KH. Zuhrul Anam Hisyam |
(Pengasuh pondok pesantren ATTAUJIEH AL – ISLAMY Banyumas, Purwokerto)
Ketika Rosululloh SAW menyatakan “umatku akan mengalami perpecahan menjadi 73 golongan”, sebetulnya Beliau sedang mengeluarkan sebuah warning terhadap umatnya sepeninggal Beliau untuk selalu menapaki jalan lurus yang telah di lalui oleh Beliau dan para Sahabatnya yang akan mengantarkan ke gerbang Surga.
Fakta sejarah kemudian membenarkan hadits shohih di atas yang di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang agaknya kurang menarik bagi sebagian orang. Seperti selalu di ulang-ulang oleh para sejarawan, bahwa pada paruh abad pertama hijriyyah telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan dalam sejarah umat Islam.
Pertama, kenyataan bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh jadi tidak pernah di inginkan oleh mereka sendiri, di mana satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain, tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini yang terjadi dua kali, di kenal dengan sebutan fitnah kubro “cobaan besar”. Perkembangan.
Kedua adalah masuknya bangsa Persi dan sekitarnya ke dalam Islam berikut pemikiran dan keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam benak masing-masing.
Dengan kedua perkembangan itulah muncul pertanyaan-pertanyaan theologis yang sebagian darinya berangkat dari persoalan politik pasca Rosul. Di mulai dari kebijakan-kebijakan politik Utsman RA, yang berujung kepada terbunuhnya Beliau, pengangkatan Ali sebagai kholifah yang mendapat tantangan sangat keras dari Mu’awiyyah Gubernur Damaskus dan kontak fisik yang berakibat jatuhnya banyak korban dan banyak hal yang tragis dan menyedihkan.
Pesoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik di atas inilah yang akhirnya membawa pada timbulnya persoalan-persoalan theologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Khowarij memandang bahwa Ali, Mu’awiyyah, Umar ibnu Al Ash, Abu musa Al Asy’ari, dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena Al Qur’an menyatakan :
dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah. keempat pemuka Islam di atas telah di pandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam, yaitu menilai mereka harus di bunuh. Maka kaum khowarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang di bebani membunuh Ali bin Abi Tholib yang berhasil dalam tugasnya.
Lambat laun kaum khowarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang di pandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan Al Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu Murtakib al kabair juga di pandang kafir.
Persoalan orang berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan theologi selanjutnya dalam Islam. Persoalanya ialah masihkah ia bisa di pandang orang mu’min atau ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu ?.
Persoalan ini menimbulakan tiga aliran theologi dalam Islam. Pertama, aliran khowarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad oleh karena itu ia wajib di bunuh. Aliran kedua, ialah murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mu’min dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang di lakukanya, terserah kepada Alloh SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
Kaum mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mu’min. orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara kedua posisi mu’min dan kafir yang terkenal dengan istilah : Al-Manzilah Bainal-Manzilatain. Dalam pada itu timbul pula dua aliran dalam theologi yang terkenal dengan nama : Al-Qodariyyah dan Al-Jabariyyah. Menurut Al-Qodariyyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatanya dalam istilah inggrisnya Free Will dan Free Act. Al-Jabariyyah, sebalikny berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatanya. Manusia dalam segala tingkah lakunya, menurut faham Jabariyyah bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak gerik manusia di tentukan oleh Tuhan. Faham inilah yang di sebut faham perdisnuation atau fatalism.
Selanjutnya, kaum mu’tazilah dengan di terjemahkanya buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan yunani ke dalam bahasa Arab, terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan yunani klasik. Pemakaian rasio atau akal ini di bawa oleh kaum mu’tazilah ke dalam lapangan theologi Islam dam dengan demikian theologi mereka mengambil corak theologi liberal yang cenderung mengunggulkan otoritas “akal” (nalar) atas “naqli”, suatu pendirian yang oleh mayoritas muslim di pandang sangat membahayakan keutuhan doktrin. Tak pelak, aliran mu’tazilah yang bercorak rasional ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam terutama golongan Hanabilah (pengikut-pengikut madzhab ibnu Hanbal).
