Tak dapat dipungkiri, bahwa ilmu hisab sangat terkait dengan ibadah utama, seperti shalat, puasa dan haji. Karena itu sejak Islam datang, tegak dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, ilmu astronomi juga turut berkembang. Sumbangan yang diberikan ilmuwan muslim di bidang astronomi pada abad pertengahan atau di masa-masa kejayaan Islam sangat besar.
Jika kita meninjau tentang keberadaan bumi ini, yang mana kita yang hidup didalamnya secara tidak langsung pasti akan terlintas dipikiran kita, tentang keajaiban dan hal-hal yang tersembunyi dibalik penciptaannya.
Kita tahu bahwa alam semeta ini banyak menyajikan hal-hal yang menarik serta menimbulkan banyak pertanyaan. Dimulai dari bagaimana alam semesta ini tercipta, apa yang menyebabkan bintang bercahaya, dan mengapa planet terus berputar serta apa yang menjadi pusat peredaran benda benda langit dan masih banyak lagi hal-hal yang belum dapat tersingkap oleh pengelihatan dan pengetahuaan kita. Sehingga keberadaan berbagai problema yang kompleks itu membuat para ilmuan yakni para astronom ingin untuk mencoba mencari tahu dan meneliti berbagai hal tersebut.
Begitu pula dengan umat islam, dari masa ke masa mereka mangkaji lebih dalam berbagai bidang keilmuan khususnya mengenai astronomi. Sehingga setelah usaha keras yang bertahun-tahun mereka lakukan, banyak terlahir teori-teori baru yang mengungkap berbagai hal yang dulunya belum diketahui kemudian dengan ditemukan teori tersebut dapat terungkap berbagai rahasia alam dan metode-metode pengaplikasian yang menjadi rujukan hingga saat ini. Tidak dipungkiri, berkat pemikiran mereka mampu untuk membuka wacana baru bagi keilmuan yang selama itu buntu tak dapat di utarakan jawaban yang pasti dan rasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Astronomi
Astromomi, erat sekali hubungannya dengan perkara keseharian kita. Secara etimologi astronomi berarti "ilmu bintang" adalah ilmu yang melibatkan pengamatan dan penjelasan kejadian yang terjadi di luar Bumi dan atmosfernya. Ilmu ini mempelajari asal-usul, evolusi, sifat fisik dan kimiawi benda-benda yang bisa dilihat di langit (dan di luar Bumi), juga proses yang melibatkan mereka. Astronomi merupakan cabang pengetahuan eksakta yang tertua.
Ikhwan As Shafa memberikan definisi astronomi di dalam bukunya Rasaa-ilu ikhwan As Shafa, adalah ilmu untuk mengetahui tata surya, menghitung banyak bintang (buruj), jarak, besar dan gerakannya, serta mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan ini.
Thasy Kubra memberikan definisinya di dalam bukunya Miftaahus Sa’adah, adalah ilmu untuk mengetahui ihwal benda-benda angkasa yang tinggi dan yang rendah, lengkap dengan bentuk, letak, ukuran serta jaraknya.
Di dalam khazanah islam, astronomi dikenal dengan nama ilmu falak yang berarti orbit atau lintasan benda-benda langit. Ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit khususnya bumi, bulan, dan matahari pada orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk mengetahui posisi benda langit antara satu sama lainnya, agar dapat diketahui waktu-waktu dipermukaan bumi. Ilmu falak ini sangat berpengaruh sekali terhadap pelaksanaan ibadah dalam agama islam, seperti waktu shalat, puasa ramadhan, arah qiblat,dan sebagainya.
Ilmu astronomi (ilmu falak) berbeda dengan ilmu astrologi. Adapun astrologi adalah ilmu yang mempelajari benda-benda langit dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh benda-benda langit itu terhadap kehidupan (nasib) seseorang di bumi. Astrologi lebih dikenal dengan ilmu nujum.
B. Sejarah Perkembangan Astronomi
1. Astronomi Sebelum Islam
Pada umumnya manusia memahami seluk beluk alam semesta hanyalah seperti apa yang mereka lihat, bahkan sering ditambah dengan macam tahayul yang bersifat fantastis. Menurut mereka, bumi merupakan pusat alam semesta. Setiap hari, matahari, bulan, dan bintang-bintang dengan sangat tertib mengelilingi bumi.
Peristiwa terjadinya gerhana, jatuhnya meteor, adanya bintang berekor yang kebetulan tampak, dan lain sebagainya dianggap sebagai hal yang tidak beres.
Sekalipun demikian, ada diantara mereka yang memahami alam raya dengan akal rasionya. Para ilmuwan yang pada saat itu antara lain :
a) Aristoteles (384 – 322 M)
Aristoteles berpendapat bahwa pusat jagad raya adalah bumi, sedangkan bumi selalu dalam keadaan tenang, tidak bergerak dan tidak berputar. Semua gerak benda-benda angkasa mengelilingi bumi. Lintasan masing-masing benda angkasa berbentuk lingkaran. Sedangkan peristiwa gerhana misalnya tidak lagi dipandang sebagai adanya raksasa menelan bulan, melainkan merupakan peristiwa alam.
b) Claudius Ptolomeus (140 M)
Pendapat yang dikemukakan oleh ptolomeus sesuai dengan pandangan aristoteles tentang kosmos, yaitu pandangan Geosentris. Bumi dikelilingi oleh bulan, Mercurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus. Benda-benda langit tersebut jaraknya dari bumi berturut-turut semakin jauh. Lintasan benda-benda langit tersebut berupa linngkaran di dalam bola langit. Sementara langit merupakan tempat bintang-bintang sejati, sehingga mereka berada pada dinding bola langit.
Ptolomeus menyusun buku besar tentang ilmu bintang-bintang yang berjudul “syntasis”. Pandangan ptolomeus yang geosentris ini berlaku sampai pada abad ke 6 Masehi tanpa ada perubahan.
