ASWAJA |
Suatu penyebab utama atas dipergunakannya ilmu ushuluddin dalam aqidah-aqidah Islam adalah meluasnya wilayah Islam dan masuknya pemeluk baru dari segala penjuru dunia yang bermacam-macam bentuk agama dan keyakinan serta budayanya, sehingga menimbulkan pengaruh yang sangat besar. Yang paling menonjol dan perlu mendapatkan perhatian serius adalah munculnya segolongan besar kafir-kafir zindiq dan pemikir-pemikir modern (tokoh pembaharu) yang hobinya memperdebatkan ayat-ayat mutayabihat serta mengidolakan retorika perdebatan dan sistematika hujjah hanya untuk ajang perdebatan dan adu pikiran. Maksudnya tak lain adalah menebarkan kerancuan dikalangan umat Islam, memasukkan keraguan di hati mereka atau dianggapnya sebagai methode praktis untuk mencetuskan berbagai macam ilmu dan indotrinasi aqidah.
Keadaan kritis tersebut sudah pasti membangkitkan Ulama-us Sunnah yang berkhidmah pada Islam dan menolak berbagai tipudaya mereka, untuk membuka pintu perdebatan dengan mereka. membicarakan masalah-masalah syubhat (samar) dan rumit yang mereka permasalahkan dengan sistimatika yang mereka kenal dan methode-methode yang mereka biasakan. Hal ini sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.
Keadaan kritis tersebut sudah pasti membangkitkan Ulama-us Sunnah yang berkhidmah pada Islam dan menolak berbagai tipudaya mereka, untuk membuka pintu perdebatan dengan mereka. membicarakan masalah-masalah syubhat (samar) dan rumit yang mereka permasalahkan dengan sistimatika yang mereka kenal dan methode-methode yang mereka biasakan. Hal ini sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.
) ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلـهم بالتي هي أحسن إن ربك أعلم بمن ضل عن سبيلـه وهو أعلم بالمهتدين (. (النحل:125).
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An-Nahl; 125).
Dan, berkecimpung dalam hal itu sudah pasti harus berbuka untuk memperdebatkan nash-nash mutasyabihat yang semula mereka patih dan tidak mempertahankannya disamping itu juga harus meneliti dasar-dasar ideologi mereka serta mengerahkan semaksimal mungkin dalil-dalil aqli. Padahal sebelumnya mereka tak pernah melakukan itu semua manakala mereka berhadapan dengan dalil-dalil Nash, tanpa menambah ataupun mengurangi.
Selanjutnya, demi membentengi hakikat-hakikat aqidah Islam dengan mengconter pemikiran sesat ahlul bid’ah, mereka terpaksa menggunakan berbagai methode dan analogi-analogi logis yang telah digunakan oleh para ahlul bid’ah tersebut.
Inilah sesuatu yang kelihatan bid’ah yang muncul dalam sejarah kehidupan umat Islam, yang pada mulanya tidak pernah melakukan dan tak terbersitkan sedikitpun di hati mereka. dan manakala mereka menguraikan sisi-sisi perdebatan tersebut, hatinya merasa gelisah dan resah untuk membicarakannya. Dalam keadaan tertekan dan hati-hati sekali, mereka terpaksa mengikuti arus. Mereka harus diam ataupun merasakan pahit getirnya perdebatan.
Itulah keadaan mereka pada saat itu. Mayoritas tabi’in yang pernah bergaul akrab dengan Sahabat terpaksa menempuh jalan lain dengan lapang dada membuka perdebatan dalam berbagai masalah aqidah serta muqodimah-muqoddimahnya. Sedangkan sebelum itu mereka menundukkan kepala dan pikiran dimi taslim dan patuh menerima aqidah tersebut, tanpa membahas ataupun memperdebatkannya.
Maka, pada saat itulah mereka menemukan berbagai permasalahan rumit yang membutuhkan pemikiran dan pembahasan, seperti ayat-ayat mutasyabihat, qodlo qodar, terciptanya perbuatan manusia, dan kehidupan yang kedua kali (ba’ts); apakah sesudah punahnya segala sesuatu, atau setelan hancurnya, dan ataukah sesudah ceraiberainya. Dalam hal-hal semacam itulah, terpaksa mereka harus melakukan perdebatan dengan para ahli bid’ah yang selalu membuat pemikiran yang sesat dan membingungkan. Dan terpaksa juga harus mempergunakan analogi-analogi logis dan argumen-argumen manthiqiyyah yang dibiasakan dan difahami oleh kaum sesat tersebut.
