Sebuah Sifat Kehati-hatian
Sebagai makhluk sosial manusia tidak pernah lepas dari perselisihan dan perdebatan. Penyebabnya bisa bermacam-macam, demikian juga dengan ujung perselisihan tersebut, ada yang berdamai, ada pula yang terus saling memusuhi. Jika mereka orang yang berakhlak mulia maka akhir permasalahan adalah kedamaian dan hikmah yang luar biasa, namun jika mereka orang-orang yang serakah dan sombong -wal iyadzu billah- maka permasalahan yang sepele bisa berujung ke pertumpahan darah.
Pembaca-rahikumullah-, menjaga diri dari keharaman (wara’ atau iffah) adalah hal yag sangat mulia. Oleh karena itu, sifat wara’ patut menjadi perhiasan setiap muslim. Dengan memilki sifat tersebut, hilanglah sifat serakah dan tama’ terhadap urusan dunia. Pemilik sifat ini akan mendahulukan hak orang lain dari pada haknya sediri, sehingga permusuhan, pertikaian dan saling membelakangi dapat dihindari dan akahirnya hati pun penuh dengan kedamaian.
Kisah shahih berikut ini adalah bukti nyata bahwa sifat wara’ dan zuhud dari harta dunia bila menghiasi seseorang muslim dapat menyatukan hati yang berseteru. Namun jika dia sirna dari dada manusia, maka yang terjadi adalah saling tadaabur (saling membelakangi) dan takholuf (saling bertikai).
Semoga kita dapat mengambil mutiara hikmah dari kisah shahih berikut ini untuk selanjutnya mengamalkannnya dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga sifat wara’ terpatri dalam jiwa kita, menjadikan diri kita uswah bagi saudara kita dan menjadi cerminan indahnya akhlak ihsan yang mengikuti sunah Nabiwiyyah. Wallahul Muwaffiq.
Al-Kisah
Dari sahabat Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada seorang pembeli tanah perkarangan dari seorang yang lain, kemudian secara tidak sengaja sang pembeli tersebut menemukan sebuah tembikar berisikan emas di dalam tanah yang dibelinya. Sang pembeli tanah itu berkata kepada penjual tanah, ‘Ambilah emasmu ini, karena aku hanya membeli tanah saja darimu dan tidak membeli emas.’ Sang penjual tanah itu menjawab, ‘Sesungguhnya saya sudah menjual tanah itu kepadamu beserta isinya, (maka emas itu menjadi milikmu pen.).’ Kemudian keduanya sepakat mengajukan perkaranya kepada seseorang, maka laki-laki tersebut akhirnya memberikan keputusan, ‘Apakah kalian berdua memiliki anak?’ Maka salah satu dari keduanya menjawab, ‘Aku memliki seorang anak laki-laki.’ Dan berkata yang lain, ‘Aku memliki seorang anak wanita.’ Kemudian laki-laki itu mengatakan, ‘Nikahanlah keduanya dan sedekahkanlah harta itu untuk keduanya.’ Maka mereka pun melakukannya.”
Kisah diatas diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dalam kitab Ahaditsul Anbiya’ (3472) dan Imam Muslim dalam Kitabul Aqdiyah bab Islahul Hakim bainal Mutahassinain (1721).
Pelajarang dari Kisah
Kisah diatas sungguh sangat menakjubkan, kita mendapati perbedaan yang nyata antara jiwa yang wara’ dengan kondisi masyarakat modern yang kebanyakan tidak memiliki sifat mulia ini, sekali pun kebanyakan mereka mengaku sebagai manusia beradab dan berakhlak.
Jika saja kasus ini terjadi d tengah-tengah masyarakat kita, mungkin saja pihak pembeli akan mempertahankan emas itu dengan berdalih bahwa dia telah membeli tanah itu berserta semua isinya. Sedang pihak penjual akan mempertahankannya mati-matian dengan dalih bahwa dia hanya menjual tanahnya saja, tidak termasuk emas dalam tembikar yang terpendam.
Insan yang memilki sifat wara’ sangat khawatir bila dalam hartanya terdapat harta orang lain, ia tidak mau menanggung dosa karena memiliki harta yang bukan haknya, mereka mengimani hari pertanggungjawaban.
Seorang yang shalih lagi wara’ memahami bahwa memakan harta yang haram dapat mendatangka kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Dia memahami pula bahwa pada hari kiamat kebaikan-kebaikannya akan diambil oleh orang yang dizalimi.
Seseorang yang cerdas akan berhati-hati jangan sampai dirinya memakan harta yang haram, sebagaimana ia akan selalu berusaha mencari dan memberikan harta itu kepada pemiliknya sebagaimana yang dilakukan oleh dua orang dalam kisah di atas.
Memang benar, manusia memilki sifat tamak teradap barang berharga seperti emas, perak, dan yang lainnya sebagaimana hal ini dinashkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allohlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al-Imran: 14)
Bahkan kecintaan manusia tersebut terkadang menjadikan mereka saling hasad, saling membenci, dan saling membelakangi, bahkan berani menghalalkan sesuatu yang haram, membunuh jiwa yang terjaga darahnya dan membuahkan pesengkataan yang berkepanjangan.