2. Ilmu Astronomi dalam Peradaban Islam
Astronomi yang berkembang di dunia Islam merupakan perkembangan dari ilmu perbintangan Persia, India dan Yunani. Meski begitu, para astronom muslim bukanlah ilmuan yang pasif mengadopsi ilmu dari peradaban lain, mereka juga terus aktif mengembangkan astronomi warisan para ilmuan terdahulu. Sehingga para ahli perbintangan muslim pun berhasil membangun sistem keilmuan baru di bidang astronomi. Mereka juga semakin gencar melakukan pelbagai observasi perbintangan. Menyinggung hal ini, Dr. Sigrid Hunke, penulis asal Jerman, menuturkan, "Bagi kaum muslimin, setiap persoalan begitu berharga, sehingga mereka berhasil temukan jawabannya dengan ratusan eksperimen dan dalil."
Sebagian besar penemuan ilmuan muslim di bidang astronomi, merupakan penemuan yang aplikatif dan bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti metode menentukan waktu sholat, menghisab waktu munculnya hilal untuk menetapkan awal bulan Ramadhan, dan memanfaatkan posisi bintang sebagai petunjuk arah. Observasi dan penelitian tak kenal lelah para astronom muslim terhadap benda-benda antariksa, dan pergerakannya, berhasil membuahkan begitu banyak penemuan ilmiah. Sehingga, formula perhitungan yang dimiliki oleh para ilmuan muslim semakin objektif dan mendekati kenyataan. Mengomentari hal ini, Dr. Sigrid Hunke dalam bukunya Budaya Islam di Eropa menulis:
"Jadwal astronomi karya imuan muslim, mengenai penentuan dan perhitungan garis orbit matahari, bulan, planet-planet, dan ramalan waktu, yang kemudian beredar di kalangan ilmuan Eropa, terus bertahan tanpa perubahan. Karena pada abad X taraf keilmuan Eropa masih rendah dan belum mampu melakukan kajian ilmiah yang objektif, apalagi membuat jadwal astronomi tersendiri.
a) Perkembangan Astronomi pada Masa Sahabat
Ilmu astronomi pada masa Nabi SAW dan para sahabat telah ada namun masih berupa embrio. Hal ini dibuktikan dalam keterkaitan benda-benda langit dengan keseharian umat muslim dalam beribadah. Salah satunya adalah perintah nabi untuk melihat kemunculan bulan (hilal) sebagai pertanda telah masuknya awal bulan khususnya bulan Ramadhan (puasa).
Berlanjut kepada Khalifah Umar yang waktu itu baru diperkenalkan kalender lunar yang dikenal sebagai kalender Hijriah yang dibuat berdasarkan peredaran bulan. Kalender ini memiliki dua belas bulan, bulan sabit merupakan tanda telah masuknya awal bulan. Kalender ini mempunyai sekitar 11 hari lebih singkat dibandingkan dengan tahun masehi. Kalender ini masih digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan di kalangan umat Islam.
b) Perkembangan Astronomi Pada Zaman Dinasti Bani Umayyah
Sekitar tiga ratus tahun setalah wafatnya Nabi Muhammad SAW, negara-negara islam telah memiliki kebudayaan dan pengetahuan tinggi. Banyak sekali ilmuwan muslim bermunculan dengan hasil karyanya yang gemilang tertumpuk di perpustakaan-perpustakaan negara islam.
Selama seluruh pemerintahan pada zaman Bani Umayyah, orang-orang arab merupakan bagian yang berkuasa. Di mata rakyat mereka adalah golongan militer yang otokratis. Pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya halus dan membuktikan ketekunan serta pemikiran yang dalam, mereka serahkan kepada keturunan Abu Bakar ra, Umar ra, Utsmann ra dan Ali ra. Kaum Hasyim dan anak cucu Anshar merupakan golongan yang dicurigai. Merekalah yang mendapat kedudukan tersisih di pemerintahan. Tak ayal mereka pun terjun ke dunia keilmuan yang aman dan bebas. Dengan sistem pengikut, golongan penguasa bertambah kuat dan menambah kekuatan menurut banyaknya pengikut. Pengikut-pengikut inilah, didamping golongan yang dicurigai Bani Hasyim dan kaum Anshar yang tidak mati ketika Madinah dijarah – yang diserahi tugas pekerjaan sarjana, pembinaan seni dan pengembangan ilmu dimasa pemerintahan bani Umayyah.
Di bawah pemerintahan bani Umayyah, kita lihat orang islam menempuh zaman percobaan. Mereka mempersiapkan diri untuk tugas besar yang suaranya sudah mereka dengar memanggil. Di dalam buku Al Islam fi Hadlaratihi wa Nidlahimi, Anwar ar Rifa’I menyebutkan bahwa pada tahun 155 H/737 M atau tepatnya tujuh tahun sebelum kepunahan masa pemerintahan bani Umayyah, orang-orang Arab pernah menterjemahkan buku Kunci Perbintangan karangan Hermes Yang Bijaksana dari bahasa latin ke bahasa Arab. Katanya, “perhatian orang-orang Arab dan kaum muslimin ditujukan kepada penterjemah buku-buku astronomi, setelah sebelumnya perhatian mereka ditujukan kepada ilmu-ilmu kecakapan pada masa pemerintahan khalid ibnu Walid. Pada akhir masa pemerintahan bani Umayyah, tujuh tahun sebelum jatuhnya daulah Umayyah, telah selesai diterjemahkan sebuah buku astronomi berjudul Kunci Perbintangan (Miftah An Nujum) karangan Hermes Yang Bijaksana.
Dalam perjalanan bidang keilmuan khususnya astronomi pada masa daulah bani Umayyah, belum mendapat terobosan yang begitu besar. Bidang keilmuan yang lainnya pun belum begitu berkembang.
c) Perkembangan Astronomi Pada Zaman Dinasti Abbasyiah
Berbeda dengan dinasti Umayyah, dinasti Abbasyiah lebih berkembang dalam bidang keilmuan jauh lebih maju. Banyak para ilmuan muslim yang melahirkan pemahaman baru dalam wacana agama dan sains. Para ahli falsafah dan sains, serta jurutera-jurutera dari dunia Islam banyak menyumbang kepada ranah teknologi. Mereka melakukan ini dengan dua cara, yaitu dengan mengekalkan tradisi-tradisi yang awal, serta dengan menambahkan rekaan-rekaan dan pembaharuan-pembaharuan mereka sendiri. Pencapaian-pencapaian saintifik dan intelektual mekar. Sehingga zaman Dinasti Abbasyiah sering dikenal dengan zaman keemasan islam (750 M – 1250 M).
