Haji Mabrur Balasannya Surga
“Umrah ke umrah itu menghapuskan dosa yang terdapat di antara keduanya, sedangkan haji mabrur tidak ada ganjarannya selain surga.” (HR Bukhari dan Muslim)
HAJI mabrur menurut lughawi (bahasa) berasal dari bahasa Arab yakni Hajjun Mabrur, yang masyhur diucapkan dalam bahasa Indonesia menjadi haji mabrur. Hajjun mabrur terdiri dari kata hajju dan (wa) mabrur, berasal dari akar kata: hajja - yuhajja - hajjan yang berarti menyengaja atau bermaksud.
Menurut syar’i adalah menyengaja atau bermaksud mengunjungi Baitullah (Ka’bah) untuk berhaji. Sedangkan kata mabrur berarti maqbul (diterima). Maka haji mabrur adalah haji yang diterima Allah SWT.
Konkritnya, haji mabrur ialah haji yang tidak dinodai dosa. Ciri-cirinya adalah seseorang hamba Allah SWT yang telah kembali dari menunaikan ibadah haji akan lebih mencintai akherat ketimbang dunia (hubbul akhirah minad dunya). Dalam sebuah hadist marfu’ disebutkan seseorang memperoleh haji mabrur apabila dia suka menyumbangkan makanan dan lemah lembut dalam ucapan.
Sebagian ulama dan fuqaha’ berpendapat bahwa tanda-tanda haji mabrur itu adalah terjadinya perubahan pada jiwanya, sikap dan perkataannya sekembalinya dari tanah suci baik ibadah, takwa, amaliyahnya maupun tindakan-tindakan kemasyarakatan.
Di antara tanda-tanda haji mabrur itu adalah bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji akan lebih baik keadaannya sekembalinya ia dari haji dibandingkan dengan sebelumnya dan dia menjadi panutan masyarakat.
Lain kata, yang akan dinilai oleh Allah SWT dari ibadah haji seseorang itu bukanlah formalitas seremonialnya (ketika seseorang itu sedang mengerjakan ibadah haji) melainkan hasil atau akibat yang timbul daripada ibadah haji setelah yang bersangkutan usai menjalankan ibadah hajinya.
Dalam bahasa lain karena faktor dinamika dan produktivitas hajinya. Misalnya, si Fulan, sebelum menunaikan ibadah haji salatnya kurang rajin lalu menjadi rajin. Dalam soal harta dia dulu amat kikir tapi kemudian berubah menjadi dermawan. Ketika berbicara keras dan cenderung melukai perasaan kawan bicaranya, berubah menjadi lemah lembut dan menghargai pembicaraan orang lain. Dalam pergaulan dia terkesan sombong dan angkuh, sesudah menunaikan ibadah haji menjadi ramah, familier dan bersahaja.
Lebih jauh, seperti dikatakan dai wong kito dan Pemred Warta Dakwah, H Muazim Syair, merujuk beberapa hadist Rasulullah SAW, ada empat ciri orang yang mendapat predikat haji mabrur:
l Pertama, sepulang dari berhaji, tutur katanya selalu baik dan menyenangkan orang lain. Memiliki sifat terpuji seperti sabar, rendah hati (tawaddhu’) dan tidak sombong. Di tanah suci ia telah ditempa menjadi hamba Allah yang rendah hati. Meski ia seorang pejabat, orang kaya atau penguasa, di tanah suci Dia memandangnya sama dengan rakyat kecil, jelata. Semuanya hanyalah hamba-Nya semata.
l Kedua, seseorang yang sudah menyandang gelar haji akan lebih taat beribadah dibandingkan sebelum ia menunaikan ibadah haji. Karena selama berada di tanah suci ia telah dilatih untuk taat beribadah, terutama dalam ibadah salat. Kalau di Mekkah ia selalu menunaikan salat berjamaah di Masjidil Haram, dan atau di Masjid Nabawi ketika berada di Madinah Al-Munawwarah, setibanya di tanah air hal itu juga harus dilakukannya. Dia tindaklanjuti dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari.
l Ketiga, seseorang yang telah berpredikat haji akan selalu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela. Orang yang mendapat haji mabrur tidak mau lagi berbohong. Ia akan selalu jujur dalam kesehariannya, apapun profesinya. Jika kebetulan seorang pedagang ia tidak akan mau mempermainkan timbangan, meteran atau perkataan bohong lainnya. Kalau ia seorang aparatur negara ia tidak akan menyalahgunakan wewenang atau melakukan korupsi.
l Keempat, orang yang mendapat gelar haji mabrur sifat sosialnya akan meningkat, begitu pula rasa kesetiakawanan terhadap sesama. Ia akan jadi rajin ber-infaq fi sabilillah, menyantuni anak yatim dan orang miskin.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, kita dapat membaca (qara’a) dan memahami (fahima) bahwa ibadah haji yang merupakan puncak dari rukun Islam dan menjadi ibadah terbesar dan terberat dari rukun Islam yang lain diharapkan meninggalkan dampak kebaikan yang lebih besar pula.
