Haji dan Qurban: Momentum Introspeksi Diri
Islam agama sempurna. Setiap syariat yang Allah turunkan untuk manusia mengandung hikmah yang penting bagi kemaslahatan manusia. Demikian halnya dengan syariat ibadah haji, rukun Islam ke-5 yang wajib dilaksanakan setiap Muslim yang berkemampuan. Begitu pula dengan ibadah qurban. Haji dan qurban idealnya tidak dimaknai pada aspek ritualitas semata tetapi harus dapat diselami lebih dalam. Samudera hikmah haji dan qurban jika direnungi dapat menjadikan setiap Muslim insan yang berserah diri kepada Allah dan mampu melakukan perbaikan atas segala kekhilafan.
Salah satu rukun dalam ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Saat melakukan wukuf, para hujjaj berdoa dan berzikir sembari memohon ampun kepada Allah SWT. Ketulusan niat mengakui kebesaran Sang Khaliq serta pesan persatuan dan persaudaraan sesama Muslim yang tulus adalah keindahan yang dirasakan jamaah haji ketika wukuf. Wukuf adalah bukti betapa egaliter-nya Islam. Ketika wukuf tidak ada perbedaan di mata Allah SWT antara raja dengan rakyat biasa, antara bangsawan dengan yang bukan bangsawan, atau antara Arab dan Non-Arab. Manusia sama kedudukannya di mata Allah. Standar kemuliaan manusia dalam pandangan Allah adalah ketakwaannya, bukan yang lain. Sungguh beruntung hamba Allah yang bertakwa dan memahami prinsip kesetaraan manusia yang terwujud dalam ibadah haji, terutama wukuf. Sebaliknya, sungguh merugi hamba Allah yang kurang ketakwaannya serta terlalu angkuh untuk mengakui persamaan derajat manusia. Dimensi makna yang dalam dari wukuf ini jika digali secara mendalam akan melahirkan kesadaran setiap Muslim bahwa Islam tidak menghendaki relasi kemanusian yang berujung pada eksploitasi manusia yang satu dengan manusia lainnya.
Wukuf dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Pada hari itu, umat Muslim yang tidak sedang berhaji disunnahkan berpuasa. Kesunnahan ini disandarkan pada sabda Rasulullah SAW “Puasa pada hari Arafah menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang” (HR. Muslim). Imbalan ritual dari puasa ini yang berupa pahala ampunan dosa dua tahun bagi yang melaksanakan hendaknya tidak menjadikan umat Muslim lupa akan pesan inti dari puasa itu sendiri, yakni bahwa umat Muslim harus senantiasa mengendalikan diri serta berintrospeksi. Puasa tanggal 9 Dzulhijjah adalah momentum umat Muslim berintrospeksi diri, melakukan perbaikan atas segala kekhilafan sembari memohon ampun serta berkomitmen untuk menjadi insan yang lebih bermakna dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pada 10 Dzulhijjah, selepas disyariatkan untuk berwukuf atau berpuasa, umat Muslim disyariatkan untuk ber-qurban. Ibadah qurban adalah penyembelihan hewan qurban dengan niat ikhlas taat kepada Allah SWT. Qurban mengingatkan kita akan keikhlasan dalam ketaatan kepada Allah yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS saat diperintah untuk menyembelih anaknya tercinta. Allah melukiskan kisah tersebut dengan indah dalam firman-Nya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Wahai Ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar“ (QS. Al-Shaffat: 102-107). Nabi Ibrahim AS mencontohkan bahwa keikhlasan, kesabaran dan konsistensi dalam ketaatan kepada Allah SWT adalah bagian dari hakikat manusia sebagai hamba.
Qurban merupakan wujud syukur setiap Muslim atas nikmat Allah SWT yang sedemikian banyak telah dianugerahkan. Dalam Alquran disebutkan: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni’mat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah” (QS. Al-Kautsar: 1-2). Pada ayat yang lain, Allah SWT berfirman: “ Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“ (QS. Al-Nahl: 18). Tentu kita sadari segala potesi baik yang ada dalam diri kita serta segenap yang ada di penjuru langit dan bumi berjalan dalam hukum keseimbangan yang Allah ciptakan. Begitu banyak nikmat yang terlimpahkan kepada kita mulai jantung yang memompa darah, kerja mekanis dan kimiawi alat pencernaan kita, keteraturan lintasan bumi serta benda-benda tata surya, rezeki yang cukup, dan nikmat-nikmat lainnya, terutama nikmat iman dan Islam.
Tentang apa hikmah penting atas disyariatkannya ibadah qurban, kita dapat memaknai firman Allah SWT pada Ayat ke-28 dan ke-36 Surat Al-Hajj yang artinya, “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan (yakni hari tasyriq 11, 12, 13 Dzulhijjah) atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir” (QS. Al-Hajj: 28); dan “Maka makanlah daging-daging binatang ternak itu, dan berikanlah (untuk dimakan) orang yang memerlukan dan orang-orang fakir” (QS. Al-Hajj: 36). Dari ayat-ayat tersebut, dapat dipahami bahwa qurban mendidik umat Muslim agar menjadi manusia yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi.
Oleh Syamsul Hidayat Daud