Bismillah..
Tulisanku kali ini terinspirasi dari sebuah dialog antara aku dengan dua orang temanku yang teramat aku sayang dan aku cinta karena Allah, insya Allah. Tentu telah maklum bagimu kawan bahwasanya kami adalah sekelompok akhowat yang karena beberapa kondisi tertentu bekerja di luar rumah, tepatnya di bagian lapangan sehingga kami harus melakukan tugas kami ke beberapa daerah yang terkadang atau bahkan hampir semuanya mencapai jarak safar.
Semoga pula engkau telah membaca catatanku lainnya yang berjudul ~Dengan Bertambahnya Ilmu Dan Pula Umur Kok Malah Semakin Lancang??!!~ atau ~Ya Allah, Pingit Sajalah Aku~ agar engkau tidak terlalu bingung dengan tulisan ini nantinya. Atau, jikapun engkau adalah bagian dari kawan-kawanku yang tidak mempunyai kelapangan waktu untuk membaca catatan-catatan tersebut maka akan aku copy paste kan saja separagraf isi pada tulisan itu yang ada hubungannya dengan topik pembicaraan kita kali ini, insya Allah.
Inilah dia paragraf itu, silakan kawan membacainya,
“Safar. Safar kadang menjadi suatu momok bagi seorang muslimah ketika hendak melakukan perjalanan yang memang telah mencapai jarak safar padahal tidak ada mahrom yang bisa menemani. Sehingga bagi perempuan-perempuan yang berkerja di luar rumah apalagi di bagian lapangan sepertiku ujian ini terasa teramat sangat berat. Ingin rasanya aku pergi sendiri ke daerah-daerah tempat aku bekerja yang kadang daerah-daerah tersebut bisa memanjakan mata dan menyegarkan fikiranku karena indahnya pemandangan di sana. Aduhai, kadang ingin pula aku berkunjung ke provinsi lain, bahkan ke pulau lain atas nama studi banding demi kelancaran pekerjaanku sembari mencuci mata di negeri orang dan mengunjungi teman-temanku di sana tentunya. Akan tetapi ancaman tentang ketidak-halalan perjalananku membuatku melemah mental dan menyurutkan langkahku.”
Dan inilah kisah selanjutnya,
Siang itu aku ditelfon oleh salah seorang teman akhowat seperjuanganku. Baru saja aku menjawab telfonnya dengan salam maka dia yang dari seberang sanapun langsung mengabarkan sesuatu kepadaku dengan nada yang cukup histeris, “Mba, coba tebak ada siapa disampingku saat ini??!!”
Mendengar pertanyaannya yang harus aku tebak itu sunggh aku hanya bengong, mana aku tahu siapa yang ada disampingnya lha dia berjarak dua pulau dari rumahku!! Belum sempat aku menjawab apa-apa dia sudah langsung nyerocos lagi, “Mbaaaa, disini ada fulanah!! Dia main kerumahku, kapan engkau pula akan main kesini Mba??”
Aku kaget tak alang kepalang mendengar kabar itu kemudian aku pula bertanya, “Lha, ada acara apa si fulanah di sana?”
“Kemarin dia studi banding ke provinsi x. Karena dari provinsi x itu hanya nyebrang laut saja menuju pulau dan rumahku maka selesai studi banding dia langsung kesini”, jawab temanku tadi.
“Oh ya!! Mana dia, aku mau ngomong.”, lanjutku sembari meminta agar hapemya diberikan kepada si fulanah yang sedang ‘main’ di rumahnya tersebut.
Beberapa detik setelah itu aku langsung mendengar suara si fulanah yang dimaksud. Setelah beruluk salam si fulanah berkata, “Mba e, aku sedang menikmati indahnya suasana di pulau si nenek peot. Indah banget Mba!! Coba aja sekarang Mba ada disini!!”
