Berbagai produk alami yang berasal dari tumbuhan telah menjadi komoditi komersial yang menarik bagi para pengusaha herbal. Dalam pemanfaatannya bahan baku tumbuhan obat masih tergantung pada tumbuhan yang ada di hutan alam atau berasal dari pertanaman rakyat yang diusahakan secara tradisional. Pengadaan bahan baku obat atau jamu dengan cara pemungutan langsung dari hutan alam akan mengancam keberadaan populasinya.
Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa, sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal). Pada umumnya mereka mempunyai kemampuan, pengalaman hidup dan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus pemanfaatannya dan dalam hal ini dikembangkan secara turun temurun.
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui pengembangan budidaya tumbuhan obat (herbal) sebagai komoditas agribisnis berbasis kearifan lokal dalam konsep bioregion.
Metode yang digunakan adalah dengan telaah pustaka dan didapat kesimpulan bahwa untuk mendukung aktivitas agribisnis tumbuhan obat (herbal) di Indonesia harus disertai dengan melakukan kegiatan budidaya tumbuhan obat dengan melibatkan masyarakat sekitar (masyarakat lokal) dengan kearifannya sebagai pengelola dan penjaga kelestarian plasma nutfah seperti yang tertuang dalam konsep bioregion.
Kata kunci : tumbuhan obat, komoditas agribisnis, kearifan lokal, konsep bioregion
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Akhir-akhir ini penggunaan tumbuhan obat di Indonesia semakin meningkat, sedangkan usaha budidaya tumbuhan obat masih sangat terbatas. Banyak pula jenis tumbuhan berpotensi obat yang tumbuh di kawasan tropis ini belum dimanfaatkan secara optimal. Lebih dari 400 etnis masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan hutan dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat (Sulandjari, 2009).
Di Indonesia, tumbuhan obat merupakan salah satu komponen penting dalam pengobatan, yang berupa ramuan jamu tradisional dan telah digunakan sejak ratusan tahun yang lalu. Tumbuhan obat telah berabad-abad didayagunakan oleh bangsa Indonesia dalam bentuk jamu untuk memecahkan berbagai masalah kesehatan yang dihadapinya dan merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang perlu dipelihara dan dilestarikan.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) memperkirakan sekitar 80% masyarakat dunia yang tinggal di pedesaan masih menggantungkan dirinya terhadap tumbuhan obat untuk menjaga kesehatannya (Anonim, 2001). Peran tumbuhan bagi masyarakat tradisional hampir tidak tergantikan oleh obat-obatan modern kimiawi (Hidayat, 2007). Ong (2000) dikutip oleh Hasanah (2010) mengatakan bahwa sudah sejak lama bangsa Indonesia mengenal khasiat berbagai ragam jenis tanaman sebagai sarana perawatan kesehatan, pengobatan serta untuk mempercantik diri yang selama ini dikenal sebagai jamu. Dikalangan internasional, jamu dikenal dengan istilah Herbs yang berasal dari bahasa latin Herba yang berarti rumput, tangkai, tangkai hijau yang lunak dan kecil dan agak berdaun.
Berbagai produk alami yang berasal dari tumbuhan telah menjadi komoditi komersial yang menarik bagi para pengusaha herbal dunia. Wijayanti (2004) dikutip oleh Hidayat (2007) mengatakan bahwa pasar herbal dunia telah menghasilkan sekitar US$20 milyar pada tahun 2000 dan bahwa konsumsi produk alami ini diperkirakan setiap tahunnya akan meningkat. Untuk pasar dalam negeri, produk herbal meningkat dari sekitar 1 trilyun rupiah pada tahun 2000 menjadi sekitar 2 trilyun rupiah pada tahun 2002 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 6 trilyun rupiah pada tahun 2010.
Hal tersebut di atas dapat terwujud karena melimpahnya ketersediaan sumber daya hayati tumbuhan obat di hutan Indonesia. Menurut Supriadi (2001) diperkirakan sekitar 30.000 tumbuhan ditemukan di dalam hutan hujan tropika, dan sekitar 1 260 spesies di antaranya berkhasiat sebagai obat. Baru sekitar 180 spesies yang telah digunakan untuk berbagai keperluan industri obat dan jamu, tetapi baru beberapa spesies saja yang telah dibudidayakan secara intensif.
Dalam pemanfaatannya bahan baku tumbuhan obat masih tergantung pada tumbuhan yang ada di hutan alam atau berasal dari pertanaman rakyat yang diusahakan secara tradisional. Pengadaan bahan baku obat atau jamu dengan cara pemungutan langsung dari hutan alam akan mengancam keberadaan populasinya. Menurut Muharso (2000) kegiatan eksploitasi tanaman liar secara berlebihan melebihi kemampuan regenerasi dari tanaman dan tanpa disertai usaha budidaya, akan mengganggu kelestarian tanaman tersebut.
Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa, sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal). Pada umumnya mereka mempunyai kemampuan, pengalaman hidup dan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus pemanfaatannya dan dalam hal ini dikembangkan secara turun temurun. Kearifan tradisional didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari
1.2. Tujuan
Penulisan tugas karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan budidaya tumbuhan obat di Indonesia berbasis kearifan lokal dalam konsep bioregion, dalam rangka menjawab salah satu permasalahan terhadap ancaman kelestrarian tumbuhan obat di Indonesia yang digunakan sebagai komoditas agribisnis.
BAB II. PLASMA NUTFAH TUMBUHAN OBAT
Hutan, terutama hutan hujan tropis, mengandung bagian terbesar dari sumberdaya genetik (plasma nutfah) yang ada. Dalam hutan tropis terdapat berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Masing-masing jenis tumbuhan dan hewan mengandung sifat keturunan yang karateristik bagi jenis yang bersangkutan. Jumlah dan jenis yang ada dalam hutan berhubungan erat dengan luas hutan (Anonim, 1999) dikutip oleh Hasanah (2010).
Dalam UU No 12 tahun 1992, pasal 1 butir 2, plasma nutfah diartikan sebagai substansi yang terdapat dalam kelompok mahluk hidup dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul atau kultivar baru.
Klasifikasi kondisi tanaman obat akibat pengambilan bahan baku tanpa dilakukan pelestarian plasma nutfahnya diklasifikasikan menjadi 5 kelompok (Muharso, 2000):
- Punah (extinct), jenis tanaman yang dianggap telah musnah/hilang sama sekali dari permukaan bumi.
- Genting (endangered), jenis tanaman yang terancam punah
- Rawan (vulnerable), jenis tanaman yang terdapat dalam jumlah sedikit dan eksploitasinya terus berjalan sehingga perlu dilindungi.
- Jarang (rare) jenis tanaman yang populasinya besar tetapi tersebar secara lokal, atau daerah penyebarannya luas tetapi tidak sering dijumpai serta mengalami erosi berat.
kelangkaan tetapi informasi keadaan sebenarnya belum mencukupi untuk
masuk dalam katagori tersebut.
Menurut Rifai et al. (1992) dikutip oleh Hidayat (2007) yang termasuk katagori genting adalah purwoceng (Pimpinella pruatjan), katagori rawan diwakili oleh Ki koneng (Arcangelisia flava) dan pulai (Alstonia scholaris) termasuk katagori jarang.
Permasalahan pelestarian Tumbuhan Obat Indonesia menurut Zuhud et al. (2001) disebabkan karena a) Kerusakan habitat, b) Punahnya budaya dan pengetahuan tradisional penduduk asli/lokal di dalam atau sekitar hutan, c) Pemanenan tumbuhan obat yang berlebihan. Adanya eksploitasi terhadap kayu yang sekaligus pohon tersebut yang juga merupakan spesies tumbuhan obat juga merupakan ancaman terhadap kelestarian tumbuhan obatnya. Sebagian besar areal konsesi HPH (areal eksploitasi kayu) yang sudah diusahakan saat ini terdapat di tipe hutan hujan dataran rendah dimana 44% spesies tumbuhan obat penyebarannya terdapat di formasi hutan ini dan di areal hutan konversi (areal hutan yang bisa dirubah menjadi areal non-hutan seperti untuk perluasan lahan pertanian/ perkebunan, areal transmigrasi dan areal industri dll).
Ancaman kelestarian plasma nutfah tumbuhan obat hutan tropika saat ini menurut Zuhud et al. (2001) sangat serius karena formasi hutan tropika dataran rendah selama 2 dekade belakangan ini mengalami kerusakan yang sangat parah, akibat eksploitasi kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan, konversi hutan, perladangan berpindah dan lain-lain. d) Ketidak seimbangan penawaran dan permintaan tumbuhan obat, e) Lambatnya pengembangan budidaya tumbuhan obat Indonesia, f) Rendahnya harga tumbuhan obat, g) Kurangnya kebijakan dan peraturan perundangan pelestarian, h) Kelembagaan pelestarian tumbuhan obat.
Kegiatan eksplorasi yang merupakan pelacakan atau penjelajahan, mencari, mengumpulkan dan meneliti jenis plasma nutfah tertentu dilakukan untuk mengamankan dari kepunahan ( Kusumo et al, 2002) dikutip oleh Hasanah (2010). Pendekatan awal dalam kegiatan eksplorasi pada umumnya dimulai dengan penelitian etnobotani dan etnofarmakologi sebagai upaya untuk menginventarisasi jenis tumbuhan obat dan manfaat penggunaannya (Anggadiredja dan Rifai, 2000) dikutip oleh Hidayat (2007). Kegiatan eksplorasi sudah banyak dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian dan industri maupun perorangan namun hasil-hasilnya tidak terdokumentasi dengan baik sehingga kita tidak pernah memiliki literatur yang utuh tentang tumbuhan obat dan ramuannya serta cara pengobatannya (Hasnam et al, 2000).
Beberapa spesies tumbuhan adalah spesies yang secara alam dinyatakan langka serta terancam kepunahan. Di Indonesia, kegiatan eksploitasi hutan, konversi hutan dan pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat, serta pengambilan tumbuhan obat dengan tidak mempertimbangkan aspek kelestarian dapat dipandang sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian dan penurunan populasi tumbuhan obat, sehingga secara tidak disadari kelangkaan jenis tumbuhan obat terus meningkat.
Idealnya semua tumbuhan obat harus dilestarikan, meliputi semua populasi di alam (in situ) dan dilakukan penangkaran diluar habitatnya (ex situ). Menurut Zuhud et al. (2001) tujuan pelestarian ex situ adalah a) untuk diintroduksi kembali ke habitat aslinya, b) untuk kegiatan pemuliaan dan c) untuk tujuan penelitian dan pendidikan. Prioritas pelestarian ex situ diberikan untuk spesies yang habitatnya telah rusak atau tidak dapat diamankan lagi, pelestarian ex situ juga harus digunakan untuk meningkatkan spesies lokal yang hampir punah menjadi tersedia kembali di alam. Di beberapa negara hal ini menjadi perhatian untuk melestarikan semua spesies tumbuhan obat secara ex situ.
Komoditas Tanaman Obat unggulan versi Badan POM (2001) telah ditetapkan seperti sambilito, pegagan, jati belanda, tempuyung, temulawak, daun ungu, cabe jawa, sanrego, pasak bumi, pace, daun jinten, kencur, dan teknologi budidayanya untuk sebagian komoditas sudah tersedia. Beberapa contoh obat tradisional dikemukakan oleh Ma’at (2001) yang berasal dari tanaman obat asli Indonesia yang dikemukakan dengan menggunakan bahasa ilmu kedokteran moderen agar dapat dipahami oleh kalangan dokter yang nantinya diharapkan menjadikan cikal bakal suatu Obat tradisional.
Untuk Pelayanan Kesehatan Formal:
1. Obat Tradisional sebagai imunomodulator: Phyllanthus niruri L.
2. Obat Tradisional untuk pengobatan Hiperkolesterolemia dan hipertrigli seridemia : Sechium edule
3. Obat Tradisional untuk pengobatan kanker: Fam cruciferae, Solanum nigrum, Catharanthus roseus/Vinca rosea, Aloe vera L, Allium sativum L., Curcuma longa L., Nigella sativa L., Morinda citrifolia L., Andrographis paniculata Ness., Gynura procumbens Merr.
4. Obat alami sebagai terapi imun dan terapi adjuvan pada infeksi HIV/AIDS.
5. Obat Tradisional untuk pengobatan hiperurisemia dan artritis Gout.
6. Obat bahan alam untuk pengobatan hemoroid
Pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia diduga akan terus berlangsung mengingat eratnya keterikatan bangsa Indonesia pada tradisi kebudayaannya dalam memakai jamu. Di samping itu, beberapa bahan baku jamu telah menjadi komoditas ekspor yang handal untuk menambah devisa negara. Sayangnya meningkatnya pemanfaatan tumbuhan obat sebagai komoditas ekspor belum diikuti dengan pembudidayaan yang rasional dan pelestarian plasma nutfahnya. Kenyataan ini akan memaksa perlunya suatu kesadaran terhadap pemanfaatan sumber daya alam hayati secara lebih hati-hati dan lebih optimal dan lebih didasarkan pada kesadaran bahwa alam merupakan stok bahan baku obat-obatan yang potensial.
III. KEARIFAN LOKAL
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini ( Ayatrohaedi, 1986) dikutip oleh Sartini (2004). Antara lain dikatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri dan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli
4. mempunyai kemampuan mengendalikan
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dikutip oleh Sartini (2004) mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci irman Tuhan danberbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dikutip oleh Sartini (2004) mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Dalam penjelasan tentang ‘urf, Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003 yang dikutip oleh Sartini (2004) menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al-‘addah al-ma’rifah), yang dilawankan dengan al-‘addah al-jahiliyyah.
Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.
Sistem pemerintahan yang cenderung terpusat (sentralistik) dan bersifat top down ternyata memberikan dampak yang kurang baik bagi pembangunan bidang kehutanan. Dampak yang cukup terasa adalah terpinggirkannya masyarakat lokal (adat) yang tinggal di dalam maupun sekitar kawasan hutan dan memiliki kearifan tradisional dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan.
Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa, sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal). Pada umumnya mereka mempunyai kemampuan, pengalaman hidup dan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus pemanfaatannya, dalam hal ini dikembangkan secara turun temurun. Menurut Zakaria (1994) dikutip oleh Wirasena (2010), kearifan tradisional didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, kita melihat bahwa kearifan tradisional merupakan hasil akumulasi pengetahuan berdasarkan pengamatan dan pengalaman masyarakat di dalam proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan yang ada di sekitarnya dan bisa mencakup generasi yang berbeda. Tentu saja, dengan keragaman masyarakat di Indonesia kearifan tradisional inipun juga makin beragam dalam hal ini satu daerah dengan daerah lain penerapannya akan berbeda meskipun tujuannya sama.