Robb kita Subhanahu wa Ta’ala telah megabarkan, bahwa penyakit ini pun menjangkiti orang-orang paham agama, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ اْلأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَيُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan bathil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Alloh. Dan orang-orang yang menympan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Alloh, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. at-Taubah: 34)
Sifat yang demikian mulia ini mudah didapati pada orang-orang terdahulu. Dahulu ada seorang mujahid membawa harta yang sangat banyak kemudian ia berikan kepada panglima perangnya untuk digunakan di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ia tidak mengambil darinya sedikit pun. Sifat tersebut sepertinya sudah jarang dijumpai pada zaman kita sekarang ini. Alhamdulillah di tengah zaman matrealistis ini, masih ada segelintir orang yang dirahmati Allah dengan dikaruniai sifat mulia ini, tentunya jumlah mereka sangat langka. Nasalulloh al-‘afiyah.
Catatan
Dalam syariat kita, emas tersebut adalah hak penjual, karena emas dalam tembikar itu bukanlah bagian dari tanah yang dijual, tapi emas itu adalah barang lain yang terpisah dari tanah, sehingga ia tidak masuk dalam akad jual beli tanah tersebut, berbeda jika emas itu masih menyatu dengan tanah berupa bahan tambang.
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Adapun hukum dari masalah ini, para ulama mengatakan, jika seseorang menjual tanah kepada orang lain. Lalu si pembeli itu mendapatkan sesuatu yang dipendam di dalamnya baik emas atau yang selainnya, maka dia tidak berhak memilikinya, tetapi harta itu adalah milik penjual tanah tersebut. Bila penjual tersebut dahulunya membeli tanah itu dari orang lain, maka harta itu adalah haknya pemilik tanah yang pertama, karena harta yang terpendam tersebut bukan bagian dari tanah yang ia beli. Berbeda dengan barang tambang, bila seseorang membeli sebidang tanah lalu ia mendapati dalam tanah yang ia beli tersebut barang tambang baik emas, perak, besi, atau yang selainnya maka barang-barang tersebut mengikuti kepemilikan (pembeli) tanah tersebut.” Wallahu a’lam.
Mutiara Kisah
1. Keutamaan sifat wara’ dan meninggalkan hal syubhat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang meninggalkan barang syubhat maka sunggih ia telah membersihkan agama da kehormatannya, dan barangsiapa yang menjerumuskan ke dalam syubhat berarti ia telah terjatuh pada keharaman, seperti pengembala yang mengembala di sekitar daerah larangan maka hampir-hampir ia masuk ke dalamnya…” (HR. Bukhari, no.52 dan Muslim, no.1599)
2. Wajibnya mengembalikan barang temuan kepada pemiliknya bila ia mengetahui siapa pemiliknya.
Apabila seseorang mendapati harta yang terpendam dan memungkinkan baginya untuk mencari tahu siapa pemiliknya, karena barang itu bukanlah barang terpendam dalam kurun waktu yang sangat lama, maka hukumnya adalah hukuman barang luqothoh (barang temuan). Ia wajib mencari tahu siapa pemiliknya dan memberikan harta itu kepada pemiliknya, namun bila harta tersebut adalah harta yang terpendam lama dan merupakan harta peninggalan di masa lampau yang tidak diketahui lagi siapa pemiliknya, maka dia itu adalah harta rikaz (harta karun) yang ia berhak memilikinya setelah ia mengeluarkan zakatnya sebesar (20%).
3. Dorongan untuk berbuat jujur dan wara’ dalam bermuamalah
Kejujuran adalah barang mahal yang sering dilalaikan di zaman kita sekarang ini, padahal bersifat jujur dan zuhud dari apa yang diperebutkan dan dicintai manusia akan mendatangkan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kecintaan manusia.
Dari Sahl bin Sa’ad beliau mengatakan,
Datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tunjukkanlah kepadaku suatu amalan jika aku mengamalkannya maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencintaiku dan manusia juga mencintaiku?” Maka beliau menjawab, “Zuhudlah dari perkara dunia maka Allah akan mencintaimu dan zuhudlah dari apa yang ada pada manusia maka manusia akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)
4. Selayaknya bagi orang yang bersengketa untuk melaksanakan keputusan hakim, selama keputusan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Kitab dan sunah.
Dalam kisah diatas, keputusan yang diberikan laki-laki itu sangat menakjubkan, dia telah mengikatkan keduanya dengan pertalian kekeluargaan melalui perkawinan. Perkawinan antara dua keluarga yang sama-sama baik akhlaknya akan menguatkan tali keimanan dan diharapkan nantinya akan menghasilkan keturunan yang berimand an berakhlak mulia.
5. Syariat jual-beli telah ada pada umat-umat sebelum kita, kerajinan tangan pun telah ada sejak zaman dahulu dengan dalil dijumpainya bejana berisikan emas di dalam tanah pada zaman itu.
6. Dikisahkan, sang pemutus perkara untuk menyuruh mereka berdua menyedekahkan emas yang mereka temukan kepada kedua anak mereka. Hal ini merupakan dorongan bagi kita untuk bersedekah dan berinfak di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallohu a’lam.