Semoga Hati Kita dimudahkan dalam Menerima Nasehat dan Kebenaran
Di antara sebab tersebarnya kebatilan & bertambah buruknya keadaan masyarakat adalah berbagai macam alasan yang diada-adakan oleh syaitan & bala tentaranya demi melestarikan kemungkaran. Umat-umat terdahulu yang menentang dakwah para rasul pun demikian. Ketika para rasul itu menyeru mereka untuk mengesakan Allah & taat kepada utusan-Nya, maka serentak muncullah berbagai dalih & argumentasi mereka utk mengelak dari kewajiban tersebut.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila dikatakan kepada mereka; ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian, maka mereka mengatakan; ‘Bahkan kami akan tetap mengikuti apa-apa yang kami dapati dari nenek-nenek moyang kami’. Apakah mereka akan tetap mengikutinya apabila ternyata nenek moyang mereka adalah orang-orang yang tak memahami apa pun & sama sekali tak berada di jalan petunjuk?” (Qs. al-Baqarah: 171)
Wahyu dari Allah yang semestinya mereka hormati & patuhi pun seolah tak ada artinya. Para rasul yang telah diberi tugas untuk membimbing mereka pun tak ubahnya mereka anggap seperti orang biasa. Bahkan yang lebih keji lagi mereka menuduh kaum beriman pengikut rasul telah mengikuti seorang lelaki yang tersihir, aduhai betapa besar kedustaan mereka! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang zalim itu mengatakan; tidaklah kalian mengikuti kecuali seorang lelaki yang dikuasai oleh sihir.” (Qs. al-Furqan: 8). Inilah sunnatullah! Perjalanan dakwah senantiasa dirintangi oleh makhluk-makhluk durhaka yang nekad membangkang kepada Rabbnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikian itulah, Kami menjadikan bagi setiap nabi musuh dari kalangan para pendosa.” (Qs. al-Furqan: 31)
Saudaraku-semoga Allah menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat- apabila kita cermati secara seksama, sekian banyak kemungkaran yang ada di atmosfer kehidupan kaum muslimin pada hari ini, maka akan kita dapatkan bahwa ternyata salah satu senjata syaitan paling ampuh yang menyimpangkan bani Adam dari jalan yang lurus adalah hujjah-hujjah palsu & kerancuan pemahaman yang memoles kebatilan sehingga tampak menjadi sesuatu yang indah & menyenangkan.
Tidakkah Anda lihat, orang-orang yang sampai saat ini masih enggan meninggalkan gemerlapnya dunia panggung hiburan-entah penyanyi atau bintang film & sinetron, kalau anda bertanya kepada mereka; apa yang melatar belakangi mereka dengan suka rela & tanpa sungkan-sungkan mengobral aurat di layar-layar kaca & berdandan ala jahiliyah demi memuaskan selera penonton & sutradara? Maka jawaban mereka tak lauh dari ungkapan klise & menyakitkan hati para pecinta Allah & rasul-Nya; “Ini adalah seni, ini demi menghidupi keluarga saya, ini adalah potret kebebasan hak asasi manusia, ini adalah ekspresi budaya,” atau seabrek kepalsuan yang lainnya. Maha suci Allah, sudah sedemikian rusakkah aqidah kita?
Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah, seorang mukmin hidup bukan untuk memperturutkan kemauan hawa nafsunya. Seorang mukmin menyadari bahwa ujian yang Allah berikan di alam dunia ini adalah kesempatan baginya untuk membuktikan penghambaan dirinya kepada Allah semata. Betapa banyak orang yang mengira bahwa apa yang dilakukannya merupakan kebaikan padahal di sisi Allah ta’ala itu semua tak ada artinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; maukah Aku kabarkan kepada kalian orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia namun mereka mengira telah melakukan amal dengan sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)
Lalu apa yang semestinya kita kerjakan? Sebuah pertanyaan yang penting untuk dikaji. Untuk mengatasi jerat syaitan yang satu ini, maka seorang hamba memerlukan bimbingan ilmu yang benar di samping keteguhan sikap dalam memihak kepada kebenaran. Orang yang tak dibekali ilmu yang benar, maka tindakan yang diambilnya pun hampir bisa dipastikan menyimpang dari jalan kebenaran. Oleh sebab itulah setiap harinya kita diajari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah hidayah menuju jalan yang lurus. Sementara jalan yang lurus itu dibentangkan di atas pondasi ilmu & keberpihakan konkret kepada kebenaran. Dengan pondasi ilmu maka para peniti jalan tersebut akan terbebas dari kebodohan & sikap serampangan yang cenderung pada perilaku sesat & menyimpang. Sedangkan dengan pondasi yang kedua maka para peniti jalan itu akan senantiasa terjaga dari kemurkaan Allah dgn keistiqomahan mereka di atas rel kebenaran. Iman kepada Allah tak cukup jika tak disertai keistiqomahan. Sebagaimana ucapan syahadat di lisan tak cukup jika tak diiringi dengan ketundukan & kecintaan. Demikian pula ilmu, tidaklah ia mencukupi apabila tak disertai dengan amalan.