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran theologi tradisional yang disusun oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (935 M.). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang Mu’tazily, tetapi menurut riwayat setelah beliau melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad SAW sebagai ajaran-ajaran yang sesat, Al Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran-ajaran baru yang kemudian terkenal dangan theologi Al Asy’ariyyah.
Disamping aliran Asy’ariyyah, di Samarkand muncul pula suatu aliran yang bermaksud menentang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu Manshur Al Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama Al Maturidiyyah.
Selain dari Abu Al Hasan Asy’ari dan Abu Manshur Al Maturidi ada lagi seorang theolog dari Mesir yang juga bermaksud untuk menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Theolog ini bernama Al Tohawi (w. 933 M) dan sebagaimana halnya dengan Al Maturidi ia juga pengikut dari Abu Hanifah (Imam dari Hanafi dalam lapangan hukum Islam). Tetapi ajaran-ajaran Al Tohawi tidak menjelma sebagai aliran theologi dalam Islam.
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khowarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Al Maturidiyyah dan jangan dilupakan aliran Syi’ah yang sebenarnya pada awalnya sebagaimana halnya khowarij lebih tepat disebut sebagai madzhab politik daripada madzhab theologi, yang justru sekarang sudah mulai mewabah di Indonesia. Aliran-aliran khowarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang adalah aliran-aliran Asy’ariyyah, Maturidiyyah keduanya disebut Ahlu Sunnah Wal Jamaah dan Syi’ah ditambah yang hadir belakangan Wahabiyyah, Ahmadiyyah, dan Baha’iyyah.
Dengan masuknya kembali paham rasioanalisme kedunia Islam yang kalau dahulu masuknya itu melalui kebudayaan Yunani Klasik, akan tetapi sekarang melalui kebudayaan barat modern maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali dikalangan kaum intelektual Islam yang mendapat pendidikan barat. Kata neomu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam. Sebetulnya kalau agak cermat mengamati fenomena banyaknya ragam kelompok yang mengatasnamakan Islam dewasa ini di dunia Islam, kita, meski secara samar bisa menangkap benang merah atau pertalian nasab teologis antara sebagian kelompok-kelompok yang dewasa ini dengan kelompok-kelompok tersebut diatas atau paling tidak ada kesamaan dalam pola-pola tertentu.
Fakta sejarah kemudian membenarkan hadits shohih di atas yang di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang agaknya kurang menarik bagi sebagian orang. Seperti selalu di ulang-ulang oleh para sejarawan, bahwa pada paruh abad pertama hijriyyah telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan dalam sejarah umat Islam.
Pertama, kenyataan bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh jadi tidak pernah di inginkan oleh mereka sendiri, di mana satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain, tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini yang terjadi dua kali, di kenal dengan sebutan fitnah kubro “cobaan besar”. Perkembangan.
Kedua adalah masuknya bangsa Persi dan sekitarnya ke dalam Islam berikut pemikiran dan keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam benak masing-masing.
Dengan kedua perkembangan itulah muncul pertanyaan-pertanyaan theologis yang sebagian darinya berangkat dari persoalan politik pasca Rosul. Di mulai dari kebijakan-kebijakan politik Utsman RA, yang berujung kepada terbunuhnya Beliau, pengangkatan Ali sebagai kholifah yang mendapat tantangan sangat keras dari Mu’awiyyah Gubernur Damaskus dan kontak fisik yang berakibat jatuhnya banyak korban dan banyak hal yang tragis dan menyedihkan.
Pesoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik di atas inilah yang akhirnya membawa pada timbulnya persoalan-persoalan theologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Khowarij memandang bahwa Ali, Mu’awiyyah, Umar ibnu Al Ash, Abu musa Al Asy’ari, dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena Al Qur’an menyatakan :
ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah. keempat pemuka Islam di atas telah di pandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam, yaitu menilai mereka harus di bunuh. Maka kaum khowarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang di bebani membunuh Ali bin Abi Tholib yang berhasil dalam tugasnya.
Lambat laun kaum khowarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang di pandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan Al Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu Murtakib al kabair juga di pandang kafir.
