’lam Bis Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Sabtu, 13 September 2008
Perawi Hadits Tentang Dusta Atas Nama Rasulullah
Siapakah perowi hadits yang artinya : "Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka tempat kembalinya adalah Neraka," dan apa derajatnya? (085669643XXX)
Jawab:
Hadits tersebut yang bunyinya:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Hadits ini tergolong hadits mutawatir, diriwayatkan oleh banyak imam,diantaranya Imam Bukhari dalam shahihnya no 1209, Muslim No 4, Abu Daud No 3166, Turmudzi No 2583, Nasai No 5912, Ibnu Majah N0 30, Ahmad No 551, Hakim No 238, Ibnu Abi Syaibah 6/204, Baihaqi 3/276, Thabrani fil Kabir No 204, Abdurrazaq 11/261, Ibnu Abi Ashim 1/207 dan masih banyak perowi-perowi lainnya.
Walhasil banyaknya perawi yang meriwayatkan hadits ini menjadikan hadits ini memiliki derajat yang mutawatir, yang pasti shahih dari sisi sanad dan matannya. Wallahu a'lam bish showab.
www.info-iman.blogspot.com
Hukum Orang Yang Tidak Pernah Membaca Al Qur'an
Tanya:
Apa hukumnya orang yang tidak pernah membaca Al Qur'an? (085658975XXX)
Jawab:
Tidak semestinya seorang yang beriman tidak mau membaca Al Qur'an, karena bagaimanapun juga Allah Ta'ala telah menjelaskan bahwa Al Qur'an adalah kitab yang berisi petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa.
Jika seseorang tidak membaca Al Qur'an lantaran ia tidak bisa membaca aksara arab, maka hendaklah ia belajar membaca, karena sekarang ini terdapat banyak metode belajar membaca AL Qur'an, bahkan ada metode pembelajaran yang cepat, hanya membutuhkan lima kali pertemuan seseorang sudah dapat membaca Al Qur'an, maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan kalau hari ini ada orang yang tidak bisa membaca Al Qur'an.
Persoalannya, maukah orang yang tidak bisa membaca AL Qur'an tersebut meluangkan waktunya untuk belajar Al Qur'an. Jangan karena beralasan sibuk lalu tidak mau belajar Al Qur'an. Sesibuk apapun seseorang itu mestinya ia harus meluangkan waktunya untuk belajar Al Qur'an. Dan juga jangan karana alasan malu karena sudah lanjut usia lalu tidak mau belajar Al Qur'an. Bukankah ada ada perkataan bijak yang menyebutkan "Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali."
Orang yang tidak mau membaca Al Qur'an maka ia terhalang untuk mendapatkan banyak kebaikan, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam menjanjikan kepada orang yang membaca Al Qur'an bahwa setiap huruf yang ia baca akan diganjar dengan sepuluh kebaikan. Sehingga tidak dapat dibayangkan berapa banyak kebaikan yang akan diperoleh seseorang yang membaca satu lembar, satu juz apalagi sampai mengkhatamkan Al Qur'an. Nah orang yang tidak membaca Al Qur'an,baik karena tidak bisa membaca maupun karena malas membaca, maka ia terhalang untuk mendapatkan kebaikan yang sangat banyak ini.
Adapun dalil yang menyatakan bahwa membaca AL Qur'an ini akan mendapatkan banyak kebaikan adalah :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم َرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
"Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu ia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda: "Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah maka ia akan mendapatkan satu kebaikan, dan satu kebaikan itu digandakan menjadi sepuluh kalinya. Aku tidak katakan alif laam miim satu huruf, tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf." (HR. Turmudzi No 3158)
Wallahu A'lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Perihal Berdzikir Sambil Menangis Dan Dzikir Fana'
Mana yang lebih baik dzikir sambil menangis atau biasa saja tidak menangis, dan ada yang berpendapat dzikir fana itu yang mendapat hidayah dan yang tidak fana tidak mendapat hidayah? (081808747XXX)
Jawab:
Dzikir yang baik adalah dzikir yang dengannya dapat menjadikan seseorang semakin dekat dengan Allah Ta'ala, semakin mengakui akan kebesaran-Nya dan menumbuhkan rasa takut kepada-Nya.
Dzikir yang baik adalah dzikir yang dapat menjadikan hatinya tenang, pikirannya jernih, perasaannya nyaman dan jiwanya tentram.
