Karena Bukan Kakek Saya. Alkisah, tersebutlah seorang pemuda yang dikenal dengan kepandaian, kecerdasan, keluasan wawasan dan kestabilan pribadinya. Ia bahkan biasa menjadi rujukan khususnya bagi teman-teman sebayanya. Sampai datang suatu hari, dimana sang pemuda istimewa dirundung duka yang sangat mendalam.
Kakeknya yang sangat berarti dalam hidupnya, sangat dicintai dan sangat dimuliakannya, meninggal dunia secara mendadak. Iapun serta-merta berubah. Dan hampir total. Yakni menjadi pemurung, seakan telah kehilangan semangat dan gairah hidup. Sehingga tentu saja tak lagi mampu memberikan inspirasi dan motivasi kepada orang lain, seperti yang biasa dilakukannya sebelumnya. Karena pikiran dan kecerdasannya seolah-olah telah menjadi tumpul dan “buntu”. Bahkan dia yang kini justru sangat membutuhkan inspirasi dan motivasi itu dari orang lain. Disinilah dan dalam kondisi serta situasi seperti inilah, peran teman dan sahabat begitu dibutuhkan, dan bisa jadi justru demikian vital.
Nah, diantara teman sejawat dan sahabat terdekat sang pemuda istimewa tersebut, terdapat seorang pemuda yang dikenal sebagai pemuda biasa-biasa saja. Karena memang bagi yang mengenalnya, tidak ada satupun kelebihan tertentu yang menonjol darinya. Namun yang jelas-jelas luar biasa adalah bahwa, dia mempunyai ketulusan, kesetiaan dan kepedulian. Dia sangat peduli dan sekaligus prihatin terhadap perubahan drastis sahabat karibnya itu. Iapun berpikir keras dalam rangka mencari cara untuk bisa memulihkan kondisi sang sahabat istimewa. Dimana yang sangat dibutuhkannya saat ini adalah motivasi dan semangat hidup.
Maka iapun berusaha mengumpulkan kata-kata bijak, kalimat-kalimat hikmah dan kutipan-kutipan motivasi, untuk disampaikan sebagai nasehat pengingat dan penyemangat bagi sang sahabat. Malah sebagiannya justru ia dapatkan dari hasil mengingat-ingat wejangan-wejangan penuh inspirasi milik sahabatnya yang tengah berduka itu sendiri. Dan hasilnya sungguh tak terduga, termasuk oleh yang bersangkutan sendiri. Karena taushiyah pemuda “biasa-biasa saja” tersebut ternyata bisa berdampak positif luar biasa.
Si pemuda istimewapun kembali pulih seperti sedia kala. Seperti layaknya seseorang yang baru bangun dari tidur, atau siuman dan tersadarkan dari kondisi pingsan. Tentu saja semua pihak sangat bergembira dengan hal itu. Karena memang ia adalah pribadi yang sangat disukai dan dibanggakan oleh masyarakatnya. Maka tak heran, jika semua amat peduli terhadapnya.
Namun yang membuat mereka terheran-heran sampai hampir tidak percaya adalah terkait dengan sosok yang berada dibalik pulihnya kondisi pemuda kebanggaan. Bagaimana mungkin seorang yang sebelumnya dikenal sangat biasa-biasa saja itu tiba-tiba mampu memberikan nasehat bijak yang sangat bernas dan luar biasa dampak positifnya. Dan didorong oleh rasa penasaran tersebut, maka sebagian merekapun lalu menemui si pemuda penasehat “tiban”, untuk mencari tahu, apa gerangan rahasia di balik wejangan jitunya itu. Namun ternyata rahasianya sangat sederhana, namun jarang tersadari.
Sang pemuda “biasa-biasa saja” pun menjawab dengan berkata datar: Tentang bagaimana kok saya bisa memberikan kalimat-kalimat nasehat itu kepada teman dan sahabat saya, sebenarnya masalahnya sangat sederhana sekali. Yakni, karena yang meninggal bukanlah kakek saya. Andai saja beliau adalah kakek atau bahkan ayah saya sendiri, mungkin kondisi saya akan jauh lebih buruk lagi dibanding yang dialami oleh sahabat istimewa saya itu!
Disinilah pelajaran penting yang sangat berharga itu harus kita ambil. Manusia dicipta sebagai makhluk sosial. Maka ia tidak bisa dan tidak mungkin hidup sendiri. Sehingga orang sombong yang merasa tidak butuh kepada orang lain itu, tidak hanya berdosa besar karena melanggar larangan utama agama, melainkan juga telah mengingkari jati diri dan hakekat kemanusiaannya sendiri.
