Bismillahirrahmanirrahiim
Dengan mengucapkan “Bismillah” kita sudah berniat akan melaksanakan sesuatu atas nama Allah swt, berarti tidak ada istilah setengah hati atau asal-asalan, sehingga terbentuk pengertian yang komprehensip, sepenuh hati dan memiliki nilai kebajikan yang dikenal sebagai “amalan solihan”. Selanjutnya akan memasuki suatu proses melalui ikhtiar atau usaha yang sudah dilengkapi dengan sekumpulan data atau informasi dan metode tertentu seberapapun sederhananya.
Niat, data atau informasi, pengalaman dan kondisi lingkungan serta cara kerja atau metode merupakan elemen yang mefasilitasi upaya menyikapi masalah dengan proaktif.Proaktif mencakupi juga pengenalan, pemetaan dan simplifikasi masalah termasuk didalamnya mengurangi keterlibatan emosi yang kurang terkendali, praduga negatip (shu’udhon) dan efektifitas komunikasi. Sikap murung, pesimistis dan merasa kurang percaya diri akan mendorong kebelakang kondisi proaktif yang sudah dipersiapkan.
Niat ridho karena Allah.
Kualitas niat dapat diukur melalui tersedianya program dan perencanaan yang memadai disertai dengan kesungguhan untuk menyelesaikan tugas kegiatan hingga tuntas. Dukungan niat terhadap keberhasilan proses sangat bergantung pada keikhlasan dan kesediaan menempuh ikhtiar dengan segala konsekwensinya. Semakin ikhlas kita, semakin kuat minat atau interest terhadap suatu pekerjaan. Ini berarti proses akan menjadi semakin jernih, terhindar dari kontaminasi kemungkinan munculnya potensi bosan, jenuh atau munculnya klaim kurangnya fasilitas yang serba cukup. Apabila hal ini sampai terjadi bisa timbul kerentanan kelanjutan perjalanan proses ikhtiar atau bahkan diskontinuitas dalam mencapai tujuan.
Islam mengangkat keikhlasan ini ketempat yang sangat tinggi sebagai ridho – ikhlas karena Allah (“radhiyatan-mardhiyah” – keikhlasan yang diridhoiNya). Dari sinilah dimulai penilaian ketakwaan mahluk terhadap kholik atau penciptanya. Getar kemauan yang melintasi kalbu manusia menggerakkan motivasi untuk berbuat sesuatu yang diridhoiNya atau sesuatu yang keluar dari bingkai syari’ah rahmatNya, yang kesemuanya sudah termonitor dengan cermat dan lengkap, sesuai firman Allah swt. :
“Innahuu ya’lamul jahra wamaa yakhfaa” – (Sesungguhnya Dia mengetahui apa yang terang dan apa yang tersembunyi – Surah Al A’laa ayat 7 ) yang kemudian akan diperlihatkan dalam bentuk hasil-cetak (printout) dengan firmanNya: “Afalaa ya’lamu idzaa bu’tsira maa filqubuur(i) Wahushshila maa fish shuduur” – ( Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada dalam kubur? Dan dilahirkan apa yang ada dalam dada – Surah Al ‘Aadiyaat ayat 9 dan 10).
Usaha atau amal manusia yang didahului dengan nilai-nilai motivasi yang terkandung dalam kehendak atau niat akan memberikan hasil yang lebih berkualitas dibanding dengan sesuatu yang dikerjakan tanpa kesungguhan dan persiapan yang memadai, Rasulullah saw. bersabda : “Segala amal tergantung dari niatnya”. Niat berarti mensengajakan, mensengajakan diri untuk melakukan sesuatu perkara dengan sadar, tanpa paksaan. Semua perkara atau pekerjaan dalam bentuk ibadah harus dengan niat, artinya pekerjaan tersebut dilakukan dengan sengaja, sadar dan tanpa paksaan, ridho ikhlas karena Allah semata. Segala kegiatan ibadah yang dilaksanakan tanpa niat tidak akan diterima atau batal.
Mengenali dan Memetakan Masalah.
Tahap penting dari awal menyikapi masalah adalah mengenalinya. Sebagian orang kurang menaruh perhatian bahkan tidak sedikit yang sengaja melewatinya tanpa mengindahkan jenis atau tanda-tanda permasalahan yang dihadapinya. Sosok masalah yang sama atau mirip sering muncul berulang dengan sedikit variasi perbedaan, namun orang yang sabar selalu belajar dari pengalaman yang lalu atau kejadian yang pernah dialami orang lain.
