Oleh: Firmansyah, Lc
Para ulama berbeda pendapat apakah akhlak merupakan sifat fitriyah (bawaan) ataukah merupakan sifat muktasabah (hasil usaha). Dan dalam hal ini mereka terbagi menjadi dua kelompok.
1. Akhlak merupakan sifat fitriyah (bawaan)
Manusia diciptakan dengan tabiat berbeda-beda. Hakekat penciptaan ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun yang memperhatikannya dan banyak bergaul dengan manusia.
Sebagaimana manusia berbeda kecerdasannya, berbeda dhahir fisiknya. Ada yang lemah, tinggi, pendek, sehat, sakit, ada yang tampan, cantik, dan sebagainya. Begitu pula seseorang dilahirkan dalam keadaan tabiat yang berbeda-beda.Para ulama berbeda pendapat apakah akhlak merupakan sifat fitriyah (bawaan) ataukah merupakan sifat muktasabah (hasil usaha). Dan dalam hal ini mereka terbagi menjadi dua kelompok.
1. Akhlak merupakan sifat fitriyah (bawaan)
Manusia diciptakan dengan tabiat berbeda-beda. Hakekat penciptaan ini tidak dapat dipungkiri oleh siapapun yang memperhatikannya dan banyak bergaul dengan manusia.
Contohnya kita dapati orang-orang yang memiliki rasa takut melebihi yang lainnya. Ada juga yang ambisius sekali, ada yang cepat marah, yang lebih lembut, dan juga lambat marahnya. Begitu juga ada yang memiliki sifat ingin menang sendiri melebihi yang lainnya. Perbedaan ini sudah ada pada anak kecil yang belum banyak terpengaruh oleh dunia luar.
Begitu juga dalam sekelompok manusia yang belum dididik atau sekelompok masyarakat pedalaman kita dapati bahwa mereka berbeda satu sama lain. Ada yang paling baik akhlaknya dan juga ada yang buruk akhlaknya.
Rasulullah pun mengakui tentang perbedaan tabiat manusia ini. Sebagaimana sabda beliau:
إِنَّ بَنِيْ آدَمَ خُلِقَ عَلَى طَبَقَاتٍ شَتَّى, أَلاَ وَ إِنَّ مِنْهُمُ اْلبَطِيْءُ الْغَضَبُ سَرِيْعُ اْلفَيْءِ وَ السَّرِيْعُ اْلغَضَب سَرِيْعُ اْلفَيْءِ وَ اْلبَطِيْءُ اْلغَضَب بَطِيْءُ اْلفَيْء فَتِلْكَ بِتِلْكَ. أَلاَ وَ إِنَّ مِنْهُمْ بَطِيْءٌ اْلفَيْءِ سَرِيْعُ اْلغَضَبِ أَلاَ وَ خَيْرُهُمْ بَطِيْءُ اْلغَضَبِ سَرِيْعُ اْلفَيْءِ وَ شَرُّهُمْ سَرِيْعُ اْلغَضَبِ بَطِيْءُ اْلفَيْءِ.
“Sesungguhnya anak adam itu diciptakan dengan keadaan yang bermacam-macam. Ketahuilah bahwa di antara mereka ada yang sulit marah dan (apabila marah) cepat reda, ada yang cepat marah dan cepat reda, ada juga yang sulit marah dan susah reda dan ada yang susah reda marahnya tetapi cepat marah. Sebaik-baik mereka adalah yang susah marah dan (apabila marah) cepat reda. Dan yang paling jelek adalah yang cepat marah dan susah reda.” (HR. Tirmidzi)
إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَخْلاَقَكُمْ كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَرْزَاقَكُمْ ( رواه أحمد و البيهقي في شعب الإيمان)
“Sesungguhnya Allah membagi akhlak kalian sebaimana Dia membagi rejeki. (HR. Ahmad dan Al Baihaqi)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ n لِأَشَج عَبْدِ الْقَيْس: إِنَّ فِيْكَ خُلُقَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ, الْحِلْمُ وَ اْلأَنَاةُُ قَالَ: خُلُقَيْنِ تَخَلَقْتُ بِهِمَا أَمْ جُبِلْتُ عَلَيْهِمَا؟ قَالَ : بَلْ جُبِلْتَ عَلَيْهِمَا. فَقَالَ : اْلحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَبَلَنِيْ عَلَى مَا تُحِبُّ. (انظر صحيح جامع الصغير و زيادته محمد ناصر الدين الألباني رقم الحديث: 2132)
Rasulullah r bersabda kepada Asaj Abdul Qois: “Sesungguhnya dalam dirimu ada 2 akhlak yang dicintai oleh Allah, yakni al hilm (kemurahan hati) dan al anah (kesabaran). Kemudian dia bertanya: dua akhlak yang aku berakhlak dengannya ataukah aku diciptakan atas keduanya? Rasulullah pun menjawab: “engkau diciptakan atasnya.” Kemudian Asaj Abdul Qois berkata: Segala puji bagi Allah yang telah menciptakanku dengan apa yang engkau cintai. (Lihat Shohih jami’ shoghir Muhammad Nashiruddin Albani hadits no. 2132)
Atas dasar itulah ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa akhlak merupakan sifat fitriyah (bawaan).
2. Akhlak merupakan sifat muktasabah (hasil usaha)
Di atas telah dipaparkan bahwa akhlak merupakan sifat fitriyah. Namun muncul pertanyaan : apabila akhlak merupakan ciptaan Allah, mengapa harus ada pembinaan akhlak? Apakah manusia bisa berubah dari tabiat penciptaannya? Apakah akhlak dapat diperoleh dengan usaha?
