Pernahkah Anda mempelajari hukum refraksi (pembiasan) dalam ilmu fisika? Dunia fisika modern mengklaim bahwa hukum pembiasan ditemukan oleh fisikawan asal Belanda bernama Willebrord Snell (1591 - 1626) pada 1621. Padahal, enam abad sebelum Snell menemukan hukum pembiasan cahaya, ilmuwan Muslim bernama Ibnu Sahl telah mencetuskannya.
Hukum pembiasan cahaya itu dituangkan Ibnu Sahl dalam risalah yang ditulisnya pada 984 M berjudul On Burning Mirrors and Lenses. Dalam risalah ilmu fisika yang sangat penting itu, Ibnu Sahl menjelaskan secara perinci dan jelas tentang cermin membengkok dan lensa membengkok serta titik api atau titik fokus.
Secara matematis, hukum pembiasan yang dicetuskan Ibnu Sahl setara dengan hukum Snell. Ibnu Sahl menggunakan hukum pembiasan cahayanya untuk memperhitungkan bentuk-bentuk lensa dan cermin yang titik fokus cahayanya berada di sebuah titik poros. Sekitar 600 tahun kemudian, Snell juga mengungkapkan hal yang sama. Menurut Snell, sinar datang, garis normal, dan sinar bias terletak pada satu bidang datar.
Inilah salah satu fakta betapa ilmuwan Muslim telah lebih dulu menemukan berbagai temuan penting dalam khazanah keilmuan. Ibnu Sahl adalah ilmuwan perintis di bidang ilmu optik. Howard R Turner dalam bukunya bertajuk Science in Medival Islam pun mengakui bahwa ilmu optik merupakan penemuan asli dari sarjana Muslim.
''Ilmu optik merupakan penemuan ilmiah para sarjana Muslim yang paling orisinall dan penting dalam sejarah Islam,'' ungkap Turner. Pernyataan Turner itu membuktikan bahwa dunia modern yang didominasi Barat tak boleh menafikkan peran sarjana Muslim di era keemasan. Sebab, dari para ilmuwan Muslim-lah, sarjana Barat, seperti Leonardo da Vinci, Kepler, Roger Bacon, serta yang lainnya belajar ilmu optik.
Keberhasilan umat Islam menguasai bidang optik di masa kekhalifahan berawal dari kerja keras para filsuf, ahli matematika, dan ahli kesehatan yang mempelajari sifat fundamental dan cara bekerja pandangan dan cahaya. Di abad ke-9 M, ilmuwan Muslim dengan tekun menggali dan mempelajari karya-karya ilmuwan Yunani, seperti Euclid serta risalah-risalah astronom Mesir, Ptolemeus, tentang optik.
Lalu, siapakah sebenarnya Ibnu Sahl itu? Sejatinya, pakar optik termasyhur itu bernama lengkap Abu Sad Al-Ala ibnu Sahl atau lebih dikenal dengan Ibnu Sahl. Ia adalah ilmuwan yang mengabdikan dirinya di istana Khalifah Abbasiyah Baghdad. Fisikawan Muslim asal Arab itu terlahir pada 940 M dan meninggal di tahun 1000. Keberhasilannya dalam bidang optik membuktikan bahwa dirinya adalah ilmuwan besar dalam era keemasan Islam.
Ilmuwan yang satu ini tercatat menguasai tiga ilmu penting, yakni optik, matematika, dan fisika. Namun, menurut Len Berggren, Ibnu Sahl juga menguasai bidang geometri yang ditulis akhir abad ke-10 M. ''Ibnu Sahl adalah seorang ahli ilmu geometri terkemuka,'' papar Berggren.
Sejarah optik modern kerap kali menyebut nama Ibnu Haitham (965-1039) sebagai ''Bapak Ilmu Optik Modern''. Ternyata, Ibnu Haitham pun banyak terpengaruh oleh Ibnu Sahl. R Rashed (1993) dalam bukunya Geometrie et dioptrique au Xe siècle: Ibn Sahl, al-Quhi et Ibn al-Haytham menyatakan bahwa risalah Ibnu Sahl telah digunakan Ibnu al-Haitham (965-1039).
Rashed berhasil menemukan naskah yang telah terpisah di dua perpustakaan. Dia mengumpulkan kembali naskah tersebut, diterjemahkan, dan diterbitkan. Menurut Rashed, dalam karyanya, Ibnu Haitham menyebut nama Ibnu Sahl, seorang ahli optik yang bekerja dan hidup pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11. Di sisi lain, dia berkomentar di salah satu risalah Ibnu Sahl berjudul al-Kuhi .
Dalam bidang optik, Ibnu Sahl bukanlah ilmuwan pertama di dunia Islam. Seabad sebelumnya, peradaban Islam memiliki Al-Kindi (801 - 873 M) yang telah mengembangkan bidang kajian optik. Hasil kerja kerasnya mampu menghasilkan pemahaman baru tentang refleksi cahaya serta prinsip-prinsip persepsi visual. Buah pikir Al-Kindi tentang optik terekam dalam kitab berjudul De Radiis Stellarum . Buku yang ditulisnya itu sangat berpengaruh bagi sarjana Barat, seperti Robert Grosseteste dan Roger Bacon.
Tak heran, bila teori-teori yang dicetuskan Al-Kindi tentang ilmu optik telah menjadi hukum-hukum perspektif di era Renaisans Eropa. Secara lugas, Al-Kindi menolak konsep tentang penglihatan yang dilontarkan Aristoteles. Dalam pandangan ilmuwan Yunani itu, penglihatan merupakan bentuk yang diterima mata dari objek yang sedang dilihat. Namun, menurut Al-Kindi, penglihatan justru ditimbulkan daya pencahayaan yang berjalan dari mata ke objek dalam bentuk kerucut radiasi yang padat.
