Fiqih Sumpah
MUQODDIMAH
Salah satu keistimewaan yang telah Alloh berikan kepada manusia dari sekian banyak makhluk-Nya adalah kemampuan berbicara dengan berbagai bahasa yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi, tempat dan zamannya. Dengan kekuasan Alloh Ta’ala manusia dapat memahami maksud lawan bicaranya dan dapat membedakan maksud pembicaraannya disesuaikan dengan adanya tambahan-tambahan dalam pembicaraan atau hanya dengan gaya bicara, atau selainnya.
Agama Islam telah mengatur umatnya dalam berbagai aspek kehidupannya, tatkala mereka membutuhkan suatu cara untuk lebih meyakinkan orang lain akan kebenaran ucapannya, atau hanya sekedar ingin menghilangkan keraguan dalam ucapannya, maka Islam telah mengatur mereka dengan menggunakan sumpah (اليمين) dalam ucapannya.
Di sisi lain ketika Islam mengatur umatnya menggunakan kata sumpah, diatur juga di dalamnya larangan-larangan yang berkaitan dengan sumpah dan keharusan menebus kafaroh bagi orang yang menyelisihi sumpahnya. Marilah kita menyimak uraian tentang sumpah yang disyariatkan dan yang dilarang dalam Islam, semoga bermanfaat.
DEFINISI SUMPAH
Dari segi bahasa, (اليمين) /al-yamiin berarti tangan kanan, kemudian sumpah dinamai dengan istilah al-Yamiin lantaran dahulu orang-orang jahiliyah apabila bersumpah, mereka saling membentangkan tangan kanannya (bersalaman) sebagai tanda penguat sumpah mereka.
Adapun secara istilah fiqih-nya, sumpah adalah menguatkan perkataan dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan bentuk kalimat tertentu.[1]
PENJELASAN DEFINISI DAN SYARAT-SYARAT SUMPAH
Dari definisi yang telah disebutkan di atas, kita bisa mengetahui penjelasan dan syarat-syarat sumpah sebagai berikut;
1. Menguatkan perkataan, berarti orang yang bersumpah harus berniat untuk bersumpah. Apabila hanya sekedar ucapan sumpah yang tidak dimaksudkan, maka tidak dihukumi sebagai sumpah, dan ucapannya termasuk لغول اليمين (sumpah yang tidak dihukumi sebagai sumpah yang sebenarnya), hal ini sebagaimana firman Alloh;
لاَّ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ
Alloh tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak kamu maksudkan. (QS. al-Baqoroh [2]: 225)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata tentang ayat di atas: “(Maksudnya) adalah perkataan seseorang (ketika dita nya, lalu menjawab) ‘Tidak, demi Alloh’, atau ‘Benar, demi Alloh’. (padahal dia tidak bermaksud untuk bersumpah[2].)
2. Dari devinisi tersebut (menguatkan perkataan), maka seseorang yang bersumpah dianggap bersumpah apabila telah mukallaf (berakal dan baligh), serta tidak terpaksa.
Sehingga seorang anak yang belum baligh atau sudah baligh tapi tidak berakal (seperti orang gila), ataupun seseorang yang dipaksa apabila bersumpah maka sumpahnya tidak dianggap sah. Hal ini lantaran setiap amalan tidak dibebankan kecuali terhadap hamba yang sudah mukallaf[3], sebagaimana hadits yang mengatakan bahwa ‘Tidak ditulis beban kewajiban/dosa dari tiga golongan, anak kecil sehingga dewasa/baligh, orang gila/tidak berakal sehingga berakal, dan orang yang tidur sehingga dia bangun.’(HR. Abu Dawud no. 4298, Nasa’i 100/2, Ibnu Majah no. 2041, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam al-’lrwa‘ no. 297)
Dan dalam hadits yang lain[4] termasuk mereka juga orang yang dipaksa.
3. Dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan, berarti harus ada sesuatu yang diagungkan yaitu
Alloh atau nama-Nya atau sifat-sifat-Nya, karena Dia-lah yang Maha Agung dan lebih patut diagungkan, sedangkan selain-Nya maka semuanya telah dilarang untuk digunakan sebagai sesuatu yang diagungkan dalam sumpahnya. Sebagaimana sabda Rosululloh:
Alloh atau nama-Nya atau sifat-sifat-Nya, karena Dia-lah yang Maha Agung dan lebih patut diagungkan, sedangkan selain-Nya maka semuanya telah dilarang untuk digunakan sebagai sesuatu yang diagungkan dalam sumpahnya. Sebagaimana sabda Rosululloh:
Sesungguhnya Alloh melarang kalian untuk bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian, barangsiapa hendak bersumpah, maka hendak-lah la bersumpah dengan nama Alloh atau diam. (HR. Bukhori 2/161, dan Muslim 5/81)
Adapun bersumpah dengan menyebut sifat Alloh, maka seperti mengatakan “Aku bersumpah demi kemuliaan Alloh,” atau “Aku bersumpah demi keagungan Alloh.” Hal ini didasari oleh banyak hadits, di
Dari Anas, bahwasanya Rosululloh bersabda: “Senantiasa neraka Jahannam berkata masihkah ada tam-bahan? sampai Pemilik kemuliaan (Alloh) meletakkan kaki-Nya ke dalamnya, lalu dia (neraka) berkata: Cukup, cukup, (aku bersumpah) demi kemuliaan-Mu.” sehingga berdesakan sebagiannya dengan sebagian yang lain.” (HR. Tirmidzi 5/390, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Sunan Tirmidzi no. 3272)
4. Dari definisi tersebut (dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan), maka sumpah harus diucapkan dengan lisannya, apabila hanya bersumpah dalam hatinya, maka sumpahnya tidak sah karena bukan termasuk ucapan.
5. Dengan bentuk kalimat tertentu, dalam istilah bahasa Arab dikenal bentuk-bentuk sumpah semisal huruf wawu (واوالقسم), huruf Ta (تاء القسم ), dan huruf Ba (باء القسم ). Semua huruf-huruf tersebut dipakai sebagai alat untuk bersumpah yang artinya dalam bahasa kita adalah demi.
Contoh sebuah perkataan sumpah,والله لأزورنك غداً artinya, “Demi Alloh aku akan mengunjungimu besok.” ‘Huruf Wawu‘ yang artinya’demi’adalah bentuk kalimat khusus untuk bersumpah. ‘Alloh‘ adalah sesuatu yang diagungkan dalam sumpah.’Aku akan mengunjungimu besok‘ adalah isi sumpah.
HUKUM ASAL BERSUMPAH
Terjadi sedikit perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum asal bersumpah yang dapat disimpulkan pendapat mereka berkisar antara makruh dan mubah (dibolehkan) Kemudian mereka bersepakat bahwa sebaiknya tidak terlalu sering bersumpah karena Alloh berfirman[5];
وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ
Jagalah sumpah-sumpah kalian… (QS. al-Maidah [5]: 89)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Beberapa ahli tafsir menafsirkan ayat di atas ‘Janganlah terlalu sering bersumpah’. Lalu beliau rahimahullah menambahkan: “Tidak diragukan lagi bahwa hal ini (tidak terlalu sering bersumpah) adalah lebih utama dan lebih selamat serta lebih menjaga diri dari dosa.”[6]
BEBERAPA HUKUM BERSUMPAH
Para ulama membedakan hukum bersumpah sesuai dengan kondisi dan keadaan yang terjadi, dan dalam hal ini mereka membagi menjadi lima hukum;
1. Sumpah yang wajib, apabila dimaksudkan dalam bersumpah untuk membela kebenaran atau mencegah kedzoliman. Sebagai contoh, seseorang yang sedang diadili karena dituduh mencuri, dan kita mengetahui orang tersebut tidak mencuri bahkan kita tahu bahwa barang yang ada padanya dia miliki dengan jual beli yang sah, maka sebagai saksi kita wajib bersumpah di hadapan hakim untuk membela kebenaran dan mencegah kedzoliman pada orang tersebut.