Interogasiku-pun dimulai, “Kamu sama siapa kesananya?? Sendiri kah?? Ada mahrom kah karena perjalananmu itu kan udah tak tanggung-tanggung jaraknya, dua pulau!!”
Dia yang dari seberang sana menjawab, “Aku tidak sendiri kok Mba. Aku sama teman-teman lainnya tapi perempuan semua. He he.”
Astagfirullah, langsung aku katakan kepadanya, “Bertambah shalihah kamu sekarang ya, Say?! Dengan bertambahnya ilmu dan pula umur kok kamu nekad safar sejauh itu tanpa mahrom? Jika memang studi bandingmu itu urgent sekali alias tidak bisa tidak dari atasan yang memberimu amanah untuk itu sehingga engkau ‘menganggapnya’ sebagai sebuah ‘keringanan’ bagimu maka kenapa engkau tidak langsung pulang sekiranya ia telah selesai?? Kenapa kamu kelayapan dulu ke sana?? Tak takutkah??”
Ah, aku memang telah terbiasa untuk menasihati teman-temanku itu dengan kata-kata ‘kasar’ alias blak-blakan begitu karena aku tahu kalau kami semua adalah tipe-tipe perempuan yang harus langsung ditembak karena tidak mempan jika hanya dielus-elusi saja. Kami tidak mau jika sekiranya ada diantara teman-teman kami yang dengan pongah menjadi bagian dari para muslimah-muslimah ‘pemberani’ dalam melanggar perintah Allah dan RasulNya sementara kami ada di samping mereka dan pula tahu kesalahan mereka.
Oo, aku juga tidak melulu berada di posisi sebagai juru tembak sebagaimana yang dimaksud sehingga seolah-olah aku adalah ketua geng diantara mereka, akan tetapi aku juga sangat sering menjadi korban tembakan beruntun lagi membabi buta dari mereka-mereka itu. Alhamdulillah, jika aku juga sedang kesabet syetan sehingga bertingkah agak aneh dan mereka mengetahui keanehanku tersebut maka mereka juga tidak segan-segan untuk menasihatiku sampai-sampai aku menangis dibuatnya.
Insya Allah kami memang telah bersepakat untuk saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran sehingga semoga dengan begitu Allah tidak hanya mengumpulkan kami di dunia nan fana ini saja akan tetapi juga mengumpulkan kami di surgaNya nan sungguh sangat mempesona, insya Allah. Aamiin.
Mendengar suara tembakanku yang cukup menggemuruh dan menghalilintar itu maka temanku yang dimaksud menjawab kalau sebenarnya dia tidak terlalu mengerti dengan hukum safar, tentang jarak minimal safar, tentang kedudukan mahrom dan apakah ia bisa digantikan oleh teman-teman serombongan saja ketika bersafar, dan tentang apakah kecanggihan teknologi dan alat transportasi dapat menjadi alasan pembenaran bagi seorang perempuan muslimah untuk bersafar-safar ria seorang diri.
Hm, akupun hanya diam mendengar jawaban polosnya dan berharap semoga pengakuannya itu bukanlah bagian dari ke-ngeyelan-nya untuk membela diri karena sepengetahuanku banyak diantara akhowat yang telah mengerti hukum safar akan tetapi dia tetap nekad melanggarnya demi sesuatu yang mereka anggap darurat padahal darurat yang mereka maksud itu hanyalah darurat berdasarkan nafsu mereka semata, bukan darurat menurut syari’at yang memang hendak bermaksud memudahkankannya. Wallahu a’lam.
Inilah kawan, inilah sebabnya mengapa aku berulang-ulang kali menasihati diriku sendiri untuk selanjutnya pula aku nasihatkan kepada kalian semuanya yaitu agar kita senantiasa meng-ilmu-i suatu perkara sebelum kita berkata-kata tentangnya dan pula sebelum kita mengamalkannya. Hal ini karena jika kita malah nekat melakukan suatu perkara tersebut terlebih dahulu baru kemudian kita ‘sedikit’ mempelajarinya maka seringkali kita hanya akan terjebak ke dalam golongan orang-orang yang hanya mencari pembenaran semata, bukannya kebenaran yang akan menyelematkan kita.
