Oleh: Teungku Azhar, Lc.
Di antara karakteristik Akidah Islam adalah Muwafaqatun Lil Fithrah Al-Qawimah wal ‘Aqlis Salim yaitu: Akidah Islam selaras dengan fitrah manusia dan akal sehat. Karena akidah ahlussunnah wal jamaah tegak di atas prinsip ittiba’ dan iqtida` serta ihtida` (mencari hidayah hanya dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya, serta apa yang ditempuh oleh generasi salaf terdahulu. Dari mereka tertuang siraman fitrah dan akal sehat. Adapun selain akidah Islam, maka hanya berupa keraguan yang justru membutakan fitrah dan membingungkan akal sehat.
Di antara karakteristik Akidah Islam adalah Muwafaqatun Lil Fithrah Al-Qawimah wal ‘Aqlis Salim yaitu: Akidah Islam selaras dengan fitrah manusia dan akal sehat. Karena akidah ahlussunnah wal jamaah tegak di atas prinsip ittiba’ dan iqtida` serta ihtida` (mencari hidayah hanya dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya, serta apa yang ditempuh oleh generasi salaf terdahulu. Dari mereka tertuang siraman fitrah dan akal sehat. Adapun selain akidah Islam, maka hanya berupa keraguan yang justru membutakan fitrah dan membingungkan akal sehat.
Dengan Akal Kita Dapat Mengenal Allah
Adapun manfaat dari buah fikiran adalah untuk mengetahui Allah, nama, serta sifat-sifat-Nya yang sempurna dan agung. Dengannya orang-orang mukmin beriman kepada kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, pertemuan dengan-Nya, dan para Malaikat-Nya. Dengan buah fikiran, dapat diketahui ayat-ayat Rububiyah-Nya, dalil-dalil Wahdaniah-Nya, serta mukjizat para Rasul-Nya.
Dengan buah fikiran pula, perintah-perintah Allah dapat dilaksanakan dan larangan-larangan-Nya bisa ditinggalkan.
Dengan buah fikiran pula, perintah-perintah Allah dapat dilaksanakan dan larangan-larangan-Nya bisa ditinggalkan.
Umar bin Khaththab –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Orang yang berakal itu bukanlah yang bisa membedakan antara yang baik dari yang buruk, akan tetapi yang bisa mengetahui mana yang lebih baik dari dua keburukan.”
Ummul Mukminin ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata, “Berbahagialah orang yang menjadikan Allah sebagai akalnya.”
Shahabat Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Setelah salah seorang anak Kisra dilahirkan, maka dipanggillah beberapa orang guru, lalu bayi itu pun diserahkan kepada salah seorang di antara mereka.” Kisra pun bertanya kepadanya, “Apakah yang paling baik pada diri anak ini?” Guru itu menjawab, “Akal yang lahir bersamanya.” Kisra bertanya lagi, “Bila tidak ada akal itu?” Guru itu menjawab, “Adab yang baik untuk bergaul dengan manusia.” Kisra bertanya lagi, “Bila tidak ada adab itu?” Sang guru menjawab, “Maka akan ada petir yang menyambar dirinya?”
Ummul Mukminin ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata, “Berbahagialah orang yang menjadikan Allah sebagai akalnya.”
Shahabat Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Setelah salah seorang anak Kisra dilahirkan, maka dipanggillah beberapa orang guru, lalu bayi itu pun diserahkan kepada salah seorang di antara mereka.” Kisra pun bertanya kepadanya, “Apakah yang paling baik pada diri anak ini?” Guru itu menjawab, “Akal yang lahir bersamanya.” Kisra bertanya lagi, “Bila tidak ada akal itu?” Guru itu menjawab, “Adab yang baik untuk bergaul dengan manusia.” Kisra bertanya lagi, “Bila tidak ada adab itu?” Sang guru menjawab, “Maka akan ada petir yang menyambar dirinya?”
Sebagian ahli hikmah berkata, “Barangsiapa yang akalnya bukan sesuatu yang paling dominant pada dirinya, maka dia akan mati dan binasa karena sesuatu yang dicintainya.”
Yusuf bin Asbath –rahimahullah- berkata, “Akal adalah pelita yang tidak tampak, perhiasan yang tidak kelihatan, pengatur anggota badan dan pengawas seluruh urusan hamba. Tidak akan baik hidup ini kecuali dengannya dan tidak berjalan dengan normal semua urusan kecuali dibangun di atas akal tersebut.”