Dalam kearifan tradisional terdapat unsur-unsur yang cukup berharga untuk mendukung program penyelamatan sumberdaya genetik tanaman hutan di Indonesia. Hal ini bisa demikian karena kearifan tradisional merupakan ( Oding,S. 2002) dikutip oleh Sartini (2004) :
a. dasar kemandirian dan keswadayaan
b. memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan
c. menjamin daya hidup dan keberlanjutan
d. mendorong teknologi tepat guna
e. menjamin pendekatan yang efektif dari segi biaya, dan
f. memberikan kesempatan untuk memahami dan memfasilitasi perancangan
pendekatan program yang sesuai .
Seperti telah diungkap sebelumnya bahwa berbagai jenis pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kearifan tradisional sangat banyak ragamnya. Namun demikian pelaksanaan dan aplikasinya akan sangat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Masing-masing karakteristik kearifan tradisional ini akan sangat tergantung pada pemahaman masyarakat lokal terhadap alam sekitar dan mengadaptasikannya pada pengelolaan sumber daya alam dengan berbagai kondisi lingkungan hidup.
Kearifan tradisional dapat dijadikan komponen penting untuk melaksanakan upaya penyelamatan sumberdaya genetik tanaman hutan. Dengan kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat lokal akan mampu melahirkan kearifan lingkungan, dalam hal ini dapat berjalan seiring dan sejalan dalam menjaga kelestarian sumber daya alam dan genetik. Selain itu, kearifan tradisional merupakan salah satu ciri kebudayaan nasional sehingga patut digali dan dikembangkan lebih lanjut di masa yang akan datang.
Upaya pendekatan penyelamatan sumber daya genetik tanaman hutan melalui pola kolaboratif dan partisipatif merupakan alternatif untuk menjawab tantangan diatas. Semua ini tentu saja didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat lokal memiliki kepentingan dan keterkaitan dengan sumber daya alam di sekitarnya. Sehingga akan penting perannya dalam pelibatan kegiatan penyelamatan tanaman hutan di Indonesia. Disisi lain, masyarakat lokal cenderung akan mau memberikan komitemen jangka panjang dalam upaya penyelamatan konservasi sumberdaya genetik tanaman hutan di Indonesia. Komitmen itu tidak saja muncul tanpa adanya kepastian akses manfaat dan akses kepada proses pengambilan kebijakan dalam upaya penyelamatan tanaman hutan pada tataran teknis/lapangan (Wirasena, 2010).
IV. BUDIDAYA TUMBUHAN OBAT DALAM KONSEP BIOREGION
Budidaya tanaman obat adalah merupakan salah point sasaran kegiatan konservasi keanekaragaman hayati dalam periode 5 tahun (2005 – 2009) yang disertai dengan kebijakan pembangunan konservasi keanekaragaman hayati untuk mengembangkan jaringan sistem kawasan ekosistem esensial dan pendekatan pengelolaannya melalui konsep bioregion (Anonim, 2005)
Bioregion adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam; yang tidak ditentukan oleh batasan politik dan administratif tetapi dibatasi oleh batasan geografik, komunitas manusia serta sistem ekologi. Dalam suatu cakupan bioregion, terdapat mozaik lahan dengan fungsi konservasi maupun budi daya yang terikat satu sama lain secara ekologis (Anonim, 2005). Dengan demikian pengelolaannya merupakan pendekatan integratif dalam pengelolaan keseluruhan bentang alam yang terikat secara ekologis yang menyandarkan dirinya pada tiga komponen yaitu: (1) komponen ekonomi yang mendukung usaha pendayagunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dalam matriks kawasan budi daya, dengan pengembangan budidaya jenis-jenis unggulan setempat (2) Komponen ekologi yang terdiri atas kawasan-kawasan ekosistem alam yang saling berhubungan satu sama lain melalui koridor, baik habitat alami maupun semi alami dan (3) Komponen sosial budaya yang dapat memfasilitasi partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya alam serta memberikan peluang bagi pemenuhan kebutuhan sosial/budaya secara lintas generasi (Sumardja, 1997) dikutip oleh Amzu (2003).
Konsep bioregion dari sudut pandang sumberdaya biofarmaka dan pengetahuan tradisional masyarakat lokal merupakan ikatan yang sangat erat untuk keberlanjutan pengembangan budidaya biofarmaka (tumbuhan berkhasiat obat). Sebagai contoh setiap region hutan mengandung keanekaragaman jenis tumbuhan obat yang tinggi dan spesifik, dan berguna untuk mengobati penyakit dan menjaga kesehatan masyarakat setempat. Dengan melibatkan informan pangkal (tokoh adat, pemerintah, agama), informan pokok (ahli pengobatan tradisional) dan pelengkap (anggota masyarakat biasa yang memiliki pengetahuan mengenai tumbuhan obat) kita dapat mengetahui macam biofarmaka yang esensial diperlukan oleh etnis setempat untuk menjaga kesehatannya.
