Kesejahteraan Sosial Menurut Islam. Dalam ajaran Islam prinsip Tauhid merupakan hal yang paling asasi dan esensial. Ia tidak boleh sampai terlepas dalam jiwa keyakinan setiap insan muslim yang mengaku, bahwa Tidak ada Tuhan yang patut disembah, kecuali Allah semata dan Muhammad itu utusanNya. Prinsip Tauhid ini secara definitif telah dijabarkan oleh Allah dalam firmanNya:
"Katakanlah, Dialah Allah, Tuhan Yang Maha Tunggal; Allah-lah tempat sekalian makhluk bergantung; Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada siapapun yang sebanding denganNya. (Al-Ikhlas 1-4).Prinsip ini menuntut setiap muslim senantiasa sadar, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini semata-mata hasil dari ciptaanNya. Kita semua adalah makhluknya yang serba lemah dengan segala sifat keterbatasannya. Dan semua ciptaanNya itu tidaklah sia-sia. Semuanya diperuntukkan demi kebahagiaan, kemakmuran dan kesejahteraan semua makhlukNya. Hanya manusialah makhluk yang diciptakanNya secara lebih paripurna dibanding yang lainnya. (At-Tin : 4).
Dan dengan berbekal akalnya, manusia diperintahkan untuk memikirkan segala kejadian alam seisinya sebagai tanda kekuasaan Allah (Al-Baqarah : 164).
Ruh Tauhid telah mengajarkan kepada manusia, bahwa seluruh harta benda, kekayaan rizki, manusia dan kehidupannya, potensi serta sumber daya alam seisinya yang melimpah ruah itu adalah semata-mata dari Allah. Dialah yang mempunyai segalanya itu sebagai hasil ciptaanNya. Dialah "pemilik tunggal" dari semuanya itu, alam, kehidupan beserta isinya. Allah telah menegaskan bahwa: "Dan hanya kepunyaan Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, dan kepadaNya akan dikembalikan segala urusan (Al-Imran : 109).
Bunyi senada juga dapat kita baca pada ayat 189 di surah yang sama, kemudian Al-Maidah : 40, dan sebagainya. Dengan demikian manusia tak lebih sebagai hambaNya yang wajib beriman kepadaNya dan sebagai pemakai, pengelola karuniaNya tersebut atau yang diistilahkan Qur'an sebagai khalifah fil ardhi.
Konsep kesejahteraan sosial menitikberatkan pada bidang ekonomi dan bersifat sebagai bantuan sosial dan kemanusiaan. Karena itu konsep ini meletakkan dasar pemerataan dari segala sesuatu yang telah dikaruniakanNya kepada hambaNya. Pemerataan di sini tidak memandang bagaimana dan siapa orangnya, tapi memusatkan perhatiannya pada suatu hak mutlak, bahwa segala sesuatu yang telah diberikanNya kepada para hambaNya itu semata-mata hak dan milik Allah. Karena itu bagaimanapun dan siapapun orangnya, dia berhak untuk menikmati semua pemberian Allah tadi.
Dan bagi mereka yang tidak sempat menikmatinya, maka hak ini "dilekatkan" pada mereka yang berkecukupan/mampu sebagai suatu kewajiban, agar mereka itu menyalurkannya kepada mereka yang berhak untuk menerima dan menikmati segala pemberianNya. Disinilah pokok pangkalnya mengapa prinsip kesejahteraan ini menjadi salah satu wujud persamaan, manusia sebagai ciptaanNya mempunyai hak yang sama, sedang dalam arti nilai kemuliaan mereka itu tidak sama. Artinya, hanya orang yang paling bertakwa sajalah yang dipandang paling mulia di sisi Allah yang disebut dalam Al-Quran: Inna akramakum 'ndallahi atqaa.
Di saat semakin merajalelanya sistem perekonomian kapitalisme yang bahkan sudah menyusup demikian dalam kehidupan negara-negara Islam maupun negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, masalah pengangguran dan tidak meratanya kesejahteraan sosial merupakan bagian yang tak akan pernah terpisahkan dari sistem ekonomi kapitalisme ini. "Harus ada pihak yang dikorbankan" itulah prinsip eksploitasi yang ada dalam sistem ekonomi kapitalisme, sesuatu yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam, dimana semua orang berhak mendapat kesempatan yang sama dalam memperoleh kesejahteraan.
Di dalam mengejawantahkan konsep kesejahteraan sosial ini, Islam sarat dengan ajaran-ajaran luhurnya yang tidak mengenal ras, kulit, bangsa dan agama. Namun lebih menitikberatkan pada prinsip tolong menolong, perikemanusiaan, keadilan dan sebagainya yang harus ditegakkan sebagai pilar kehidupan mereka yang miskin, yatim-piatu, peminta-minta, gelandangan, hamba sahaya, dan sebagainya. Allah SWT berfirman:
"Bukanlah kebajikan itu lalu kamu memalingkan muka-mukamu ke pihak Timur dan Barat, tapi kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabiNya, yang mendermakan harta yang dicintainya itu kepada keluarga dekatnya, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, yang meminta dan dalam hal menebus/memerdekan hamba sahaya/budak, yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, yang menyempurnakan perjanjiannya, apabila berjanji, dan sabar di saat kesulitan dan diwaktu perang; mereka itulah orang-orang benar dan berbakti. (Al-Baqarah: 177).
