Kitab al-Umm dari satu sisi merupakan kitab fiqih terbesar dan tiada tandingnya pada masanya. Kitab ini membahas berbagai persoalan lengkap dengan dalil-dalilnya, baik dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Isi kitab ini adalah sebagai bukti keluasan ilmu al-Syafi’i dalam bidang fiqih. Sedangkan dari sisi yang lain, ia juga dianggap sebagai kitab hadits kerana dalil-dalil hadits yang ia kemukakan menggunakan jalur periwayatan tersendiri sebagaimana layaknya kitab-kitab hadits.
Di kalangan ulama terdapat keraguan dan perbedaan pendapat, apakah kitab tersebut ditulis oleh al-Syafi’i sendiri atau karya para muridnya. Menurut Ahmad Amin, al-Umm bukanlah karya langsung dari al-Syafi’i, namun merupakan karya muridnya yang menerima dari al-Syafi’i dengan jalan didiktekan [ imlak ]. Sedangkan menurut Abu Zahrah dalam al-Umm ada tulisan al-Syafi’i sendiri tetapi ada juga tulisan dari muridnya, bahkan ada pula yang berpendapat bahwa dalam al-Umm ada juga tulisan orang ketiga selain al-Syafi’i dan al-Rabi’ [ muridnya ]. Namun menurut riwayat yang masyhur diceritakan bahwa kitab Al-Umm adalah catatan peribadi al-Syafi’i, karena setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya ditulis, dijawab dan didiktekan kepada murid-muridnya. Oleh karena itu, ada pula yang mengatakan bahwa kitab itu adalah karya dua orang muridnya iaitu Imam al-Buwaiti dan Imam al-Rabi’. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Thalib al-Makki. Tetapi pendapat ini menyalahi ijma’ ulama yang mengatakan, bahwa kitab ini adalah karya asli al-Syafi’i yang memuatkan pemikirannya dalam bidang hukum.
Dalam menguraikan keterangan-keterangannya, imam al-Syafi’i kadang-kadang memakai metod soal-jawab, dalam erti menghuraikan pendapat pihak lain yang diadukan sebagai sebuah pertanyaan, kemudian ditanggapinya dalam bentuk jawaban. Hal itu nampak umpamanya ketika ia menolak penggunaan istihsan. Pada kesempatan yang lain ia menggunakan metod eskplanasi dalam arti menguraikan secara panjang lebar suatu masalah dengan memberikan penetapan hukumnya berdasarkan prinsip-prinsip yang dianutnya tanpa ada sebuah pertanyaan, hal seperti ini nampak dalam penjelasannya mengenai persoalan-persoalan pernikahan.
Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang terdapat kitab-kitab lain yang juga dibukukan dalam satu kitab al-Umm, diantaranya adalah:
- Al-Musnad, berisi sanad imam asy-Syafi’i dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru imam asy-Syafi’i
- Khilafu Malik, berisi bantahan-bantahan terhadap imam Malik, gurunya
- Al-Radd ‘Ala Muhammad ibn Hasan, beri pembelaannya terhadap mahdzab ulama Madinah dari serangan imam Muhammad ibn Hasan, murid Abu Hanifah
- Al-Khilafu Ali wa Ibn Mas’ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang berbeda antara pendapat Abu Hanifah dan ulama Irak dengan Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud
- Sair al-Auza’i, berisi pembelaannya atas imam al-Auza’i dari serangan imam Abu Yusuf
- Ikhtilaf al-Hadits, berisi keterangan dan penjelasan asy-Syafi’i atas hadits-hadits yang tampak bertentangan namun kitab ini juga ada yang dicetak tersendiri
- Jima’ al-‘Ilmi, berisi pembelaan imam asy-Syafi’i terhadap Sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Kedudukan Kitab al-Umm Berbanding Kutub al-Tis’ah
al-Syafi’i tidak hanya berperanan dalam bidang fiqih dan ushul fiqih saja, tetapi ia juga berperanan dalam bidang hadits dan ilmu hadits. Salah satu kitab hadits yang masyhur pada abad kedua Hijriyah adalah kitab Musnad al-Syafi’i. Kitab ini tidak disusun oleh al-Syafi’i sendiri, melainkan oleh pengikutnya, yaitu al-A’sam yang menerima riwayat dari Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, dari asy-Syafi’i. Hadits-hadits yang terdapat dalam Musnad al-Syafi’i merupakan kumpulan dari hadits-hadits yang terdapat dalam kitabnya yang lain iaitu al-Umm. Dalam bab jual beli, misalnya terdapat 48 buah hadits.
Dengan kegigihannya dalam membela hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai hujjah, al-Syafi’i berhasil menegakkan autoriti hadits dan menjelaskan kedudukan dan fungsi hadits Nabi secara jelas dengan alasan-alasan yang mapan. Dengan pembelaannya itu, ia memperoleh pengakuan dari masyarakat sebagai Nasir al-Sunnah. Bahkan ia dipandang sebagai ahli hukum Islam pertama yang berhasil merumuskan konsep ilmu hadits.
Hadits Nabi menurut al-Syafi’i bersifat mengikat dan harus ditaati sebagaimana al-Qur’an, walaupun hadits itu adalah hadits Ahad. Bagi ulama sebelumnya, konsep hadits tidak hanya disandarkan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahkan juga pendapat sahabat, fatwa tabi’in, serta ijma ahli Madinah dapat dimasukkan sebagai hadits. Bagi al-Syafi’i, pendapat sahabat dan fatwa tabi’in hanya boleh diterima sebagai dasar hukum sekunder, dan bukan sebagai sumber primer. Sedangkan hadits yang boleh diterima sebagai dasar hukum primer hanyalah yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
www.info-iman.blogspot.com