2. Sumpah yang sunnah, apabila bersumpah untuk melakukan perkara sunnah, semisal berkata: “Demi Alloh saya akan puasa sunnah Senin dan Kamis.”
3. Sumpah yang mubah, dan ini adalah asal hukum sumpah selama tidak terlalu sering bersumpah, sebagaimana telah dijelaskan di atas, yang maksudnya adalah bersumpah untuk melakukan suatu perkara yang mubah, seperti seseorang yang mengatakan: “Demi Alloh saya akan makan roti.” dan semisalnya.
4. Sumpah yang haram, yaitu bersumpah untuk melakukan perbuatan haram atau meninggalkan perkara wajib, atau bersumpah tetapi berbohong. Sebagai contoh seseorang mengatakan: “Demi Alloh saya akan tinggalkan sholat wajib,” atau mengatakan: “Demi Alloh saya akan minum khomer.”Dan semisalnya.
5. Sumpah yang makruh, yaitu apabila bersumpah untukmelakukan perkara yang makruh, semisal seseorang mengatakan: “Demi Alloh, saya akan begadang sam-pai larut malam.”
SUMPAH YANG DILARANG
Suatu ketika sumpah hukum-nya menjadi haram, dan bahkan akan menjadi sebuah kesyirikan apabila di dalamnya ada unsur kesyirikan.
- Termasuk sumpah yang haram dan termasuk dosa besar adalah bersumpah untuk melakukan perbuatan haram atau meninggalkan perkara wajib, atau bersumpah tetapi berbohong.
- Termasuk kesyirikan, apabila seseorang bersumpah dengan menyebut nama selain nama Alloh, hal ini lantaran sumpah mengandung pengagungan, sedangkan pengagungan hanyalah kepada Alloh. Mengagungkan Alloh adalah ibadah, apabila ibadah dipalingkan kepada selain-Nya maka itu adalah
Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Alloh, maka sungguh dia telah kafir atau menyekutukan (Alloh) (Dihasankan olehTirmidzi[7])
Dari hadits di atas kita dapat mengetahui bahwa bersumpah dengan nama selain nama Alloh, adalah dilarang bahkan termasuk kesyirikan[8], hal itu semisal yang sering terjadi di antaranya ucapan; “Demi Rosul,” “Demi malaikat.” “Demi langit dan bumi,”"Demi penjaga laut ini,”"Demi sunan atau ‘wali’ fulan,”dan selainnya.
KAFAROH BERSUMPAH DENGAN SELAIN NAMA ALLOH
Tidak ada kafaroh khusus bagi seseorang bersumpah dengan selain nama Alloh, hanya saja dia telah melanggar larangan agama. Sumpahnya tidak dianggap sebagai sumpah yang sah, sehingga wajib baginya bertaubat kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, dan mengganti ucapan sumpahnya dengan mengucapkan
Barangsiapa bersumpah dengan nama Lata, dan Uzza, maka hendaklah dia mengucapkan ‘la Ilaha illalloh’ (Tiada llah yang berhak disembah secara haq kecuali Alloh) (HR. Ibnu Majah no. 2096, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil no.2563)
ALLOH BERSUMPAH DENGAN MENYEBUTKAN MAKHLUK-NYA
Alloh yang Maha Menguasai makhluk-Nya berhak bersumpah dengan menyebutkan makhluk-makhluk yang dikehendaki-Nya seperti yang terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an, misalnya ‘Demi masa,”Demi langit, ‘Demi Matahari.’ dan selainnya-, maka hal ini merupakan hak Alloh Ta’ala semata dan ini menunjukkan kebesaran Alloh yang Maha Agung. Perbuatan ‘Alloh tidak bisa ditanyakan, kenapa demikian dan demikian, sebagaimana firman-Nya;
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
Dia (Alloh) tidak ditanyai apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanyai. (QS. al-Anbiya’ [21]: 23)
Berbeda dengan makhluk-Nya, maka tidak diperkenan,kan untuk bersumpah kecuali dengan menyebut nama Alloh atau sifat-Nya, sebagaimana sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Sesungguhnya Alloh melarang kalian untuk bersumpah dengan nama bapak-bapak kalian, barangsiapa hendak bersumpah, maka hendaklah la bersumpah dengan nama Alloh atau diam. (HR. Bukhori 2/161, Muslim 5/81)
SUMPAH YANG SIA-SIA
Maksud laghwul yamiin adalah perkataan sumpah yang sering terucap hanya di mulut tetapi tidak ada maksud dalam hati untuk bersumpah. Alloh menghukumi perkataan seperti ini sebagai perkataan yang sia-sia, pelakunya tidak berdosa, serta tidak ada kewajiban membayar kafaroh[9], sebagaimana firman Alloh;
لاَّ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ
Alloh tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak kamu maksudkan … (QS. ai-Baqoroh[2]:225)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata tentang ayat di atas: “(Maksudnya) adalah perkataan seseorang (ketika ditanya, lalu menjawab): ‘Tidak, demi Alloh’, atau ‘Benar, demi Alloh’ (padahal dia tidak bermaksud untuk bersumpah).[10] .“
Ibnul Mundzir rahimahullah juga menukil semisal perkataan Aisyah di atas dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan selainnya dari kalangan sahabat rashiyalllahu ‘anhum serta para tabi’in[11].