Dan kebutuhan akan orang lain itu akan terasa demikian menonjol dan bahkan kadang begitu mutlak, saat seseorang menghadapi kondisi-kondisi sulit dan cobaan-cobaan berat dalam hidupnya. Dimana hal itu akan membuatnya menjadi demikian terbebani, tertekan, dan merasa “buntu”, sehingga tidak lagi mampu berpikir jernih untuk mencari dan menemukan solusi yang tepat bagi masalahnya. Disinilah ia, siapapun dia, dan apapun derajat serta statusnya, akan sangat membutuhkan orang lain, juga siapapun orang lain itu, dan apapun derajat serta statusnya.
Karena orang lain tersebut, termasuk yang dinilai lebih rendah sekalipun, tak jarang justru bisa memberikan nasehat, masukan atau solusi indah dan tepat, yang bisa meringankan beban, dan yang mungkin tidak terlintas sedikitpun sebelumnya di benak si empunya masalah! Disebabkan karena ia memang benar-benar lagi “buntu”!
Selanjutnya, jangankan kita dengan segudang kelemahan dan kekurangan, bahkan manusia paling sempurna sekalipun, Baginda Sayyidina Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga tetap butuh kepada setiap orang diantara kerabat, istri, dan para sahabat yang ada di sekitar Beliau. Padahal mereka semua tentu saja jauh lebih rendah dalam segala hal daripada Beliau yang maksum (terpelihara oleh Allah Ta’ala). Dan berikut ini adalah cuplikan kisah sirah penuh ibrah, yang semakin menguatkan makna yang telah tertuangkan diatas.
Selepas memperoleh pengalaman luar biasa untuk pertama kalinya di Gua Hira’, yakni kedatangan Jibril ‘alaihissalam dengan membawa wahyu pertama, pribadi paling agung dalam sejarah umat manusia, Baginda Rasul mulia shallallahu ‘alaihi wasallam, langsung bergesa pulang ke rumah di Makkah, dengan penuh rasa kecemasan sampai gemetaran dan keringatan. Beliaupun berkata kepada sang istri tercinta, Ummul Mukminin Khadijah ra: “Selimutilah aku. Selimutilah aku. Sungguh aku takut dan khawatir kalau-kalau telah terjadi hal buruk pada diriku”.
Namun dengan sikap yang penuh ketenangan serta kepastian, Ibunda Khadijahpun mampu meyakinkan dan menenangkan Sang Rasul mulia. Sekaligus memberikan solusi dan langkah tepat dengan mengajak Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bertemu dan mengkonsultasikan apa yang Beliau alami kepada rujukan yang tepat, karena memang benar-benar ahlinya, yakni Waraqah bin Naufal. (Kisah lengkapnya dalam HR. Al-Bukhari dari Ummul mukminin ‘Aisyah ra.).
Berikutnya, 19 tahun kemudian, kondisi dan situasi yang agak mirip terjadi lagi dalam sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yakni pada peristiwa perjanjian damai Hudaibiyah (shulhul hudaibiyah). Dimana perjanjian genjatan senjata tersebut ditanda tangani pasca pembatalan pelaksanaan umrah oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para sahabat yang berjumlah + – 1.500 orang. Tentu saja mereka kecewa super berat. Ditambah lagi andai saja boleh berpendapat, sebenarnya tak seorangpun diantara para sahabat mulia itu yang setuju dengan penanda tanganan perjanjian damai tersebut.
Namun itu sudah menjadi keputusan wahyu. Allah Ta’ala bahkan menyebutnya sebagai “fathan mubiinaa” (kemenangan yang nyata) (Lihat: QS. Al-Fath: 1). Karenanya, shulhul hudaibiyah menjadi salah satu ujian puncak terberat bagi keimanan dan ke-tsiqah-an (kepercayaan) mereka terhadap kenabian dan kerasulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Makanya dalam menjawab pertanyaan sahabat Umar ra., satu-satunya sahabat yang berani angkat bicara saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berkata singkat:
“Wahai Umar, aku adalah Rasulullah”. Dan jawaban itu pulalah yang diulang oleh sahabat Abu Bakar, yang juga didatangi oleh Umar sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. “Ya ‘Umar, Beliau adalah Rasulullah”. Mungkin maksud dari jawaban itu, seakan beliau berdua ingin mengatakan kepada Umar ra. begini: “Tinggal engkau percaya ataukah tidak? Itu saja. Titik”
Intinya, karena begitu berat dan besarnya kekecewaan ke-1.500 sahabat agung itu, saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar mereka segera membatalkan ihram umrah mereka (semacam ber-tahallul) dengan mencukur atau memotong rambut masing-masing dan menyembelih hewan hadyu bagi yang membawanya dari Madinah, merekapun seakan enggan memenuhi perintah Baginda Nabi.
