seseorang disampingnya: “Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?” Orang itu
menjawab: “Ia lelaki golongan terhormat. Demi ALLAH, seandainya meminang
pastilah diterima dan bila memberi pembelaan pasti dikabulkan”. Lalu Rasulullah
SAW berdiam. Kemudian melintaslah seseorang. Rasulullah bertanya kepada orang
yang disampingnya tadi: “Bagaimana pandanganmu tentang orang ini?” Ia menjawab:
“Ia muslim yang faqir. Bila meminang pantas ditolak, bila memberi pembelaan takkan
didengar pembelaannya dan bila berbicara takkan didengar ucapannya”. Rasulullah
SAW bersabda : “Sepenuh bumi ia lebih baik daripada orang tadi (yang pertama)”
(HR Muslim).
Ketika Da’wah ini muncul dan eksis dalam waktu yang sangat singkat, ia telah
menyata-kan jatidirinya dengan jelas. Ia adalah kemenangan bagi siapa saja yang mau
berjuang, tidak peduli anak siapa dan berapa kekayaan bapaknya. Ia tidak peduli
penolakan Bani Israil paska nabi Musa AS ketika nabi mereka menyatakan bahwa
Thalut yang miskin telah dipilih ALLAH untuk menjadi pemimpin mereka
(Qs.2:247). Ia tidak juga meman-jakan ‘kesombongan intelektualisme’ kaum nabi
Nuh AS yang mencap Nuh hanya diikuti oleh ‘orang-orang rendah, yang dangkal
fikiran’ (aradziluna. badia’r ra’yi, tidak kritis, Qs. 11:27). Bahkan ia pun tak sungkansungkan
menegur keras nabinya karena ‘logika prioritas’ yang dibangunnya
menyebabkan Abdullah bin Ummi Maktum ‘nyaris tertinggal’. Alqur-an
menyebutkan “Ia telah bermasam muka dan berpaling, ketika datang kepadanya
hamba yang buta……” (Qs. 80:1-2).
Siapa yang tak kenal keutamaan keempat khalifah dan beberapa tokoh legendaris di
ka-langan para sahabat? Namun, carilah dimana nama mereka terpampang dan bukan
hanya sifat, selain Zaid, RA (Qs.33:37) ? ‘Kelas’ inilah yang diakui sebagai kekuatan
yang dengan mereka “kalian diberi rezki dan dimenangkan”. (HR Bukhari)
Pungguk Mengaku Duduki Bulan Demi kepentingan mereka, bahkan Dzulqarnain
mengoreksi salah kaprah yang merugikan mereka sendiri. “… mereka berkata:
“Wahai Dzulqarnain, maukah Engkau kami beri upeti, agar mau membangunkan
tembok (benteng) yang dapat melindungi kami dari (serangan) mereka?” Ia
menjawab; “Kedudukan yang ALLAH telah berikan kepadaku itu lebih baik.
Cukuplah kalian membantuku dengan kekuatan, aku bangunkan benteng yang kuat,
memisahkan antara kamu dan mereka” (Qs.18:94-95).
Tanpa pembinaan dan penataan yang benar kelas ini akan menjadi kekuatan destruktif
yang dikendalikan tangan-tangan berdarah. Dendam kemiskinan kerap membuat
orang melahap fatamorgana. Mereka melahap tuduhan bahwa masyarakat tak peduli
kepada derita mereka, lalu menyambut lambaian para penipu yang akan menunggangi
mereka. Kalau para kader hanya mencemooh dari jauh kelicikan para tengkulak yang
memperdagangkan kemiskinan dan melahap begitu banyak hak masyarakat miskin,
tetaplah roda kemenangan berpihak kepada angkara murka.
Banyak orang kaya baru (OKB) berlomba-lomba memamerkan kekayaan mereka dan
po-litisi dari partai-partai baru yang mencaci-maki partai tiran dan korup sebelumnya.
Tetapi ajaib, mereka menjadi begitu norak, kemaruk dan lebih ‘ndeso’ dari para
pendahulu.. Orang kaya merambat tak perlu waktu adaptasi. Orang kaya mendadak
benar-benar perlu belajar membawa diri. Tetapi orang kaya turunan dan orang kaya
mendadak sama-sama perlu memahami dan mengingat kembali kemiskinan, betapa
pun pahit.
Kader yang menyikapi jabatan yang diterimanya lebih sebagai amanah dari pada
kehormatan, akan dengan cepat belajar menyesuaikan diri dan memahahami
karakteristik tugas dan tantangannya. Bawahan yang lebih pandai, diakuinya dan
didorongnya untuk cepat menggapai posisi yang lebih sesuai. Mereka berendah hati,
karena memang tak takut jatuh dengan merendah. Sebaliknya mereka yang bagaikan
senior perpeloncoan yang kerap bermasalah dalam IP mereka, sering menampakkan
gejala ketakutan ‘disaingi’.
