Jemput Hidayah Dengan Amal
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِين
Mukaddimah
Ayat ini tak sebatas dengan urusan memerangi orang-orang kafir saja, tapi ia mencakup makna jihad secara umum. Mengerahkan segenap kemampuan untuk sebuah kebaikan dan ketaatan dalam agama Allah semata demi meraih ridha-Nya. Demikian Ibnu Athiyyah berkata yang dikutip oleh mufassir ternama Imam al-Qurthubi.
Lebih jauh Abdullah bin Abbas menambahkan, ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang senantiasa beramal dengan apa yang mereka ketahui. Dalam sebuah Hadits disebutkan, “Barang siapa beramal dengan apa yang ia ketahui, niscaya Allah mewariskan ilmu yang belum ia pahami.” (Riwayat Anas bin Malik dalam kitab Hilyah al-Auliya).
Imam Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Hendaknya kalian bermujahadah pada apa yang kalian ketahui, niscaya Allah mencurahkan ilmu dan hidayah-Nya pada apa-apa yang kalian belum ketahui.”
Makna Ayat
Ayat ini menerangkan korelasi kuat antara ketakwaan dan ilmu. Ketika seorang Muslim merasa susah memperoleh ilmu, hendaknya ia lalu menakar diri. Sebab, boleh jadi ada dosa yang ia lakukan sebagai penghalang dari ilmu yang ia cari saat ini. Layaknya dua kutub yang berlawanan, ilmu adalah cahaya yang bersinar sedang dosa dan maksiat tak lain sebagai sekat dan noda hitam. Dua hal ini tak bisa bergandeng satu sama lain. Sebab ketika seseorang bermaksiat, timbul setitik noda dalam hati manusia. Jika titik tersebut terus bertambah dan menyatu, maka yang ada justru noda hitam yang bisa jadi penghalang dari pancaran cahaya tersebut.
Termasuk dosa dalam berinteraksi dengan ilmu adalah ketika apa yang telah diketahui justru hanya sebatas kumpulan pengetahuan saja tanpa amalan. Ibarat kata pepatah, ilmu tanpa amal bagaikan sebatang pohon tanpa buah. Umar bin Abdul Aziz berkata, “Sesungguhnya kekurangan ilmu yang terjadi pada seseorang tak lain karena ia tidak mengamalkan apa yang ia ketahui. Andai sorang Muslim melaksanakan sebagian saja ilmu yang ia miliki, niscaya Allah mencurahkan lautan ilmu-Nya hingga tubuh ini tak kuasa lagi menanggungnya.”
Alhasil, dengan pemahaman di atas, maka sikap memisahkan ilmu dengan agama adalah upaya yang tidak benar. Ini tak lain hanya bagian dari propaganda gerakan sekularisasi ilmu pengetahuan seperti yang dipopulerkan oleh orang-orang liberal saat ini. Mereka menganggap tak ada hubungannya antara kepintaran dan ilmu manusia dengan agama dan ketaatan kepada Allah. Mereka berdalih, urusan agama cocoknya di masjid saja. Tak usah dibawa-bawa dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Sikap keliru tadi tentunya hanya berujung kepada kerusakan yang merajalela di tengah masyarakat. Baik kerusakan yang bersifat fisik, terlebih lagi kehancuran dan degradasi moral yang melanda seluruh masyarakat saat ini. Lebih fatal lagi, karena hal itu justru ditimbulkan dan dilakoni oleh orang-orang yang seharusnya memberi teladan dengan kepakaran ilmu yang mereka miliki.
Ragam Hidayah dari Allah
Imam Abu Hayyan al-Andalusi, pengarang Tafsir al-Bahru al-Muhith menerangkan, dengan keumuman mujahadah dan jihad yang diperintahkan dalam ayat ini, Allah menyediakan ragam bentuk hidayah yang dijanjikan tersebut. Terlebih selain adanya penguatan makna pada kata “lanahdiyannahum” (benar- benar Kami tunjukkan kepada mereka), penyebutan kata “subul” sendiri adalah nakirah (bentuk umum).