Dahulu aku juga tidak sepenuhnya mengerti tentang perkara-perkara yang berhubungan dengan safarnya seorang wanita muslimah ini sehingga akupun sangat sering melanggarnya. Akan tetapi atas petunjuk dari Allah sekarang akupun berusaha untuk mencari tahu dengan bertanya kepada beberapa orang ustadz serta dengan membaca beberapa penjelasan dari beliau-beliau tersebut di dalam blog-blog beliau. Semoga dengan begitu aku memiliki ilmu yang akan memagari diriku dan segala amalku, insya Allah. Aamiin.
Berikut aku ringkaskan sebagian diantaranya untuk kawan-kawanku yang kucinta karena Allah, insya Allah:
Pengertian Safar
Dalam bahasa Arab, safar berarti menempuh perjalanan. Adapun secara syariat safar adalah meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat. (Lisanul Arab, 6/277, Asy-Syarhul Mumti’, 4/490, Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472)
Batasan Safar
Para ulama berbeda pendapat tentang jarak perjalanan yang telah dianggap sebagai safar. Al-Imam Ash-Shan’ani menyebutkan ada sekitar 20 pendapat dalam permasalahan ini sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir. (Subulus Salam, 3/109)
Sedangkan riwayat yang paling kuat dalam permasalahan ini adalah hadits Anas:
كَانَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Adalah Rasulullah apabila beliau keluar sejauh 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat 2 rakaat (yakni mengqashar shalat).” (HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha, Bab Shalatul Musafirin wa Qashruha, no. 1116)
Dalam riwayat di atas tidak dipastikan apakah Rasulullah mengqashar shalat pada jarak 3 mil atau 3 farsakh. Sehingga riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah dalam membatasi jarak safar.
Adapun larangan Rasulullah terhadap seorang wanita yang safar sejauh perjalanan 3 hari tanpa mahram, maka tidak ada hujjah dalam hadits tersebut#. Karena hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa safar tidak terwujud atau terjadi kecuali dalam jarak perjalanan tiga hari. Hadits itu hanya menunjukkan larangan bagi seorang wanita untuk safar tanpa disertai mahram.
Hal ini ditunjukkan pula dalam riwayat yang lain dari sahabat Abu Sa’id dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim. Di dalamnya terdapat lafadz يَوْمَيْنِ (dua hari):
لاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ إِلاَّ وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama dua hari kecuali bersama suami atau mahramnya.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan dengan lafadz يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ (satu hari satu malam):
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا مَحْرَمٍ
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk safar sejauh perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Abu Hurairah)
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa safar tidak dibatasi dengan perjalanan tiga hari.
Ibnu Qudamah berkata: “Tidak ada dasar yang jelas untuk menentukan batasan jarak safar. Karena menetapkan batasan jarak safar membutuhkan nash (dalil) yang datang dari Allah atau Rasul-Nya.”
Sedangkan dalam Al-Qur’an# dan As-Sunnah#, safar disebutkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan batasan tertentu.
Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan: “Sesuatu yang mutlak tetap berada di atas kemutlakannya sampai datang sesuatu yang memberi batasan atasnya.”
Ketika tidak ada pembatasan jarak safar dalam syariat (nash), demikian pula tidak ada pembatasannya dalam bahasa Arab, maka pembatasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Selama masyarakat setempat menganggap/menyatakan perjalanan tersebut adalah safar, maka perjalanan itu adalah safar yang disyariatkan untuk mengqashar shalat dan berbuka puasa di dalamnya.