Apabila ketika ia sedang melantunkan lafadz-lafadz dzikir secara refleks ia menitikkan air matanya dan menangis, maka mudah-mudahan inipun menjadi tanda kebaikan seseorang. Asalkan tangisan tersebut tidak direkayasa atau dibuat-buat. Apalagi jika hal itu dilakukan untuk menaruh simpati dari orang lain, maka ini menjadi perbuatan yang tercela, karena ada unsur-unsur riya didalamnya.
Jadi, dzikir yang paling baik adalah dzikir yang dapat menjadikan diri seseorang itu tenang dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah Ta'ala, baik ia melakukannya sambil menangis karena terlalu menjiwai lafadz-lafadz dzikir yang ia ucapkan ataupun tidak sambil menangis, karena toh tidak setiap kali Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam berdzikir beliau melakukannya sambil menangis, demikian pula dengan para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi Wasallam.
Namun demikian ada dalil yang membenarkan berdzikir sambil menangis, yaitu hadits shahih yang menceritakan adanya tujuh golongan yang akan diberi naungan oleh Allah Ta'ala pada hari Kiamat, diantaranya adalah point yang menyebutkan:
وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
"Dan laki-laki yang berdzikir kepada Allah dengan menyendiri lalu berlinanglah air matanya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam juga bersabda:
عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ : عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيْلِ اللهِ رواه الترمذي
"Dua mata yang tidak tersentuh api Neraka: Mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang melek berjaga dijalan Allah." (HR. Turmudzi dan dishahihkan oleh Albani dalam Misykatul Mashabih 2/371)
Adapun mengenai pernyataan bahwa dzikir fana itu yang mendapat hidayah, ini adalah pernyataan yang rancu dan tidak benar sama sekali. Dzikir hingga fana adalah bentuk dzikir yang diamalkan oleh orang-orang shufi. Dari sisi maknanya saja sudah tidak benar, bagaimana tidak, lafadz "dzikir" artinya adalah ingat, sedangkan "fana" artinya hilang atau istilah yang lebih populer adalah "fly." Dzikir fana adalah dzikir yang menjadikan seseorang itu lupa dengan apa yang ia lakukan. Ini adalah amalan dan perbuatan yang tidak masuk diakal, tidak rasional, karena dzikir mestinya menjadikan seseorang ingat kepada Allah, bukan justru menjadikan ia lupa dengan-Nya. Na'udzubillah min dzalik.
Ini adalah kerancuan berfikir orang-orang shufi, dan yang pasti dzikir semacam ini tidak pernah ada dan tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam dan para sahabat beliau, demikian pula para tabiin dan tabiut tabiin serta para imam dari kalangan salafus shalih. Wallahu a'lam bish showab.
www.info-iman.blogspot.com
Cara Menghapus Dosa Zina Tangan, Mata, Dll
Tanya:
Bagaimana caranya menghapus dosa-dosa seperti zina tangan, mata, kaki dan pendengaran? (085269438XXX)
Jawab:
Dosa-dosa yang dilakukan oleh seorang hamba betapaun besar dan banyaknya dapat dihapuskan oleh Allah Ta'ala jika orang tersebut bertaubat dengan tulus kepada Allah Ta'ala.
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah Ta'ala dalam AL Qur'an:
وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَدُودٌ
"Dan beristighfarlah kalian kepada Rabb kalian kemudain bertaubatlah kalian kepada-Nya, sesungguhnya Rabb-ku Maha Mengasihi Lagi Maha Menyayangi." (Surat Hud : 90)
Juga disebutkan dalam ayat lain:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung." (Surat An Nuur : 31)
Adapun dalil dari hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam yang menyebutkan bahwa Allah Ta'ala akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya seberapun banyaknya adalah seperti dalam hadits qudsi yang disebutkan berikut ini :
يَا ابْنَ آدَمَ ! إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَ رَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَ لَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ ! لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَ لاَ أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ ! لَوْ أَنَّكَ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً .
"Wahai Anak Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa (memohon) dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni dosa-dosamu dan Aku tidak perduli (seberapa banyak dosamu). Wahai Anak Adam, seandainya dosa-dosamu banyak hingga mencapai langit yang tinggi kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni dosa-dosamu dan Aku tidak perduli (seberapa banyak dosamu). Wahai Anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi ini kemudian engkau menemui-Ku dalam keadaan tidak mensekutukan Aku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan membawa ampunan sepenuh bumi ini." (HR Imam Suyuthi dalam Jami As-Shaghir, dan dihasankan oleh Syeikh Albani dalam Shahihul Jami' No 4338)
Dan pertanda bahwa seseorang itu benar-benar bertaubat adalah dengan menyesali perbuatan dosanya, menghentikan dosa tersebut dan bertekad tidak akan mengulanginya dimasa yang akan datang. (Lihat kitab Uridu an Atuuba, syeikh Sholih Al Munajjid, edisi Indonesia Taubat, Jalan Pintas Menebus Dosa hal : 12).