SUMPAH GHOMUS ( اليمين الغموس )
Yang dimaksud sumpah ghomus adalah sumpah yang diucapkan seseorang tetapi dusta untuk mengambil harta orang lain dengan cara dholim. Dinamakan ghomus, karena asalnya adalah ghomisah (غامسة) yang artinya menenggelamkan,yaitu menenggelamkan pelakunya ke dalam dosa, lalu terus menenggelamkannya ke neraka.
Suatu contoh, ada seseorang meminjam uang kepada saudaranya, kemudian tatkala jatuh tempo, si peminjam tersebut mengingkari hutangnya, lalu tatkala dihadapkan kepada hakim, dia bersumpah dengan nama Alloh bahwa dia tidak pernah meminjam uang kepada saudaranya”[12]. Hal ini didasari oleh sabda
Dari Abdullah bin Amr Ibnul Ash, bahwasanya datang seorang Badui kepada Nabi bertanya: “Wahai Rosululloh, apa dosa-dosa besar itu?” Rosululloh menjawab: “menyekutukan Alloh.” lalu dia berkata: “Kemudian apa lagi?’ Rosululloh menjawab: “al-Yamin al-ghomus.” Dia bertanya: “Apakah al-yamin al-ghomus itu?” Rosululloh menjawab: “Yaitu (seseorang) yang mengambil harta seorang muslim, dengan sumpah yang ia dusta di dalamnya.” (HR. .Bukhori no. 6675, dan Nasa’i no. 4868)
MELANGGAR SUMPAH (حنث اليمين ) WAJIB MEMBAYAR KAFAROH
Apabila seseorang bersumpah untuk melakukan sesuatu atau bersumpah untuk meninggalkan sesuatu, lalu dia menyelisihi apa yang telah disumpahkan, maka dia telah melanggar sumpahnya, dan barangsiapa yang melanggar sumpahnya, maka dia wajib membayar kafaroh sumpahnya.
Atau boleh mendahulukan kafaroh sebelum melanggar sumpahnya (mendahulukan kafaroh sebelum melanggar sumpahnya dikenal dengan istilah التحلة tahillah apabila dia melihat bahwa yang lebih baik adalah sebaliknya.
Tahillah sama dengan kafaroh hanya saja tahillah dilakukan sebelum melanggar sumpahnya, sedangkan kafaroh dilakukan setelah melanggar sumpahnya[13], sebagaimana sabda Rosululloh kepada Abdurrohman bin Samuroh;
“Apabila engkau bersumpah, lalu engkau melihat selainnya lebih baik dari yang engkau sumpahkan, maka tebuslah kafaroh sumpahmu, dan lakukan apa yang lebih baik. Dalam satu lafadz (beliau mengatakan). Maka lakukan apa yang lebih baik dan tebuslah kafaroh sumpahmu” (HR. Bukhori no. 6122, dan Muslim 4/11/116 dengan syarah Imam Nawawi)
SYARAT-SYARAT WAJIBNYA KAFAROH SUMPAH
Membayar kafaroh sumpah menjadi wajib apabila terpenuhi dua syarat berikut;
- Sumpah yang diucapkan adalah sumpah yang sah, yaitu yang memenuhi persyaratan sumpah yang telah dijelaskan (lihat penjelasan definisi sumpah dan syarat-syaratnya).