Apabila kita sudah mampu mengidentifikasi suatu masalah beserta segala keterangan atau informasi relevan yang menyertainya segera diambil langkah untuk memetakannya. Dari sini akan mulai kelihatan area – area yang bergradasi warna mulai hitam, kelabu dan putih serta mulai dapat dikenali apakah ini permasalahan pribadi, permasalahan perusahaan, organisasi atau permasalahan yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Sudah barang tentu disini dibutuhkan ketrampilan, pengalaman, kesabaran dan pengetahuan yang memadai
Untuk dapat melihat peta masalah lebih jelas lagi dianjurkan menggunakan metode penglihatan dari atas yang sudah dikenal dalam ilmu manajemen sebagai helicopter sight. Untuk mengamati obyek sasarannya, pesawat ini tidak terbang terlalu tinggi tapi cukup sebatas jarak pandang yang mampu meliput batas-batas area dan lingkungan sekeliling yang diamatinya. Hasil perekaman situasi tersebut perlu segera diikuti tindakan penyederhanaan atau simplifikasi masalah. Hal-hal yang tidak berkaitan dan tidak memiliki relevansi agar ditiadakan terutama yang muncul karena sikap anthusias yang berlebihan, selalu merasa tidak siap, kurang percaya diri, sedang BT dan semacamnya.Dengan demikian kita dapat memperoleh gambaran obyektif dari suatu masalah yang akan kita proses penyelesaiannya untuk mendapatkan solusi proportional yang aplikatip.
Do’a sebagai pengakuan dominasi faktor eksternal.
Betapapun kita kini hidup di zaman modern, zaman yang menurut sebagian orang penuh ketidak pastian, namun hal tersebut bagi seorang muslim tidaklah mengurangi urgensi do’a. Bahkan Nabi Muhammad saw. sendiri mengatakan: ”Do’a itu otaknya ibadah”. Berdo’a adalah ibadah yang khas, yang menghubungkan hati dan pikiran manusia dengan Tuhannya, yang mungkin dilakukan di awal, atau sesudah suatu keinginan ataupun usaha dilaksanakan. (Dr. Miftah Faridl). Abu Hurairah meriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia atas Allah ‘Azza Wa Jalla dari pada do’a”. Selanjutnya beliau bersabda: “Sesungguhnya hamba itu tidak luput dari do’anya, salah satu dari tiga hal, ada kalanya dosa yang diampuni baginya, adakalanya kebaikan yang segera (disegerakan) baginya (di dunia) dan ada kalanya kebaikan yang disimpan untuknya.”
Bagi orang yang beriman, yang mengakui kekuasaan Allah dengan segala kebesaranNya, pada setiap hendak melakukan suatu aktivitas atau menyelesaikan suatu permasalahan, terbayang bentangan garis horizontal sebagai symbol ikhtiar dan sekaligus terpancang garis vertikal yang terhubung dengan suatu pengakuan adanya dominasi faktor eksternal. Keterbatasan waktu, pengalaman, sumber daya dan kapabilitas membawanya pada suatu kondisi ‘tawadhdhu’ atau rendah hati, senantiasa menundukkan diri kepada Allah, menyadari segala kekurangan dan kelemahan diri, tidak ‘ujub’ dan menjahui sifat ‘takabur’, maka dari lubuk hatinya mengalir permohonan dan harapan yang menggetarkan ujung lisannya sebagai do’a seorang mukmin kepada Yang Maha Menguasai segala sesuatu. Dalam sejarah perjuangan Islam, rasa bermegah diri, arogan atau ‘ujub’ pernah hampir membawa musibah bagi ummat Islam dalam perang Hunain karena merasa memiliki jumlah yang lebih besar dari lawannya (Surat Al Taubah ayat 25 dan 26:
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (mukminin) dimedan peperangan yang banyak. Dan pada hari peperangan Hunain ketika menakjubkan kamu karena banyaknya (jumlah)mu, (kamu menjadi congkak) maka (jumlahmu yang banyak itu) tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas ini (menjadi terasa) sempit atasmu, kemudian kamu berpaling lari kebelakang”.
"Kemudian Allah menurunkan ketenangan atas RasulNya dan atas orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan bala tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Dia menimpakan azab kepada orang-orang kafir. Demikian itulah pembalasan bagi orang-orang kafir”.)
Kehidupan sebagai rangkaian amal dan solusi.
