Belajar Memaafkan Orang Lain. Ibnu Sammak, seorang tokoh zahid yang juga penasihat Khalifah Harun ar-Rasyid pernah ditantang oleh temannya sendiri, "Esok, saya dan kamu akan saling mencela." Namun, tantangan itu justru dibalas oleh sang zahid dengan, "Tidak, justru esok hari saya dan kamu akan saling memaafkan."
Sebuah jawaban yang sungguh menyejukkan hati di tengah kehidupan yang sarat dengan pertikaian dan perpecahan. Jawaban seperti di atas muncul dari hati yang paling dalam hati yang sudah dilapangkan dadanya oleh Allah, hati yang perih ketika menyaksikan perseteruan umat terjadi di mana-mana.
Jawaban semacam itu adalah bak oase di tengah padang sahara. Mengapa begitu, karena ketika menghadapi sebuah tantangan, apalagi tantangan itu diekspos sedemikian rupa di hadapan publik, biasanya yang sering kita saksikan adalah kembali menantang, malah lebih sengit lagi. Bahkan, tidak jarang tantangan dan kebencian itu diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu periode ke periode berikutnya, dari satu kepemimpinan ke kepemimpinan berikutnya, dengan biaya yang tidak kecil pula.
Mengapa kita harus saling menantang, mencaci, menuding, serta gemar menaburkan kebencian, yang akan merusak hubungan sesama kita? Mengapa kita acapkali menuntut orang lain agar jadi orang ma'sum (bersih dari kesalahan), sedangkan kita sendiri berlumuran sifat-sifat buruk?
Bukankah sikap saling memaafkan itu lebih baik dan lebih suci, serta lebih menenteramkan hati? Indah rasanya manakala setiap kali bertemu dan bersalaman dengan saudara Muslim, hati ini menggemakan doa: "Ya Allah, ampunilah aku dan saudaraku ini," seraya menanamkan tekad di hati untuk memaafkan kekhilafannya.
Ingat, surga itu disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, yang salah satu sifatnya adalah mudah memaafkan. "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS Ali 'Imran [3]: 133-134).
Kita yang bermental pendendam, pembenci, dan yang kerap menampilkan muka masam, mari kita ganti dengan sikap gampang memaafkan dan menebarkan senyuman, karena karakter manusia itu tertarik kepada orang yang mudah memberi senyuman pada orang lain dengan ikhlas, dan dia akan lari dari orang yang bermuka masam lagi cemberut.
Sebuah pepatah mengatakan: "Bagaimana mungkin aku membenci seseorang, padahal dia tersenyum padaku?"
Wallahu A'lam.