بِســـمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم
catatan perjalanan dakwah seorang muslimah
Ukhti, aku selalu mengagumi sayap-sayapmu yang tak
pernah berhenti mengepak dan senantiasa terbang tinggi
dan kian tinggi. Kecepatan dan gelombang ruhiyahmu pun
sangat luar biasa. Dirimu, aktivis dakwah yang tak pernah
kenal henti berjuang, dinamis, dan haroki, mewakili
motomu tentang jangan pernah diam dan berhenti
bergerak, karena diam dapat mematikan.
“Ustadz, apakah usia perjuangan dakwah akhwat begitu
terbatas?
Terbatas oleh usianya, pekerjaannya, dan
terbatas oleh amanahnya dalam rumah tangga?”
Tanyaku suatu hari pada seorang ustadz. “
Kalau begitu aku iri pada teman-teman ikhwan seperjuanganku.
Mereka dapat cuek untuk tidak memikirkan pernikahan. Toh setua apapun kelak mereka mau menikah, mereka dapat dengan mudah
menikahi akhwat yang lebih muda.
Jika akhwat, semakin tua… Adakah ikhwan yang berkenan padanya?” Aku masih dengan pertanyaan polosku. Ustadz hanya tersenyum… I
know.. Itu berarti aku sendiri tahu jawabannya.
Fenomena ini mungkin mengenai semua lini dakwah. Saat
sebagian akhwat berhenti dari aktivitas dakwahnya justru
setelah ia menikah. Aku mencoba merenungi dalam-
dalam. Pasti ada yang salah, (bisa jadi pemahamanku, pola
pikirku) ya…, pasti ada yang dapat kujadikan pelajaran.
Dalam benakku, pernikahan di jalan dakwah adalah
pernikahan dua aktivis yang bertujuan memperkokoh
tandzhim dakwah, menyatukan kekuatan, dan mencetak
generasi baru jundullah. That’s the point!!
Namun dalam kenyataannya seringkali kondisi ini tidak se-idealis yang ku bayangkan… Ada berbagai situasi dan kondisi yang realistis
yang harus dicermati. Dan aku belajar banyak, dari
pernikahan saudaraku, sahabat-sahabatku, patner-patner
dakwahku…
Bidadari, menikah adalah sunnatullah dan sunnah
Rasulullah bagi setiap muslim. Ya, of course, karena
akhwat adalah tulang rusuk yang bengkok. Harus ada yang
meluruskannya dengan penuh kesabaran kalau tak ingin
patah. Pernikahan sepasang aktivis dakwah haruslah
karena dakwah (terlepas dari berbagai fenomena yang ada
saat ini; VMJ (virus merah jambu), take in, atau hubungan
tanpa status). Dan saat menikah di jalan dakwah, maka
proyek dakwah dalam keluarga adalah konsekuensi logis
dari pernikahan para aktivis.
Namun bagi akhwat, ada banyak hal baru yang
nembuatnya harus berada dalam dunia yang mungkin
berbeda. Tak jarang menghentikan sementara gerak
langkahnya (terlebih saat buah hati telah hadir dalam
kehidupannya). Namun ini hanya sementara, sampai jundi
kecilnya mulai bisa diajak berjihad. Right??? Maka menjadi
amanah bagi keduanya untuk saling mengingatkan, agar
mujahidah dakwah tak bagai burung patah sayap.
Aku yakin engkau tahu benar bidadari, bahwa sebagai
akhwat aktivis dirimu memiliki banyak potensi.
Kemampuan manajerial, strategi dakwah, membina,
kaderisasi, dan banyak hal lainnya yang sebenarnya tidak
terbatas. Apakah harus berakhir di gerbang pernikahan?
Meski ada amanah lain yang juga tak kalah menantangnya,
menjadi madrasah terbaik, bidadari terbaik di rumahnya.
Namun potensi itu punya hak untuk terus berkembang,
jangan dibiarkan padam atau meredup. Potensi itu harus
terus dinamis dan haroki, untuk membuat satu karya
terbaik bagi umat. Ada banyak kader akhwat, namun
mengapa masih sulit untuk mencari mentor? Mengapa
masih sulit untuk mencari pengisi ta’lim? Mengapa begitu
sulit untuk mencari aktivis akhwat di lini dakwah ini?
Nikmat tarbiyah punya satu konsekuensi logis bagi para
jundinya, yaitu bergerak dan beramal, untuk satu cita
IQQOMATUDIEN (menegakkan dienNya).
Entahlah, kadang tanya ini tak berujung jawaban. Satu hal
yang pasti harus terus kita benahi adalah sebuah sistem
yang terbaik untuk mengelola potensi para umahat. Dan
tarbiyah sebenarnya telah menjadi wasilah yang tepat.
Namun terlepas dari sistem ini, ada satu point yang lebih
utama. Niat, ghirah, tadhiyah, hamasah dari para aktivis
dakwah akhwat itu sendiri, untuk terus menjadi cahaya
umat, tidak semata menjadi cahaya di rumahnya saja.
