Diantara sebab-sebab timbulnya berbagai aliran bid’ah adalah masuknya filsafat Yunani. Banyak kitab-kitab Yunani dan berbagai aqidah watsaniyyah yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab pada zaman khalifah al-Ma’mun. akhirnya, tidak sedikit umat Islam yang mengkaji dan menelaahnya, sehingga tersesat dan terperdaya dengan methode pembahasannya, sampai dijadikan standar untuk mengukur “hakikat-hakikat syar’I”. Dan kandungan-kandungan al-Qur’an dan Hadits dita’wilnya sesuai dengan methode filsafat Yunani tersebut. Akibatnya, kerancuan dan kerusakan aqidah semakin banyak dan ‘melebar’.
Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa manakala kitab-kitab falsafat Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Arab, dan para Ahlulkalam mengambil serta mengolahnya untuk mengkaji sifat-sifat ilahiyyah yang menjadikan sesatnya mereka, maka ummat Islam akhirnya pecah menjadi berbagai golongan. Sebagian ada yang menerimanya, sebagian ada yang mengagungkannya dan ada lagi yang menggunakan untuk menimbang dan menghakimi dasar-dasar dan aqidah mereka semula al-Qur’an dan Hadits.
Maka jikalau dasar mereka sesuai dengan filsafat Yunani tersebut mereka terima, sedang yang bertentangan mereka tolak. Sebab itulah timbul kerusakan besar. Tidak sedikit hadits dan wahyu Allah yang digeser oleh mereka. Baik digugurkan maupun diartikan sesuai dengan pemikiran mereka yang telah teracuni oleh filsafat.47)
Imam as-Syihristani juga telah menyatakan bahwa para tokoh Mu’tazilah dengan methode pikir para filosof. Seperti Abu Hudzail ‘Allaf, seorang gembong besar Mu’tazilah menyocoki para filosof bahwa Allah SWT mengetahui dengan ilmu-Nya dan ilmu-Nya adalah dzat-Nya. Demikian pula mentaqdirkan dengan qudrah-Nya dan qudrah-Nya adalah dzat-Nya, serta menciptakan kalam.
Setelah itu kemudian diteruskan oleh Ibrahim bin Sayyar an-Nadham pada masa kekhalifahan al—Mu’tashim. An-Nadham malah lebih keterlaluan menetapkan faham falasifah dan lepas dari madzhab salaf dengan menciptakan pemikiran bid’ah tentang qodar. Dan itupun diteruskan oleh para pengikutnya. 48)
Dari keterangan ringkas ini, nampaklah betapa jauhnya para tokoh Mu’tazilah telah terjerumus dan terpengaruh dengan filsafat yang justru menjauhkan dari ajaran-ajaran sunnah Rosulullah SAW.
Dan belum lama ini juga ada seorang doktor alumni Timur tengah jurusan filsafat yang sering nongol dalam acara-acara kaum Syi’ah untuk dimanfaatkan pemikiran-pemikirannya yang terpengaruh dengan pemikiran filsafat, sehingga menafsiri sebuah ayat dari surat al-Hajj yang berbunyi :
) وليعلم الذين أوتوا العلم أنه الحق من ربك فيؤمن به فتخبت لـه قلوبهم وإن اللـه لـهاد الذين آمنوا إلى صراط مستقيم (
Artinya; “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur’an itulah hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya. Dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus”. (QS. Al-Hajj; 54).
Bahwa ayat tersebut adalah sebagai dalil kebenaran ilmu filsafat / logika manthiq. Sehingga untuk mengimani segala sesuatu yang datang dari Kitab maupun sunnah harus dipertimbangkan dengan rasio. Jika cocok maka bisa diterima dan hati jadi mantap serta yakin. Tetapi kalau tidak, maka perlu diragukan kebenarannya, seperti hadits “sataftariqu Ummati” yang tidak rasionalis menurut anggapannya.
Pernyataan tersebut jelas salah dan sama dengan perilaku ahli bid’ah yang telah termakan filsafat, sebagaimana keterangan diatas. Dan penafsiran tersebut adalah suatu tindakan lancang dan sekehendaknya sediri, tanpa berpedoman pada sabda Rasulullah SAW maupun aqwal para Sahabat, Tabi’in dan Ulama’ Salaf. Karena penafsiran sebenarnya adalah :
- أي وليعلم الذين أوتوا العلم النافع الذين يفرقون به بين الحق والباطل والمؤمنون باللـه ورسولـه أن ما أوحينا إليك والحق من ربك الذي أنزلـه بعلمه وحفظه وحرصه أن يختلط به غيره. (تفسير ابن كثير؛ جـ:3/ صـ:230).
- (وليعلم الذين أوتوا العلم) أي التوحيد والقرآن والتصديق بنسخ اللـه ما يشاء (تفسير الخازن؛ جـ:3/ صـ:295).
-(وليعلم الذين أوتوا العلم ) باللـه وبدينه وبالآية . (هامش تفسير الخازن؛ جـ:3/ صـ:295).
Jadi yang dimaksudkan denga al-‘ilmu dalam ayat ini adalah ilmu pemahaman al-Qur’an yang mencakup ilmu taukhid, ke-ma’shum-an Nabi Muhammad SAW dan ilmu nasikh mansukh dan para Sahabatnya dikatakan bodoh?, sebab, tidak pernah menggunakannya sama sekali, baik untuk hal-hal biasa maupun untuk menetapkan aqidah. Dan mau dikemanakan ayat Allah SWT?:
) اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا (
Artinya; “pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah kuridloi Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Mai’idah: 03).
Apakah ayat Allah ini harus ditolak? Dita’wil yang ‘macam-macam’ sesuai selera yang kotor?, dimana kesempurnaan Islam yang telah ditetapkan Allah bila ilmu kalam, mantiq dan filsafat tidak berlaku dizaman Nabi dan para Sahabatnya?, siapa yang berani menyatakan bahwa Nabi dan para Sahabat tidak termasuk Ahlil ‘Ilmi atau lemah keyakinannya karena tidak memiliki secuilpun dari pengetahuan tersebut?, dan siapa lagi yang berani mengatakan bahwa Allah SWT tidak adil karena memberikan filsafat pada orang-orang kafir sehingga mereka kuat keyakinannya dan tidak mewahyukannya pada Nabi-Nya sehingga tidak mengolah dalil yang rasionalis, sistematis dan methodologis?.
Itulah seuatu bentuk rentetan kerusakan pikiran jika filsafat, ilmu kalam dan mantiq di ‘dewa-dewakan’ sehingga mengesampingkan kitab Allah dan Sunnah Rasulillah SAW serta jama’ah Sahabatnya. www.info-iman.blogspot.com