BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penciptaan manusia sebagaimana diterangkan oleh Allah SWT dalam Al Quran surat Al Baqarah : 30-34 menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk yang berpotensi mengetahui, memahami tentang apapun yang ada di alam semesta. Keberadaan benda-benda di bumi dan di langit memiliki daya tarik bagi manusia. Daya tarik yang bervariasi itulah yang menumbuhkan curiousity manusia untuk mengkaji dan menggali lebih dalam dan jauh lagi tentang alam.
Pemahaman manusia akan alam semesta semakin bertambah seiring dengan perkembangan pemikiran manusia serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dulu manusia mengira posisi bumi kita begitu istimewa, sebagai pusat alam semesta, dan sebagai pusat perputaran seluruh benda-benda langit. Bumi diletakkan sebagai pusat penciptaan. Namun kini kita ketahui bahwa bumi hanyalah sebuah planet biasa yang mengitari sebuah bintang biasa yang kita namakan matahari. Matahari hanyalah salah satu anggota dari sebuah sistem bintang-bintang yang kita namakan galaksi Bima Sakti. Posisi matahari hanyalah di pinggiran dari galaksi Bima Sakti. Bahkan kini kita ketahui bahwa galaksi Bima Sakti hanyalah salah satu dari milyaran galaksi-galaksi yang bertebaran di seluruh penjuru langit.
Kajian keilmuan tentang langit seisinya semakin digemari untuk dipelajari. Hal ini dikarenakan ada banyak hal yang belum ditemukan. Bahkan belum diketahui keberadaanya. Tetapi sekali lagi karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka akan semakin banyak pula hal-hal baru yang ditemukan.
2. Rumusan masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan, maka sangat perlu adanya rumusan masalah sebagai berikut :
- Apa pengertian astronomi?
- Bagaimana perkembangan ilmu astronomi?
- Bagaimana perkembangan ilmu astronomi Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Astronomi
Manusia telah lama ‘berkenalan’ dengan langit. Bahkan ada sebuah peninggalan berupa lukisan tua di La Pileta, Spanyolb yang berusia sekitar 35000 tahun.[1]. Lukisan itu diinterpretasikan sebagai gambar matahari. Perjalanan panjang yang ditempuh manusia untuk sampai pada era astronomi modern.
Kini aspek ilmu pengetahuan tentang langit terkumpul dalam cabang keilmuan astronomi. Astronomi dipahami sebagai cabang ilmu pengetahuan yang dikembangkan berbasis pengamatan. Objek langit yang dikaji dalam astronomi mencakup tata surya, seperti komet, bulan, meteor, matahari, planet dan asteroid, bisa juga dalam lingkup galaksi, bintang-bintang dan gugusan bintang.[2]
Sedangkan dalam Ensiklopedi- singkat astronomi dan ilmu yang bertautan menyatakan bahwa astronomi adalah pengetahuan tentang benda langit dan alam semesta, merupakan salah satu cabang pengetahuan ekskta tertua. Satuan astronomi adalah jarak menengah antara matahari dan bumi, 150 juta kilometer. Satuan ini digunakan sebagai satuan panjang bagi ukuran di dalam tata surya. Tahun astronomi ialah jumlah tepat waktu yang diperlukan bumi mengelilingi matahari, dinyatakan dalam hari, jam, menit, dan sekon. Berbeda dengan waktu sipil, atau kelender, yang dinyatakan dengan bilangan bulat.[3]
Dari berbagai pengertian, kemudian muncullah klasifikasi ilmu yang mengambil objek langit dan bintang. Yakni ilmu astronomi dan ilmi astrologi. Ilmu astronomi mempelajari benda-benda langit secara umum. Sedangkan ilmu astrologi yaitu ilmu yang mempelajari benda-benda langit dengan tujuan untuk mengetahui pegaruh benda-benda langit itu terhadap kehidupan manusia, atau yang lebih dikenal dengan ilmu nujum.[4]
2. Perkembangan ilmu Astronomi
Sepanjang sejarah manusia, pandangan manusia terhadap alam semesta berubah-ubah sesuai dengan tingkat pengetahuan pada tiap-tiap zaman. Waktu dulu, manusia pada umumnya memahami alam semesta hanya terbatas pada apa yang bisa mereka lihat, bahkan terkadang ditambahkan dengan takhayuk yang sifatnya fantastis. Bumi menurut mereka adalah sebagai pusat tata surya. Berbagai gejala alam, seperti terjadinya gerhana, jatuhnya batu meteor, adanya bintang berekor, dan sebagainya dianggap sebagai hal yang tidak beres.
