Jakarta (voa-islam)- Begitu bom Solo meledak, tuntutan agar Undang-undang (RUU) tentang Intelijen Negara disahkan menjadi undang-undang kiat menguat. Badan Intelejen Negara (BIN) mendesak DPR segera mengesahkan RUU itu, karena intelijen butuh payung hukum untuk mengatasi kasus terorisme. Semua fraksi di DPR telah sepakat dengan RUU inisiatif DPR tersebut. Kabarnya, RUU itu akan disahkan melalui sidang paripurna DPR hari ini.
Seperti diketahui,dibalik desakan pengesahan RUU Intelijen ini, banyak pihak khawatir terhadap isinya. Sebagian lain, menilai RUU ini tidak perlu, karena fungsi dan peran intelijen yang diharapkan dalam RUU tersebut telah ada dalam pranata hukum dan perundang-undangan yang ada. Hukum-hukum yang ada dianggap sudah mencukupi, guna mencegah dan menindak para pelaku teror.
Toh, fakta menunjukkan banyak kasus terorisme, bisa dicegah dengan menggunakan aturan yang sudah ada, misalnya UU tentang terorisme. Selain itu, pasal-pasal yang ada justru bertentangan dengan hukum yang ada dan hak asasi manusia. Tapi sayangnya, suara mereka yang kontra kalah jika dibandingkan dengan keinginan pemerintah dan DPR.
Niat membuat UU Intelijen yang sudah digagas pemerintah 10 tahun lalu akan menjadi kenyataan. Berbagai pasal yang dianggap karet, dalam draft terakhir, ternyata belum banyak berubah. UU itu nantinya masih sangat memungkinan bagi pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang dan represif terhadap pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.
Sebagai contoh, frase “ancaman nasional” dan “keamanan nasional”, definisinya tidak jelas dan multitafsir. Begitu juga “lawan dalam negeri”, siapa dan kriterianya tidak jelas. Tolok ukur yang dapat mengancam kepentingan dan keamanan nasional sangat lentur untuk menarget seseorang jadi sasaran kegiatan intelijen. Kelenturan RUU Intelijen itu bisa untuk disalahgunakan demi kepentingan politik kekuasaan atau kelompok tertentu atau membungkam sikap kritis dan kritik atas kebijakan penguasa.
Bisa dipastikan, UU Intelijen akan berpotensi merugikan rakyat. Khususnya umat Islam, terutama aktivis Islam yang sangat berpeluang menjadi korban. Boleh jadi, upaya penegakan ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan al-Hadits, akan dipersepsikan sebagai ancaman, demi kepentingan asing dan pihak tertentu.
Disamping itu, elemen masyarakat yang bersuara kritis, begitu juga dengan para jurnalis pun akan bisa menjadi korban dengan dalih mengancam keamanan atau kepentingan nasional yang ditafsirkan secara objektif oleh penguasa. Ini berbahaya.
Gerilya BIN
Hanya berselang empat hari setelah Bom Solo, DPR menyetujui kenaikan anggaran BIN sebesar Rp. 200 milyar. Awalnya Rp. 1,2 trilyun menjadi Rp. 1,4 trilyun.
Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq mengatakan, kenaikan Rp. 200 miliar untuk BIN tidak terlalu besar. Mahfudz yang merupakan fraksi PKS itu menjelaskan, Komisi I mendorong agar BIN bisa meningkatkan kemampouan dan kinerja bidang intelijen.
Bukan hanya BIN yang mendapatkan “suntikan” tambahan anggaran. BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) pun kecipratan. Dalam rapat tertutup dengan Komisi III DPR, BNPT mengajukan anggaran sebesar Rp. 126 milyar untuk proyek deradikalisasi. Sumber di DPR menyebutkan, melalui proyek ini BNPT akan menargetkan 800 ribu masjid dan 40 ribu pesdantren sebagai mitra BNPT. Malah, BNPT sudah menandatangani kerjasama dengan beberapa ormas Islam untuk proyek deradikalisasi.
Kepala BIN Sutanto rupanya tidak hanya mendorong DPR agar segera mengesahkan RUU Intelijen menjadi UU. Lebih dari itu, mantan Kapolri ini berharap, agar UU Terorisme No. 15 tahun 2003 bisa segera direvisi dengan memasukkan pasal mengenai informasi intelijen.
Desakan BIN kemudian mendapat dukungan dari Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar dengan mengatakan, dengan adanya payung hukum, intelijen bisa bekerja lebih baik. Dukunga lain juga datang dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang dipimpin oleh Ansyad Mbai. (Desastian/MU)
www.info-iman.blogspot.com