Bukankah Sayyidina Ali juga pernah mengutus Abdullah bin Abbas untuk berdebat dengan salah sau kaum Khowarij dalam masalah syubhat dan keyakinan-keyakinannya yang menyimpang?, Bukankah Abdullah bin Mas’ud juga pernah berdebat dengan Yazid bin Umairah dalam masalah iman dan kemusykilan-kemusykilan yang berkisar seputarnya?.
Imam Hasan Basri yang merupakan senior para tabi’in juga pernah membicarakan panjang lebar masalah-masalah aqidah, memperdebat-kannya, dan menolak syubhat-syubhatnya ahlul bid’ah dari aqidah tersebut. Kajian-kajiannya juga dipenuhi penentangan-penentangan pada pemikiran sesatnya ahlul bid’ah, sebagaimana surat yang beliau kirimkan ke perbagai daerah yang dipenuhi permasalahan-permasalahan ilmu kalam dan kemusykilan-kemusykilan aqidah.
Beliau, setiap waktu selalu memperingatkan tindakan-tindakan yang mesti dilakukan olehnya dan para ahlul ilmi yang setara dengannya untuk mengkaji masalah-masalah tersebut yang lepas dari pantauan orang sebelumnya karena belum muncul bid’ah-bid’ah yang mendorong untuk diperhatikan dan diberi jawaban.
Dalam suratnya yang dikirimkan pada Kholifah Abdul Malik bin Marwan (sebagian riwayat mengatakan pada Jendral Hajjaj at-Tsaqofi), beliau membahas tentang masalah qodlo’ dan qodar. Didalamnya disebutkan: “memang, tak ada salafpun yang menyebutkan dan memperdebatkan hal itu. Sebab, mereka pada saat itu seia sekata. Dan mengapa kami membahasnya adalah karena orang-orang telah menimbulkan kemunkarannya. Dan perlu dimengerti, bahwa setiap orang-orang baru menciptakan ‘kemodelan-kemodelan’ dalam agamanya, maka Allah SWT mengajarkan cara baru pada hamba-Nya yang berpegangan pada kitab-Nya untuk memberantas bid’ah-bid’ah dan memperingatkan mereka dari kerusakan-kerusakan”.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Imam Hasan Bashri adalah termasuk seniornya tokoh Tabi’in yang diikuti dan diambil fatwanya. Maka, jangan salah sangka bahwa perkataanya yang berbunya: “tidak ada seorang salafpun yang membicarakannya”, bertentangan dengan kesalafan beliau. Sehingga digambarkan bahwa periode Imam Hasan Bashri sudah tidak masuk kategori salaf. Sebab, Imam Hasan Bashri dalam mengartikan salaf, hanyalah secara nisbi. Dan memang, masa Imam Hasan Bashri terbilang kholaf bila dibandingkan para pendahulunya. Bahkan tokoh junior par Sahabat juga dibilang kholaf bila dinisbatkan dengan para tokoh senior yang mendahuluinya. Intinya, Imam Hasan tetap termasuk a-immatus Salaf. Dan pernyataan beliau bahwa orang sebelumnya adalah salaf, itu beliau pandang secara nisbi (relatif).
Dan yang penting untuk diperhatikan adalah: dengan adanya gerakan-gerakan dan pemikiran bid’ah yang bertebaran sehingga membutuhkan perhatian serius dengan perbagai pengkajian dan pengerahan pemikiran semaksimal mungkin, maka lahirlah dua kelompok Ahlissunnah.
Kelompok pertama adalah: orang-orang yang menerima tersebut (methode pemikiran baru), mempraktekannya dan menyeru orang lain untuk menggunakannya untuk menolak dan membasmi ahlul bid’ah. Sedang kelompok kedua justru sebaliknya. Menjauhinya, risih dengannya dan mengumumkan kemunkaran hal itu. Sehingga mengharamkan berdekatan dengan para ahlul bid’ah atau menanggapi pemikiran nyleneh mereka. karena bila ditanggapi ataupun meladeni perdebatan dengan mereka malah menyebabkan mereka ge-er karena omongannya mendapatkan perhatian khusus. Dan akibatnya mereka malah bertambah tidak karuan. Kelompok ini tetap konsekwen dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits. Mengukuhi segala sesuatu yang telah dilakukan oleh para sahabat. Yakni, mencukupkan diri dengan dalil-dalil syar’I tanpa mengolah maupun menggunakan dalil-dalil aqli.
Kedua kelompok tersebut terbilang ahlussunnah (salafus sholeh) yang telah diisyaratkan oleh nabi Muhammad SAW atas kemuliaannya dan mengajurkan untuk diikuti. Maka, adalah salah bila memprioritaskan salah satu dari keduanya dengan predikat ahlussunnah, sementara yang lain tidak. Jadi, ahlul hadits maupun ahlul kalam sunni tetap terbilang kelompok ahlissunnah.7)
www.info-iman.blogspot.com