Walaupun demikian, ada sebagian dari mereka yang telah memahami kondisi alam semesta ini dengan rasionalnya. Seperti Aristoteles (384 – 322 SM) yang menyatakan bahwa pusat jagat raya adalah bumi. Sedangkan bumi dalam keadaan tenang, tidak bergerak dan tidak berputar. Semua gerak benda-benda angkasa mengitari bumi. Lintasan masing-masing benda angkasa berbentuk lingkaran. Sedangkan peristiwa gerhana tidak lagi dianggap sebagai adanya raksasa yang memakan bulan, melainkan sebagai peristiwa alam.[5]
Selain itu, Claudius Ptolomeus (140 M) juga menyatakan pendapat serupa tentang tata surya. Yakni bumi sebagai pusat tata surya. Pendapat kedua ilmuwan ini kemudian dikenal dengan teori Geosentris. Lintasan benda-benda langit tersebut berupa lingkaran di dalam bola langit. Sementara langit merupakan tempat bintang-bintang sejati, sehingga mereka berada pada dinding bola langit.[6]
Walaupun pada abad sebelumnya, yakni sekitar abad III SM terdapat seorang ilmuwan yang bernama Aristarchus. Dia menyatakan bahwa pusat tata surya bukanlah bumi sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles pada zaman setelahnya, tetapi mataharilah yang menjadi pusat tata surya (Heliosentris). Akan tetapi, kondisi sosial yang belum dapat menerima hal itu, akhirnya pendapat ini meredup dan akhirnya tergantikan dengan teori geosentris yang bertahan hampir XVIII abad.
Setelah bertahan cukup lama, akhirnya ada pendapat yang dengan terang membantah teori geosentrisnya Ptolomeus. Dialah Nicholas Copernicus (1473 – 1543) lewat bukunya yang berjudul ”Revolutionibus Orbium Celestium” menyatakan bahwa matahari merupakan pusat dari suatu sistem peredaran benda-benda langit, yang dikenal dengan teori Heliosentris. Setelah Copernicus menyatakan pendapatnya, banyak ilmuwan yang mendukung, seperti Galileo Galillei (1564 – 1642 M). dia juga berhasil membuat sebuah teledkop yang dapat dengan jelas melihat relif permukaan bulan, noda-noda matahari, saturnus dengan cincinnya yang indah, dan planet Yupiter dengan 4 buah satelitnya.[7] Disamping Galileo, ada juga Johannes Kepler (1571 - 1630) yang juga sependapat dengan Copernicus dan Galileo. Dia juga terkenal dengan Hukum Kepler I, II, III.