Persoalan orang berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan theologi selanjutnya dalam Islam. Persoalanya ialah masihkah ia bisa di pandang orang mu’min atau ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu ?.
Persoalan ini menimbulakan tiga aliran theologi dalam Islam. Pertama, aliran khowarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad oleh karena itu ia wajib di bunuh. Aliran kedua, ialah murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mu’min dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang di lakukanya, terserah kepada Alloh SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
Kaum mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mu’min. orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara kedua posisi mu’min dan kafir yang terkenal dengan istilah : Al-Manzilah Bainal-Manzilatain. Dalam pada itu timbul pula dua aliran dalam theologi yang terkenal dengan nama : Al-Qodariyyah dan Al-Jabariyyah. Menurut Al-Qodariyyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatanya dalam istilah inggrisnya Free Will dan Free Act. Al-Jabariyyah, sebalikny berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatanya. Manusia dalam segala tingkah lakunya, menurut faham Jabariyyah bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak gerik manusia di tentukan oleh Tuhan. Faham inilah yang di sebut faham perdisnuation atau fatalism.
Selanjutnya, kaum mu’tazilah dengan di terjemahkanya buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan yunani ke dalam bahasa Arab, terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan yunani klasik. Pemakaian rasio atau akal ini di bawa oleh kaum mu’tazilah ke dalam lapangan theologi Islam dam dengan demikian theologi mereka mengambil corak theologi liberal yang cenderung mengunggulkan otoritas “akal” (nalar) atas “naqli”, suatu pendirian yang oleh mayoritas muslim di pandang sangat membahayakan keutuhan doktrin. Tak pelak, aliran mu’tazilah yang bercorak rasional ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam terutama golongan Hanabilah (pengikut-pengikut madzhab ibnu Hanbal).
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran theologi tradisional yang disusun oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (935 M.). Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang Mu’tazily, tetapi menurut riwayat setelah beliau melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad SAW sebagai ajaran-ajaran yang sesat, Al Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran-ajaran baru yang kemudian terkenal dangan theologi Al Asy’ariyyah.
Disamping aliran Asy’ariyyah, di Samarkand muncul pula suatu aliran yang bermaksud menentang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu Manshur Al Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama Al Maturidiyyah.
Selain dari Abu Al Hasan Asy’ari dan Abu Manshur Al Maturidi ada lagi seorang theolog dari Mesir yang juga bermaksud untuk menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Theolog ini bernama Al Tohawi (w. 933 M) dan sebagaimana halnya dengan Al Maturidi ia juga pengikut dari Abu Hanifah (Imam dari Hanafi dalam lapangan hukum Islam). Tetapi ajaran-ajaran Al Tohawi tidak menjelma sebagai aliran theologi dalam Islam.
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khowarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Al Maturidiyyah dan jangan dilupakan aliran Syi’ah yang sebenarnya pada awalnya sebagaimana halnya khowarij lebih tepat disebut sebagai madzhab politik daripada madzhab theologi, yang justru sekarang sudah mulai mewabah di Indonesia. Aliran-aliran khowarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang adalah aliran-aliran Asy’ariyyah, Maturidiyyah keduanya disebut Ahlu Sunnah Wal Jamaah dan Syi’ah ditambah yang hadir belakangan Wahabiyyah, Ahmadiyyah, dan Baha’iyyah.
Dengan masuknya kembali paham rasioanalisme kedunia Islam yang kalau dahulu masuknya itu melalui kebudayaan Yunani Klasik, akan tetapi sekarang melalui kebudayaan barat modern maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali dikalangan kaum intelektual Islam yang mendapat pendidikan barat. Kata neomu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam. Sebetulnya kalau agak cermat mengamati fenomena banyaknya ragam kelompok yang mengatasnamakan Islam dewasa ini di dunia Islam, kita, meski secara samar bisa menangkap benang merah atau pertalian nasab teologis antara sebagian kelompok-kelompok yang dewasa ini dengan kelompok-kelompok tersebut diatas atau paling tidak ada kesamaan dalam pola-pola tertentu.
www.info-iman.blogspot.com