Ibadah haji yang juga bisa dipandang sebagai muktamar internasional itu diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran para jamaah haji tentang arti persaudaraan Islam yang sejati tanpa memandang perbedaan ras, suku, bahasa dan bangsa.
Dalam manasik haji (praktek pelaksanaan haji) telah dibuktikan bahwa seluruh jamaah menggunakan atribut yang sama, melakukan thawaf, sa’i, wukuf dan melontar secara bersama-sama pula. Mereka tidak ada yang istimewa dan diistimewakan, karena semuanya adalah satu predikat yaitu sebagai tamu Allah SWT.
Apabila gelar haji mabrur itu kelak telah benar-benar dimiliki oleh para hujaj, niscayalah mereka itu akan menjadi inspirator pembangunan Islam dan sekaligus sebagai investor yang terus menanamkan sahamnya untuk pembangunan Islam dan kaum muslimin.
Apabila mereka yang telah menunaikan ibadah haji itu memiliki komitmen yang tinggi terhadap haji mabrur yakni mempunyai kepedulian dan kepekaan sosial yang tinggi tentulah negeri ini akan menjadi negeri yang damai, yang aman, sejahtera dalam lindungan dan ampunan Allah SWT.
Manakala orang yang telah menunaikan ibadah haji itu tergolong orang yang kaya atau mampu maka sebaiknya memperbanyak amalan sedekahnya untuk menolong kaum fakir miskin, papa. Demikian pula dalam memberikan kebaikan seperti bantuan berupa harta, makanan, pakaian dan lain-lain kepada kaum yang lemah dan sengsara atau yang sedang ditimpa musibah, semuanya itu hendaknya dilakukan dengan penuh keikhlasan untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT dan dalam rangka memelihara dan menjaga ibadah hajinya.
Dan apabila orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji itu adalah para pejabat dan pegawai baik negeri maupun swasta lalu mereka menjadi lebih jujur, disiplin dan produktif maka itu pertanda mereka komitmen pada hajinya. Demikian pula para pelaku bisnis alias pengusaha, pedagang dan para petani yang bekerja dengan baik tidak melakukan praktek kecurangan. Maka mereka itulah para hujaj yang layak mendapat gelar haji mabrur.
Semogalah saudara-saudara (ikhwan) kita yang saat ini masih tekun menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah Al-Mukarramah maupun yang sudah meraih titel/gelar Al-Hajj dan tidak hanya mengerjakan haji secara normatif dan sekadar menggugurkan kewajiban haji saja (rukun Islam kelima), menjadi kelompok-kelompok yang produktif dalam mengamalkan ajaran Islam, khususnya nilai-nilai ibadah haji, sehingga mereka dapat menjadi contoh/suri tauladan bagi umat. Amin. (Sriwijaya Post)
HAJI mabrur menurut lughawi (bahasa) berasal dari bahasa Arab yakni Hajjun Mabrur, yang masyhur diucapkan dalam bahasa Indonesia menjadi haji mabrur. Hajjun mabrur terdiri dari kata hajju dan (wa) mabrur, berasal dari akar kata: hajja - yuhajja - hajjan yang berarti menyengaja atau bermaksud.
Menurut syar’i adalah menyengaja atau bermaksud mengunjungi Baitullah (Ka’bah) untuk berhaji. Sedangkan kata mabrur berarti maqbul (diterima). Maka haji mabrur adalah haji yang diterima Allah SWT.
Konkritnya, haji mabrur ialah haji yang tidak dinodai dosa. Ciri-cirinya adalah seseorang hamba Allah SWT yang telah kembali dari menunaikan ibadah haji akan lebih mencintai akherat ketimbang dunia (hubbul akhirah minad dunya). Dalam sebuah hadist marfu’ disebutkan seseorang memperoleh haji mabrur apabila dia suka menyumbangkan makanan dan lemah lembut dalam ucapan.
Sebagian ulama dan fuqaha’ berpendapat bahwa tanda-tanda haji mabrur itu adalah terjadinya perubahan pada jiwanya, sikap dan perkataannya sekembalinya dari tanah suci baik ibadah, takwa, amaliyahnya maupun tindakan-tindakan kemasyarakatan.
Di antara tanda-tanda haji mabrur itu adalah bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji akan lebih baik keadaannya sekembalinya ia dari haji dibandingkan dengan sebelumnya dan dia menjadi panutan masyarakat.
Lain kata, yang akan dinilai oleh Allah SWT dari ibadah haji seseorang itu bukanlah formalitas seremonialnya (ketika seseorang itu sedang mengerjakan ibadah haji) melainkan hasil atau akibat yang timbul daripada ibadah haji setelah yang bersangkutan usai menjalankan ibadah hajinya.
Dalam bahasa lain karena faktor dinamika dan produktivitas hajinya. Misalnya, si Fulan, sebelum menunaikan ibadah haji salatnya kurang rajin lalu menjadi rajin. Dalam soal harta dia dulu amat kikir tapi kemudian berubah menjadi dermawan. Ketika berbicara keras dan cenderung melukai perasaan kawan bicaranya, berubah menjadi lemah lembut dan menghargai pembicaraan orang lain. Dalam pergaulan dia terkesan sombong dan angkuh, sesudah menunaikan ibadah haji menjadi ramah, familier dan bersahaja.