Pada tahun 773 M, seorang pengembara India menyerahkan sebuah buku data astronomis yang berjudul Shindhind atau Shindanta kepada kerajaan islam di Baghdad. Oleh khalifah Abu Ja’far Al Manshur (719-775 M) diperintahkan agar buku itu diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Perintah ini dilakukan oleh Muhammad Ibn Ibrahim Al Fazari (w. 796 M). Atas usahanya inilah Al Fazari dikenal sebagai ahli ilmu falak yang pertama di dunia islam.
Banyak tokoh-tokoh astronomiyang muncul pada abad pertengahan, diantaranya adalah :
1) Abu Rayhan Biruni, merupakan salah seorang astronom muslim Iran yang terkemuka. Ia hidup sekitar tahun 972 hingga 1048 M. George Sarton, dalam bukunya Introduction to the History of Science, menulis: "Biruni lahir dari keluarga Iran, ia adalah filosof, matematikawan, astronom, dan pakar geografi. Ia adalah ilmuan yang serba bisa dan salah seorang ilmuan terbesar di sepanjang zaman. Pemikirannya yang kritis, hatinya yang terbuka, cintanya pada hakikat, dan pandangannya yang inovatif, hampir tiada bandingannya di Abad Pertengahan".
Telaah Astronomi Biruni meliputi masalah gerakan bumi, gaya tarik dan bentuk bumi yang bulat, serta perputaran bumi pada porosnya. Bahkan Biruni telah mengemukakan teori heliosentris yang membuktikan perputaran tahunan bumi terhadap matahari, teori ini dia kemukakan 6 abad sebelum Copernicus, Kepler maupun Newton mengungkap teori tersebut. Penemuan penting lainnya Biruni di bidang astronomi dan geodesi adalah teknik pengukuran radius bumi. Hasil pengukuran Biruni ini amat mendekati hasil perhitungan modern.
2) Abu Abdullah Muhammad Ibnu Musa (Al Khawarizmi ), Sangat sedikit orang yang mengetahui riwayat hidup al-Khawarizmi. Dia lahir sebelum tahun 800 M dan meninggal setelah tahun 847 M. Dia dikenal dengan sebutan al-Khawarizmi karena berasal dari Khawarizm, sebuah daerah di timur laut Kaspia.
Al-Khawarizmi diperkirakan hidup di pinggiran Baghdad pada masa Khalifah al-Ma’mun (813-833 M) zaman dinasti Abbasiyyah. Khalifah al-Ma’mun menjadi sahabat karibnya. Dia menjadikan al-Khawarizmi sebagai anggota Bait al-Khikmah (Wisma Kearifan) di Baghdad . Sebuah lembaga penelitian ilmu pengetahuan yang didirikan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid.
Bait al-Khikmah memiliki berbagai keunggulan yang masyhur di dunia Islam. Kesuksesan al-Khawarizmi dalam bidang Astronomi dan Aljabar didedikasikan kepada Khalifah al-Makmun. Sementara Khalifah al-Makmun sendiri banyak memberikan penghargaan kepada al-Khawarizmi.
Dengan Ilmu Astronomi, al-Khawarizmi mengungkap ramalan tentang waktu Nabi Muhammad SAW dilahirkan secara cermat. Dia juga tercatat sebagai salah seorang astronom yang ikut membuat peta dunia atas permintaan Khalifah al-Makmun. Peta dunia tersebut kemudian dikenal dengan nama Peta Ptolemy.
Karya intelektual al-Khawarizmi tentang Aritmetika dan Aljabar menjadi sumber acuan Ilmu Matematika di belahan Barat dan Timur. Penulis sejarah Matematika kenamaan, George Sarton, mengungkapkan bahwa al-Khawarizmi adalah salah seorang Ilmuwan Muslim terbesar dan terbaik pada masanya. Sarton menggolongkan bahwa periode antara Abad Keempat sampai Kelima sebagai Zaman al-Khawarizmi, karena dia adalah Ahli Matematika terbesar pada masanya. Smith dan Karpinski menggambarkan pribadi al-Khawarizmi sebagai tokoh terbesar pada masa keemasan Baghdad, setelah seorang penulis Muslim menggabungkan Ilmu Matematika klasik Barat dan Timur, mengklasifikasikan dan akhirnya membangkitkan kesadaran daratan Eropa.
Pengaruh lain yang berkaitan erat dengan Ilmu Matematika adalah suku kata algoritm yang dinotasikan sebagai prosedur baku dalam menghitung sesuatu. Tulisannya tentang aritmetika berbahasa Arab pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin memainkan peran penting dalam perkembangan bilangan Arab dan sistem bilangan yang diterapkan saat ini. Meskipun bukan murni sebagai penemunya, tahapan yang dilakukan al-Khawarizmi merupakan format pengembangan sistem bilangan kita saat ini. Hal ini menjelaskan bahwa penggunaan sistem bilangan Arab dan notasi penulisan basis sepuluh, yang diperkenalkan oleh al-Khawarizmi, dapat dikatakan sebagai sebuah revolusi perhitungan di Abad Pertengahan bagi bangsa Eropa.
3) Al Farghani, pakar astronomi berbangsa Farsi ini telah menulis sebuah buku unsur-unsur astronomi yang dipanggil "Kitab fi al-Harakat al-Samawiya wa Jawami Ilm al-Nujum". Ia merupakan satu usaha berdasarkan astronomi Ptolemy. Dia juga memperkenalkan beberapa pandangan baru termasuk precession yang melibatkan kedudukan nyata, bukan saja planet-planet, malahan bintang-bintang juga. Usaha ini memainkan peranan penting di Eropah Barat apabila ia diterjemahkan kedalam bahasa Latin dalam kurun ke-12.
4) Al Battani, Ia mencerap langit dari Syria dan telah membuat beberapa ukuran pada kepersisan amat tinggi buat zaman tersebut. Dia juga telah menentukan jangkamasa satu tahun solar, ukuran precession ekuinoks dan kecondongan dataran ecliptik. Dia juga mengambil kesempatan untuk mengasaskan satu katalog mengandungi 489 bintang-bintang. Dari pandangan yang lebih teoritikal pula, usaha utamanya yang ditulis di dalam Kitab al-Zij, adalah amat penting sebab ia memperkenalkan buat pertama kali trigonometri didalam penyelidikan langit. Pendekatan cara baru ini terbukti lebih berkuasa dari kaedah geometri Ptolemy. Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Latin didalam kurun ke-12. Ia telah mempengaruhi tokoh-tokoh utama dari Eropah dalam kurun ke-16 hingga ke-17.