Sebagai contoh dari hasil penelitian diperoleh 28 jenis tumbuhan obat pada suku Heibebulu dan 24 jenis pada masyarakat suku Moi. Jenis tumbuhan yang paling dominan digunakan sebagai obat pada kedua lokasi penelitian tersebut adalah dari Famili Euphorbiaceae. Pemanfaatannya terutama untuk jenis penyakit seperti batuk, demam, sakit perut, alat KB tradisional dan malaria (Herny, 2001). Selanjutnya (Zuhud et al., 2000) melaporkan di Taman Nasional Meru Betiri terdapat 355 jenis tumbuhan, terbagi ke dalam 92 famili. Dari total jenis tumbuhan tersebut, 291 jenis (81,7%) telah teridentifikasi mempunyai khasiat sebagai obat.
Pengetahuan tradisional masyarakat lokal tidak bisa dilepaskan dari pengembangan konsep bioregional dan IPTEK. Pengembangan IPTEK yang tidak berbasis pada sumberdaya alam hayati setempat sering tidak berhasil secara maksimal dan tumbuh hanya sesaat (Amzu, 2003). Hal ini disebabkan karena sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang berpengetahuan tradisional dimarginalkan dan akhirnya kemandirian dan kepercayaan diri menjadi hancur.
Pengembangan budidaya tumbuhan obat didasarkan kepada beberapa pertimbangan antara lain (1) besarnya potensi tumbuhan obat dan kayanya pengetahuan tradisional masyarakat akan pemanfaatannya (2) berkembangnya pasar simplisia/obat tradisional atau adanya perusahaan jamu di sekitar lokasi; (3) tersedianya lahan yang sesuai baik secara ekologis maupun aksesibilitas untuk pengembangan budidaya tumbuhan obat (4) sumberdaya manusia (para pakar dibidang biofarmaka dan petani) telah siap.
Untuk pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia perlu ditempuh kebijakan operasional dan langkah-langkah sebagai berikut (Muharso, 2000):
- Eksploitasi dan pelestarian Sumber Daya Alam
Kebijakan operasional:
- Eksploitasi tumbuhan liar di hutan alam untuk bahan baku OT/OAI dibatasi sebelum budidaya jenis tumbuhan tersebut terlaksana dengan baik
- Segera dilakukan langkah budidaya terhadap jenis tumbuhan yang banyak diperlukan untuk bahan baku OT/OAI.
Langkah –langkah:
- Melaksanakan inventarisasi jenis tumbuhan obat yang terdapat di hutan atau tumbuhan liar.
- Melakukan penanaman kembali jenis tumbuhan obat dalam kondisi genting atau terancam punah. - Penelitian, budidaya tumbuhan obat, penanganan pasca panen, standarisasi serta pengembangan pasar.
Nilai tumbuhan berkhasiat obat adalah terletak pada kandungan bahan aktif atau metabolit sekundernya dan keberadaan metabolit sekunder dalam tumbuhan sangat tergantung pada lingkungan terutama faktor-faktor yang mempengaruhi proses enzimatik antara lain jenis tanah, unsur hara, curah hujan, temperatur dan cahaya. Disamping itu bagian dari tanaman yang dimanfaatkan sebagai bahan baku obat atau berkhasiat obat untuk berbagai jenis tanaman berbeda. Kadang bagian akar, daun, bunga buah dsb. Permasalahannya adalah bahan aktif sebagai hasil utama tanaman biofarmaka pembentukannya memerlukan tekanan lingkungan sedangkan untuk mendapatkan simplisia dengan bobot kering yang tinggi diperlukan faktor lingkungan yang mendukung, fotosintesis yang maksimal. Dengan demikian dalam memproduksi tanaman biofarmaka dengan bobot simplisia yang tinggi adalah dilema.
Hoft et al., (1996) dikutip oleh Sulandjari (2009) menyatakan, beberapa laporan menunjukkan bahwa pada tanaman terjadi reaksi positip bila kekurangan air terhadap kandungan metabolit sekunder, seperti alkaloid tidak muncul di bawah kondisi kelembaban udara tinggi; kandungan alkaloid tertinggi pada Opium poppy (candu) yang ditanam di Rusia, Polandia dan Hongaria terjadi di bawah kondisi kekurangan air; dan stress air meningkatkan nikotin pada tembakau.