- Adanya pelanggaran dalam sumpahnya, seperti melakukan apa yang telah dia sumpahkan untuk ditinggalkan atau sebaliknya[14].
PERINCIAN KAFAROH SUMPAH
Telah dijelaskan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala kafaroh sumpah secara jelas dan terperinci, sebagaimana dalam firman-Nya;
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ
Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang tidak kamu maksudkan, akan tetapi Alloh menghukum kamu dengan sumpah yang kamu sengaja, maka kafaroh (penebus) sumpah itu (apabila kamu melanggar sumpahmu) adalah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kamu makan, atau memberi pakaian mereka (sebanyak sepuluh orang miskin), atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak mampu (satu dari tiga hal di atas), maka hendaklah dia berpuasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafaroh sumpahmu jika kamu bersumpah (apabila kamu melanggarnya), dan jagalah sumpah-sumpahmu! (QS. al-Ma’idah [5]: 89)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kafaroh sumpah ada dua tahapan; (1) Dalam bentuk pilihan antara tiga hal, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak. (2) Apabila tidak mampu salah satu dari tiga hal pada tahap pertama, maka dia harus berpuasa selama tiga hari.
BERPUASA TIGA HARI BERTURUT-TURUT
Para ulama berbeda pendapat apabila seseorang yang melanggar sumpahnya, dan tidak dapat membayar kafaroh salah satu dari tiga pilihan di atas, apakah dia harus berpuasa tiga hari berturut-turut atau boleh dipisah-pisah.
Pendapat pertama mengatakan tidak harus berturut-turut[15]. Mereka berdalil keumuman firman Alloh dalam QS. al-Ma’idah 89, ‘maka berpuasa tiga hari’, dan tidak disebutkan kata ‘berturut-turut’.
Pendapat kedua mengatakan harus berturut-turut[16]. Mereka berdalil dengan bacaan Ibnu Mas’ud ketika
Maka berpuasa tiga hari berturut-turut.[17]
Pendapat yang lebih kuat
Dari dua pendapat yang saling bertolak belakang di atas, maka yang lebih kuat adalah pendapat kedua, yaitu pendapat mayoritas para ulama, karena bacaan dari Ibnu Mas’ud adalah bacaan yang shohih,yang dikuatkan oleh banyak riwayat yang semakna dengannya, bahkan bacaan Ibnu Mas’ud ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas (sebagaimana dijelaskan oleh al-AI-bani dalam Irwa’ al-Gholil no. 2578)
PERKATAAN INSYA’ DALAM SUMPAH
Barangsiapa bersumpah dengan nama Alloh, kemudian dia mengatakan insya’ Alloh, maka perkataan insya’ Alloh bermanfaat dalam sumpahnya, sehingga dia tidak dikatakan melanggar sumpahnya apabila menyelisihi apa yang telah disumpahkan, hal ini lantaran dia telah menggantung-kan perkaranya kepada kehendak Alloh,
Barangsiapa bersumpah (dengan nama Alloh), lalu mengucapkan insya’ Alloh (apabila Alloh menghendaki), maka dia tidak dianggap melanggar sumpahnya (apabila menyelisihi sumpahnya). (HR. Ahmad 2/309, Tirmidzi 2/146, Abu Dawud no. 3261, Ibnu Majah no. 2104, Ibnu Hibban no. 1185, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa’al-Gholil no. 2570)
KESIMPULAN
- Maksud dari sumpah adalah untuk menguatkan. Kebenaran ucapan, atau menghilangkan keraguan ucapan.