Lebih jauh, seperti dikatakan dai wong kito dan Pemred Warta Dakwah, H Muazim Syair, merujuk beberapa hadist Rasulullah SAW, ada empat ciri orang yang mendapat predikat haji mabrur:
l Pertama, sepulang dari berhaji, tutur katanya selalu baik dan menyenangkan orang lain. Memiliki sifat terpuji seperti sabar, rendah hati (tawaddhu’) dan tidak sombong. Di tanah suci ia telah ditempa menjadi hamba Allah yang rendah hati. Meski ia seorang pejabat, orang kaya atau penguasa, di tanah suci Dia memandangnya sama dengan rakyat kecil, jelata. Semuanya hanyalah hamba-Nya semata.
l Kedua, seseorang yang sudah menyandang gelar haji akan lebih taat beribadah dibandingkan sebelum ia menunaikan ibadah haji. Karena selama berada di tanah suci ia telah dilatih untuk taat beribadah, terutama dalam ibadah salat. Kalau di Mekkah ia selalu menunaikan salat berjamaah di Masjidil Haram, dan atau di Masjid Nabawi ketika berada di Madinah Al-Munawwarah, setibanya di tanah air hal itu juga harus dilakukannya. Dia tindaklanjuti dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari.
l Ketiga, seseorang yang telah berpredikat haji akan selalu menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tercela. Orang yang mendapat haji mabrur tidak mau lagi berbohong. Ia akan selalu jujur dalam kesehariannya, apapun profesinya. Jika kebetulan seorang pedagang ia tidak akan mau mempermainkan timbangan, meteran atau perkataan bohong lainnya. Kalau ia seorang aparatur negara ia tidak akan menyalahgunakan wewenang atau melakukan korupsi.
l Keempat, orang yang mendapat gelar haji mabrur sifat sosialnya akan meningkat, begitu pula rasa kesetiakawanan terhadap sesama. Ia akan jadi rajin ber-infaq fi sabilillah, menyantuni anak yatim dan orang miskin.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, kita dapat membaca (qara’a) dan memahami (fahima) bahwa ibadah haji yang merupakan puncak dari rukun Islam dan menjadi ibadah terbesar dan terberat dari rukun Islam yang lain diharapkan meninggalkan dampak kebaikan yang lebih besar pula.
Ibadah haji yang juga bisa dipandang sebagai muktamar internasional itu diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran para jamaah haji tentang arti persaudaraan Islam yang sejati tanpa memandang perbedaan ras, suku, bahasa dan bangsa.
Dalam manasik haji (praktek pelaksanaan haji) telah dibuktikan bahwa seluruh jamaah menggunakan atribut yang sama, melakukan thawaf, sa’i, wukuf dan melontar secara bersama-sama pula. Mereka tidak ada yang istimewa dan diistimewakan, karena semuanya adalah satu predikat yaitu sebagai tamu Allah SWT.
Apabila gelar haji mabrur itu kelak telah benar-benar dimiliki oleh para hujaj, niscayalah mereka itu akan menjadi inspirator pembangunan Islam dan sekaligus sebagai investor yang terus menanamkan sahamnya untuk pembangunan Islam dan kaum muslimin.
Apabila mereka yang telah menunaikan ibadah haji itu memiliki komitmen yang tinggi terhadap haji mabrur yakni mempunyai kepedulian dan kepekaan sosial yang tinggi tentulah negeri ini akan menjadi negeri yang damai, yang aman, sejahtera dalam lindungan dan ampunan Allah SWT.
Manakala orang yang telah menunaikan ibadah haji itu tergolong orang yang kaya atau mampu maka sebaiknya memperbanyak amalan sedekahnya untuk menolong kaum fakir miskin, papa. Demikian pula dalam memberikan kebaikan seperti bantuan berupa harta, makanan, pakaian dan lain-lain kepada kaum yang lemah dan sengsara atau yang sedang ditimpa musibah, semuanya itu hendaknya dilakukan dengan penuh keikhlasan untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT dan dalam rangka memelihara dan menjaga ibadah hajinya.
Dan apabila orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji itu adalah para pejabat dan pegawai baik negeri maupun swasta lalu mereka menjadi lebih jujur, disiplin dan produktif maka itu pertanda mereka komitmen pada hajinya. Demikian pula para pelaku bisnis alias pengusaha, pedagang dan para petani yang bekerja dengan baik tidak melakukan praktek kecurangan. Maka mereka itulah para hujaj yang layak mendapat gelar haji mabrur.
Semogalah saudara-saudara (ikhwan) kita yang saat ini masih tekun menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah Al-Mukarramah maupun yang sudah meraih titel/gelar Al-Hajj dan tidak hanya mengerjakan haji secara normatif dan sekadar menggugurkan kewajiban haji saja (rukun Islam kelima), menjadi kelompok-kelompok yang produktif dalam mengamalkan ajaran Islam, khususnya nilai-nilai ibadah haji, sehingga mereka dapat menjadi contoh/suri tauladan bagi umat. Amin. (Sriwijaya Post)