Dalam al-Qur’an al-Karim Allah SWT telah berfirman:
وما يعلم تأويلـه إلا اللـه والراسخون في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولو الألباب
Artinya: “Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “kami keriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semua itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal”. (QS. Ali Imron; 7). Sebagian ulama’ mengatakan bahwa ta’wil ada dua macam:
1. Hakikat sesuatu dan kejadian yang semestinya.
Dalam firman Allah SWT tentang kisah Nabi Yusuf as:
) وقال يا أبت هذا تأويل رءيي من قبل قد جعلـها ربي حقا (
Artinya; “Dan berkata Yusuf: “Wahai ayahku, inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan”. (QS. Yusuf; 100).
Jika yang dikehendaki demikian, maka pada ayat di atas, waqaf-nya adalah pada lafadz jalalah (Allah), sebab tidak ada yang mengerti hakikat ayat mutasyabihat melainkan Allah SWT. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya mengimani ayat tersebut.
2. Hanya sekedar manfsiri, menjelaskan atau memberi arti yang lebih mudah difahami (tidak memastikan bahwa artinya adalah demikian), sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:
) نبئنا بتأويلـه (
Artinya: “ Berikanlah kepada kami penafsirannya”.(QS. Yusuf; 36).
Maka, waqaf ayat diatas adalah pada “war-raasikhuna fil-‘ilmi”, sebab mereka mengetahui, dan memahami apa yang dikhithabkan pada mereka.22)
Dan sayyidina Ibnu Abbas pernah mengatakan: “Sayalah yang termasuk ar-rasikhuna fil ‘ilmi yang mengerti penta’wilannya”. Pernyataan beliau ini benar, karena Nabi Muhammad SAW pernah berdo’an untuknya:
اللـهم فقهه في الدين وعلمه التأويل. [رواه البخاري وغيره].
Artinya: “Ya Allah, pandaikanlah dia dalam urusan agama, dan ajarkanlah dia ta’wil”.
Dan do’a Rasulullah SAW tidak tertolak. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana ta’wil yang dibenarkan?, Ta’wil yang dibenarkan adalah:
صرف اللفظ عن الاحتمال الراجح إلى الاحتمال المرجوح لدلالة توجب ذلك مع موافقة ما دلت عليه نصوص الكتاب والسنة.
Artinya: “Mengalihkan lafadz dari kemungkinan arti rajih menuju sesuatu kemungkinan arti marjuh karena dalil yang menghendaki demikian serta harus sesuai dengan yang dikehendaki dari nash kitab al-Qur’an dan as-Sunnah”.
Disamping itu perlu dimengerti bahwa: bila ta’wil dijadikan sebagai aqidah, maka itu adalah bid’ah. Namun bila hanya untuk memberikan penjelasan pada orang awam tentang arti yang mudah dipahami atau menolak faham ahli bid’ah yang menyatakan ”ketasybihan” maupun “kejisiman” dengan ayat mutasyabihat, maka ta’wil diperkenankan. Sebagaimana hal ini yang dilakukan oleh mutakallimin ahlussunnah dari golongan fuqaha’ dan mutakallimin. Dan mereka tetap mengimani bahwa arti sebenarnya atau hakikatnya hanyalah Allah SWT yang mengetahui. Sebagaimana pada keterangan yang lalu yang kami nukil dari kitab “as-Salafiyah” karya as-Syaikh Sa’id Ramdlan al-Buthi.
www.info-iman.blogspot.com