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku itu dapat meluaskan dan membatasi rizki pemberiannya kepada siapa saja yang ia kehendaki; dan segala sesuatu yang kamu dermakan itu akan digantiNya, karena Ialah sebaik-baik memberi rizki itu, (Saba':39). Dan mereka memberi makanan yang amat disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang tawanan. (Al-Ihsan: 8).
Dan orang-orang yang membelanjakan sebagian dari apa-apa yang kami telah kurniakan kepada mereka; dan binatang qurban itu, Kami jadikan dia buat kamu....,maka apabila sembelihan itu telah mati, makanlah dirinya dan berilah makan kepada para fakir yang menjaga kehormatannya serta fakir yang meminta, demikianlah kami persembahkan binatang sembelihan itu buat kamu, agar kalian bersyukur. (Al-Hajj: 35-36).
Konsep persamaan untuk menikmati pemberianNya ini menumbuhkan dasar-dasar pemerataan dalam sistem perekonomian Islam. Karena bagi mereka yang berkecukupan atau mampu dibebani oleh "tanggung jawab moral" untuk turut menanggulangi beban penderitaan yang menghimpit mereka, anak yatim-piatu, orang miskin, fakir, budah/hamba sahaya, orang yang kehilangan/habis perbekalannya dalam suatu perantauan/perjalanan, mereka yang meminta-minta/gelandangan, dan yang sejenisnya. Karena mereka pun adalah manusia yang sama seperti kita. Mereka membutuhkan pula sandang pangan dan papan seperti layaknya kita. Dan mereka pun ingin menikmati secercah harapan dalam hidup dan kehidupan ini. Tanggung jawab moral ini tentu tidak akan terasa, bahkan diabaikan begitu saja bagi mereka yang menganggap shodaqoh/sedekah dan zakat ini akan mengurangi keuntungan dan hartanya. Mereka inilah yang oleh Allah disebut sebagai orang yang bakhil dan kikir.
Sesungguhnya penghidupan dunia ini hanyalah suatu permainan dan buaian, tapi jika kamu beriman dan berbakti, Ia akan memberikan balasan pahala bagimu dan tidak meminta hartamu. Jika ia meminta hartamu dengan sungguh-sungguh, niscaya kamu akan menjadi bakhil dan kekikiranmu itu akan menampakkan kebencianmu untuk menjalankan/membelanjakannya di jalan Allah. Nah, sekarang kamu adalah orang-orang yang diajak untuk membelanjakan hartamu di jalanNya, tapi diantara kamu ternyata ada yang kikir, padahal barang siapa yang kikir, maka tidaklah ia bakhil melainkan untuk dirinya sendiri, sedang Allah itu tidak memerlukanmu, tapi sebaliknya kamulah yang memerlukanNya; dan jika kamu berpaling, Allah akan mengganti satu kaum/golongan yang lain yang berbeda denganmu, kemudian mereka tidak menjadi seperti layaknya kamu. (lihat QS. Muhammad : 36-38).
Apakah kamu takut menjadi miskin, lantaran mengeluarkan sedekah sebelum datang bisikanmu. Ketahuilah, sekiranya kamu tidak mengerjakan hal itu karena tidak mampu, maka Allah telah memaafkanmu, karena itu dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat, taatlah kepada Allah dan RasulNya, karena Allah itu Maha Mengetahui semua perbuatanmu. (Al-Mujadilah : 13). Dalam surah Al-Taghabun ayat 15 dinyatakan, bahwa sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu itu tidak lain, karena di sisi Allah ada ganjaran besar yang lebih baik dari semua itu.
Ajaran-ajaran luhur Islam ini seharusnya menjadi motivasi semua tindakan dan peraturan yang berkaitan dengan sistem sosio-ekonomi kita, dan bukannya meninggalkan ajaran berbasis pemerataan dan keadilan sosial ini, sebuah tindakan sistem ekonomi kapitalisme yang kejam yang selama ini justru semakin digalakkan negara ini di berbagai bidang dan mengesampingkan kesejahteraan masyarakat negara ini yang dari tahun ke tahun semakin merosot kondisi perekomiannya menuju kefakiran. Ingat kefakiran yang berlebihan merupakan pangkal dari munculnya kekafiran.
Lihat saja berbagai gejala kekafiran yang sudah mulai banyak bermunculan di negara ini, semakin banyak kerusuhan, pelanggaran HAM dan banyak lagi hal buruk yang seakan sah-sah saja padahal jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan.