Sikap Menghadapi Nikmat Allah
Menghadapi kenikmatan dan kelezatan duniawi itu sikap orang berbeda-beda:
1) Sebahagian orang melihatnya dan memandangnya sebagai tujuan hidup. Karenanya ia sangat mencintainya dan sekali-kali idak ingin terlepas dari cara hidupnya. Ia memberinya kedudukan utama dalam hidupnya dan bergantung bulat-bulat kepadanya seperti seorang bayi yang enggan terlepas dari tetek ibunya. Mereka ini ialah orang-orang yang kafir kepada Allah dan hari akhirat, tidak mengenal hikmat Allah yang telah menciptakan kelezatan itu semuanya. Mereka ini tidak akan mendapat bagian dari rahmat dan pahala Allah di hari kiamat.
Allah berfirman:
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Huud 15-16).
“Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka Makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad 12).
“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): "Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; Maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik". (Al-Ahqaaf 20).
Pengutamaan kelezatan dan kesenangan duniawi dilarang, karena cinta kepadanya yang berlebih-lebihan dapat merusak akhlak dan menjadikan orang mudah dikuasai oleh hawa nafsu. Dan bil hawa nafsu sudah menguasai kehendak dan kemauan seseorang maka akan kaburlah norma-norma moral yang baik dan terinjak-injaklah adat-istiadat dan tata kerama yang seharusnya dihormai dan dijunjung tinggi.
2) Sebahagian lain, bersikap menolak segala apa yang termasuk kelezatan duniawi dan enggan berusaha menuntutnya dan menikmatinya. Mereka itu adalah seperti ahli-ahli tasawuf, dan orang-orang yang menyendiri (bertapa) dengan ibadahnya.
Agama Islam melarang cara-cara ibadah yang berlebih-lebihan itu dan mencela kerahib-rahiban yang dilekatkan orang kepada ajaran Islam menurut kemauannya sendiri tanpa ada perintah dari Tuhan atau dari Rasul-Nya. berfirmanlah Allah swt.:
“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.” (Al-Hadiid 27).
Bersabda Rasulullah saw.:
لا رهبانيّة فى الاسلام – رهبانيّة أمّتى الجهاد فى سبيل الله
“Tidak ada kerahib-rahiban di dalam Islam” dan “Rahbaniah ummatku adalah berjihad di jalan Allah. Islam melarang sekeras-kerasnya orang mencegah dirinya dari pada menikmati apa yang dikaruniakan oleh Allah, berupa rezki dan kenikmatan yang baik dan halal. Berfirmanlah Allah swt.:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Maidah 87).
Agama Islam melarang juga orang menjauhkan diri dari segala apa yang bersifat duniawi, karena sikap yang demikian itu mematikan inisiatif dan semangat kerja, melumpuhkan kegiatan hidup, dan menghentikan perputaran rodanya, hal mana dapat mengalihkan pimpinan masyarakat ke tangan orang-orang yang tidak layak, orang-orang yang berkarakter busuk, berakhlak rendah dan berjiwa kotor. Dan jika pimpinan kehidupan sudah pindah ke tangan orang-orang yang demikian itu, maka akan terjadilah fitnah dan kerusakan yang parah di atas bumi.
3) Dan bahagian yang ketiga, ialah bahagian yang tengah di antara dua bahagian yang terdahulu. Mereka itu berlaku wajar sesuai dengan pedoman yang digariskan oleh Islam. Mereka tidak menolak untuk menikmati apa yang dikaruniakan oleh Allah dari berbagai macam kelezatan dan kesenangan duniawi, namun dapat mengekang diri sehingga tidak sampai melampaui batas dan menjadikannya lupa akan kewajiban rohaniahnya. Ia cakap mengatur bagaimana ia harus memenuhi kebutuhan jasmaniahnya di samping tidak meninggalkan apa yang menjadi kebutuhan rohaniahnya. Dan memang demikianlah dikehendaki oleh Islam.
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (Al-A’raaf 31-32).
"Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka" (Al-Baqarah 201).
"Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqaan 74).
Bersabda Rasulullah saw.:
إنّ الله يحبّ أن يرى أثرى نعمته على عبده
“Sesungguhnya Allah suka melihat tanda-tanda nikmat-Nya pada hamba-Nya”.
أحسنوا ثيابكم و أحسنوا رحالكم حتّى تكونوا فى النّاس كأنّكم شامة
“Atur yang baiklah pakaianmu dan pelana ontamu, agar menjadi tanda pengenal bagimu di antara orang banyak”.
Sikap yang ketiga ini, ialah sikap yang sesuai dengan fitrah dan tabi’at manusia dan selaras dengan risalah Islam sebagai agama yang terakhir untuk umumnya ummat manusia.
Bahwa ia sesuai dengan fitrah dan tabi’at manusia, ialah karena Allah yang telah menciptakan manusia dengan panca inderanya, jiwa, akal dan hatinya, beremosi, bernafsu, berperasaan, berkehendak dan bekeinginan, tidaklah untuk ditekan semuanya dengan berzuhud, bertapa dan latihan yang berat yang melemahkan badan dan pikiran. Sedang badan yang lemah mudah diserang penyakit dan tidak dapat menjalankan tugasnya dengan sempurna. Demikian pula kelemahan berpikir menjadikan orang dungu tidak cakap mengikuti perkembangan ilmu, mudah terjerumus ke dalam kekeliruan dan kesesatan. Padahal akal yang sehat berada dalam tubuh yang sehat dan tubuh tidak sehat dan kuat melainkan jika dipenuhi kebutuhannya.
Bahwasanya sikap golongan ketiga tersebut sesuai dengan risalah Islam, ialah karena Allah menghendaki agar agama Islam sebagai agama penutup memancarkan cahayanya ke seluruh penjuru dunia dan tersebar ajaran-ajarannya dan hukum-hukum syari’atnya pada semua umat dan bangsa. Keadaan yang demikian itu tidak dapat terwujud kecuali bila para ummatnya memiliki kekuatan dalam ketahanan yang mantap, kekuatan ilmu pengetahuan, kekuatan dalam sumber kekayaan, kekuatan dalam mengatur tata negara, kekuatan dalam perundang-undangan, kekuatan pertahanan dan kekuatan dalam persenjataan. Kekuatan-kekuatan itu menjadi syarat mutlak bagi kemungkinan terlaksananya janji Allah yang akan menjadikan hamba-hamba-Nya yang mukmin khalifah di atas bumi-Nya dan meneguhkan agama yang telah diridhai-Nya. (by. islamiwiki)