Tidak Berzikir Berarti Mati.
Istilah dzikrullah (berdzikir kepada Allah) memiliki dua makna, yang kedua-duanya diperintahkan untuk kita penuhi. Yaitu: dzikrullah dengan arti: mengingat Allah, dan yang kedua: dzikrullah dengan makna: menyebut Allah melalui Nama-Nama dan Shifat-Shifat-Nya, serta bukti-bukti keagungan dan kemuliaan-Nya, dalam konteks pujian, pengagungan dan pentauhidan. Dzikrullah dengan arti pertama bisa semakna dengan muraqabatullah (menyadari, mengingat dan memperhatikan pengawasan Allah), yang merupakan esensi dari derajat ihsan, sebagaimana dalam hadits Jibril ’alaihis-salaam:
Dia (Jibril as.) bertanya, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang ihsan itu apa? ‘ Beliau (Rasulullah SAW.) pun menjawab: “Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka (ketahuilah) sesungguhnya Dia melihatmu” (HR. Muslim dari ‘Umar bin Al-Khaththab ra.).
Namun istilah dzikir yang lebih umum digunakan di kalangan masyarakat adalah dengan arti kedua, yakni menyebut Nama-Nama Allah melalui tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan lain-lain, yang tentu saja di dalamnya juga harus terkandung makna mengingat Allah.
TIDAK BERDZIKIR = “MATI”
Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Permisalan orang yang berdzikir mengingat Rabb-nya (Tuhan-nya) dan orang yang tidak berdzikir mengingat Rabb-nya seperti (perbandingan antara) orang yang hidup dan yang mati.” (HR. Al-Bukhari).
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim mengibaratkan dzikrullah (berdzikir kepada Allah) bagi seorang mukmin adalah seperti peran nafas bagi makhluk hidup atau layaknya fungsi air bagi ikan. Maka seorang muslim atau muslimah yang tidak berdzikir adalah ibarat seseorang yang sudah tidak bernafas atau bagaikan ikan yang dijauhkan dari air, apa jadinya? Tentu saja mati, bukan? Karena memang hidup hakiki dalam konsep Islam adalah ketika seseorang itu senantiasa sambung dan berhubungan dengan Allah melalui dzikir yang banyak dan benar, serta melalui berbagai ketaatan yang lain.
Disamping itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda bahwa, hidup yang tidak diisi dengan dzikrullah, adalah hidup yang penuh laknat, dengan makna terjauhkan sejauh-jauhnya dari rahmat Allah Ta’ala. Lalu, apa arti hidup jika demikian hal dan keadaannya?
‘Abdullah bin Dhamrah berkata: aku telah mendengar Abu Hurairah berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ” Ketahuilah sesungguhnya dunia itu terlaknat (terjauhkan dari kebaikan dan rahmat Allah) dan segala isinya pun juga terlaknat, kecuali (yang diisi) dzikir kepada Allah dan apa-apa yang sejalan dengannya, dan orang yang berilmu atau orang yang menuntut ilmu” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ad-Darimi).
Ditambah lagi bahwa, hanya dengan dzikrullah secara benar, baik dan konsisten-lah, hati-hati kita akan selalu tenang, tenteram, damai dan stabil. Dan itulah landasan dan modal dasar utama untuk kita bisa menggapai hidup bahagia dan sejahtera secara hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan berdzikir mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan berdzikir mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Oleh karena itu, Teladan kita Baginda Sayyidina Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dulu senantiasa berdzikir kepada Allah dalam segala kondisi, situasi dan keadaan.
Dari Aisyah dia berkata, “Dahulu semasa hidup, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, selalu berdzikir kepada Allah dalam semua keadaannya.” (HR. Muslim).
DZIKIR SEBANYAK-BANYAKNYA
Terdapat banyak sekali perintah dan anjuran agar kita senantiasa berdzikir kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya dalam segala kondisi dan situasi, dengan kedua arti dan esensi dzikir yang telah disebutkan diatas.
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah, dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang” (QS. Al-Ahzaab: 41-42).
“Apabila telah ditunaikan shalat (Jum’at), maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (QS. Al-jumu’ah: 10).
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal (ulul albab); (yaitu) orang-orang yang senantiasa berdzikir mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, dan mereka juga selalu bertafakkur memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berucap): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali ‘Imraan: 190-191).