Maka kepak sayap itu akan terus berkembang dengan dua
kekuatan besar dalam sebuah rumah tangga yang tak
ubah bagai sebuah markas jihad. Bagai sayap burung, ia
kan terus terbang lebih tinggi. Tak kenal henti, karena ada
tujuan bersama yang begitu indah… Jannah dan
pertemuan dengan-Nya.
Bidadari, sungguh…, tidak ada yang membedakan usia
perjuangan dakwah akhwat dan ikhwan. Mungkin bentuk
dan kadarnya saja yang berbeda. Namun semangat dan
gelora jihadnya tidak boleh berbeda. Karena kelak
dihadapan Allah, hanya ketaqwaanlah yang membedakan.
Bukan gender, suku, rupa seseorang. (Dan aku tidak mau
mengalah, juga tidak mau berhenti berfastabiqul khoirot
dengan teman-temanku….. Duh…. Nih kepala terbuat dari
apa sih?).
Ukhti fillah, para aktivis dakwah, akhwat, dan umahat.
Gerbang pernikahan adalah awal fase baru dalam
kehidupan (pernikahan bukanlah hidup baru, hanya
sebuah fase baru, karena kehidupan baru kita adalah saat
kita bertemu Rabb kita. Saat nyawa meregang dari tubuh
kita, saat kita akan berhadapan dengan hari yang sangat
berat untuk hisab kita. Itulah hidup baru kita, kematian
dunia untuk sebuah kehidupan abadi di akhirat kelak).
Gerbang itu bukan untuk menutup semua potensi kita,
tapi justru laboratorium pengembangan kapasitas dakwah
kita. (Berat menulis seperti ini, karena Uz belum bisa
membuktikannya alias konsulen teoritis saja).
Saat memasuki rumah dakwah baru, maka saat itulah
genderang jihad dibunyikan untuk melihat sejauh mana
dua kekuatan besar tersebut berkolaborasi membangun
sebuah kekuatan yang dasyat untuk menjadi kemanfaatan
yang besar bagi masyarakatnya, negaranya, dan terutama
bagi diennya. Dan PR ini bukan main-main, agenda ini
harus senantiasa di evaluasi bersama. Karena kita semua
adalah du’at, nahnu du’at qobla kuli syai (kita adalah da’i
sebelum yang lainnya ).
Maka ukhti fillah, akhwat, dan umahat bantulah para
akhwat aktivis untuk tidak fobi terhadap pernikahan.
Dengan segala keterbatasan, teruslah kepakan sayap
jihadmu. Minimal lewat perhatian dan doamu. Karena
Nusaibah, Khadijah, Khansa, tidak lahir begitu saja.
Generasi shahabiyah bukan impian semu yang tak
mungkin hadir di akhir zaman ini. Kita adalah wanita akhir
zaman, kita tidak bisa berhenti melangkah dan bergerak
karena cita-cita besar kita belumlah futuh hingga dakwah
mencapai kemenangannya. Kehidupan kita bukanlah
sebatas suami, anak dan segala kesulitan rumah tangga
kita. Tapi lebih besar lagi… Ini adalah tantangan bagi saya,
meski saya tak pernah mampu meraba masa depan.
Semoga Allah mengistiqomahkan kita, akhwat,
dimanapun nanti ukhti berada, mendampingi mujahid
manapun…. Jannah itu adalah milik kita juga, maka
bertempurlah tuk jadi yang terbaik dari setiap peran yang
harus kita jalani. Ini pertempuran kita…. Tuk buktikan
pada dunia kita mampu setegar para mujahidah Afgan
yang saling menyemangati antar para umahat untuk
mendorong para suaminya berjihad dan menutup pintu
rumah kala suaminya bermalas-malasan dari dakwah.
Ini pertempuran kita, tuk buktikan pada Allah bahwa Dia
tak pernah salah memilih kita menjadi mujahidah
dakwahnya… Yang menjadikan suami dan anak bukan
fitnah baginya. Namun menjadi kekuatan luar biasa,
sekuat para mujahidah dan para umahat Palestina yang
tak pernah berhenti melahirkan dan mendampingi
mujahid dakwah meski mereka harus kehilangan semua
orang yang dicintanya….
Demi izzah Islam.
Ini pertempuran kita… Tuk kalahkah stigma bahwa akhwat
bagai burung patah sayap saat ia menikah. Bertempurlah
ya ukhti, terutama dengan diri kita sendiri. Karena
seringkali ialah musuh terbesar kita.
“ Hai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu
dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Siapa saja yang berbuat demikian, maka merekalah orang-
orang yang rugi…” (Q.S Al Munafiqun : 9).
Karena kau ukhti mujahidah…. Karena kau pendamping
mujahid dakwah… Maka sambutlah seruan ini… Semoga
kelak kau kan menjadi bidadari surga mulia di jannah-Nya.
Wallahualam bishawab.
Share:https://m.facebook.com/groups/436028619754729?view=permalink&id=466526493371608
~ 6 Ramadhan 1433 H ~
سبحانك الله وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
www.info-iman.blogspot.com