Abdullah bin Mubarah –rahimahullah- pernah ditanya, “Apa sesuatu yang paling mulia yang diberikan kepada seorang hamba setelah Islam?” Beliau menjawab, “Naluri akal.” Lalu ditanya lagi, “Jika tidak demikian?” Beliau menjawab, “Adab yang baik.” Lalu ditanya lagi, “Jika tidak demikian?” Beliau menjawab, “Teman yang baik yang bisa dimintai pendapatnya.” Lalu ditanya lagi, “Jika tidak demikian?” Beliau menjawab, “Banyak diam.” Lalu ditanya lagi, “Jika tidak demikian?” Beliau menjawab, “Kematian yang disegerakan.”
Yusuf bin Asbath –rahimahullah- berkata, “Akal adalah pelita yang tidak tampak, perhiasan yang tidak kelihatan, pengatur anggota badan dan pengawas seluruh urusan hamba. Tidak akan baik hidup ini kecuali dengannya dan tidak berjalan dengan normal semua urusan kecuali dibangun di atas akal tersebut.”
Abdullah bin Mubarah –rahimahullah- pernah ditanya, “Apa sesuatu yang paling mulia yang diberikan kepada seorang hamba setelah Islam?” Beliau menjawab, “Naluri akal.” Lalu ditanya lagi, “Jika tidak demikian?” Beliau menjawab, “Adab yang baik.” Lalu ditanya lagi, “Jika tidak demikian?” Beliau menjawab, “Teman yang baik yang bisa dimintai pendapatnya.” Lalu ditanya lagi, “Jika tidak demikian?” Beliau menjawab, “Banyak diam.” Lalu ditanya lagi, “Jika tidak demikian?” Beliau menjawab, “Kematian yang disegerakan.”
Islam Agama Rasional dan Irasional
Ada berbagai macam pendekatan terhadap Islam. Salah satunya adalah pendekatan rasional. Pendekatan ini adalah salah satu pendekatan yang universal. Tentu saja karena fitrahnya setiap manusia memiliki akal untuk berpikir. Meski seseorang awalnya menerima Islam dengan jalur lain, suatu saat ia akan menanyakan secara rasional, mengapa saya shalat misalnya.
Rasional menurut Kamus Bahasa Indonesia artinya “menurut pikiran dan pertimbangan dengan alasan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal; sesuai dengan akal sehat”. Atau sederhananya rasional itu “logis” atau “masuk akal” menurut Tesaurus Bahasa Indonesia.
Setidaknya ada dua konsep yang dimaksud dengan Islam sebagai agama yang rasional. Pertama, konsep yang biasa beredar di masyarakat. Menurut pengertian ini, yang dimaksud Islam agama rasional adalah Islam memiliki pembenaran “rasional” atas aturan-aturannya bahkan aqidahnya. Yang kedua, Islam merupakan agama yang rasional karena dasar-dasarnya dibangun atas “hujjah-hujjah” yang dapat dibuktikan secara rasional.
Rasional menurut Kamus Bahasa Indonesia artinya “menurut pikiran dan pertimbangan dengan alasan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal; sesuai dengan akal sehat”. Atau sederhananya rasional itu “logis” atau “masuk akal” menurut Tesaurus Bahasa Indonesia.
Setidaknya ada dua konsep yang dimaksud dengan Islam sebagai agama yang rasional. Pertama, konsep yang biasa beredar di masyarakat. Menurut pengertian ini, yang dimaksud Islam agama rasional adalah Islam memiliki pembenaran “rasional” atas aturan-aturannya bahkan aqidahnya. Yang kedua, Islam merupakan agama yang rasional karena dasar-dasarnya dibangun atas “hujjah-hujjah” yang dapat dibuktikan secara rasional.
Konsep pertama
Secara sederhana, yang dimaksud pembenaran “rasional” adalah ada manfaatnya. Aturan yang ada dalam Islam pasti mengandung manfaat. Dengan konsep ini, ramailah orang mencari-cari apa manfaat dari suatu perintah atau larangan Allah. Fenomena dari pendapat ini bisa kita lihat dari ramainya buku tentang manfaat shalat, wudhu, shaum ditinjau dari berbagai segi seperti kesehatan atau psikologis.
Secara sederhana, yang dimaksud pembenaran “rasional” adalah ada manfaatnya. Aturan yang ada dalam Islam pasti mengandung manfaat. Dengan konsep ini, ramailah orang mencari-cari apa manfaat dari suatu perintah atau larangan Allah. Fenomena dari pendapat ini bisa kita lihat dari ramainya buku tentang manfaat shalat, wudhu, shaum ditinjau dari berbagai segi seperti kesehatan atau psikologis.
Orang yang memegang konsep pertama ini berpendapat bahwa pada masa lalu ilmu pengetahuan belum berkembang sehingga orang-orang tidak perlu dijelaskan manfaat-manfaatnya. Sedangkan di zaman sekarang orang-orang tidak akan menerima Islam bila tidak dijelaskan manfaat-manfaatnya, khususnya secara ilmiah.