Dan masih banyak tokoh-tokoh astronomi lainnya yang lahir pada masa Dinasti Bani Abbasyiah.
d) Warisan Astronom Muslim pra dan pasca abad pertengahan
Di abad pertengahan, banyak sekali nama-nama ilmuwan astronom Islam dan karya mereka dalam menyumbang peradaban pada masa itu. Salah satu astronom muslim yang banyak melahirkan karya adalah Abu’l Hasan ‘ali ibn ‘Abd al-Rahman atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn Yunus. Ibn Yunus adalah seorang astronom muslim abad 10 M yang berasal dari Kairo. Beliau banyak mewarisi tabel-tabel astronomis, Gambar-gambar tersebut banyak bersumber dari sejumlah museum di negara muslim, seperti Egyptian National Museum.
Ibn Yunus juga menyusun rumus waktu = a (h) yaitu sebagai fungsi ketinggian (altitude) matahari h dan bujur (longitude) matahari untuk kota Kairo (lintang/latitude sebesar 30 N). Ibn Yunus menggunakan nilai kemiringan sudut rotasi bumi terhadap bidang ekliptika sebesar 23,5 derajat. Tabel fungsi waktu tersebut disusun untuk h = 1, 2, 3, …, 83 derajat, dan = 1, 2, …, 90 dan 181, 182, …, 270 derajat. Tabel tersebut cukup akurat, walaupun terdapat beberapa error untuk altitude yang besar. Ibn Yunus juga menyusun tabel yang disebut Kitab as-Samt berupa azimuth matahari sebagai fungsi altitude dan longitude matahari untuk kota Kairo. Selain itu, disusun pula tabel a(h) saat equinox untuk h = 1, 2, …, 60 derajat.
Tabel untuk menghitung lama siang hari (length of daylight) juga disusun oleh Ibn Yunus. Beliau juga menyusun tabel untuk menentukan azimuth matahari untuk kota Kairo (latitude 30 derajat) dan Baghdad (latitude 33:25), tabel sinus untuk amplitude terbitnya matahari di Kairo dan Baghdad. Ibn Yunus juga disebut sebagai kontributor utama untuk penyusunan jadual waktu di Kairo.
Secara ringkas, sejumlah astronom muslim lainnya adalah sebagai berikut. Al-Mizzi (Damaskus), Al-Khalili (Damaskus), Ahmad Efendi (Istanbul), al-Kutubi (Kairo), Al-Karaki (Jerusalem), Shalih Efendi (Istanbul), Husain Husni (Mekkah) serta Al-Tanthawi (Damaskus) menyusun tabel waktu sebagai fungsi altitude dan longitude matahari untuk latitude tertentu. Tabel waktu sebagai fungsi altitude meridian untuk latitude tertentu dibuat oleh ‘Ali ibn Amajur (Baghdad), Al-Tusi (Maroko), dan Taqi al-Din (Istanbul). Tabel waktu untuk terbit matahari atau bintang tetap untuk seluruh latitude disusun oleh Najmuddin al-Mishri (Kairo). Tabel waktu malam sebagai fungsi right ascension bintang untuk latitude tertentu disusun oleh Syihabuddin al-Halabi (Damaskus) dan Muhammad ibn Katib Sinan (Istanbul).
Tabel-tabel penting lainnya yang menyingkap pergerakan dan altitude matahari dan bintang juga disusun oleh Abul ‘Uqul (Taiz), Ibn Dair (Yaman), al-Battani (Raqqa), Sa’id ibn Khafif (Samarkand), Ibn al-‘Adami (Baghdad), Al-Marrakushi (Kairo), Muhyiddin al-Maghribi (Maroko), Husain Qus’a (Tunisia), Najmuddin al-Mishri (Kairo), al-Salihi (Syria), al-Khalili (Syria), Abu al-Wafa (Baghdad) dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
Pada umumnya manusia memahami seluk beluk alam semesta hanyalah seperti apa yang mereka lihat, bahkan sering ditambah dengan macam tahayul yang bersifat fantastis. Menurut mereka, bumi merupakan pusat alam semesta. Setiap hari, matahari, bulan, dan bintang-bintang dengan sangat tertib mengelilingi bumi.
Sebagian besar penemuan ilmuan muslim di bidang astronomi, merupakan penemuan yang aplikatif dan bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti metode menentukan waktu sholat, menghisab waktu munculnya hilal untuk menetapkan awal bulan Ramadhan, dan memanfaatkan posisi bintang sebagai petunjuk arah. Observasi dan penelitian tak kenal lelah para astronom muslim terhadap benda-benda antariksa, dan pergerakannya, berhasil membuahkan begitu banyak penemuan ilmiah. Sehingga, formula perhitungan yang dimiliki oleh para ilmuan muslim semakin objektif dan mendekati kenyataan
Astronomi merupakan salah satu disiplin ilmu yang berkembang pesat di masa keemasan peradaban Islam. Terkait hal ini, salah satu tokohnya yaitu Al-Battani, seorang astronom akhir abad 9 menulis, "Dengan bantuan pengetahuan mengenai benda-benda antariksa, manusia bisa membuktikan kebenaran tauhid, dan mengenali kebesaran alam semesta, serta berhasil meraih ilmu pengetahuan yang terluhur, kekuatan terbesar, dan kesempurnaan. Karena itu, kaum muslimin merasa memerlukan astronomi untuk mengatur persoalan hidupnya. Hal ini lah yang membuat kaum muslimin berhasil mencapai kemajuan yang pesat di bidang ilmu perbintangan.”
DAFTAR PUSTAKA
Thaha, ahmadie. 1983, Astronomi Dalam Islam, Bina Ilmu : Surabaya. Cet. I.
Khazin, Muhyiddin. 2004. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Buana Pustaka : Yogyakarta.