Pada penelitiannya terhadap Tabernaemontana pachysiphon menunjukkan bahwa intensitas cahaya yang rendah merangsang pembentukan alkaloid tetapi menurunkan pertumbuhan. Lebih dari 20% bobot kering akar berkurang pada intensitas cahaya yang rendah, namun kadar isovoacangine meningkat. Tanaman pule pandak (Raufolia serpentina), akarnya mengandung lebih dari 50 senyawa alkaloid yang berkhasiat menyembuhkan beberapa penyakit, faktor limit untuk pertumbuhannya adalah tanaman ini menghendaki naungan. Berdasarkan hasil penelitian Sulandjari et al (2005) menunjukkan bahwa pada kerapatan naungan 50% sampai dengan kerapatan naungan 80%, kadar reserpina lebih tinggi daripada kerapatan naungan 20%; namun bobot akar pertanaman tertinggi didapat pada tingkat naungan20%. .
Ketinggian tempat juga dapat berpengaruh terhadap kandungan bahan aktif dari tumbuhan obat Biji dari tanaman kelabet (Trigonella spp) yang berfungsi sebagai antidiabetik, kandungan alkaloid trigonelina-nya lebih tinggi apabila ditanam di dataran tinggi daripada di dataran rendah (Hendrison, 2007) dikutip Sulandjari (2009). Demikian juga pada tanaman pule pandak kandungan reserpinanya lebih tinggi apabila ditanam di dataran rendah daripada di dataran tinggi (Sulandjari, 2007) dikutip Sulandjari (2009).
Di dalam mengembangkan budidaya tumbuhan obat berbasis pengelolaan bioregional dapat ditempuh melalui cara di dalam habitat aslinya (in-situ) dan di luar habitat aslinya (ex-situ). Menurut McNeely et al.,(1992) dikutip Sulandjari (2009) kelestarian jangka panjang adalah pelestarian in-situ, tetapi untuk spesies yang langka dan telah sangat terdesak jumlah populasinya perlu dilakukan strategi ex-situ.
Pengembangan budidaya tanaman biofarmaka yang dilakukan di kawasan hutan (hutan produksi, hutan lindung atau pada zona rehabilitasi taman nasional) dapat dilakukan dengan sistem agrowanatani atau pola agroforestri. Agroforestri merupakan suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang dinamis dan berbasis ekologi, dengan memadukan tegakan pepohonan sehingga mampu mempertahankan terjadinya interaksi antara ekologi, ekonomi, dan unsur-unsur lainya, terutama dengan sosial-budaya sehingga dapat terwujud pembangunan yang berkelanjutan (Adnan, 2006). Namun perlu diperhatikan kemungkinan adanya sifat alelopati dari tegakan ataupun tanaman biofarmaka itu sendiri yang memungkinkan untuk berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan hasil masing-masing tanaman.
Konsep yang menyatakan bahwa tumbuhan dapat menimbulkan pengaruh buruk atau beracun atau hambatan pada tumbuhan lain yang dikenal sebagai alelopati dikemukakan oleh de Candolle sejak tahun 1932 dikutip oleh Sulandjari (2009). Fenol merupakan salah satu komponen senyawa yang bersifat alelopatik yang dapat ditemukan dalam jumlah cukup besar pada hampir semua tumbuhan. Terutama tanaman-tanaman yang diketahui menghasilkan minyak atsiri dan metabolit sekunder lain seperti Eukaliptus dan Akasia.
Senyawa fenol dapat dikeluarkan melalui akar, daun ataupun organ tumbuhan lainnya. Senyawa-senyawa ini merupakan senyawa sekunder yang memegang peranan penting dalam interaksinya antara tumbuhan yang satu dengan yang lainnya. Bertambahnya senyawa-senyawa fenol yang sifatnya autoinhibitor meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan tumbuhan tersebut (Hall et al., 1982) dikutip oleh Sulandjari (2009).
Beberapa penelitian pernah dilakukan terhadap tumbuhan Eucalyptus deglupta adanya senyawa alelokemi yang dilepaskan ke lingkungan yang mempengaruhi tumbuhan lain yang berasosiasi. Senyawa yang menghambat pertumbuhan berupa fenol yang mudah larut dalam air, terpen yang mudah menguap, telah dapat diperoleh dari daun, kulit kayu dan akarnya (Silander et al., 1983) dikutip oleh Sulandjari (2009). Selanjutnya senyawa fenol dapat masuk ke dalam tanah melalui pelindian, daun, eksudat akar atau karena dekomposisi atau penguraian bahan-bahan sisa-sisa tumbuhan (Rice, 1984) dikutip oleh Sulandjari (2009).