Kualitas hidup ditentukan oleh kualitas ikhtiar, usaha atau amal manusia yang didahului dengan nilai-nilai motivasi yang terkandung dalam kehendak atau niat. Kemampuan mengorganisir masalah, informasi data dan referensi banyak mempengaruhi pola solusi dan penyelesaian suatu masalah, yang didukung prosedur dan pengaturan waktu (‘time frame’) yang memadai.Untuk menjaga konsistensi kualitas hidup diperlukan adanya program hidup jangka panjang yang dilengkapi dengan implementasi konsep solusi yang terkendali. Disini Islam memiliki konsep yang tidak tertandingi oleh paham kehidupan lain apapun yang berorientasi pada kefanaan dan kenisbian sekulerisme.
Kehidupan sementara di dunia ini pada hakekatnya merupakan rangkaian amal yang satu dengan amal lainnya, solusi satu masalah yang diikuti munculnya masalah lainnya, dimana manusia yang bertakwa memandangnya tidak hanya sebagai rutinitas hidup tapi lebih sebagai tabungan bekal untuk kehidupan yang lebih panjang dan kekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa, dimana pada ujung penyelesaian menyerah – kan keputusan akhir pada Yang Maha Kuasa. Hikmah dari dogma ini adalah seorang mukmin tidak akan patah semangat bila yang diharapkan atau ditargetkan tidak tercapai dan tidak akan menepuk dada bila memperoleh sukses atas usahanya. Yang terpenting adalah selalu diadakan evaluasi atas proses ikhtiar dan perbaikan terus menerus (continous improvement). Bandingkan dengan ISO 9000 dengan pernyataannya: “ISO 9000 is all about quality processes, provides both general giidelines and contractual agreements used to meet quality requirements. ISO 9000 is a standard for quality management systems”. Artinya: “ISO 9000 semata-mata berhubungan dengan kualitas proses, menyediakan petunjuk umum dan ikatan persetujuan yang digunakan untuk memenuhi persyaratan kualitas. ISO 9000 adalah suatu standard bagi kualitas sistem manajemen.”
Surat Al Insyirah ayat 7 – 8 berbunyi:
”Fa-idzaa faraghta fanshab. Wa ilaa rabbika farghab” Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan), maka kerja keraslah kamu (urusan yang lain). Dan kepada Tuhanmu (hendaklah) kamu berharap”. Dalam menapaki jejak kehidupan apabila seseorang merasa sudah menemukan peta -denah jalan kembali menuju ke hadiratNya, segala permasalahan yang dihadapi beserta solusinya menjadi lebih jernih dan sederhana karena petunjuk arah, rambu serta aturannya (‘syari’ah’) sudah dimengerti dan dipatuhi. Segala niat dan ikhtiar yang disertai keikhlasan ingin mencapai ridho Allah swt. membawanya pada kesadaran adanya ujian dan penilaian terus menerus sebagai proses yang menyatu dan berkelanjutan.
“Maha suci Dzat yang ditanganNya (tergenggam) semua kerajaan dan Dia yang Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. Dzat yang menjadikan mati dan hidup, supaya menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya” (Al Mulk ayat 1-2)
“Sesungguhnya kami menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, supaya Kami menguji mereka siapakah diantara mereka itu yang lebih baik amalnya’ (al Kahfi ayat 7).
Pada hakikatnya setiap orang diberi kadar permasalahan yang sama dan setara, diberi pelajaran, kemampuan dan fasilitas hidup yang membuat dia mampu menyelesaikan persoalannya. Manusia diberi hak dan kesempatan untuk memohon keringanan atas cobaan hidup yang terasa membebaninya diluar kemampuan potensi dan daya yang dimilikinya. Semua diberi balasan yang sama berupa pahala dan siksa sebagai hasil pemanfaatan fasilitas hidup duniawi, kapasitas IQ dan EQ, segala macam ilmu pengetahuan yang dianugerahkan beserta pengembangannya, lingkungan alam yang kondusif serta kesehatan jasmani rohani pada berbagai macam kondisi beserta hikmahnya. Diatas segalanya kepada manusia diberi petunjuk berupa Kitab Suci yang mudah dimengerti dan dapat diamalkan oleh manusia pada semua tingkat kemampuannya yang dibawa para Rasul dan Nabi yang dijadikan suri tauladan dan pembuka jalan melewati berbagai kultur budaya yang ada. Dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 286, Allah berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo’a):” Ya Tuhan kami janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah, ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami, ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya, beri ma’aflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami, Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”