- Sumpah yang dibolehkan adalah dengan menyebut nama Alloh atau salah satu dari nama-Nya, atau salah satu dari sifat-sifatnya, apabila disebutkan selainnya maka hukumnya haram, atau merupakan kesyirikan.
- Alloh bersumpah dengan menyebut makhluk-Nya, karena itu adalah hak Alloh dan tiada yang lebih agung kecuali Alloh.
- Ucapan sumpah yang biasa terucap, tetapi tidak diniatkan bersumpah dari hatinya adalah laghwul yamin (sumpah yang sia-sia), dan tidak dihukumi sebagai sumpah, serta tidak ada kafarohnya.
- Apabila seseorang menyelisihi sumpahnya, maka wajib membayar kafaroh dengan perincian yang telah disebutkan.
- Perkataan insya’ Alloh dalam sumpah berarti menyandarkan masalah kepada kehendak Alloh, sehingga tidak ada kewajiban membayar kafaroh bagi orang yang melanggar sumpahnya,sedangkan ia mengucapkan insya’Alloh.
Demikianlah yang dapat kami kumpulkan dari pembahasan masalah sumpah dan beberapa hal yang berkaitan dengannya, mu-dah-mudahan kita dapat memaha-minya dan mengamalkannya, de-ngan tidak terlalu sering menggu-nakan sumpah kecuali kalau dibu-tuhkan, dan apabila terjadi pelang-garan maka kewajiban kita untuk menebusnya dengan kafaroh yang telah ditetapkan untuknya.
Wallohu A’lam.
[1] Lihat kitab al-Fiqh ‘Alal-Madzahib al-’Arba’ah 2/55, as-Syarh al-Mumthi’ ‘Ala Zad al-Mustaqni’ 11 /363, Taudhihul Ahkam 6/81, dan al-Mulakhkhoshaat al-Fiqhiyah al-Muyassaroh hal. 147.
[2] HR. Bukhori 11464.
[3] Dinukil dari as-Sail al-Jarror al-Mutadaffiq ‘ala Hada’iq al-’Azhar Imam Syaukani 4/5.
[4] HR. Ibnu Majah 1/659, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa’al-Gholil.
[5] Lihat Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah 2/55-56.
[6] As-Syarh al-Mumthi” ala Zadal-Mustaqni 11/365.
[7] HR.Tirmidzi 1/290, Abu Dawud no. 3251, Ibnu Hibban no. 1177, al-Hakim 4/297, dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil no. 2561
[8] Jika di dalamnya terdapat pengagungan terhadap selain Alloh sebagaimana mengagungkan Alloh atau lebih maka hal itu merupakan syirik besar dan Jika tidak maka merupakan syirik dalam hal lafadz dan ini merupakan syirik kecil (red).
[9] Ibnu Abdil Bar mengatakan dalam al-lstidzkar 11/547: “Para ulama bersepakat bahwa Laghwul Yamin tidak ada kafarohnya (dinukil dari Manarus Sabil fi Syarh ad-Dalil 3/1076)
[10] HR. Bukhori 11464.
[11] . Lihat at-Ta’liqot ar-Rodhiyah ‘Ala ar-Roudhoh an Nadiyah 2/550.
[12] Diringkas dari perkataan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam as-Syarhal-Mumthi’ 11/371 -372,dan lihat as-Sailul Jarror oleh Imam Syaukani 4/14-15.
[13] Faedah ini dikatakan oleh Syaikh Doktor Abdurrohman ad-Dahsy ketika membahas Umdatul Ahkam Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits yang pertama dan ke dua.
[14] Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom 6/86, dan as-Syarh al-Mumthi’ 11/374-375.
[15] Ini adalah pendapat Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya al-lman, dan Imam Malik rahimahullah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2-3/177 cet. Dar at-Thoyyibah)
[16] Ini adalah pendapat mayoritas para ulama, seperti Imam Syafi’i dalam al-Umm, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Mujahid, as-Sya’bi dan lainnya (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2-3/177 cet. Dar at-Thoyyibah)
[17] Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Jarir 7/20, al-Baihaqi 10/60, Malik 1/305/49, Ibnu Abi Syaibah 4/185, dan al-Hakim 2/276.