Sekolah negeri berlabel ‘Berstandar Internasional’ ternyata tidak menjamin kualitas sekolah. Menurut data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), untuk kasus di Jakarta pada tahun 2010, SMA 77 DKI Jakarta yang bukan berstandar internasional mampu menduduki ranking I untuk urusan Ujian Nasional (UN).
Prestasi tersebut jauh melampaui sekolah yang menambahkan label ‘berstandar internasional’ yakni SMA 3, SMA 8, SMA 13, SMA 28, SMA 68, SMA 70,SMA 78, SMA 81,SMA Labschool Rawamangun dan SMA Al Azhar.
Sementara pada kompetisi UN 2011, peringkat I diperoleh SMA bukan berstandar internasional yakni SMA 99 Jakarta.
“Jadi secara kualitas, bisa bersaing,” kata Sekjen FSGI Retno Listyarti kepada detikcom, Kamis (27/10/2011).
Sehingga, RAPBN 2012 yang menganggarkan Rp 242 miliar untuk sekolah negeri berstandar internasional dinilai tidak logis. Sebab, sekolah negeri yang biasa (bukan berstandar internasional) dijatah kurang dari separuh sekolah bertaraf internasional tersebut yakni hanya Rp 108 miliar.
“Kami menilai bahwa kebijakan sekolah berstandar internasional ini sangat diskriminatif dan jauh dari rasa keadilan. Sekolah unggulan yang kemudian dijadikan sekolah RSBI notabene adalah sekolah-sekolah kaya yang muridnya juga kaya-kaya. Sudah kaya malah diberi blockgrant (anggaran khusus-red) senilai ratusan juta rupiah,” ucap Retno.
Menurutnya, dari awal pembentukan sekolah internasional sudah dipersoalkan FSGI dan berbagai LSM lainnya. Sebab, prediksi para pemerhati pendidikan tersebut, sekolah berembel-embel internasional hanya membuat ‘kasta sosial’ diakui secara sah didunia pendidikan.
Sebagai catatan, saat ini UU yang menjadi dasar sekolah internasional sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“FSGI bersama Koalisi Pendidikan, ICW dan Elsam dalam proses melakukan judicial review atas pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang menjadi dasar hukum pelaksanaan SBI. Kami menilai bahwa kebijakan SBI ini sangat diskriminatif,” tandas Retno.
“Pemerintah hanya senang kepada yang unggul-unggul. Sementara sekolah miskin, malah tidak atau kurang diperhatikan,tidak pernah dibina apalagi dikasih uang. Terutama sekolah swasta yang miskin tidak dapat apa-apa,” sesal Retno.
Sebelumnya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran(FITRA) meminta DPR merevisi komposisi anggaran antara sekolah biasa dengan sekolah berembel-embel internasional.
“Mumpung masih ada waktu dan RAPBN 2012 belum disahkan, kami meminta DPR menghapus alokasi anggaran untuk sekolah-sekolah bertaraf internasional agar tidak ada lagi ketidakadilan dan diskriminasi bagi orang-orang miskin yang hanya mampu menyekolahkan anaknya pada sekolah standar nasional,” desak Kordinator Investigasi dan Advokasi FITRA, Uchok Sky.
Sumber :detik.com
Prestasi tersebut jauh melampaui sekolah yang menambahkan label ‘berstandar internasional’ yakni SMA 3, SMA 8, SMA 13, SMA 28, SMA 68, SMA 70,SMA 78, SMA 81,SMA Labschool Rawamangun dan SMA Al Azhar.
Sementara pada kompetisi UN 2011, peringkat I diperoleh SMA bukan berstandar internasional yakni SMA 99 Jakarta.
“Jadi secara kualitas, bisa bersaing,” kata Sekjen FSGI Retno Listyarti kepada detikcom, Kamis (27/10/2011).
Sehingga, RAPBN 2012 yang menganggarkan Rp 242 miliar untuk sekolah negeri berstandar internasional dinilai tidak logis. Sebab, sekolah negeri yang biasa (bukan berstandar internasional) dijatah kurang dari separuh sekolah bertaraf internasional tersebut yakni hanya Rp 108 miliar.
“Kami menilai bahwa kebijakan sekolah berstandar internasional ini sangat diskriminatif dan jauh dari rasa keadilan. Sekolah unggulan yang kemudian dijadikan sekolah RSBI notabene adalah sekolah-sekolah kaya yang muridnya juga kaya-kaya. Sudah kaya malah diberi blockgrant (anggaran khusus-red) senilai ratusan juta rupiah,” ucap Retno.
Menurutnya, dari awal pembentukan sekolah internasional sudah dipersoalkan FSGI dan berbagai LSM lainnya. Sebab, prediksi para pemerhati pendidikan tersebut, sekolah berembel-embel internasional hanya membuat ‘kasta sosial’ diakui secara sah didunia pendidikan.
Sebagai catatan, saat ini UU yang menjadi dasar sekolah internasional sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“FSGI bersama Koalisi Pendidikan, ICW dan Elsam dalam proses melakukan judicial review atas pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang menjadi dasar hukum pelaksanaan SBI. Kami menilai bahwa kebijakan SBI ini sangat diskriminatif,” tandas Retno.
“Pemerintah hanya senang kepada yang unggul-unggul. Sementara sekolah miskin, malah tidak atau kurang diperhatikan,tidak pernah dibina apalagi dikasih uang. Terutama sekolah swasta yang miskin tidak dapat apa-apa,” sesal Retno.
Sebelumnya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran(FITRA) meminta DPR merevisi komposisi anggaran antara sekolah biasa dengan sekolah berembel-embel internasional.
“Mumpung masih ada waktu dan RAPBN 2012 belum disahkan, kami meminta DPR menghapus alokasi anggaran untuk sekolah-sekolah bertaraf internasional agar tidak ada lagi ketidakadilan dan diskriminasi bagi orang-orang miskin yang hanya mampu menyekolahkan anaknya pada sekolah standar nasional,” desak Kordinator Investigasi dan Advokasi FITRA, Uchok Sky.
Sumber :detik.com