KOMPAS.com - Letusan Krakatau pada Senin 27 Agustus 1883 memang dahsyat. Kekuatan letusan gunung berapi tersebut mencapai 100 megaton bom nuklir dan 13.000 kali bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Letusan juga terdengar hingga sejauh 600 km sekeras meriam. Abu vulkaniknya mencapai stratosfer dan bertahan bertahun-tahun sesudahnya.
Satu hal yang jarang diuraikan adalah akibat letusan Krakatau pada warna Bulan dan Matahari. Situs NASA menjelaskan, selama bertahun-tahun setelah letusan itu, Bulan setiap malam selalu hadir dalam warna biru. Abu dari Krakatau juga menyebabkan Matahari berwarna lavender atau keungu-unguan serta pertama kalinya, awan noctilucent.
Komposisi pasrtikel atau zat pengotor di atmosfer memang mempengaruhi warna benda-benda langit dari permukaan Bumi. Misalnya, saat Gerhana Bulan Total terjadi, di mana Bumi, Bulan, dan Matahari berada di satu garis lurus. Kondisi ini menyebabkan Bulan tidak menerima cahaya langsung dari Matahari. Andai Bumi tak memiliki atmosfer, Bulan akan lenyap dari pandangan saat gerhana. Namun, karena bulan memilikinya, biasanya Bulan akan berwarna jingga, kekuningan, atau kemerah-merahan.
Jika atmosfer relatif bersih dari partikel debu, pantulan cahaya warna biru akan terserap atmosfer dan warna merah yang paling banyak dihamburkan. Gelombang warna merah ini yang lalu diteruskan Bulan ke permukaan Bumi, membuat manusia di Bumi melihat warna tersebut.
Debu vulkanik bisa "mengubah" warna yang biasanya merah menjadi biru. Partikel debu vulkanik bisa memiliki ukuran sebesar 1 mikron. Ini menyebabkan cahaya biru adalah yang paling banyak dihamburkan sehingga Bulan pun berwarna biru. Dalam kasus Matahari, penghamburan sinarnya juga mengakibatkan tampaknya warna lavender.
Akibat letusan Krakatau, Bulan bertahan berwarna biru selama dua tahun. Selain Krakatau, letusan gunung yang juga mengakibatkan Bulan Biru adalah Gunung St Helen pada tahun 1980, El Chicon pada tahun 1953, dan Pinatubo tahun 1991.
Astronom Ma'rufin Sudibyo mengatakan, debu vulkanik memang bisa mengakibatkan perubahan intensitas dan warna Bulan serta Matahari. Dalam kasus tertentu, Bulan bisa benar-benar lenyap saat gerhana. Matahari juga berkurang intensitasnya hingga mencapai ambang batas kebutuhan untuk fotosintesis tumbuhan jika pengotoran yang terjadi kelas berat.
Ma'rufin saat dihubungi Sabtu (10/12/2011) mengatakan, "Secara teori, kalo atmosfernya kotor, kemampuannya untuk menghamburkan cahaya Matahari berkurang. Cahaya merah, yang seharusnya paling banyak dihamburkan dan bisa melintasi kerucut umbra dan jatuh di permukaan Bulan, menjadi sangat berkurang. Akibatnya tak ada cukup cahaya di permukaan Bulan saat totalitas terjadi sehingga Bulan jadi benar-benar gelap."
"Misalnya letusan gunung Agung 1963, membuat gerhana Bulan di tahun berikutnya benar-benar gelap saat totalitas terjadi. Gunung Agung mengeluarkan 300 juta meter kubik magma," sambung Ma'rufin. Letusan Krakatau, El Chicon dan Pinatubo pun juga awalnya mengakibatkan hal serupa. Debu Pinatubo dinyatakan seudah mengendap tahun 1997 sehingga kini tak ada efek lagi karenanya.
Letusan Merapi dan Eyjafjallajokul di Islandia dan Merapi di Yogyakarta tahun lalu, kata Ma'rufin, secara akumulatif juga menyemburkan 300 juta meter kubik abu vulkanik ke lingkungan. Namun, masih merahnya Bulan saat gerhana Sabtu malam membuktikan bahwa aktivitas dua gunung berapi tersebut tak berpengaruh pada warna Bulan saat gerhana.
Soal berkurangnya intensitas cahaya Matahari, Krakatau, Tambora, Pinatubo, dan Gunung Agung adalah beberapa yang menyebabkan pengotoran kelas berat. Saat Pinatubo meletus 9 Juni 1991 dengan energi setengah Krakatau, 15 persen cahaya Matahari terhambat. Sementara, hambatan akibat Gunung Agung yang meletus tahun 1961 adalah 9 persen dan hambatan oleh Tambora yang meletus tahun 1815 adalah 25 persen.
"Yang paling fenomenal ya Toba 75.000 tahun silam, jumlah cahaya yang diteruskan ke permukaan Bumi hanya 0,001 persen alias setara cahaya Bulan purnama dan di bawah ambang batas kerja fotosintesis," ungkap Ma'rufin. Letusan Tambora, Krakatau, dan Toba pun tercatat mempengaruhi cuaca, menyebabkan volcanic winterm, serta tahun tanpa musim panas di negara subtropis.