Jawabnya adalah sesungguhnya Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya. Manusia dimintai tanggung jawab atau apa yang mampu dia kerjakan. Apabila hal itu di luar kemampuannya maka tidak dimintai tanggung jawab.
Seorang yang kuat maka akan diuji sesuai kadar kekuatannya. Begitu juga seorang yang lemah akan diuji oleh Allah sesuai kadar yang dia mampu. Seorang yang cerdas akan diuji sesuai dengan kecerdasannya dna ujian orang bodoh adalah sesuai dengan kadar kebodohannya.
Sedangkan bentuk ujian Allah bermacam-macam. Ada yang diuji dengan kekayaan, kemiskinan, diuji dengan tampu kepemimpinan, menjadi prajurit, diuji dengan banyaknya anak laki-laki, banyaknya anak perempuan atau diuji dengan kedua-duanya. Diuji dengan kemandulan, dan bentuk-bentuk ujian yang lain yang ada di dunia ini.
Begitu juga akhlak merupakan ujian Allah kepada hambaNya. Manusia diuji dengannya. Dan manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk meneladani akhlak karimah Rasulullah n. Maka barangsiapa yang tidak merubah akhlak yang mampu ia rubah namun tidak dilakukan, maka Allah akan memintainya pertanggung jawaban karena peremehannya.
Karena beberapa akhlak dapat dirubah dan dapat diperoleh dengan latihan, pembiasaan, dan pembinaan. Seorang anak tumbuh sesuai dengan apa yang dibiasakan oleh pendidiknya pada waktu kecil. Oleh karena itu Ibnu Qoyying mewasiatkan kepada para orang tua dan pendidik anak agar menjauhkan mereka dari akhlak tercela. Dan juga menjauhkan mereka agar tidak membiasakan hal tersebut. Sehingga akhlak tercela tidak tertanam pada dirinya. Karena akhlak tercela dapat menyebabkan haramnya kebaikan dunia dan akhirat.
Beliau berkata: Hendaknya orang tua menjauhkan anak dari bohong dan khianat. Karena apabila anak mudah melakukannya maka rusaklah kebahagiannya di dunia dan di akhirat dan dia diharamkan dari kebaikan.
Imam Al ghozali menambahkan bahwa akhlak yang baik itu dapat diperoleh dengan 2 cara:
Dengan karunia/ kemurahan Allah. Yakni seseorang dilahirkan dalam keadaan sempurna akalnya dan baik akhlaknya. Sifat dalam dirinya diciptakan dengan keadaan berimbang.
Dengan membiasakan dan berusaha keras dalam menerapkan/ melaksanakan akhlak tersebut. Sebagai contoh orang yang ingin memiliki sifat dermawan hendaknya dia membiasakan diri untuk memberi. Sehingga lama kelamaan dapat menjadi tabiatnya. Begitu pula apabila ingin memiliki akhlak tawadhu’ maka hendaklah melatih dan membiasakan dirinya untuk melazimi sifat tawadhu’ dalam jangka yang lama.
Tak sekedar syariat tanpa makna
Rasulullah n menjelaskan bahwa tujuan diutusnya beliau dan manhaj dakwah beliau dalam salah satu sabdanya:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ (رواه مالك)
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak karimah.” (HR. Malik)
Ibadah yang disyariatkan Islam dan dijadikan sebagai pondasi keimanan, tak hanya sekedar jalan yang tak jelas yang menghubungkannya dengan alam ghoib. Tidak pula hanya untuk membebani hambanya dengan amalan-amalan dan gerakan-gerakan tanpa makna.
Lebih dari itu, semua faraidh (kewajiban) yang dibebankan kepada umatnya, merupakan suatu latihan yang berkesinambungan untuk membiasakan hidup dengan akhlak yang baik. Supaya tetap berpegang teguh dengan akhlak tersebut kapanpun dan di manapun, walaupun keadaan di hadapannya berubah. Seperti layaknya latihan olah raga. Latihan yang terus menerus akan menjadikan badan sehat dan menjaga keselamatan hidupnya.
Dalam hal ini Al Quran dan hadits Rasulullah mengungkap hakekat ini dengan jelas.
Shalat wajib bukan hanya sebatas kewajiban tanpa arti tetapi Allah U menjelaskan juga hikmah di balik perintah tersebut. Allah berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ )العنكبوت: 45 )
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al Ankabut: 45)
Jadi, menjauhkan diri dari perbuatan hina dan menjaga diri dari ucapan dan perkataan keji merupakan hakekat dari sholat.
Begitu juga perintah shoum (puasa), tidak sebatas meninggalkan makanan dan minuman dalam waktu yang telah ditentukan. Akan tetapi shoum merupakan salah satu cara untuk menghilangkan syahwat yang tak terkendali dan juga kebiasaan yang menyimpang.
Jadi amalan dalam Islam, berupa sholat, shoum, zakat, haji, dan amalan yang lainnya tidak sebatas amalan tanpa makna. Lebih dari itu amalan tersebut merupakan tahapan untuk pembinaan akhlak, sebgaimana tujuan diutusnya rasul yakni untuk menyempurnakna akhlak mulia.
Maka barangsiapa yang telah mengerjakan amalan-amalan tersebut, namun tidak bisa membersihkan hatinya maka dia telah rugi. Dan barangsiapa dapat mensucikan hatinya dengan amalan-amalan tersebut maka Allah memberikan janji kepadanya jannah. Sebagaimana firmannya:
إِنَّهُ مَن يَأْتِ رَبَّهُ مُجْرِماً فَإِنَّ لَهُ جَهَنَّمَ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيى وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِناً قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُوْلَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاء مَن تَزَكَّى
“Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang tinggi (mulia), (yaitu) syurga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan). (Thoha : 74-76)
www.info-iman.blogspot.com