Di samping itu pola tanam tumpangsari telah banyak dilakukan oleh masyarakat yaitu tanaman biofarmaka antara lain empon-empon dengan tanaman pangan; tumpangsari tanaman jahe diantara karet muda; tempuyung dengan daun dewa dan lain-lain Pemanfaatan lahan marginal dapat juga menjadi pilihan untuk pengembangan Tumbuhan obat mengingat luas lahan marginal di Indonesia mencapai 140 juta ha dan baru sebagian kecil saja yang sudah dimanfaatkan sehingga tidak mengurangi lahan-lahan subur yang disediakan untuk tanaman pangan
Kegiatan utama yang harus dilakukan dalam pengembangan budidaya tumbuhan obat dengan pendekatan bioregion adalah pembimbingan dan pendampingan kepada masyarakat pelaku budidaya tumuhan obat terutama masyarakat tepi hutan untuk memberikan pengertian dan motivasi dalam melestarikan kekayaan tanaman biofarmaka kita. Dalam pembimbingan dilakukan pembelajaran dalam budidaya dan pasca panen yang memenuhi syarat dalam kualitas sebagai bahan baku obat. Selanjutnya membangun kemitraan dengan industri jamu/ dan industri fitofarmaka. Dalam kerjasama dengan mitra, keuntungan yang dapat diambil adalah jenis simplisia biofarmaka yang dibutuhkan untuk industri mitra, waktu panen, dan penjaminan pasar dari hasil budidaya, oleh karenanya kelestarian tanaman biofarmaka akan lebih terjaga dan lebih terjamin sesuai dengan daya dukung atau kemampuan lingkungan.
Agar unsur-unsur bioregion tersebut berjalan dengan baik maka pemerintah setempat diperlukan sebagai fasilitator dan penunjang kemitraan tersebut. Dalam hal ini peran LSM sangat berarti. Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian berperan dalam
penelitian, pelatihan dan pendidikan bersama pemerintah memonitor dan mengevaluasi program.
Dalam menunjang pengembangan budidaya tumbuhan berkhasiat obat dengan pendekatan bioregion perlulah kiranya dilakukan pemetaan biofarmaka budidaya berdasarkan kesesuaian lahan hubungannya dengan bahan aktif dan ekofisiologi dan letak Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) ataupun Industri Obat Tradisional (IOT) untuk menunjang dalam menetapkan kebijakan – kebijakan atau peraturan-peraturan dalam agribisnis tumbuhan berkhasiat obat (Sulandjari, 2009).
V. AGRIBISNIS TUMBUHAN OBAT
Jika kita tinjau pencapaian komoditas agribisnis produk berbahan baku tumbuhan obat ini terlihat sangat prospektif dan tangguh. Komoditas ini sangat tahan terhadap gangguan krisis moneter karena basis harga pemasarannya dalam dolar Amerika. Dalam kondisi saat ini harga jual yang tinggi (dalam rupiah) menjadikan produk berbasis sumberdaya alam ini sebagai penghasil devisa yang cukup besar.
Menurut data dari Sekretariat Convention on Biological Diversity, pasar global obat herbal pada tahun 2000 mencapai US$ 43 milyar. WHO mencatat pada tahun 2000 pasar obat herbal yang tergolong besar adalah sebagai berikut: Cina (US$ 5 milyar); Eropa barat (US$ 6,6 milyar); Amerika Serikat (US$ 3 milyar); Jepang (US$ 2 milyar) dan Kanada (US$1 milyar). Demikian pula pasar Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun (tahun 2001 sebesar Rp. 1,3 trilyun dan tahun 2002 naik menjadi Rp. 1,5 trilyun), di Malaysia nilai perdagangan produk herbal tahun 2000 mencapai US$1,2 miliar, dengan tren pasar meningkat 13% per tahun (Sampurno, 2003).
Kecenderungan masyarakat dunia yang memprioritaskan produk yang ekologis dibandingkan dengan produk yang kimiawi, menyebabkan permintaan akan obat bahan alami juga akan terus meningkat. Nilai obat modern yang berasal dari ekstrak tumbuhan tropis di dunia pada tahun 1985 mencapai US$ 43 milyar, 25% obat modern tersebut bahan bakunya berasal dari tumbuh-tumbuhan obat. Sedangkan nilai jual obat tradisional pada tahun 1992 di dunia mencapai US$ 8 milyar (Maxmillian, 2007).
Untuk kawasan Asia, dalam hal ini Cina berdasar data terakhir tahun 2000, ada 11.146 jenis biofarmaka yang dimanfaatkan pada industri TCM (Tradisional China Medicine) dengan memanfaatkan area seluas 760.000 hektar dengan total output 8.500.000 metrik ton dan secara rutin pembudidayakan sekitar 200 jenis biofarmaka utama sepanjang tahun. Dengan kurang lebih 1200 industri dan 600 di antaranya memiliki kebun terintegrasi dengan pabrik China dapat meraup omset US$ 5 milyar (domestik) dan US$ satu milyar (ekspor). (Maxmillian, 2007).
Di pasar domestik, rimpang temulawak (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan rimpang jahe (Zingiber officinale Roxb.) merupakan dua jenis biofarmaka budidaya yang banyak dipasok oleh petani untuk industri obat tradisional, baik industri besar maupun menengah, yaitu rata-rata 310.870 kg/tahun dan 272.854 kg/tahun. Jenis-jenis biofarmaka yang diminta oleh negara-negara industri farmasi, seperti tapak dara (Catharanthus roseus),kina (Chinchona spp), kecubung (Datura metel), pule pandak (Rauwolfia serpentina) dan valerian (Valeriana officinalis) umumnya dapat tumbuh di Indonesia dan tidak membutuhkan persyaratan yang spesifik untuk tumbuhnya (Maxmillian, 2007). Dari data dan angka di atas menunjukkan bahwa prospek ke depan komoditas ini masih terbuka lebar pemasarannya.