Zakir Naik dalam bukunya “Answers to Non Muslims’ Common Questions About Islam” selain menyampaikan larangan Allah dalam Al-Qur’an juga menjelaskan panjang lebar mengenai keburukan dari alkohol. Zakir, yang merupakan seorang dokter, menjelaskan 19 penyakit yang biasa diderita pecandu alkohol. Beliau juga menjelaskan adanya keterkaitan antara mabuk dengan tindak kejahatan seperti perzinaan, pemerkosaan, incest bahkan AIDS.
Islam tidak melarang kita mencari tahu apa manfaat suatu aturan. Islam juga tidak melarang kita mencari korelasi antara suatu aturan dengan penyelesaian suatu permasalahan. Dalam bahasa ushul fiqih, kedua hal ini disebut sebagai hikmah. Bila disikapi sebagai hikmah tentu menambah keimanan kita kepada Allah. Hanya saja kedua hal itu bukan alasan adanya aturan itu. Bahkan kita tidak akan pernah tahu alasan Allah memerintahkan suatu hal kecuali Allah memberitahukan alasannya kepada kita.
Islam tidak melarang kita mencari tahu apa manfaat suatu aturan. Islam juga tidak melarang kita mencari korelasi antara suatu aturan dengan penyelesaian suatu permasalahan. Dalam bahasa ushul fiqih, kedua hal ini disebut sebagai hikmah. Bila disikapi sebagai hikmah tentu menambah keimanan kita kepada Allah. Hanya saja kedua hal itu bukan alasan adanya aturan itu. Bahkan kita tidak akan pernah tahu alasan Allah memerintahkan suatu hal kecuali Allah memberitahukan alasannya kepada kita.
Jika tidak disikapi seperti di atas cara seperti ini malah bisa jadi blunder karena tidak semua hal bisa kita cari-cari manfaatnya. Lebih dari manfaat yang dikemukakan seringkali subjektif dan kondisional. Misalkan masa iddah perempuan. Islam menetapkan masa iddah perempuan salah satunya adalah tiga bulan. Hikmah iddah ini adalah untuk membedakan ayah kandung bayi yang lahir sembilan bulan setelah pernikahan baru. Bila hikmah tersebut adalah alasan, tentu kehadiran teknologi bisa mengurangi waktu iddah tersebut. Waktu iddah hanya tinggal butuh waktu lima menit.
Kekhawatiran ini terbukti. Sudah ada upaya “rasionalisasi” terhadap aqidah dan syariah yang tidak diterima pembenaran “rasional”nya. Keyakinan dan aturan yang tidak ada manfaatnya dan tidak sesuai dengan modernitas, maksudnya bertentangan dengan HAM dan Demokrasi, harus dibuang.
Homoseksual yang secara qath’i diharamkan dalam Al-Qur’an sekarang bisa dilegalkan, bahkan perlu dinikahkan. Sumanto Al-Qurtuby dalam buku “Jihad Melawan Ekstremis Agama Membangkitkan Islam Progresif” misalnya. Menurut Sumanto, “Konsep perkawinan dalam suatu ikatan “sakral” bukan melulu untuk mereproduksi keturunan melainkan juga untuk mewujudkan keluarga sakinah (ketentraman kebahagiaan). Maka, dalam bingkai untuk mewujudkan keluarga sakinah ini seorang gay atau lesbian harus menikahi sesama jenis. Justru malapetaka yang terjadi jika kaum gay-lesbian dipaksa kawin dengan lain jenis.”
Bahkan aqidah Islam yang dianggap tidak bermanfaat dibuang. Contohnya Harun Nasution yang berpendapat rukun iman keenam perlu dihapus. Menurutnya keimanan kepada qadha dan qadar harus dibuang karena membuat umat Islam jadi lesu dan tidak bergairah sehingga akhirnya menjadi bangsa yang terbelakang. Menurut Harun, paham muktazilah –pengikutnya kini lebih suka disebut rasionalis– cocok dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan paham ahlus sunnah dianggap tidak cocok dengan kemajuan iptek karena dinilai bersikap jabari (serba kehendak Tuhan). Harun sepertinya lupa bahwa masa jaya muktazilah hanya 20 tahun sedangkan masa gemilang umat Islam itu mencapai ratusan tahun sembari memegang teguh qada dan qadar.
Sikap seperti ini malah menghancurkan bangunan Islam. Setiap ajaran Islam bisa ditinggalkan karena dianggap tidak bermanfaat. Bahkan shalat bisa saja ditinggalkan dengan alasan sudah tidak mengerjakan perbuatan fahsya dan munkar. Atau seperti pendapat Luthfi Asysyaukani, seorang pentolan JIL, pernah menulis di Kompas (3/9/2005), bahwa seorang muslim bisa merasa dekat dengan Allah tanpa melalui shalat karena bisa diganti dengan meditasi. Padahal apalah namanya Islam tanpa shalat.