Radiman, Iratius. 1980. Insikllopedi Singkat Astronomi dan Ilmu yang Bertautan. PITB : Bandung.
http://hazis.wordpress.com
http://www.astronomes.com
http://indonesian.irib.ir
http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_astronomy
www.wikipedia.org
Jika kita meninjau tentang keberadaan bumi ini, yang mana kita yang hidup didalamnya secara tidak langsung pasti akan terlintas dipikiran kita, tentang keajaiban dan hal-hal yang tersembunyi dibalik penciptaannya.
Kita tahu bahwa alam semeta ini banyak menyajikan hal-hal yang menarik serta menimbulkan banyak pertanyaan. Dimulai dari bagaimana alam semesta ini tercipta, apa yang menyebabkan bintang bercahaya, dan mengapa planet terus berputar serta apa yang menjadi pusat peredaran benda benda langit dan masih banyak lagi hal-hal yang belum dapat tersingkap oleh pengelihatan dan pengetahuaan kita. Sehingga keberadaan berbagai problema yang kompleks itu membuat para ilmuan yakni para astronom ingin untuk mencoba mencari tahu dan meneliti berbagai hal tersebut.
Begitu pula dengan umat islam, dari masa ke masa mereka mangkaji lebih dalam berbagai bidang keilmuan khususnya mengenai astronomi. Sehingga setelah usaha keras yang bertahun-tahun mereka lakukan, banyak terlahir teori-teori baru yang mengungkap berbagai hal yang dulunya belum diketahui kemudian dengan ditemukan teori tersebut dapat terungkap berbagai rahasia alam dan metode-metode pengaplikasian yang menjadi rujukan hingga saat ini. Tidak dipungkiri, berkat pemikiran mereka mampu untuk membuka wacana baru bagi keilmuan yang selama itu buntu tak dapat di utarakan jawaban yang pasti dan rasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Astronomi
Astromomi, erat sekali hubungannya dengan perkara keseharian kita. Secara etimologi astronomi berarti "ilmu bintang" adalah ilmu yang melibatkan pengamatan dan penjelasan kejadian yang terjadi di luar Bumi dan atmosfernya. Ilmu ini mempelajari asal-usul, evolusi, sifat fisik dan kimiawi benda-benda yang bisa dilihat di langit (dan di luar Bumi), juga proses yang melibatkan mereka. Astronomi merupakan cabang pengetahuan eksakta yang tertua.
Ikhwan As Shafa memberikan definisi astronomi di dalam bukunya Rasaa-ilu ikhwan As Shafa, adalah ilmu untuk mengetahui tata surya, menghitung banyak bintang (buruj), jarak, besar dan gerakannya, serta mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan ini.
Thasy Kubra memberikan definisinya di dalam bukunya Miftaahus Sa’adah, adalah ilmu untuk mengetahui ihwal benda-benda angkasa yang tinggi dan yang rendah, lengkap dengan bentuk, letak, ukuran serta jaraknya.
Di dalam khazanah islam, astronomi dikenal dengan nama ilmu falak yang berarti orbit atau lintasan benda-benda langit. Ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit khususnya bumi, bulan, dan matahari pada orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk mengetahui posisi benda langit antara satu sama lainnya, agar dapat diketahui waktu-waktu dipermukaan bumi. Ilmu falak ini sangat berpengaruh sekali terhadap pelaksanaan ibadah dalam agama islam, seperti waktu shalat, puasa ramadhan, arah qiblat,dan sebagainya.
Ilmu astronomi (ilmu falak) berbeda dengan ilmu astrologi. Adapun astrologi adalah ilmu yang mempelajari benda-benda langit dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh benda-benda langit itu terhadap kehidupan (nasib) seseorang di bumi. Astrologi lebih dikenal dengan ilmu nujum.
B. Sejarah Perkembangan Astronomi
1. Astronomi Sebelum Islam
Pada umumnya manusia memahami seluk beluk alam semesta hanyalah seperti apa yang mereka lihat, bahkan sering ditambah dengan macam tahayul yang bersifat fantastis. Menurut mereka, bumi merupakan pusat alam semesta. Setiap hari, matahari, bulan, dan bintang-bintang dengan sangat tertib mengelilingi bumi.
Peristiwa terjadinya gerhana, jatuhnya meteor, adanya bintang berekor yang kebetulan tampak, dan lain sebagainya dianggap sebagai hal yang tidak beres.
Sekalipun demikian, ada diantara mereka yang memahami alam raya dengan akal rasionya. Para ilmuwan yang pada saat itu antara lain :
a) Aristoteles (384 – 322 M)
Aristoteles berpendapat bahwa pusat jagad raya adalah bumi, sedangkan bumi selalu dalam keadaan tenang, tidak bergerak dan tidak berputar. Semua gerak benda-benda angkasa mengelilingi bumi. Lintasan masing-masing benda angkasa berbentuk lingkaran. Sedangkan peristiwa gerhana misalnya tidak lagi dipandang sebagai adanya raksasa menelan bulan, melainkan merupakan peristiwa alam.
b) Claudius Ptolomeus (140 M)
Pendapat yang dikemukakan oleh ptolomeus sesuai dengan pandangan aristoteles tentang kosmos, yaitu pandangan Geosentris. Bumi dikelilingi oleh bulan, Mercurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus. Benda-benda langit tersebut jaraknya dari bumi berturut-turut semakin jauh. Lintasan benda-benda langit tersebut berupa linngkaran di dalam bola langit. Sementara langit merupakan tempat bintang-bintang sejati, sehingga mereka berada pada dinding bola langit.
Ptolomeus menyusun buku besar tentang ilmu bintang-bintang yang berjudul “syntasis”. Pandangan ptolomeus yang geosentris ini berlaku sampai pada abad ke 6 Masehi tanpa ada perubahan.
2. Ilmu Astronomi dalam Peradaban Islam
Astronomi yang berkembang di dunia Islam merupakan perkembangan dari ilmu perbintangan Persia, India dan Yunani. Meski begitu, para astronom muslim bukanlah ilmuan yang pasif mengadopsi ilmu dari peradaban lain, mereka juga terus aktif mengembangkan astronomi warisan para ilmuan terdahulu. Sehingga para ahli perbintangan muslim pun berhasil membangun sistem keilmuan baru di bidang astronomi. Mereka juga semakin gencar melakukan pelbagai observasi perbintangan. Menyinggung hal ini, Dr. Sigrid Hunke, penulis asal Jerman, menuturkan, "Bagi kaum muslimin, setiap persoalan begitu berharga, sehingga mereka berhasil temukan jawabannya dengan ratusan eksperimen dan dalil."
