Jangan berjabat tangan setelah sholat 5 waktu, karena Rasulullah tidak melakukannya.
Bid’ah dalam Berjabat Tangan
Mengucapkan salam dan berjabat tangan kepada sesama Muslim adalah perkara yang terpuji dan disukai dalam Islam. Dengan perbuatan ini hati kaum Muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di antara mereka. Namun apa yang terjadi jika perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya? Tidak ada kebaikan yang didapat bahkan pelanggaran syariatlah yang terjadi.
Kita tidak mengetahui dari salah seorang sahabat pun atau Salafush Shalih Radhiyallahu Anhum bahwa apabila mereka selesai dari shalat menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menjabat tangan orang di sekitarnya agar diberkahi sesudah shalat.
Seandainya salah seorang dari mereka melakukan hal itu, sungguh akan dinukilkan bagi kita meskipun dengan sanad yang lemah dan ulama akan menyampaikan kepada kita karena mereka terjun di semua lautan lalu menyelam ke bagian yang terdalam dan menngeluarkan hukum-hukum darinya. Mereka tidak mungkin menyepelekan sunnah Qauliyyah, Fi’liyyah, Taqririyyah atau sifat (sabda, perbuatan, persetujuan atau sifat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam ) [ Tamam Al Kalaam fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da As Salaam hal. 24 - 25 dan Al Masjid fi Al Islam, hal. 225 ]
Kebaikan seluruhnya dalam mengikuti Rasul Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam (Fatawa Al Izzi Bin Abdus Salam hal. 46 – 47 dan lihat Al Majmu’ 3/488)
Syaikh Al Albani berkata dalam As Silsilah As Shahihah 1/23 : “Adapun jabat tangan setelah shalat adalah bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum bersua sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah.”
Al Luknawi berkata setelah menyebutkan silang pendapat tentang jabat tangan setelah shalat : “Di antara yang melarang perbuatan itu adalah Ibnu Hajar Al Haitami As Syafi’i, Quthbuddin Bin ‘Ala’ddin Al Makki Al Hanafi dan Fadlil Ar Rumi dalam Majalis Al Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek, ketika beliau berkata : “Berjabat tangan adalah baik saat brtemu. Adapun selain saat bertemu misalnya keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari raya sebagaimana kebiasaan di zaman kita adalah perbuataan tanpa landasan hadits dan dalil !” Padahal telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil berarti tertolak dan tidak boleh taqlid padanya (sumber yang sama dan Ad Dienul Al Khalish 4/314, Al Madkhal 2/84, dan As Sunan wa Al Mubtada’at hal. 72 dan 87)
Beliau juga berkata : “Sesungguhnya ahli fikih dari kelompok Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Malikiyyah menyatakan dengan tegas tentang makruh dan bid’ahnya. Beliau berkata dalam Al Multaqath : “Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah shalat dalam segala hal karena Shahabat tidak saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasannya perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah. Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyyah berkata : “Apa yang dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan setelah shalat lima waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada asalnya dalam syariat.”
Dan alangkah fasihnya perkataan Beliau Rahimahullahu Ta’ala dari Ijtihad dan Ikhtiarnya. Beliau berkata : Pendapat saya : “Sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat tangan (setelah shalat ) ini tidak ada asalnya dari syariat”. Kemudian mereka berselisih tentang makruh atau mubah. Suatu masalah yang berputar antara makruh atau mubah, harus difatwakan untuk melarangnya, karena menolak mudharat lebih utama daripada menarik maslahah. Lalu kenapa dilakukan padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara yang mubah?
Sementara orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai perkara yang baik, menjelek-jelekkan dengan sangat orang yang melarangnya dan mereka terus menerus dalam perkara itu. Padahal terus menerus dalam perkara yang mandub (sunnah) secara berlebihan akan menghantarkan pada batas makruh. Lalu bagaimana jika terus menerus dalam perkara yang bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syariat?
Akhirnya sebagai penutup harus diperingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim, kecuali dengan sebab yang syar’i. Yang kami saksikan berupa gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka melaksanakan dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib kemudian mereka dengan tiba-tiba mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan seterusnya yang memaksa mereka tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena jabatan tangan akan tetapi karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena jabat tangan ini padahal tidak ada sebab-sebab berupa perjumpaan atau semisalnya.
Jika permasalahannya demikian, maka bukanlah termasuk dari hikmah jika anda menarik tangan Anda dari tangan orang disamping Anda yang terulur pada Anda. Karena ini sesungguhnya adalah sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut dan jelaskan kepadanya kebid’ahan jabat tangan ini yang diada-adakan manusia. Betapa banyak orang yang terpikat dengan nasihat dan dia orang yang pantas dinasihati.
Hanya saja ketidaktahuan telah menjerumumskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah. Maka wajib atas ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran, tetapi tidak tepat memilih metode yang selamat. Maka dia terjerumus ke dalam kemungkaran yang lebih besar daripada yang diingkari sebelumnya. Maka lemah lembutlah wahai da’i-da’i Islam. Buatlah manusia mencintai kalian dengan akhlak yang baik niscaya kalian akan menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga yang mendengar dan hati yang penuh perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia lari dari kekasaran dan kekerasan (Tamam Al kalam fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da As Salam hal. 23). [Dinukil dari SALAFY Edisi XIV/Syawal/1417 H/1997 M]
Maksiat dalam Berjabat Tangan
Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram / wanita asing (ajnabi) merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah.
Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya” [Hadits Shahih, Lihat takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku].
Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]
[Disalin dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid, Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]