Pendapat yang paling kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat Ibnu Qudamah dan yang lainnya, bahwa batasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Al-’Allamah Ibnul Qayyim. Demikian pula dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahumullah. (lihat Al-Mughni 2/542-543, Al-Majmu’ 4/150, Majmu’Al-Fatawa 24/21, Asy-Syarhul Mumti’ 4/497, Al-Jam’u baina Ash-Shalataini fis Safar hal. 122). Wallahu a’lam.
Sumber: asysyariah.com
Kedudukan mahrom dalam safar bagi wanita muslimah
Adapun pendapat yang mensyaratkan mahram hanya ketika kondisi tidak aman, ini adalah pendapat yang lemah, sebab nash haditsnya bersifat umum tanpa dikaitkan dengan kondisi aman atau tidak aman. Lagi pula, di zaman dahulu tindak kriminal tidak separah sekarang, pun demikian Nabi tetap mensyaratkan mahram, nah apalagi pada zaman sekarang bukan??
Selanjutnya, pendapat yang membolehkan wanita terpercaya sebagai pengganti laki-laki mahrom adalah pendapat yang juga lemah. Hal ini karena sejak dahulu yang namanya safar biasa dilakukan secara berkafilah, artinya secara berombongan. Pun demikian, Nabi tetap mensyaratkan adanya laki-laki mahrom.
Dalam hal ini ada sebuah kaidah ushul fiqih yang diucapkan oleh Imam syafi’i, yang maknanya ialah “Bila ada dalil yang tidak merinci suatu keadaan, padahal keadaan tersebut memiliki beberapa kemungkinan berarti dalil tersebut berlaku umum dalam setiap keadaan yang mungkin terjadi menyertainya.”
Contoh: Suatu safar bisa saja dilakukan secara sendirian, atau bersama rombongan wanita yang terpercaya, atau bersama rombongan wanita yang sebagiannya disertai suami mereka dan sebagian lagi tidak (ini dari sisi jumlah musafir). Sedangkan dari sisi keamanan bisa saja safar tersebut terjadi pada saat kondisi aman atau malah pada saat kondisi tidak aman. Pun demikian, ketika ditanya tentang safarnya wanita Nabi tidak menanyakan atau merinci pertanyaan tersebut padahal boleh jadi si wanita tadi safar dalam kondisi aman, atau disertai rombongan wanita, atau kemungkinan-kemungkinan lain yang saya sebutkan tadi. Nah, dengan tidak bertanya dan merincinya Rasulullah ini menunjukkan bahwa jawaban beliau yang berbunyi “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk safar sejarak sehari semalam kecuali disertai mahram lelakinya” adalah berlaku umum dalam setiap kondisi. Wallahu a’lam.
Sumber : Jawaban dari seorang ustadz di blog beliau ketika menjawab pertanyaan seorang muslimah yang bertanya kepada beliau. basweidan.wordpress.com
Kemajuan tekhnologi dan alat transportasi apakah bisa menggugurkan adanya mahram bagi wanita muslimah ketika ia hendak bersafar?
Ada sebagian orang yang mengatakan bahwasanya larangan wanita safar tanpa mahram adalah apabila menggunakan angkutan zaman dulu, seperti onta, kuda, atau lainnya, yang mana wanita akan mengalami kesukaran karenanya, kesusahan dan menghabiskan waktu yang lama Adapun wanita yang bersafar menggunakan angkutan zaman sekarang, baik angkutan udara, darat atau laut, maka tidak termasuk keumuman hadits yang melarang wanita safar tanpa mahram.
Kami katakan untuk menjawab terhadap syubhat ini, yaitu: bahwa syariat dan agama kita sesuai untuk setiap zaman dan tempat- Alhamdulillah-. Maka sebagaimana syariat dan agama kita sesuai untuk zaman onta dan pedang, sesuai pula untuk zaman pesawat terbang, roket dan atom. Seandainya agama ini hanya sesuai pada satu zaman saja, seperti agama-agama terdahulu, pastilah Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus seorang nabi lagi setelah nabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam padahal pastilah Rabb kita tidak akan melakukan hal tersebut, karena Dia telah berfirman:
مَّاكَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi". [Al-Ahzab: 40]
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي
"Aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi setelahku". (HR. Muslim 1920, Abu Dawud 4252, Tirmidzi 2203]
Selanjutnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjuki umatnya kepada setiap kebaikan dan melarang mereka dari setiap keburukan serta mengabarkan kepada mereka berbagai cobaan dan bencana-bencana yang akan terjadi sampai hari kiamat. Seandainya syari’at, perintah dan larangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berlaku hanya berlaku untuk satu zaman, maka pastilah beliau sudah menjelaskannya.
وَمَاكَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا
"Tidaklah Rabbmu lupa". [Maryam: 64]
***
Begitulah kiranya penjelasan dari para ustadz dan ulama ahlus sunnah mengenai perkara urgent bagi perempuan-perempuan muslimah yang masih memiliki keimanan nan kuat bahwasanya setiap perintah dan larangan Allah ta’ala adalah yang terbaik untuk dunia dan akhiratnya, insya Allah.
Ah, untuk lebih membuat engkau faham mengenai perkara safar ini agar kedepannya engkau tidak lagi bermudah-mudah saja ketika bersafar-safar ria tanpa mahrom, maka berikut aku sertakan pula jawaban seorang ustadz ketika beliau ditanya mengenai, “Apakah diperbolehkan seorang wanita melakukan safar keluar kota dengan memakai motor atau mobil untuk tujuan menuntut ilmu tanpa disertai mahrom?”
Karena sejatinya jawaban dari ustadz tersebut berupa audio (yang menurutku adalah bagian dari sesi Tanya Jawab dalam sebuah ta’lim) yaitu jawaban dari Ustadz Abdullah Zaen, dan jikalah memang kawan sekalian ternyata juga tidak ada waktu untuk mendengarkan audio berdurasi satu setengah menit tersebut maka disini aku telah menuliskan jawaban tersebut untuk kawan, insya Allah.
Perlu dicatat bahwa yang kutulisankan di bawah ini telah sedikit akuedit karena jika aku tuliskan tok seperti kata-kata ustadz yang menyampaikan maka hasilnya kurang bagus ketika dibaca. Semoga kawan maklum jika antara bahasa lisan dan tulisan itu kadangkala akan sedikit berbeda karena dalam bahasa tulisan kita dituntut untuk memperhatikan ini dan itu dalam hal penulisannya. Wallahu a’lam.
Pertanyaan:
Apakah diperbolehkan seorang wanita melakukan safar keluar kota dengan memakai motor atau mobil untuk tujuan menuntut ilmu tanpa disertai mahrom?
Jawaban:
Nabi bersabda,
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
"Tidak halal (boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir safar sejauh sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram (yang menyertainya)". [Hadist Shahih Riwayat Imam Bukhari (Fathul Baari II/566), Muslim (hal. 487) dan Ahmad II/437; 445; 493; dan 506]
Nah, dalam hal ini kita tanyakan apakah safar ke luar kota yang dilakukan oleh perempuan tersebut termasuk kedalam kategori safar atau tidak? Jika berdasarkan kebiasaan adat istiadat masyarakat setempat atau berdasarkan ‘urf perjalanan itu termasuk safar maka tidak boleh. (Contoh: masyarakat Jabotabek terbiasa menjadikan perjalanannya sebagai perjalanan biasa yang bukan tergolong safar walaupun jaraknya cukup lumayan. Hal ini karena memang secara ‘urf masyarakat di sana menganggap itu bukan safar, maka jadilah hukum safar tidak berlaku padanya. Wallahu a’lam. editor)
Adapun jika safarnya si perempuan tersebut masih di dalam kota maka kami pernah bertanya langsung kepada Syaikh Ibrahim Bin Amir Ar Ruhaili, bahwasanya apabila safar di dalam kota tersebut memang tidak akan menimbulkan bahaya, seperti tidak akan disakiti dan tidak akan diganggu kehormatannya oleh laki-laki maka hal itu diperbolehkan. Akan tetapi, jika sebaliknya maka hal itu tetap dilarang.