Sebagian besar penemuan ilmuan muslim di bidang astronomi, merupakan penemuan yang aplikatif dan bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti metode menentukan waktu sholat, menghisab waktu munculnya hilal untuk menetapkan awal bulan Ramadhan, dan memanfaatkan posisi bintang sebagai petunjuk arah. Observasi dan penelitian tak kenal lelah para astronom muslim terhadap benda-benda antariksa, dan pergerakannya, berhasil membuahkan begitu banyak penemuan ilmiah. Sehingga, formula perhitungan yang dimiliki oleh para ilmuan muslim semakin objektif dan mendekati kenyataan. Mengomentari hal ini, Dr. Sigrid Hunke dalam bukunya Budaya Islam di Eropa menulis:
"Jadwal astronomi karya imuan muslim, mengenai penentuan dan perhitungan garis orbit matahari, bulan, planet-planet, dan ramalan waktu, yang kemudian beredar di kalangan ilmuan Eropa, terus bertahan tanpa perubahan. Karena pada abad X taraf keilmuan Eropa masih rendah dan belum mampu melakukan kajian ilmiah yang objektif, apalagi membuat jadwal astronomi tersendiri.
a) Perkembangan Astronomi pada Masa Sahabat
Ilmu astronomi pada masa Nabi SAW dan para sahabat telah ada namun masih berupa embrio. Hal ini dibuktikan dalam keterkaitan benda-benda langit dengan keseharian umat muslim dalam beribadah. Salah satunya adalah perintah nabi untuk melihat kemunculan bulan (hilal) sebagai pertanda telah masuknya awal bulan khususnya bulan Ramadhan (puasa).
Berlanjut kepada Khalifah Umar yang waktu itu baru diperkenalkan kalender lunar yang dikenal sebagai kalender Hijriah yang dibuat berdasarkan peredaran bulan. Kalender ini memiliki dua belas bulan, bulan sabit merupakan tanda telah masuknya awal bulan. Kalender ini mempunyai sekitar 11 hari lebih singkat dibandingkan dengan tahun masehi. Kalender ini masih digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan di kalangan umat Islam.
b) Perkembangan Astronomi Pada Zaman Dinasti Bani Umayyah
Sekitar tiga ratus tahun setalah wafatnya Nabi Muhammad SAW, negara-negara islam telah memiliki kebudayaan dan pengetahuan tinggi. Banyak sekali ilmuwan muslim bermunculan dengan hasil karyanya yang gemilang tertumpuk di perpustakaan-perpustakaan negara islam.
Selama seluruh pemerintahan pada zaman Bani Umayyah, orang-orang arab merupakan bagian yang berkuasa. Di mata rakyat mereka adalah golongan militer yang otokratis. Pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya halus dan membuktikan ketekunan serta pemikiran yang dalam, mereka serahkan kepada keturunan Abu Bakar ra, Umar ra, Utsmann ra dan Ali ra. Kaum Hasyim dan anak cucu Anshar merupakan golongan yang dicurigai. Merekalah yang mendapat kedudukan tersisih di pemerintahan. Tak ayal mereka pun terjun ke dunia keilmuan yang aman dan bebas. Dengan sistem pengikut, golongan penguasa bertambah kuat dan menambah kekuatan menurut banyaknya pengikut. Pengikut-pengikut inilah, didamping golongan yang dicurigai Bani Hasyim dan kaum Anshar yang tidak mati ketika Madinah dijarah – yang diserahi tugas pekerjaan sarjana, pembinaan seni dan pengembangan ilmu dimasa pemerintahan bani Umayyah.
Di bawah pemerintahan bani Umayyah, kita lihat orang islam menempuh zaman percobaan. Mereka mempersiapkan diri untuk tugas besar yang suaranya sudah mereka dengar memanggil. Di dalam buku Al Islam fi Hadlaratihi wa Nidlahimi, Anwar ar Rifa’I menyebutkan bahwa pada tahun 155 H/737 M atau tepatnya tujuh tahun sebelum kepunahan masa pemerintahan bani Umayyah, orang-orang Arab pernah menterjemahkan buku Kunci Perbintangan karangan Hermes Yang Bijaksana dari bahasa latin ke bahasa Arab. Katanya, “perhatian orang-orang Arab dan kaum muslimin ditujukan kepada penterjemah buku-buku astronomi, setelah sebelumnya perhatian mereka ditujukan kepada ilmu-ilmu kecakapan pada masa pemerintahan khalid ibnu Walid. Pada akhir masa pemerintahan bani Umayyah, tujuh tahun sebelum jatuhnya daulah Umayyah, telah selesai diterjemahkan sebuah buku astronomi berjudul Kunci Perbintangan (Miftah An Nujum) karangan Hermes Yang Bijaksana.
Dalam perjalanan bidang keilmuan khususnya astronomi pada masa daulah bani Umayyah, belum mendapat terobosan yang begitu besar. Bidang keilmuan yang lainnya pun belum begitu berkembang.
c) Perkembangan Astronomi Pada Zaman Dinasti Abbasyiah
Berbeda dengan dinasti Umayyah, dinasti Abbasyiah lebih berkembang dalam bidang keilmuan jauh lebih maju. Banyak para ilmuan muslim yang melahirkan pemahaman baru dalam wacana agama dan sains. Para ahli falsafah dan sains, serta jurutera-jurutera dari dunia Islam banyak menyumbang kepada ranah teknologi. Mereka melakukan ini dengan dua cara, yaitu dengan mengekalkan tradisi-tradisi yang awal, serta dengan menambahkan rekaan-rekaan dan pembaharuan-pembaharuan mereka sendiri. Pencapaian-pencapaian saintifik dan intelektual mekar. Sehingga zaman Dinasti Abbasyiah sering dikenal dengan zaman keemasan islam (750 M – 1250 M).
