Jakarta (voa-islam) – Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Muhammad Mahendradatta menilai, isi draft RUU Intelijen tumpang tindih. Ini merupakan bentuk arogansi dan akan menciptkan kekuasaan tanpa batas yang justru bertentangan dengan demokrasi. Jelas, RUU Intelijen tidak mencerminkan negara yang demokratis. Katanya demokrasi, tetapi malah membuat UU yang membolehkan menangkap orang tanpa pengadilan.
“Dalam RUU ini pengadilannya ditutup, orang bisa menangkap siapa saja tanpa pengadilan. Ini artinya, demokrasi yang mereka agung-agungkan itu Cuma lips service alias omong kosong,” tandasnya.
Mahendradatta mengatakan, tidak perlu ada UU Intelijen yang memberikan wewenang kepada intel untuk menangkap, menyadap atau membunuh.
“Intel dimana-mana di seluh dunia, setiap aksinya selalu rahasia. Bila sampai ketahuan, maka itu kebodohan intelijen. Bahkan ada satu negara yang menyatakan, kalau kamu sampai ketahuan, maka negara akan menolak keterlibatan I dalam operasi seorang intel. Kerja intel itu seperti siluman, Lha, ini malah mau dipamer, diundang-undangkan. Ini jelas proyek saja,” ujarnya.
Mahendradatta meminta BIN agar membaca lagi UU Terorisme. Tidak ada lagi UU yang lebih keas melebihi UU tersebut saat ini. Pasalnya pun pasal karet, sehingga Ustadz Abu Bakar Ba’asyir bisa terjerat. Dengan UU Terorisme saja, aparat sudah bisa main comot sana-sini semaunya. Tapi setelah Ustadz Abu ditangkap, tetap saja bom marak dimana-mana.
“Jadi apa gunanya Ustadz Abu ditangkap? Katanya dituduh sebagai otak? Kalau dianggap otaknya sudah ditangkap, seharusnya kan selesai. Tapi, nyatanya, pengeboman itu justri banyak terjadi disaat Ustadz Abu berada di dalam tahanan. Sebagai contoh, Ustadz Abu dituduh sebagai otaknya bom Bali. Begitu Ustadz Abu ditangkap, pemboman bukannya selesai, tapi tetap terus terjadi," paparnya.
Pasal Represif
Sementara itu, anggota DPD RI AM Fatwa berpendapat, RUU Intelijen yang sekarang sudah bersifat kompromi. Sejak Sembilan tahun lalu RUU ini menjadi pembahasam di DPR. Pasca Bom Bali I September 2002, pemerintah mengajukan RUU ini, namun ditolak oleh DPR karena dianggap mengandung banyak unsure-unsur represif. Belakangan, DPR malah mengajukan RUU ini. Melalui kompromi-kompromi, sudah banyak perubahan dalam draf yang akan disahkan sekarang ini.
Saat ini, masih ada sekitar 25 persen pasal yang represif. Namun, pasal represif itu saya kira sudah dihilangkan dari RUU ini. Cuma yang perlu diantisipasi, pelaksanaan RUU ini masih orang-orang yang berparadigma Orde Baru. Sebaik apapun UU-nya, kalau para pelaksana intelijen di lapangan itu produk lama, agak sulit meninggalkan kebiasaan lamanya.
Dikatakan AM Fatwa, intelijen saat ini masih banyak dari hasil didikan paradigm intelijen Orde Baru. “Saya sendiri termasuk korban produk intelijen lama. Saya ditangkap sewenang-wenang tanpa surat penangkapan. Saya sampai pernah diadili dan dituntut penjara seumur hidup, lantas dijatuhi hukuman penjara selama 18 tahun. Barulah setelah mau disidangkan, dibuatkan surat penangkapan dengan tanggal dimundurkan. Semua itu sulit saya tentang, karena posisi saya lemah sebagai seorang tahanan,” kenangnya.
Makanya, ketika eksekusi, AM Fatwa tida mau tanda tangan, Itu merupakan sebagai bentuk perlawanan. Tapi, eksekusinya tetap saja jalan. Akibat kerja intelijen di masa Orde Baru dengan paradigma otoriter, banyak korban yang meninggal di dalam tahanan.
RUU Untuk Kepentingan Penguasa
Sementara itu, dikatakan Ketua Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia Farid Wadjdi, RUU Intelijen tidak memiliki definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan frase ancaman nasional dan keamanan nasiobal. Pengertiannya sangat kabut dan multitafsir. Begitu juga, “lawan dalam negeri”, siapa dan kriterianya juga tidak jelas.
Tentunya banyak pasal-pasal lain, terutama yang berkaitan dengan struktur badan intelijen, mekanisme control terhadap lembaga ini, hal-hal yang berkaitan dengan penangkapan dan penyadapan dan lain-lain. Intinya, RUU Intelijen ini akan menjadi pintu bagi kembalinya rezim yang represif yang menggunakan intelijen untuk kepentingan penguasa.
“Pasal-pasal yang mengandung pasal karet dijadikan alat politik penguasa (political hammer). Jadi, bila penguasa melihat ada oposisi atau pihak yang berseberangan secara politk dengan penguasa, maka penguasa bisa mempersepsikan bahwa mereka itu adalah ancaman.”
Disamping itu, pasal karet ini juga bisa digunakan untuk membungkam upaya penegakan syariah Islam. Lalu dengan seenaknya pemerintah menuduh orang-orang yang berjuang menegakkan syariat Islam sebagai teroris. Anehnya, gerakan separatis di Papua, misalnya tidak tertulis sebagai ancaman dalam RUU Intelijen ini. (Desastian)
www.info-iman.blogspot.com