Apa yang dimaksud dengan baiat?
Jawab:
Baiat secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya transaksi jual beli, atau berjabat tangan untuk berjanji setia dan taat. Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan kalimat "qad tabaa ya'uu 'ala al-amri" seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). (Lihat Lisanul Arab al-Muhith (I/299) dan an-Nihayah (I/174)
Sedangkan “Bai'at” Secara Istilah (Terminologi) adalah "Berjanji untuk taat". Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian kepada amir (pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka atau terpaksa.
Jika membaiat seorang amir dan mengikat tali perjanjian, maka manusia meletakkan tangan-tangan mereka pada tangannya (amir) sebagai penguat perjanjian, sehingga menyerupai perbuatan penjual dan pembeli, maka dinamakanlah baiat yaitu isim masdar dari kata baa 'a, dan jadilah baiat secara bahasa dan secara ketetapan syari'at. (Muqaddimah, Ibnu Khaldun, hal : 299)
Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan tentang baiat, baik yang berisi aturan untuk berbaiat maupun ancaman bagi yang meninggalkannya. (Lihat Hayah as-Shahabah (I/28-239) dan Miftah Kunuz al-Sunnah, hal. 80-86)
Tetapi yang disepakati ialah bahwa baiat yang terdapat di dalam hadits-hadits yang mengisahkan tentang baiat tersebut adalah baiat kolektif dan tidak diberikan kecuali kepada pemimpin muslim yang tinggal di bumi dan menegakkan khilafah (pemerintah) Islam sesuai dengan manhaj kenabian yang penuh dengan berkah. (Al-Furqan baina al-Kufri wa al-Iman, hal.63, Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid).
Berikut ini adalah beberapa ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang disyariatkannya baiat tersebut:
[a]. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَاعَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
"Sesungguhnya orang-orang yang berbait (berjanji setia) kepadamu, mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberi pahala yang besar" [Al-Fath : 10]
Dan dalam surat yang lain disebutkan:
لَّقَدْ رَضِىَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَافِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَة عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)" [Al-Fath : 18]
[b]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
"Barangsiapa yang berlepas tangan dari ketaatan, maka ia bertemu dengan Allah pada hari Kiamat kelak dalam keadaan tidak punya hujjah (alasan) kepada (Allah). Dan barangsiapa mati dan dilehernya tidak ada baiat, maka matinya adalaha (seperti) mati jahiliyah." [Dikeluarkan oleh Muslim No 1851]
Dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
"Barangsiapa berbaiat (berjanji setia) kepada seorang imam dan menyerahkan tangan dan yang disukai hatinya, maka hendaknya dia menaati imam tersebut menurut kemampuannya. Dan jika datang orang lain untuk menentangnya, maka tebaslah leher orang (lain) tersebut" [Dikeluarkan oleh Muslim No 1844 dan Abu Dawud dari Abdillah bin Amr bin Ash]
Salah seorang imam yang agung, Ahmad bin Hanbal, imam Ahlu Sunnah wal-Jama'ah ditanya tentang riwayat dari hadits kedua yang tersebut di atas. Di dalamnya terdapat kata imam. Beliau menjawab: "Tahukah kamu, apakah imam itu? Yaitu kaum muslimin berkumpul atasnya, dan semuanya mengatakan: "Inilah imam", maka inilah makna imam." (Masa'il al-Imam Ahmad (2/185) riwayat Ibnu Hani')
Kemudian setelah hilangnya kekhalifahan, terjadilah perbedaan yang sangat tajam tentang ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut. Dr. Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid mengatakan: "Ketiadaan imam adalah menjadi sebab munculnya kelompok-kelompok yang diantaranya ada yang mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak dibaiat dan menjadi imam. Kelompok-kelompok ini bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang mendasar, yaitu :
[1]. Kelompok Pertama Mengatakan : "Sesungguhnya orang yang meninggalkan baiat adalah kafir". Lalu mereka menetapkan kepemimpinan bagi dirinya. Sedang orang yang tidak membaiatnya adalah kafir menurut pandangan mereka.
Ucapan ini tidak benar, sebab Ali bin Abi Thalib t beliau tidak membaiat Abu Bakar selama kurang lebih setengah tahun dan tidak seorang sahabatpun yang mengatakan bahwa ia telah kafir karena ia telah meninggalkan baiat.
[2]. Kelompok Kedua Mengatakan :"Sesunguhnya baiat adalah wajib, barangsiapa yang meninggalkannya berarti dosa". Dari sinilah mereka menetapkan seorang amir bagi diri-diri mereka, sehingga gugurlah dosa-dosa tadi dari mereka ketika membaiatnya. Padahal yang benar adalah bahwa dosa meninggalkan baiat tidak menjadi gugur dengan cara membaiat amir tersebut. Karena baiat yang wajib dan berdosa orang yang meninggalkannya ialah baiat terhadap imam (pemimpin) muslim yang menetap di bumi dan menegakkan khilafah Islamiyyah dengan syarat-syarat yang benar walaupun dia (khilafah) berlaku zhalim. Dan ini adalah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. (Lihat Kitab Syarh 'Aqidah al-Thahawiyyah, hal : 379)
[3]. Kelompok Ketiga adalah mereka (kaum muslimin) yang tidak membaiat seorangpun. Mereka mengatakan: "Sesungguhnya meninggalkan baiat adalah berdosa, tetapi baiat adalah hak seorang pemimpin (Khalifah/imam) kaum muslimin di bumi ini kendatipun kenyataannya tidak ada di masa sekarang". (Al-Furqan Baina al-Kufri wa al-Iman, hal.64, Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid).
Jadi baiat yang syar'i hanyalah ditujukan kepada seorang khalifah atau amirul mukminin, orang yang memimpin kaum muslimin dimuka bumi ini. Ketika kekhilafahan tidak ada maka baiat yang syar'i dimana orang yang meninggalkannya jika mati dikatakan matinya jahiliyah, tidak ada pula.
Namun tidak mengapa jika ada sekelompok orang yang beriman yang berhimpun dalam suatu wadah dalam rangka tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa serta agar dapat lebih melazimi bentuk-bentuk ketaatan kepada Allah Ta'ala secara lebih maksimal untuk bermu'ahadah (semacam janji setia untuk taat) kepada seseorang yang dipandang dapat membantu mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, dengan catatan dia tidak memberikan wala dan baro'nya kepada wadah tersebut, tetapi wala dan baro'nya kepada Islam. Maknanya ia tidak hanya memberikan kecintaan kepada orang yang berada dalam wadah yang sama dengannya saja, jika tidak maka ia akan menganggapnya sebagai musuh, tetapi kecintaan dan kebenciannya kepada seseorang itu didasarkan pada sejauh mana komitmen orang tersebut kepada Islam.
Juga muahadah memiliki perbedaan dengan baiat yang syar'i, dimana baiat yang syar'i jika ditinggalkan maka pelakunya terancam mati dalam keadaan jahiliyah sementara muahadah tidak demikian, karena muahadah dilakukan hanya dalam rangka tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa serta agar dapat lebih melazimi bentuk-bentuk ketaatan kepada Allah Ta'ala secara lebih maksimal. (Lihat Ats-Tsawabit Wal Mutagharrarot, Dr. Sholah Shawi : 226-242) wallahu A'lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com