Perasaan berkasta tinggi. Melecehkan orang yang mereka anggap berkasta lebih
rendah. Menelikung siapa saja yang di luar koneksi. Mengkoptasi semua demi keharuman citra diri.
Memecahkan masalah dengan menyalahkan orang lain. Melapor
segalanya beres tanpa ada yang dibereskan.
Hal paling berat bagi kader yang berorientasi kekuasaan atau dunia ialah usaha untuk
mendengarkan dan memahami. Mereka lebih suka didengar, difahami dan dimaklumi.
Tak ada kemajuan dalam prestasi kecuali seni membuat-buat alasan. Karena otak tak
bekerja kerap, mereka lebih suka menggunakan lutut. Muncullah kader-kader ‘gagah’
dengan mengimitasi tampilan serdadu, bukan meningkatkan etos, disiplin dan
kehormatan jundi sejati. “Army Look” adalah kebanggaan mereka yang ingin diterima
tanpa harus mengajukan dalil, yang penting orang takut dan nurut.
Kader Sejati Pepatah lama menyadarkan kita betapa pentingnya mendengar.
“Ta’allam husna’l Istima’ kama tata’allam husna’l Hadits” (Belajarlah cakap
mendengar sebagaimana engkau be-lajar untuk pandai bercakap).
Para ‘penjaja’ Fasad telah begitu lihai menggeser cita-rasa masyarakat. Mereka
membentuk identitas ABG dengan segala asesori termasuk bahasa. Mereka bentuk
mental attitude-nya sendiri dan bahasa gaulnya sendiri. Seluruh sasaran bahasa adalah
penjungkirbalikan kemapanan. Dan agama adalah bagian yang dianggap kemapanan.
Bahasa fasad lebih fasih dari pada bahasa Islah. Ada bahasa gaul untuk remaja, ada
bahasa gaul untuk tua-bangka dan ada bahasa gaul untuk preman, morfinis dan
kriminal lainnya.
“’Ala Man Taqra’ Zabura ?!” (Kepada siapa Anda Bacakan Zabur?), adalah sindiran
tajam bagi da’i yang asyik menyusun kata dan menikmatinya sendiri, tanpa peduli
apakah komunikannya dapat mengerti. Dalam pertarungan memperebutkan
pendukung, ada kekuatan berhasil meyakinkan calon pendukungnya dengan idiomidiom
tipuan yang memukau rakyat. Ada yang dengan jujur meneriakkan visi dan
misi mereka, tetapi tidak cukup sampai ke telinga batin mereka.
Banyak kondisi menipu (Zhuruf Muzayyafah), yang kerap membuahkan kekecewaan.
Sesudah iman, ikhlas dan pengenalan konsep serta medan, kemampuan transformasi
fikrah dan menangkap gejolak arus bawah mutlak perlu dipertajam.
Pesan-pesan penyampaian dengan berbagai pendekatan, patut dibiasakan; 1. Khathibu’n Nas ala
Qadri uqulihim (Serulah masyarakat sesuai dengan kadar akal mereka), 2. Khathibu’n
Nas bilughati qaumihim (Serulah masyarakat dengan bahasa kaum mereka), 3.
Anzilu’n Nas manazilahum (Dudukkan masyarakat menurut kedudukan mereka).
Karena da’wah bukanlah obral candu, perlu diuji ulang, cukup tajamkah telinga ini
men-dengar krucuk perut yang hanya berisi angin. Cukup sensitifkah mata
memandang seorang akh yang membisu dalam kelaparannya yang sangat dan
isterinya yang gemetar menanti rizki yang datang dengan sabar. Masihkah ada waktu
muhasabah sebelum tidur, menyusuri wajah demi wajah, adakah yang belum
tersantuni. Atau menelisik kader yang hanya diberi sanksi, tanpa seorang pun tahu,
tiga hari ini ia tak punya tenaga karena sama sekali tak dapat makanan.
Ini mozaik kehidupan kita yang harus ditata menjadi serasi dan harmoni. Malang
nasib dia yang mati rasa, nyinyir menyindir kesengsaraan saudara sebagai buah
kemalasan, seraya menghabiskan bertalam-talam makanan yang tak dapat lagi
memenuhi rongga perutnya. Bagaimana ia dapat memahami gelombang besar rakyat
jelata yang bagai singa terluka, menanti kapan saatnya menerkam dengan penuh
murka.[]
www.info-iman.blogspot.com