Selasa, 30 Desember 2008
hukum makan minum habis berjunub
makan minum ketika hadas besar makruh tapi jika sudah membasuh farji n berwudhu maka kemakruhan hilang.
sumber : radar bjm, jumat 7 -11 -08
posting : rabu,31 des 2008
www.info-iman.blogspot.com
cara menebus dosa melanggar sumpah
Bagi orang yang melanggar sumpah tentu berdosa, cara menebusnya adalah :
1. memerdekakan budak atau
2. memberi makan 10 orang miskin perorang satu mud atau memberi pakaian 10 orang miskin perorang atau perorang satu pakaian...atau kalo tidak mampu juga..
3. puasa selama 3 hari
sumber : radar bjm, selasa 4-11-08
posting : rabu 31 des 08 warnet putra jay
www.info-iman.blogspot.com
bayar taksi,ojek dan jasa lain pakai akad?
sumber : radar bjm 9-11-08
posting : rabu 31 des 2008 jam 13.46 Wita
www.info-iman.blogspot.com
Jumat, 26 Desember 2008
wudhu dan mandi junub dalam KM/WC
tanya : apakah boleh berwudhu,berdoa dan mandi junub di dalam kamar mandi yang bergabung Wc? air wudhunya suci/bersih.
jawab : kamar mandi yang bergabung wc itu dihukumi wc.jadi asalkan tidak membaca bacaan seperti bismilah dan asma yang agung lainnya saat berwudu/mandi junub maka boleh dan sah.bagaimana dengan niatnya? asalkan tidak dilafazkan atau diucapkan dengan suara, maka tidak masalah.karena niat yang sesungguhnya ada di dalam hati.Niat yang dilafazkan hukumnya hanya sunah,lagipula, wudhu adalah pekerjaan bukan ucapan. jadi kuncinya,asal tidak membaca bacaan seperti basmalah dan asma yang agung lainnya sepanjang tidak melafazkan niat maka tidak masalah.
sumber : radar banjarmasin, senin 10-11-08
diposkan tanggal 27 des 2008 hari sabtu jam 14.30
www.info-iman.blogspot.com
posting perdana..
Rabu, 03 Desember 2008
Adakah Larangan Nikah Di Bulan Syawwal?
Tanya:
Ada seorang ustadz yang melarang menikah dibulan Syawwal, karena kedua anak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang menikah dibulan Syawwal meninggal dunia, apakah pendapat beliau ini benar?
Jawab:
Menikah atau menikahkan seseorang pada bulan Syawal adalah perbuatan yang terpuji dan disunnahkan dalam Islam. Hal ini dikarenakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mencontohkannya dalam kehidupan beliau dimana beliau shallallahu 'alaihi wasallam menikahi beberapa istri beliau di bulan Syawal. (Lihat Minhajul Muslim, Syeikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi, hal : 340)
Oleh karena itu Imam Muslim dalam Shahihnya menyebutkan sebuah bab yang bunyinya:
بَاب اسْتِحْبَابِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيجِ فِي شَوَّالٍ وَاسْتِحْبَابِ الدُّخُولِ فِيهِ
Bab Disunnahkan Menikah dan Menikahkan (Seseorang) di Bulan Syawwal serta Disunnahkan Menggauli (istrinya) Di Bulan Tersebut.
Dan setelah menyebutkan bab tersebut beliau membawakan riwayat berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي
Dari Aisyah ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku pada bulan Syawal dan mengumpuliku (juga) pada bulan Syawal, dan tidak ada istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang kecintaan beliau kepada mereka melebihi kecintaan beliau kepadaku.” (HR. Muslim No 1423, Turmudzi No 1093, Nasai No 3236 dan Ibnu Majah No 1990)
Riwayat lain yang menginformasikan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahi istri beliau shallallahu 'alaihi wasallam pada bulan Syawal adalah:
عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ أُمَّ سَلَمَةَ فِي شَوَّالٍ وَجَمَعَهَا إِلَيْهِ فِي شَوَّالٍ
“Dari Abdul Malik bin Harits bin Hisyam dari bapaknya bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahi Ummu Salamah di bulan Syawal dan mengumpulinya juga di bulan Syawal.” (HR. Ibnu Majah No 1991)
Riwayat-riwayat di atas jelas menunjukkan bahwa menikah pada bulan Syawal adalah sebuah amalan sunnah yang tidak perlu diragukan lagi keabsahannya.