Konsep kedua
Hujjah yang rasional maksudnya otentisitas dan otoritas sumber agama dapat dibuktikan validitasnya. Sumber agama di sini yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Membuktikan otentisitas maksudnya kita harus membuktikan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah sekarang masih sama dengan saat masa turun dan keluarnya. Sedangkan membuktikan otoritasnya maksudnya kita harus bisa membuktikan bahwa keduanya adalah wahyu Allah. Sikap membuktikan otentisitas dan otoritas sumber adalah sikap yang rasional.
Ketika kedua sumber tersebut sah otentisitas dan otoritasnya, maka sikap menerima apapun isi kedua sumber agama tersebut bisa disebut sikap yang rasional pula. Malah lebih dari itu mempertanyakan manfaat isi dari kedua sumber itu dengan maksud ingin menghapusnya justru merupakan sikap yang tidak rasional. Sebab sikap tersebut artinya menolak wahyu Allah yang juga bisa bermakna menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika kedua sumber tersebut sah otentisitas dan otoritasnya, maka sikap menerima apapun isi kedua sumber agama tersebut bisa disebut sikap yang rasional pula. Malah lebih dari itu mempertanyakan manfaat isi dari kedua sumber itu dengan maksud ingin menghapusnya justru merupakan sikap yang tidak rasional. Sebab sikap tersebut artinya menolak wahyu Allah yang juga bisa bermakna menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan konsep ini, hal-hal yang kadang dianggap irasional sebenarnya rasional secara logika. Misalnya kisah terbakarnya nabi Ibrahim. Orang-orang yang salah dalam memegang konsep pertama berupa mencari ta’wil apa maksudnya nabi Ibrahim terbakar. Bagi mereka kepercayaan bahwa nabi Ibrahim dibakar itu irasional karena mustahil manusia yang dibakar masih bisa hidup.
Sedangkan bagi yang memegang konsep kedua, yang diperlukan hanyalah mengecek apakah cerita ini berasal dari sumber yang otentik dan punya otoritas. Bila ya, tentu harus dipercaya. Bila ditinjau lebih dalam, sikap kedua ini malah lebih rasional. Bukankah menolak selamatnya nabi Ibrahim setelah dibakar malah mengecilkan kemahakuasaan Allah?
Taqiyuddin An-Nabhani (seorang tokoh HTI) pernah menulis, “Iman seperti ini, walaupun diperoleh dengan jalan ‘mengutip’ (naql) dan ‘mendengar’ (sama’), akan tetapi pada hakekatnya merupakan iman yang aqli (rasional, pen) juga. Sebab, dasarnya (Al-Qur’an atau As-Sunnah, pen) telah dibuktikan oleh akal.”
Taqiyuddin An-Nabhani (seorang tokoh HTI) pernah menulis, “Iman seperti ini, walaupun diperoleh dengan jalan ‘mengutip’ (naql) dan ‘mendengar’ (sama’), akan tetapi pada hakekatnya merupakan iman yang aqli (rasional, pen) juga. Sebab, dasarnya (Al-Qur’an atau As-Sunnah, pen) telah dibuktikan oleh akal.”
Dr. Abdullah Abdul Muhsin At Turki dan Syu’aib al Arnauth brakata, “Akal adalah salah satu wasilah yang terbatas dari sekian wasilah untuk mencapai pengetahuan. Akal tak bisa mengetahui selain hal-hal yang terindrai secara yakin, dan bisa mengetahui hal-hal ghaib secara tashawur (pemahaman) saja, bukan secara yakin. Ahlu sunah beriman dengan cara mengitsbatkan apa yang dikhabarkan oleh nash tentang hal-hal ghaib dan membenarkannya, tanpa membahas lagi kaifiyahnya karena hal itu bukan kemampauan akal.” [Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 25, Dar Alamuul Kutub cet. 3, 1418 /1997M].
Ibnu Khaldun dalam Muqadimahnya hal. 364-365 berkata, “Hanya saja anda jangan berambisi menimbang dengan akal masalah tauhid, akhirat, hakekat nubuwah, hakekat sifat-sifat Ilahiyah dan setiap hal yang diluar kemampuannya, karena berarti ambisi yang mustahil. Permisalannya bagaikan seorang melihat timbangan emas, lalu berambisi menimbang gunung-gunung dengan timbangan itu. Bukannya timbangannya yang tak benar, namun akalnya yang tak mampu…” [[Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 26]].
www.info-iman.blogspot.com