Bahkan seolah-olah mereka tidak mendengarkan sama sekali suara perintah yang mungkin saja sempat diulang-ulang lebih dari sekali itu. Karena secara riil memang benar-benar tak seorangpun diantara mereka yang bergerak dan beranjak untuk melaksakannya. Padahal biasanya, mereka semuanya adalah para pengikut patuh dan penganut setia yang senantiasa siap secepat kilat untuk menjalankan setiap sabda Sang Rasul Junjungan shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan mendapati serta menghadapi sikap yang sangat tidak lazim itu, tentu sangatlah logis bila secara manusiawi Rasulullahpun sempat kecewa berat dan harus menahan amarah. Beliau lalu masuk ke dalam tenda khusus Beliau untuk menemui sang istri yang menyertai Beliau saat itu, Ummu Salamah ra. Ummul mukmininpun langsung bisa menangkap dengan jelas bahwa, di balik ekspresi raut wajah mulia itu tersimpan rasa kekecewaan dan amarah yang tertahan. Dan setelah memperoleh kejelasan tentang sebab musababnya, Ibunda seluruh kaum mukminin itupun kemudian menyampaikan kepada Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasaallam sebuah pemikiran cemerlang, usulan bijak dan masukan yang sangat tepat sekali.
Kira-kira beliau (Ummul mukminin ra) mengatakan begini (gubahan demi menggamblangkan): Wahai Rasulullah, maklumi dan maafkanlah para sahabat itu. Sama sekali bukanlah maksud dan kesengajaan mereka untuk tidak menunaikan perintah Baginda. Namun pembatalan umrah ke Baitullah yang sudah lama sekali mereka tunggu-tunggu, dan justru menggantinya dengan perjanjian damai yang belum mereka pahami hakekatnya, karena memang proses dan sebagian poinnya tampak seakan merugikan Islam dan kaum muslimin, (itu semua) sungguh telah meninggalkan sebuah kekecewaan yang teramat dalam di hati mereka semua.
Dan dengan kondisi batin seperti itu, mereka jadi tidak siap mendengar kata-kata apapun dan dari siapapun. Maka sekarang, sebaiknya Baginda keluar kepada mereka dengan memberikan contoh praktik langsung saja, dan tanpa sepatah katapun. Karena memang saat dan kondisi seperti ini bukanlah waktu yang tepat untuk berkata-kata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun lalu keluar dari tenda dan langsung memanggil tukang cukur agar mencukur rambut mulia Beliau, dan juga memerintahkan agar hewan hadyu Beliau didekatkan untuk Beliau sembelih. Dan semua itu Beliau lakukan di depan para sahabat, dengan tanpa berucap sepatah katapun, seperti usulan dan masukan dari Ibunda Ummu Salamah ra. Dan subhanallah, prediksi Ummul mukminin sungguh sangat tepat.
Begitu menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencukur rambut dan menyembelih hadyu, secepat kilat merekapun langsung berebut alat cukur dan pisau, karena ingin segera dan lebih dulu meniru dan mengikuti praktik Sang Tauladan Utama shallallahu ‘alaihi wasallam. Sampai-sampai diceritakan bahwa, akibat sikap saling berebut itu, hampir-hampir saja mereka saling melukai satu sama lain! (Lihat: As-Sirah An-Nabawiyah, oleh Ibnu Katsir, atau Ibnu Hisyam, atau lainnya).
Nah, pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dalam dua penggal kisah sirah diatas, kedua Ummul mukminin tersebut mampu tampil setenang itu, bersikap sebijak itu, dan berpemikiran secemerlang itu di hadapan manusia teragung? Apakan itu karena beliau berdua memang lebih hebat daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Sudah pasti 100 % sama sekali tidak.
Karena memang itu mustahil! Jadi mengapa dan bagaimana itu bisa terjadi? Ya, tiada lain karena mereka dalam kisah masing-masing, tidak mengalami sendiri seperti yang dialami oleh Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Atau dengan kata lain, masalahnya adalah seperti ungkapan polos pemuda dalam kisah di muka: “Karena yang meninggal bukan kakek saya!”.
Oleh:Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, MA