ESENSI SELURUH IBADAH ADALAH DZIKIR
Dzikrullah adalah landasan, motivasi, isi, esensi dan sekaligus tujuan seluruh ibadah. Maka tingkat, kualitas dan juga kwantitas ibadah seseorang sangat ditentukan oleh tingkat, kualitas dan juga kwalitas dzikir dan ingatnya kepada Allah. Shalat seluruhnya adalah dzikir. Puasa Ramadhan dan ibadah haji juga penuh dengan dzikir. Sementara itu tidak mungkin seseorang bisa menjaga komitmennya dalam menunaikan kewajiban ibadah zakat dan juga seluruh ibadah yang lainnya kecuali jika ia senantiasa ingat Allah dengan baik. Disaat yang sama, seluruh ibadah itu juga merupakan sarana terbaik untuk menggapai tingkat dzikrullah yang lebih tinggi dan lebih baik.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku. Maka beribadahlah kepada-Ku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat (dzikir kepada) Aku” (QS. Thaahaa: 14)..
IBADAH SEGALA SITUASI DAN KONDISI
Salah satu keistimewaan ibadah dzikrullah adalah bahwa, ia merupakan ibadah yang paling mungkin dilaksanakan di segala situasi, kondisi, tempat, waktu, kedaan dan lain-lain, dengan hampir tanpa penghalang atau kendala kecuali dari dalam diri sendiri. Maka maklum jika perintah dan contohnya adalah dzikir sebanyak-banyaknya di segala keadaan. Dan oleh karenanya pula, ibadah dzikrullah juga bisa berfungsi sebagai penutup kekurangan dan pengganti (dari aspek pahala, dan bukan secara hukum) bagi ibadah-ibadah lain yang terlewatkan penunaiannya.
Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang laki-laki berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at-syari’at Islam telah (terasa) banyak bagiku (sehingga aku takut tidak bisa memenuhinya semuanya), maka beritahukan kepadaku sesuatu (amalan) yang dapat aku jadikan sebagai pegangan (yang bisa menutup kekurangan-kekuranganku)! Beliau bersabda: “Hendaknya senantiasa lidahmu basah karena berdzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
RINGAN DI LESAN, BERAT DALAM TIMBANGAN
Meskipun ringan dilaksanakan bagi yang sudah terbiasa, namun nilai ibadah dzikrullah sangatlah tinggi dan istimewa, serta besar dan berlipat-ganda pahala juga balasannya di sisi Allah.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya dzikir mengingat Allah (dalam shalat dan lainnya) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-’Ankabuut: 45).
Dari Abu Hurairah dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Sesungguhnya membaca dzikir: Subhaanallah, al-hamdu lillah, laa ilaaha illallah, dan Allahu akbar, adalah lebih aku cintai daripada semua yang terkena oleh sinar matahari.(maksudnya bumi seisinya)” (HR. Muslim).
Seperti misalnya dzikir tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan lain-lain, adalah dzikir-dzikir dengan nilai pahala sedekah yang sangat tinggi dan luar biasa sekali.
Dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah menguasai dan mendominasi seluruh pahala. Mereka shalat seperti kami shalat dan puasa seperti kami puasa, namun (selain itu) mereka bisa bersedekah dengan sisa harta mereka (sementara kami yang miskin tidak bisa)” Maka beliau pun bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara bagi kalian untuk bisa bersedekah pula (seperti mereka)? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, ber-amar bilma’ruf adalah sedekah, ber-nahi ‘anil munkar adalah sedekah, bahkan pada aktivitas hubungan suami istri seorang dari kalian pun terdapat nilai sedekah.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, ketika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah juga akan mendapatkan pahala?” Beliau menjawab: “Bagaimana sekiranya ia melampiaskannya secara haram, bukankah berdosa? Begitupun sebaliknya, bila ia melampiaskannya secara halal, maka tentu iapun akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Ada dua kalimat yang ringan di lisan, berat dalam timbangan, dan disukai oleh Allah Dzat Ar- Rahman yaitu: Subhaanallahil-’adziim dan Subhanallah wabihamdihi.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Maka, mari tak henti selalu berdzikir sebanyak-banyaknya, dengan dzikir-dzikir pujian, pengagungan dan pentauhidan! Agar hidup ini tetap bermakna dan bernilai, dan agar kita tidak tergabung dalam komunitas orang-orang yang “mati” dalam hidup, atau yang hidup tapi “mati”!