Pada tahun 773 M, seorang pengembara India menyerahkan sebuah buku data astronomis yang berjudul Shindhind atau Shindanta kepada kerajaan islam di Baghdad. Oleh khalifah Abu Ja’far Al Manshur (719-775 M) diperintahkan agar buku itu diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Perintah ini dilakukan oleh Muhammad Ibn Ibrahim Al Fazari (w. 796 M). Atas usahanya inilah Al Fazari dikenal sebagai ahli ilmu falak yang pertama di dunia islam.
Banyak tokoh-tokoh astronomiyang muncul pada abad pertengahan, diantaranya adalah :
1) Abu Rayhan Biruni, merupakan salah seorang astronom muslim Iran yang terkemuka. Ia hidup sekitar tahun 972 hingga 1048 M. George Sarton, dalam bukunya Introduction to the History of Science, menulis: "Biruni lahir dari keluarga Iran, ia adalah filosof, matematikawan, astronom, dan pakar geografi. Ia adalah ilmuan yang serba bisa dan salah seorang ilmuan terbesar di sepanjang zaman. Pemikirannya yang kritis, hatinya yang terbuka, cintanya pada hakikat, dan pandangannya yang inovatif, hampir tiada bandingannya di Abad Pertengahan".
Telaah Astronomi Biruni meliputi masalah gerakan bumi, gaya tarik dan bentuk bumi yang bulat, serta perputaran bumi pada porosnya. Bahkan Biruni telah mengemukakan teori heliosentris yang membuktikan perputaran tahunan bumi terhadap matahari, teori ini dia kemukakan 6 abad sebelum Copernicus, Kepler maupun Newton mengungkap teori tersebut. Penemuan penting lainnya Biruni di bidang astronomi dan geodesi adalah teknik pengukuran radius bumi. Hasil pengukuran Biruni ini amat mendekati hasil perhitungan modern.
2) Abu Abdullah Muhammad Ibnu Musa (Al Khawarizmi ), Sangat sedikit orang yang mengetahui riwayat hidup al-Khawarizmi. Dia lahir sebelum tahun 800 M dan meninggal setelah tahun 847 M. Dia dikenal dengan sebutan al-Khawarizmi karena berasal dari Khawarizm, sebuah daerah di timur laut Kaspia.
Al-Khawarizmi diperkirakan hidup di pinggiran Baghdad pada masa Khalifah al-Ma’mun (813-833 M) zaman dinasti Abbasiyyah. Khalifah al-Ma’mun menjadi sahabat karibnya. Dia menjadikan al-Khawarizmi sebagai anggota Bait al-Khikmah (Wisma Kearifan) di Baghdad . Sebuah lembaga penelitian ilmu pengetahuan yang didirikan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid.
Bait al-Khikmah memiliki berbagai keunggulan yang masyhur di dunia Islam. Kesuksesan al-Khawarizmi dalam bidang Astronomi dan Aljabar didedikasikan kepada Khalifah al-Makmun. Sementara Khalifah al-Makmun sendiri banyak memberikan penghargaan kepada al-Khawarizmi.
Dengan Ilmu Astronomi, al-Khawarizmi mengungkap ramalan tentang waktu Nabi Muhammad SAW dilahirkan secara cermat. Dia juga tercatat sebagai salah seorang astronom yang ikut membuat peta dunia atas permintaan Khalifah al-Makmun. Peta dunia tersebut kemudian dikenal dengan nama Peta Ptolemy.
Karya intelektual al-Khawarizmi tentang Aritmetika dan Aljabar menjadi sumber acuan Ilmu Matematika di belahan Barat dan Timur. Penulis sejarah Matematika kenamaan, George Sarton, mengungkapkan bahwa al-Khawarizmi adalah salah seorang Ilmuwan Muslim terbesar dan terbaik pada masanya. Sarton menggolongkan bahwa periode antara Abad Keempat sampai Kelima sebagai Zaman al-Khawarizmi, karena dia adalah Ahli Matematika terbesar pada masanya. Smith dan Karpinski menggambarkan pribadi al-Khawarizmi sebagai tokoh terbesar pada masa keemasan Baghdad, setelah seorang penulis Muslim menggabungkan Ilmu Matematika klasik Barat dan Timur, mengklasifikasikan dan akhirnya membangkitkan kesadaran daratan Eropa.
Pengaruh lain yang berkaitan erat dengan Ilmu Matematika adalah suku kata algoritm yang dinotasikan sebagai prosedur baku dalam menghitung sesuatu. Tulisannya tentang aritmetika berbahasa Arab pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin memainkan peran penting dalam perkembangan bilangan Arab dan sistem bilangan yang diterapkan saat ini. Meskipun bukan murni sebagai penemunya, tahapan yang dilakukan al-Khawarizmi merupakan format pengembangan sistem bilangan kita saat ini. Hal ini menjelaskan bahwa penggunaan sistem bilangan Arab dan notasi penulisan basis sepuluh, yang diperkenalkan oleh al-Khawarizmi, dapat dikatakan sebagai sebuah revolusi perhitungan di Abad Pertengahan bagi bangsa Eropa.
3) Al Farghani, pakar astronomi berbangsa Farsi ini telah menulis sebuah buku unsur-unsur astronomi yang dipanggil "Kitab fi al-Harakat al-Samawiya wa Jawami Ilm al-Nujum". Ia merupakan satu usaha berdasarkan astronomi Ptolemy. Dia juga memperkenalkan beberapa pandangan baru termasuk precession yang melibatkan kedudukan nyata, bukan saja planet-planet, malahan bintang-bintang juga. Usaha ini memainkan peranan penting di Eropah Barat apabila ia diterjemahkan kedalam bahasa Latin dalam kurun ke-12.
4) Al Battani, Ia mencerap langit dari Syria dan telah membuat beberapa ukuran pada kepersisan amat tinggi buat zaman tersebut. Dia juga telah menentukan jangkamasa satu tahun solar, ukuran precession ekuinoks dan kecondongan dataran ecliptik. Dia juga mengambil kesempatan untuk mengasaskan satu katalog mengandungi 489 bintang-bintang. Dari pandangan yang lebih teoritikal pula, usaha utamanya yang ditulis di dalam Kitab al-Zij, adalah amat penting sebab ia memperkenalkan buat pertama kali trigonometri didalam penyelidikan langit. Pendekatan cara baru ini terbukti lebih berkuasa dari kaedah geometri Ptolemy. Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Latin didalam kurun ke-12. Ia telah mempengaruhi tokoh-tokoh utama dari Eropah dalam kurun ke-16 hingga ke-17.