3. Perkembangan Ilmu Astronomi Islam
Kajian ilmu astronomi dalam Islam biasa dikenal dengan istilah Ilmu Falak. Namun ada pergolakan dalam membedakan antara ilmu perbintangan dan ilmu astronomi. D.G. Fories dan A.G. Dickstehour mengatakan dalam bukkunya “Sejarah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” bahwa munculnya ilmu astronomi baru telah melenyapkan ilmu perbintangan. Namun ilmu perbintangan telah banyak membantu kemajuan ilmu stronomi pada abad-abad pertengahan, membantu terbukanya observasi-observasi astronomis, memperbaiki alat-alat yang dipergunakan oleh para astronomis, dari sinilah berangkat ilmu astronomi mendapat kedudukan dalam sejarah ilmu pengetahuan.[8]
Sedangkan Ali Muhammad Ridlo mengatakan dalam bukunya “Asrul Islam Ad Dzhahabi” : Ilmu astronomi bukan ilmu perbintangan. Falak adalah ilmu, akan tetapi perbintangan bukan ilmu. Ilmu astronomi membahas tentangkeluarga tata surya, diantaranya bumi yang kita tempati sekarang ini. Dan juga membahas tentang garis edar planet-planet, jarak antara masing-masing planet, kemiringan perjalanannya, dan jauhnya dari matahari. Kesemuanya ini merupakan pembahasan-pembahasan ilmiah yang didasarkan pada peneropongan, observatorium serta alat-alat astronomis lainnya. Hal ini berbeda dengan perbintangan yang dihubung-hubungkan manusia dengan masalah kebahagiaan atau kemalangan.di dalam perbintangan, orang berusaha mengetahui hal-hal ghaib.[9]
Di dalam buku Al Islam Fi Hadlratihi wa Nidlohimi, Anwar Ar rifa’i menyatakan bahwa pada tahun 155 H/737 M orang Arab mulai menerjemahkan sebuah buku karya Hermes yaitu “Miftah an Nujum”. Pada masa daulah Abbasyiyah, yakni abad III Hijriyah, ilmu falak mulai mengalami kemajuan yang berarti. Kegiatan penerjemahan karya-karya ke dalam bahasa Arab mulai di giatkan. Diantara karya-karya itu adalah Kitab Siddhantha Barahmagupta dari seorang pengembara India yang diserahkan pada pemerintah Al Manshur dan diterjemakan oleh Muhammad Al Fazari. Siddhantha Aryabhrata diterjemahkan oleh Ya’qub ibnu Thariq. Sedangkan Almagest karya ptolomeus diterjemahkan oleh Hunain bin Ishaq. [10]
Selain itu, masih ada beberapa karya yang diterjemahkan, yaitu The Sphere in Movement karya Antolycus, Ascentions of The Signs karya Aratus, dan Introduction to Asrronomiy karya Hipparchus.[11] Karya-karya ini tidak hanya sekedar ditejemahkan, aka tetapi kemudian ditindaklanjkuti dengan penelitian-penelitian baru yang berkelanjutan sehingga menghasilkan teori-teori baru.
Dari sini kemudian muncul tokoh falak di kalangan umat Islam yang sangat berpengaruh, yaitu Abu Ja’faar bin Musa al-Khawarizmi (780 847 M), melalui beberapa penemuan, yaitu penemuan angka nol (0), sehingga terciptalah sistem pecahan desimal sebagai kunci terpenting dalam pengembangan ilmu hisab, penyusunan pertama tabel trigonometri daftar logaritma yang masih berkembang hingga sekarang, serta penemuan kemiringan zodiac sebesar 23,5 derajat atas ekuator. Adapun kitab-kitab karya al – Khawarizmi antara lain, al-Mukhtashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran para cendekiawan Eropa, hingga diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Chester pada tahun 1140 M, dan Surah al-Ardl.
Pada masa kholifah Al Makmun juga menghasilkan data-data yang berpedoman pada buku Shindhind yang disebut “Tables of Makmun” dan oleh orang Eropa mengenalnya dengan sebutan “Astronomos”. Pada perkembangan selanjutnya, muncul banyak tokoh falak yang diantaranya :
- Abu Ma’syar Al Falaky (788 – 885 M), adalah seorang ahli falak dari Khurasan. Dia menemukan adanya pasang naik dan pasang surut air laut sebagai akibat posisi bulan terhadap bumi. Karyanya antara lain, al-Madkhal al-Kabir, Ahkam wal-Sinni wal-Kawakib, Itsbat al-Ulum, dan Haiat al-Falak.
- Ibnu Jabir al-Baattany (858 – 929 M), dikenal dengan sebutan AlBatenius. Karyanya yaitu memperbaiki perhitungan yang ada di dalam buku karya Ptolomeus dalam judul baarunya Tabril al-Magesty, disamping karyanya sendiri yang berjudul Tamhid al-Musthafa li Ma’na al-Mamar.