Sebagian manusia diseret oleh hawa nafsu & kebodohannya untuk mengikuti aliran orang-orang yang sesat (adh-dhaallin) lagi menyimpang. Bukan karena niat mereka yang buruk, namun karena persepsi mereka tentang kebenaran & pengabdian telah mengalami distorsi pemikiran. Sedangkan sebagian yang lain cenderung kepada aliran orang-orang yang dimurkai (al-maghdhubi ‘alaihim) akibat pemahaman mereka tak disertai dengan kecintaan kepada kebenaran & ketulusan mengabdi kepada ar-Rahman. Mereka tahu tapi enggan mengikuti kebenaran.
Nah, yang kita perbincangkan sekarang bukanlah orang-orang yang enggan mengikuti kebenaran. Yang ingin kita soroti adalah segolongan manusia yang dengan niat baik mereka ‘terpaksa’ harus memposisikan diri mereka di barisan orang yang menyimpang. Meskipun hal itu tak mereka sadari. Dan inilah yang menyakitkan. Banyak sekali tipu daya Iblis yang mereka serap & adopsi demi melegalkan penyimpangan yang selama ini mereka tekuni. Di antara alasan yang sering kita dengar dari banyak orang yang menuturkan keadaan orang-orang semacam ini adalah ucapan mereka, “Saya tak berniat buruk. Niat saya baik. Hanya saja keadaan memaksa saya untuk melakukan hal ini. Saya sadar hal ini akan mengundang banyak kontroversi. Namun, hal itu tak penting bagi saya. Toh, saya tak mencari ridha manusia. Apa boleh buat, keadaan menuntut saya melakukannya, & lagi kalau mau diambil sisi positifnya kan tak sedikit. Kita harus realistis, tak semua orang bisa bersikap ideal seperti yang anda inginkan.” Kurang lebih itulah alasan mereka.
Sekilas, ucapan ini terdengar bijak & menyejukkan. Namun di balik itu semua, syaitan ingin menggiring manusia agar memandang baik diri mereka sendiri & menempatkan orang lain sebagai penonton belaka. Sehingga mereka tak lagi berhak untuk mengkritik atau pun mengoreksi sikapnya. Karena sutradara kehidupannya adalah dia, adapun orang lain mungkin tak mengerti realita dalam pandangannya. Ada ungkapan yang mengatakan, “Sang pemilik rumah tentu lebih mengerti tentang isi rumahnya.” Ya, itu ada benarnya, tapi ingat betapa banyak pemilik rumah yang kebingungan mencari barangnya sendiri yang hilang gara-gara lupa atau terselip di suatu tempat, padahal kejadian itu sama sekali tak keluar sejengkal pun dari pagar rumahnya! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tak mengetahui.” (Qs. an-Nahl: 43)
Banyak orang yang mudah menerima kebenaran ketika kebenaran itu tak mengusik urusan pribadinya. Namun, tak sedikit pula orang yang menolak kebenaran hanya gara-gara kebenaran itu telah mengusik urusan pribadinya. Tidakkah kita ingat kisah Abu Thalib paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Pada dasarnya dia mengakui kebenaran ajaran yang dibawa oleh keponakannya itu, namun hanya karena khawatir apabila dia mengikuti ajaran itu maka celaan & komentar miring akan terlontar dari lisan suku Quraisy kepadanya, akhirnya syahadat pun tak mau diucapkannya, walau sekali. Hal itu menunjukkan bahwa keteguhan orang dlm meniti jalan kebenaran akan benar-benar tampak ketika kebenaran itu harus berhadap-hadapan dgn kemauan hawa nafsu & kebiasaan yang dijalaninya atau yang dijalani oleh masyarakatnya. Ketika berada dalam posisi seperti itu, bagaimanakah sikap yang diambilnya? Itulah cerminan penghambaan dirinya yang sebenarnya.
Sebagian orang-semoga Allah memberi mereka petunjuk- mengira bahwa nasehat yang disampaikan kepada mereka adalah bentuk kelancangan & kekurangajaran. Terlepas dari keras atau lembut cara menasehatinya, maka tak selayaknya seorang yang munshif (bersikap adil & objektif) mencampakkan kebenaran gara-gara kebenaran tersebut datang dengan cara yang tak berkenan atau kurang pas dalam pandangannya. Ya, itu sah-sah saja seorang menilai bahwa cara orang lain dlm menasihatinya tak pas atau tak beradab. Namun, bukan itu yang kita bicarakan! Yang kita maksud adalah kesadaran hati pada diri orang yang mendapatkan teguran agar kembali kepada Allah, & menyadari kekeliruannya-jika itu sebuah kekeliruan-tanpa menyimpan dendam. Bukankah Allah memerintahkan kita untuk memberikan maaf & berlapang dada dlm menyikapi kekurangan saudara kita? Bukankah kita pun senang jika kita diperlakukan demikian? Maka alangkah tak bijaknya kita ketika kita menyadari bahwa hujjah-hujjah yang kita miliki ternyata tak cukup kuat untuk mempertahankan sikap kita yang keliru atau kurang bijak, kemudian dalam kondisi seperti itu pun kita masih menuntut orang lain secara berlebihan untuk bersikap bijak & sopan dalam menegur kita. Sementara kita dengan begitu leluasa memuntahkan sejuta alasan untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan kita. Di sisi lain kita tak memberikan kesempatan baginya untuk melontarkan kritik kepada kita.
Wallahul musta’an.