Ilmuwan lainnya yang tak kalah fenomenal dibandingkan Ibnu Sahl adalah Ibnu Al-Haitham (965 M - 1040 M). Menurut Turner, Al-Haitham adalah sarjana Muslim yang mengkaji ilmu optik dengan kualitas riset yang tinggi dan sistematis. "Pencapaian dan keberhasilannya begitu spektakuler,'' puji Turner.
Al-Haitham adalah sarjana pertama menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya. Salah satu karyanya yang paling fenomenal adalah Kitab Al-Manazir (Buku Optik). Dalam kitab itu, ia menjelaskan beragam fenomena cahaya, termasuk sistem penglihatan manusia. Saking fenomenalnya, kitab itu telah menjadi buku rujukan paling penting dalam ilmu optik. Selama lebih dari 500 tahun, buku itu dijadikan pegangan.
Pada 1572 M, Kitab Al-Manazir diterjemahkan ke bahasa Latin, Opticae Thesaurus. Dalam kitab itu, dia mengupas ide-idenya tentang cahaya. Sang ilmuwan Muslim itu meyakini bahwa sinar cahaya keluar dari garis lurus dari setiap titik di permukaan yang bercahaya.
Selain itu, Al-Haitham memecahkan misteri tentang lintasan cahaya melalui berbagai media dan serangkaian percobaan dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Keberhasilannya yang lain adalah ditemukannya teori pembiasan cahaya. Al-Haitham pun sukses melakukan eksperimen pertamanya tentang penyebaran cahaya terhadap berbagai warna.
Optik di Dunia Islam
Ilmu optik adalah ilmu yang dikembangkan secara khusus para ilmuwan Muslim di era kejayaan. Para filsuf, ahli matematika, dan ahli kesehatan Muslim yang paling menonjol di zaman itu berupaya keras mempelajari sifat fundamental dan cara bekerja pandangan serta cahaya.
''Di bidang ilmu optik inilah mereka menghasilkan apa yang barangkali merupakan penemuan ilmiah paling orisinal dan penting dalam sejarah dunia Islam,'' papar Howard R Turner dalam bukunya berjudul Science in Medival Islam.
Para ilmuwan Muslim itu memiliki akses terhadap kekayaan warisan pengetahuan Yunani yang berkaitan dengan cahaya dan penglihatan. Salah satu karya penting yang memberi inspirasi pada ilmuwan Muslim adalah karya-karya yang ditulis oleh ahli matematika, Euclid, pada abad ketiga SM. Selain itu, para ilmuwan Muslim pun mempelajari risalah-risalah yang dihasilkan astronom Mesir, Ptolemeus.
Menurut Turner, literatur-literatur pra-Islam ini menggali berbagai topik, mulai dari refleksi, refraksi, proyeksi citra melalui lubang, pelangi, hingga anatomi dan cara bekerja mata. Risalah-risalah Yunani dalam bidang-bidang ini telah menggunakan istilah beberapa disiplin, termasuk matematika, filsafat alam, dan pengobatan.
Dengan mempelajari teori-teori Euclid yang berjudul Optics, papar Turner, para ilmuwan Islam pun dengan cepat mengembangkan ilmu optik. Mereka menjadi peletak dasar ilmu optik modern. Al-Kindi, misalnya, mampu menghasilkan pemahaman baru tentang refleksi cahaya juga prinsip-prinsip visual.
Buah pemikiran Al-Kindi itu kemudian menjadi hukum-hukum perspektif pada zaman Renaisans Eropa. Ditakdirkan untuk menyatukan unsur-unsur sains kealaman dan matematika, Al-Kindi menolak konsep Aristoteles tentang penglihatan sebagai bentuk yang diterima oleh mata dari objek yang sedang dilihat. Sebaliknya, ia memahami penglihatan ditimbulkan oleh daya pencahayaan yang berjalan dari mata ke objek dalam bentuk kerucut radiasi.
Seiring waktu, pencapaian dunia Islam dalam bidang optik berkembang semakin pesat. Terinspirasi karya Ibnu Sahl, ahli fisika Muslim terkemuka Ibnu Haitham mengembangkan ilmu optik lebih hebat lagi. Salah satunya, Ibnu Haitham mampu menciptakan ''kamera obscura''.
Temuan itu berasal dari upaya Ibnu Haitham untuk mempelajari gerhana matahari. Ibnu Haitham kemudian membuat lubang kecil pada dinding yang memungkinkan citra matahari seminyata diproyeksikan melaluinya ke permukaan datar. Contoh pertama dari ilmu optik "kamera obscura" ini mendahului prinsip-prinsip fotografi modern. Percobaan-percobaan utama yang dikembangkan Ibnu Haitham dengan menggunakan cermin pembakar berbentuk parabolik, memberi jalan menuju lensa-lensa untuk teleskop dan mikroskop masa depan.
Dengan meneliti mata manusia, Ibnu Haitham mempelajari strukturnya, menganalisis penglihatan stereo, dan merumuskan metode bagaimana manusia menangkap citra. Begitulah, peradaban Islam mengembangkan ilmu optik hingga mampu mengubah dunia. Berbekal hasil karya dan pemikiran ilmuwan Islam di zaman keemasan, peradaban Barat akhirnya mampu mengembangkan ilmu optik lebih hebat lagi. Meski begitu, mereka tak bisa melupakan jasa umat Islam.
source : www.republika.co.id