Jadi kalau kita ingin bertaubat kepada Allah dari zina mata, tangan, kaki dan pendengaran adalah dengan menghentikan tindakan kemaksiatan yang dilakukan oleh organ-organ tubuh kita tersebut, kemudian beristighfar, memohon ampun kepada Allah atas semua kekhilafan kita selama ini. Lalu banyak-banyaklah beramal shalih dan menggunakan organ-organ tubuh tersebut untuk kebaikan dan hal-hal yang dicintai dan diridhai Allah Ta'ala. Dengan demikian mudah-mudahan dosa-dosa kita akan diampuni oleh Allah Ta'ala sebagaimana dijanjikan dalam al Qur'an dan hadits qudsi di atas. Wallahu A'lam Bis Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Status Adik Dari Saudara Sepersusuan
Bagaimana status adik perempuan yang kakaknya sepersusuan dengan ana, apakah haram dinikahi? (081394200XXX)
Jawab:
Jika kita memiliki saudara sepersusuan maka adik perempuan dari saudara sepersusuan kita hukumnya sama dengan adik kandung kita yakni ia termasuk wanita yang haram untuk dinikahi selamanya.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam :
يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ
"Kemahraman karena sepersusuan itu seperti kemahraman karena nasab (hubungan darah/ keturunan)." (HR. Muslim No 2621)
Dalam riwayat lain disebutkan:
إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا يَحْرُمُ مِنْ الْوِلَادَةِ
"Sesungguhnya persusuan itu menjadikan mahram seperti mahram yang disebabkan karena kelahiran (hubungan darah)." (HR. Bukhari No 2452)
Wallahu A'lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Cara Menjelaskan Niat Sholat Kepada Anak-anak
Bagaimana cara menjelaskan tentang niat sholat kepada anak-anak yang sudah terbiasa dengan ushalli? (085279822XXX)
Jawab:
Cara yang paling mudah untuk mengajarkan kepada anak-anak tentang niat sholat yang merupakan amalan hati dan tidak perlu dilafadzkan dengan lisan dengan menyebut ushalli dan seterusnya adalah dengan mengkiaskan niat akan sholat dengan niat jika kita akan melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya jika kita ingin makan, bukankah jika kita ingin makan kita tidak perlu melafadzkan niat dengan mengatakan aku niat makan siang dengan sepiring nasi ditambah dengan sayur bayam dan tempe goreng dan seterusnya. Maka sebagaimana jika kita akan makan siang pasti sudah kita niati sebelumnya meskipun kita tidak melafadzkannya, demikian pula jika kita ingin sholat, kitapun tidak perlu melafadzkannya dengan lisan, cukup keinginan hati kita untuk mengerjakan sholat itu dikatakan kita telah berniat untuk sholat.
Kemudian kita sampaikan kepada mereka bahwa dalam beribadah, seperti mengerjakan sholat kita harus mengikuti tata cara beribadahnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam, kita tidak boleh membuat tata cara beribadah sendiri, baik dengan menambahi atau mengurangi bentuk ibadah tersebut. Kalau perlu bacakan kepada mereka hadits-hadits yang memerintahkan agar kita meniru cara sholatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam dan hadits-hadits yang melarang kita membuat tata cara beribadah yang baru. Dan samapaikan juga bahwa melafadzkan niat dengan mengucapkan ushalli… dst termasuk amalan yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam. Wallahu A'lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Mengucapkan "Assalamu alaika"
Ada yang salam dengan mengucapkan "Assalamu 'alaika" lalu bagaimana kita menjawabnya? (Enin, Warna Asri)
Jawab:
Yang paling baik adalah mengucapkan salam dengan lafadz "Assalamualaikum" sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ;alaihi wasallam . Namun jika seseorang memberikan salam dengan mengucapkan "Assalamualaika" diperbolehkan.
Bedanya kalau yang pertama kata gantinya dalam bentuk jamak sedang kalau yang kedua kata gantinya dalam bentuk tunggal. Adapun jawabannya sama dengan lafadz yang sudah lazim atau menggunakan lafadz "Wa alaikassalam."
Wallahu Ta'ala A'lam
www.info-iman.blogspot.com