Dalam hal ini, insya Allah masih banyak kaset rekaman yang bisa didengarkan oleh seorang perempuan muslimah yang ingin menuntut ilmu dan pula masih banyak kitab-kitab yang bisa dibacainya sehingga sebaiknya mereka tetap menuntut ilmu di dalam rumah-rumah mereka sendiri daripada melakukan safar tanpa mahram tersebut.
Sumber: muslim.or.id
***
Renungilah olehmu kawan, jika untuk kepentingan menuntut ilmu syar’i yang notabenenya adalah wajib bagi setiap muslim itu saja seorang muslimah tetap disarankan untuk menuntut ilmu dengan mendengarkan kaset-kaset rekaman dan membaca kitab-kitab yang ada daripada melakukan safar tanpa mahrom maka apalah lagi jika hanya untuk kepentingan pekerjaan dunia yang ujung-ujungnya adalah masalah rizki semata??
Renungilah olehmu kawan, jika untuk kepentingan menuntut ilmu syar’i yang notabenenya adalah wajib bagi setiap muslim itu saja seorang muslimah tetap disarankan untuk menuntut ilmu dengan mendengarkan kaset-kaset rekaman dan membaca kitab-kitab yang ada daripada melakukan safar tanpa mahrom maka apalah lagi jika hanya untuk kepentingan pekerjaan dunia yang ujung-ujungnya adalah masalah rizki semata??
Lagipula bukankah salah satu syarat seorang perempuan muslimah jika hendak bekerja di luar rumah adalah hendaklah ia memilih pekerjaan yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum syari’at sementara perkara tentang safar tanpa mahrom bagi seorang muslimah ini adalah perkara yang sangat besar, bukan perkara yang sepele saja??
Yakinlah engkau wahai saudari-saudariku bahwasanya Allah Maha Kaya dan telah mengatur kadar rizki kita masing-masing dengan sangat bijaksana sehingga selama kita bersedia menolong agamaNya maka kita tidak akan pernah disia-siakanNya, insya Allah. Jikalah gajah di hutan sana saja bisa sebegitu besar-besarnya karena rizki Allah maka apalah lagi dengan kita manusia-manusia ini, insya Allah Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan kita.
Wahai ukhty muslimah, tetaplah berpayah-payah menjadi perempuan-perempuan penggenggam bara api sejati daripada menjadi perempuan-perempuan yang dengan senang hati membakari dirinya sendiri dengan api karena perjalanan yang dilakukannya telah tidak halal lagi, sebab hukum safar itu telah dilanggari.
Jikapun engkau karena suatu dan beberapa keadaan tetap harus melakukan safar tak apalah engkau merogoh kocek lebih dalam agar mahrammu dapat mengikut serta bersamamu. Jika memang engkau benar-benar telah tidak mempunyai mahram yang bisa menemanimu maka bersegeralah mencari suami yang bisa melindungimu. (Nan terakhir semoga nyambung, he he).
***
02 September 2011
Bumi Allah,
Info-iman
***
Terkhusus untuk perempuan-perempuan yang tengah tertidur dan belum tersadarkan akan kesempurnaan Islam yang menjunjung tinggi dan memuliakan kaum kita dengan penjagaan oleh “bodyguard syar’i” dari kalangan laki-laki yang halal menemani. Ayo segera bangun dari tidur kita, dan mari segera kita sadarkan jiwa-jiwa dan pikiran kita setelahnya.
Peace untuk beberapa oknum yang merasa aku tampar dengan artikel ini. Percayalah, aku adalah salah seorang saudari kalian nan sangat menginginkan kebaikan untuk diri-diri kalian sebagaimana aku menginginkan kebaikan untuk diriku sendiri karena Allah, insya Allah.
www.info-iman.blogspot.com