Dan masih banyak tokoh-tokoh astronomi lainnya yang lahir pada masa Dinasti Bani Abbasyiah.
d) Warisan Astronom Muslim pra dan pasca abad pertengahan
Di abad pertengahan, banyak sekali nama-nama ilmuwan astronom Islam dan karya mereka dalam menyumbang peradaban pada masa itu. Salah satu astronom muslim yang banyak melahirkan karya adalah Abu’l Hasan ‘ali ibn ‘Abd al-Rahman atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn Yunus. Ibn Yunus adalah seorang astronom muslim abad 10 M yang berasal dari Kairo. Beliau banyak mewarisi tabel-tabel astronomis, Gambar-gambar tersebut banyak bersumber dari sejumlah museum di negara muslim, seperti Egyptian National Museum.
Ibn Yunus juga menyusun rumus waktu = a (h) yaitu sebagai fungsi ketinggian (altitude) matahari h dan bujur (longitude) matahari untuk kota Kairo (lintang/latitude sebesar 30 N). Ibn Yunus menggunakan nilai kemiringan sudut rotasi bumi terhadap bidang ekliptika sebesar 23,5 derajat. Tabel fungsi waktu tersebut disusun untuk h = 1, 2, 3, …, 83 derajat, dan = 1, 2, …, 90 dan 181, 182, …, 270 derajat. Tabel tersebut cukup akurat, walaupun terdapat beberapa error untuk altitude yang besar. Ibn Yunus juga menyusun tabel yang disebut Kitab as-Samt berupa azimuth matahari sebagai fungsi altitude dan longitude matahari untuk kota Kairo. Selain itu, disusun pula tabel a(h) saat equinox untuk h = 1, 2, …, 60 derajat.
Tabel untuk menghitung lama siang hari (length of daylight) juga disusun oleh Ibn Yunus. Beliau juga menyusun tabel untuk menentukan azimuth matahari untuk kota Kairo (latitude 30 derajat) dan Baghdad (latitude 33:25), tabel sinus untuk amplitude terbitnya matahari di Kairo dan Baghdad. Ibn Yunus juga disebut sebagai kontributor utama untuk penyusunan jadual waktu di Kairo.
Secara ringkas, sejumlah astronom muslim lainnya adalah sebagai berikut. Al-Mizzi (Damaskus), Al-Khalili (Damaskus), Ahmad Efendi (Istanbul), al-Kutubi (Kairo), Al-Karaki (Jerusalem), Shalih Efendi (Istanbul), Husain Husni (Mekkah) serta Al-Tanthawi (Damaskus) menyusun tabel waktu sebagai fungsi altitude dan longitude matahari untuk latitude tertentu. Tabel waktu sebagai fungsi altitude meridian untuk latitude tertentu dibuat oleh ‘Ali ibn Amajur (Baghdad), Al-Tusi (Maroko), dan Taqi al-Din (Istanbul). Tabel waktu untuk terbit matahari atau bintang tetap untuk seluruh latitude disusun oleh Najmuddin al-Mishri (Kairo). Tabel waktu malam sebagai fungsi right ascension bintang untuk latitude tertentu disusun oleh Syihabuddin al-Halabi (Damaskus) dan Muhammad ibn Katib Sinan (Istanbul).
Tabel-tabel penting lainnya yang menyingkap pergerakan dan altitude matahari dan bintang juga disusun oleh Abul ‘Uqul (Taiz), Ibn Dair (Yaman), al-Battani (Raqqa), Sa’id ibn Khafif (Samarkand), Ibn al-‘Adami (Baghdad), Al-Marrakushi (Kairo), Muhyiddin al-Maghribi (Maroko), Husain Qus’a (Tunisia), Najmuddin al-Mishri (Kairo), al-Salihi (Syria), al-Khalili (Syria), Abu al-Wafa (Baghdad) dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
Pada umumnya manusia memahami seluk beluk alam semesta hanyalah seperti apa yang mereka lihat, bahkan sering ditambah dengan macam tahayul yang bersifat fantastis. Menurut mereka, bumi merupakan pusat alam semesta. Setiap hari, matahari, bulan, dan bintang-bintang dengan sangat tertib mengelilingi bumi.
Sebagian besar penemuan ilmuan muslim di bidang astronomi, merupakan penemuan yang aplikatif dan bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti metode menentukan waktu sholat, menghisab waktu munculnya hilal untuk menetapkan awal bulan Ramadhan, dan memanfaatkan posisi bintang sebagai petunjuk arah. Observasi dan penelitian tak kenal lelah para astronom muslim terhadap benda-benda antariksa, dan pergerakannya, berhasil membuahkan begitu banyak penemuan ilmiah. Sehingga, formula perhitungan yang dimiliki oleh para ilmuan muslim semakin objektif dan mendekati kenyataan
Astronomi merupakan salah satu disiplin ilmu yang berkembang pesat di masa keemasan peradaban Islam. Terkait hal ini, salah satu tokohnya yaitu Al-Battani, seorang astronom akhir abad 9 menulis, "Dengan bantuan pengetahuan mengenai benda-benda antariksa, manusia bisa membuktikan kebenaran tauhid, dan mengenali kebesaran alam semesta, serta berhasil meraih ilmu pengetahuan yang terluhur, kekuatan terbesar, dan kesempurnaan. Karena itu, kaum muslimin merasa memerlukan astronomi untuk mengatur persoalan hidupnya. Hal ini lah yang membuat kaum muslimin berhasil mencapai kemajuan yang pesat di bidang ilmu perbintangan.”
DAFTAR PUSTAKA
Thaha, ahmadie. 1983, Astronomi Dalam Islam, Bina Ilmu : Surabaya. Cet. I.
Khazin, Muhyiddin. 2004. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Buana Pustaka : Yogyakarta.
Radiman, Iratius. 1980. Insikllopedi Singkat Astronomi dan Ilmu yang Bertautan. PITB : Bandung.
http://hazis.wordpress.com
http://www.astronomes.com
http://indonesian.irib.ir
http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_astronomy
www.wikipedia.org