Janji dengan ragam hidayah dan pertolongan itu antara lain seperti yang dirangkum oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, “Imam Sahl bin Abdillah berkata, ‘Orang-orang yang berjuang menegakkan sunnah, niscaya Allah memudahkan mereka jalan menuju surga.’ Ibnu Abbas juga berkata, ‘Berjihad dan perangilah hawa nafsumu dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, mensyukuri nikmat-Nya, serta bersabar atas cobaan-Nya. Sebab, hal itu akan mengantar seorang hamba meraih hidayah-Nya dan ia semakin dekat dengan Sang Rabb.’
Seorang tabi’in, ad-Dhahhak mengomentari pula, “Barangsiapa berjihad dalam urusan hijrah dan ketaatan, maka Allah menjamin ketetapan iman dalam dirinya. Perumpamaan sunnah di dunia layaknya surga di kampung akhirat. Siapa saja yang memasuki surga maka ia selamat. Sebagaimana seorang Muslim yang senantiasa bermujahadah menegakkan sunnah dalam kehidupannya, maka ia juga termasuk orang yang selamat dalam kehidupannya.”
Terakhir, al-Hasan bin al-Fadhl berkata, “Ayat ini mengandung takdim dan takhir dalam korelasi hidayah dan mujadahah. Seorang Muslim yang bermujahadah niscaya mendapatkan jalan hidayah. Mujahadah adalah instrumen yang dipersyaratkan oleh Allah dalam meraih hidayah-Nya. Sebagaimana hanya hamba yang diberi hidayah yang mampu bertarung dalam menegakkan kebaikan dan kalimat tauhid di muka bumi ini.”
Allah Bersama Orang yang Cinta Kebaikan
Di penghujung ayat ini, sekali lagi Allah memberi garansi tauhid (penguatan makna) kepada orang-orang yang senantiasa berupaya menebar kebaikan (muhsinin), yakni Dia niscaya bersama dan mencintai mereka. Kebaikan apa pun tak pernah sia-sia di mata Allah Ta’ala. Selama ia memenuhi syarat diterimanya sebuah amalan, maka kebaikan itu selalu bernilai di sisi Allah dan bermanfaat bagi manusia.
Bagi orang-orang beriman, janji akan kebersamaan Allah dengan hamba-Nya tentu menjadi spirit terbesar dalam menabur benih kebaikan sebanyak mungkin dalam kehidupan ini. Hal ini mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Hidayah dan ridha Allah menjadi sesuatu yang sangat “gampang” ketika Allah cinta kepada para kekasih-Nya (waliyullah). Bantuan Allah bahkan menjadi hal yang tidak lagi berjarak dengan hamba-Nya, karena orang-orang yang mencintai kebaikan itu memang berhak mendapatkan pertolongan dari-Nya.
Dalam syariat Islam, level ihsan menempati peringkat tertinggi di atas Islam dan iman. Hal ini tergambar dari Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang bertutur tentang urutan serta pengertian Islam, iman, dan ihsan. Ketika ditanya oleh Malaikat Jibril tentang definisi ihsan, Nabi SAW menjawab, “Kalian menyembah kepada Allah seakan-akan kalian melihat-Nya, kalaupun kalian tak mampu melihat-Nya maka ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Melihat (apa yang kalian kerjakan).”
Lebih jauh, Ibnu Abi Hatim menceritakan perkataan Nabi Isa Alaihissalam tatkala ditanya tentang pengertian ihsan itu. Nabi Isa menjawab, “Bukanlah perbuatan itu disebut ihsan jika kalian membalas kebaikan orang yang berbuat baik kepadamu, tapi ihsan adalah ketika kalian mampu berbuat baik justru kepada orang yang berbuat jahat kepadamu. (Tafsir Fath al-Qadir, Imam asy-Syaukani)
Alhasil, hendaknya seorang Muslim tak perlu bertanya bagaimana bentuk dan cara Allah menurunkan hidayah-Nya. Sebab hakikatnya, pertolongan Allah begitu dekat dengan para hamba-Nya. Tinggal bagaimana mereka meyakini hal tersebut lalu menjemput pertolongan dan hidayah dengan penuh mujahadah.