Kebanyakan kita memaknai perilaku memberi sebagai bentuk pengurangan terhadap apa yang kita miliki. Bahkan, tak jarang ada yang menganggap sebagai suatu kerugian!. Memberi uang pada orang lain berarti mengurangi isi kocek; memberi suatu barang berarti mengurangi inventaris harta; memberi perhatian, kasih sayang dan penghargaan berarti menyedot energi, waktu dan pikiran.
Tidak heran, jika sebelum atau sesudah memberi kita cenderung menghitung-hitung berapa banyak pemberian itu mengurangi uang, barang, waktu dan energi yang kita miliki. Itulah sebabnya, mengapa sebagian kita berpikir tentang pemberian yang minimal dan sekedarnya agar tetap tersisa sebagian besar milik kita setelah proses memberi. Itulah sebabny, mengapa kita cenderung mengharap ada pemberian balasan untuk menggenapkan kembali apa yang berkurang.
Hakikat Memberi
Dalam konsep ilahiyah, memberi berarti memperoleh; mengorbankan berarti investasi; menyumbangkan berarti menabung. Jika kita menginfakkan harta, waktu, energi dan pikiran kita untuk tujuan dakwah maka akan ada jiyadah (tambahan atau kelebihan) yang akan kita terima. Kadangjiyadah itu berupa keberkahan dan kemuliaan yang menyertai hidup kita, kadang pula berupa materi yang berlipat ganda datang dari arah yang tak pernah kita duga.
Ya, tak ada konsep rugi dan impas dalam bertransaksi dijalan-Nya, sebab semua itu akan dibayar tuntas dengan balasan berlipat ganda. Namun harap dipenuhi dulu syaratnya, yaitu adanya kesungguhan (mujahadah) dan keikhlasan mengharap ridho-Nya semata. Tanpa keduanya jangan harap pemberian kita akan bebuah.
Dengan mujahadah dan ikhlas, kita tak perlu takut memberi pada siapapun. Berilah senyum pada orang di sekitar kita, maka kita akam memperoleh keramahannya. Berilah penghargaan pada prestasi bawahan kita, maka kita akan memperoleh kontribusi terbaiknya. Berilah perhatian dan kasih sayang maka kita akan memperoleh didikasi dan loyalotasnya. Berilah yang terbaik dari harta, waktu, pikiran dan energi kita untuk jalan dakwah, niscaya kita akan memperoleh yang terbaik yang bisa diterima seorang hamba dari Rabbnya.
Sayyid Qutb, seorang pemikir dan penulis besar dari Mesir, pernah menuliskan bahwa ia tidak pernah takut menghadapi kematian. Mengapa ia begitu yakin dengan kehidupan sesudah mati, padahal sebagian besar manusia takut menghadapi saat-saat akhir? Rahasianya adalah karena ia telah banyak memberi; memberi pada negaranya, pada umatnya, dan pada peradaban dunia, Ia bukan saja memberikan harta, tenaga, ilmu, tapi juga cinta kasih dan perhatiannya guna menggiring mereka menggapai bahagia dunia akhirat.
Saat menghadapi tiang gantungan, Sayyid Qutb berdiri dengan kepala tegak dan wajah penuh senyum. Ia yakin, sesaat lagi tibalah waktunya untuk menerima kembali segala bentuk pemberiannya di jalan dakwah, Ia juga yakin, pengembalian itu bukanlah sekadar pengembalian BEP (Impas), tapi pengembalian berlipatganda. Ya, janji Allah amat pasti!. Sesungguhnya Ia akan membayar mahal apa saja yang telah kita berikan, sumbangkan dan kontribusikan di jalan-Nya dengan sepenuh sungguh dan ikhlas. Duhai, amat merugilah mereka yang gemar berhitung-hitung dan takut merasa rugi saat melakukan aktivitas memberi. (Dwi Septiawat Djafar/Ummi edisi 1/XV/2003)