VI. SIMPULAN
Prospek yang besar dalam agribisnis komoditas tumbuhan obat di Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan dari pengambilam langsung tumbuhan obat di hutan alam, namun harus diimbangi dengan kegiatan budidaya tumbuhan obat terutama tumbuhan obat yang memiliki intensitas tinggi dalam pemakaiannya.
Pelaksanaan agribisnis komoditas tumbuhan obat dan budidaya tumbuhan obat agar dapat mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi harus dilaksanakan berbasis pada kearifan masyarakat lokal yang termasuk dalam konsep bioregion.
VII. DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 2001. Rancangan Strategi Konservasi Tumbuhan Obat Indonesia.
Kerjasama Pusat Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati, BAPEDAL dan
Fakultas Kehutanan IPB.
2. Anonim. 2005. Arah Kebijakan Konservasi Keanekaragaman Hayati Tahun 2005 –
2009. Departemen Kehutanan, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam,
Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati. Jakarta.
3. Adnan. 2006. Belajar Kepada Rakyat : Pengelolaan Hutan dan Kawasan dengan
Kearifan Lokal. www.blog.com. 6 hal.
4. Amzu, E., 2003. Pengembangan Tumbuhan Obat Berbasis Konsep Bioregional
(Aplikasi Azas Keunikan Sistem Kedirian). Makalah Individu Program Pasca
Sarjana S3 IPB. Bogor.
5. Ditjen POM. 2001. Kebijakan Nasional Pengembangan Obat Tradisional.
Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 20 hal.
6. Hasnam, E.A., Hadad, N. Bermawi, Sudjindro, H. Novarianto. 2000. Konservasi
Plasma Nutfah Tanaman Industri. Puslitbangtri. Makalah pada Pertemuan Komisi
Nasional Plasma Nutfah di Bogor 21-23 November 2000.
7. Herny. 2001. Invenarisir Tanaman Obat pada Masyarakat Suku Hei Behulu dan
Suku Moi Kabupaten Jayapura. Irian Jaya.
8. Hidayat, S. 2007. Pengamatan Keberadaan Tumbuhan Obat Langka di Taman
Nasional Ujung Kulon dalam Buletin Kebun Raya Indonesia. 10 (01) : 1 – 8.
9. Ma’at, S. 2001. Manfat Tanaman Obat Asli Indonesia Bagi Kesehatan. Makalah
pada Lokakarya Pengembangan Agrisbisnis Biofarmaka Kerjasama Deparetemen
Pertanian dan IPB. Bogor.
10 Muharso. 2000. Kebijakan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Indonesia. Makalah
Seminar Tumbuhan Obat di Indonesia, Kerjasama Inonesian Research Centre For
Indegeneous Knowledge (INRIK), Universitas Pajajaran dan Yayasan Ciungwanara
dengan Yayasan KEHATI 26-27 April 2000.
11. Sampurno. 2003. Kebijakan Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia. Makalah
Seminar Nasional Tanaman Obat Indonesia. XXXIII. Jakarta.
12. Supriadi, dkk. 2001. Tumbuhan Obat Indonesia Penggunaan dan Khasiatnya.
Edisi Pertama. Pustaka Populer Obor. 145 hal.
13. Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal dalam Jurnal Filsafat. 37 (02).
14. Sulanjari, Suwidjojo, P., Sukardi W. 2005. Hubungan Mikroklimat dengan
Kandungan Reserpina Pule Pandak. Majalah Obat Tradisional. 10 (33) : 34-38.
15. Sulanjari. 2009. Pendekatan Bioregion dalam Pengembangan Budidaya Tanaman
Biofarmaka. Pidato Pengukuhan Guru Besar Agroekologi tanggal 6 Agustus 2009.
UNS. Surakarta.
16. Wirasena, P. 2010. Peran Kearifan Lokal Dalam Penyelamatan Sumber Daya
Genetik Tanaman Hutan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Tananam. Kampus Balitbang Kehutanan. Bogor.
17. Zuhud, E.A.M., Azis, S., M. Ghulamahdi, L.K. Darusman. 2001. Dukungan
Teknologi Pengembangan Obat Asli Indonesia dari Segi Budaya, Pelestarian,
Pasca Panen. Makalah Lokakarya Agribisnis Berbasis Biofarmaka. Pemanfaatan
dan Pelestraian Sumber Hayati Mendukung Agribisnis Tanaman Obat.
18. Zuhud, E.A.M., Siwoyo, Hikmat Sandra. 2000. Inventarisasi dan Indentifikasi dan
Pemetaan Potensi Wanafarma Propinsi Jawa Timur. Laporan tidak dipublikasikan.
By Herlina