- Abul Raihan Al Biruni (973 – 1048 M), cendekiawan asal paris. Mendapat gelar Ustad fi al-Ulum (maha guru) karena selain ahli perbintangan, dia juga menguasai berbagai disiplin ilmu seperti Matematika, geografi, dan fisika. Karyanya antara lain, Al-Atsar Baqiyyat min al-Qurun al-Khaliyat, dan kitab fenomenalnya yang berjudul Al-Qonun al-Mas’udi fi al-Haiat wa al-Nujumi. Menurut Prof. Ahmad Baiquni, al-Birunilah yang pertama kali membantah teori Ptolomeus, juga dipandang sebagai teori heliosentris.
- Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Katsir al-Farghani, ahli falak terkemuka pada masa kholifah Al Makmun. Di Barat ia lebih dikenal denmgan Al Farganus. Karyanya antara lain, Jawami’ al-Ilm al-Nujum wa al-Harakat al-Samawiyyat, Ushul ilm al-Nujum, Al-Madhkhal ila ilm al-Haiat al-Falak, Futsuluts al-Tsalasain. Semuanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Hispalamsis dari Seville dan Gerard dari Cremona pada tahun 1493.
- Maslamah Abul Qosim al—Majriti (950 – 1007 M), dia berhasil merubah tahun Persi ke tahun Hijriyah dengan meletakkan bintang-bintang sesuai dengan awal tahun Hijriyah.
- Ali bin Yunus (w. 1009 M), meghasilkan sebuah karya yang berjudul Zaij al-Kabir al-Hakimi, yang berisi tentang data astronomi matahari, bulan, dan komet, serta perubahan titik equenox.
- Abu Ali al-Hasan bin al-Haytam (965 – 1039 M), karyanya berjudul Kitab al-Manadhir yang kemudian ditrjemahkan ke bahasa Latin dengan nama “Optics” pada tahun 1572
- Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin al-hasan Nashiruddin at-Thusi 1201 – 1274 M), karyanya antara lain, Al-Mutawaaith bain al-Handasah wa al-Haiah, At – Tadzkir fi ilm al-Haiat, Zubdah al hatiah.
- Muhammad Thurgay Ulughbeck (1394 – 1449 M), dia berhasil membangun observatorium, dan karya monumentalnya berupa Jadwal Ulugh Beik (zij Shulthoni). Kemudian muncul Nicholas Copernicus dengan Heliosentrisnya.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Melihat dari masa atau waktu lahirnya para ahli falak maupun astronomi, para ilmuwan muslim lebih dulu masanya daripada para astronomis Eropa. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendapat dan teori yang berkembang di Eropa sangat dipengaruhi oleh adanya pendapat yang telah dikemukakan dan penemuan-penemuan yang telah ditemukan oleh para cendekiawan muslim.
BAB IV
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, kami menyadari akan adanya kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif dari segenap pembaca senantiasa kami nantikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
- Azhari, Susiknan. 2007. Ilmu Falak, Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern. Yogyakarta : Suara Muhammadiyah
- Khazin, Muhyiddin 2004. Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta : Buana Pustaka
- Murtadlo, Moh.. 2008. Ilmu Falak Praktis.Malang : UIN Malang Press
- Radiman, Iratius (dkk). 1980. Ensiklopedi-singkat astronomi dan ilmu yang bertautan. Bandung : Penerbit ITB Bandung
- Thaha, Ahmadie. 1983. Astronomi dalam Islam. Surabaya : PT. Bina Ilmu
[1] Mudji Raharto. Manusia, Islam dan Astronomi. Makalah disampaikan pada pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional di Bogor.
[2] Susiknan Azhari. Ilmu Falak, Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern. Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007. hlm. 14
[3] Iratius Radiman (dkk). Ensiklopedi-singkat astronomi dan ilmu yang bertautan. Bandung : Penerbit ITB Bandung, 1980. hlm. 6-7
[4] Muhyiddin Khazin. 2004. Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta : Buana Pustaka, hlm. 3-4
[5] Ibid, hlm. 24
[6] Ibid,
[7] Ibid, hlm. 29
[8] Ahmadie Thaha. Astronomi dalam Islam. Surabaya : PT. Bina Ilmu. 1983. hlm. 17
[9] Ibid
[10] Ibid, hlm. 20
[11] Moh. Murtadlo. Ilmu Falak Praktis.Malang : UIN Malang Press. 2008. hlm. 23
[12] Ibid, hlm. 28