Jika ada seorang ustadz yang melarang menikah pada bulan Syawal dengan alasan putri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang menikah pada bulan tersebut meninggal dunia, maka statement atau pernyataan ustadz ini sama sekali tidak benar dan tidak dapat digunakan sebagi hujjah, karena setiap manusia itu pasti akan mengalami kematian baik yang menikah di bulan Syawal atau di bulan lainnya atau bahkan yang belum menikah sekalipun jika sudah tiba ajalnya maka ia akan meninggal dunia. Ini merupakan sesuatu yang sudah menjadi ketetapan Allah ta'ala sebagaimana difirmankan-Nya dalam Al Qur’an :
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (Surat Ali Imran : 185)
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
"Tiap-tiap umat itu mempunyai ajal (batas waktu), maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat menundanya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Surat Al A’raf : 34)
Disamping itu, tidak benarnya pernyataan ustadz tersebut karena bertentangan dengan sunnah fi’liyah (perbuatan) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam karena beliau menikah di bulan Syawal sebagaimana dijelaskan dalam riwayat diatas. Wallahu A’lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Kamis, 20 November 2008
Sholatnya Wanita Pada Hari Jum'at
Pada hari jum’at kaum muslimah cukup mengerjakan sholat jum’at atau sholat dhuhur? (08154183XXX)
Jawab:
Shalat Jum'at tidak diwajibkan bagi kaum wanita, akan tetapi jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam shalat Jum'at maka shalatnya sah, namun jika ia melaksanakan shalat seorang diri di rumah maka ia harus melaksanakan shalat Zhuhur sebanyak empat rakaat, shalat Zhuhur itu dilaksanakan setelah masuknya waktu shalat atau setelah matahari condong ke barat, dan tidak boleh bagi seorang wanita untuk melaksanakan shalat Jum'at seorang diri.[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VII/212, fatwa nomor 4148]
www.info-iman.blogspot.com
Membaca Surat An-Naas Sebelum Takbiratul Ihram
Apakah ada dalilnya sebelum takbiratul ihram dalam sholat kita dianjurkan untuk membaca surat An-Naas terlebih dahulu? (Ismail A. Syukur, Lampung Utara)
Jawab:
Tidak ada tuntunannya sebelum seseorang melakukan sholat atau sebelum melafadzkan takbiratul ihram ia membaca surat an –Naas, karena tidak ada satupun dalil yang shahih tentang hal ini. Seandainya perbuatan ini benar tentunya terdapat riwayat yang menuntunkan akan hal tersebut. Oleh karenanya perbuatan ini termasuk amalan yang bid’ah. Demikian disampaikan oleh Syeikh Bakar Abu Zaid dalam kitab beliau “Tashih Ad-Du’a” (Edisi Indonesia: Koreksi Dzikir Dan Doa Sehari-hari : 424). Wallahu A’lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Minggu, 16 November 2008
Jumlah Jamaah Sholat Jum'at
Apakah pada sholat jum’at jamaahnya harus mencapai jumlah 40 orang?
Jawab:
Tidak termasuk syarat sahnya jum'at adalah jumlah jamaahnya mencapai 40 orang, namun jikalau jumlah jamaah jum'atnya banyak maka lebih baik, berdasarkan keumuman hadits berikut:
وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Dan sholatnya seorang laki-laki bermakmum dengan seorang laki-laki lebih utama daripada ia sholat sendirian. Sholatnya seorang laki-laki bermakmum dengan dua orang laki-laki lebih utama daripada ia sholat bersama seorang laki-laki. Dan semakin banyak jumlah jamaahnya semakin dicintai Allah Azza Wa Jalla.” (HR Abu Daud No 554 dan Nasai No 843, dihasankan oleh Albani).
Akan tetapi seandainya hanya ada tiga orang jamaah yang berkumpul disuatu masjid maka sudah sah bagi mereka untuk menegakkan sholat jum'at ditempat tersebut. Hal ini berdasarkan keumuman riwayat berikut ini:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ
"Dari Abu Said Al Khudri ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika mereka terdiri dari tiga orang maka hendaklah salah seorang dari mereka ada yang menjadi imam. Dan orang yang paling berhak menjadi imam adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur'annya." (HR. Muslim No 1077)
Inilah pendapat yang terkuat (yang rajih) dari para ulama, jadi tidak harus bilangan jamaahnya berjumlah 40 orang. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Ikhtiyarat Al Ilmiyyah : 119-120, juga merupakan salah satu pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal (lihat Al Ihkam Syarah Ushulul Ahkam, Abdurrahman bin Al Qasim 1/442-444), dan demikian pula pendapat Syeikh Abdul Aziz bi Bazz (lihat Sholatul Mukmin, Syeikh Saad Al Qahtani 2/802).
www.info-iman.blogspot.com
Mengucap "Hamdalah" Ketika Bersin Dalam Sholat
Apa boleh mengucapkan Alhamdulillah ketika bersin dalam sholat?
Jawab:
Dalam sholat, seseorang tidak boleh mengucapkan hamdalah. Seandainya ada orang yang mengucapkannya, maka yang mendengarkannya tidak perlu menjawabnya, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengingkari Muawiyah bin Hakam radhiallahu 'anhu ketika ia mengucapkan "Yarhamakallah" ketika ia mendengar ada orang yang bersin ketika sedang sholat, sebagaimana dituturkan dalam riwayat berikut:
عَنْ مُعَاوِيَةَ ابْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami ia berkata: “Ketika aku sedang sholat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba-tiba ada seorang laki-laki yang bersin. Lalu akupun mengucapkan “Yarhamukallah.” Maka orang-orangpun mengarahkan pandangan mereka kearahku. Akupun berkata: “Celakalah aku, apa yang membuat kalian memandangiku?” Merekapun lalu menepukkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Tatkala aku melihat mereka mengisyaratkan padaku agar aku diam akupun dim. Dan ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selesai sholat –sungguh aku tidak mendapati seorang pendidik sebelum dan sesudah beliau yang lebih baik cara mendidiknya daripada beliau shallallahu 'alaihi wasallam - Beliau tidak langsung melarangku, tidak bermuka masam kepadaku, tidak memukulku, da tidak mecelaku, tapi beliau berkata: “Sesungguhnya sholat ini tidak boleh disisipi sesuatupun dari perkataan manusia, sholat ini berisi tasbih, takbir dan qiraatul Qur’an.” (HR. Muslim No 537, Nasai No 1218, Ahmad No 23250 dan Darimi No 1502)
www.info-iman.blogspot.com
Senin, 03 November 2008
Sebaik-baik Sholat Wanita
Mana yang lebih banyak pahalanya bagi wanita, sholat sendirian dirumah atau berjamaah dimasjid?
Jawab:
Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa sholat kaum wanita dirumahnya meskipun sendirian itu lebih baik daripada sholat mereka dimasjid meskipun berjamaah.
Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي
“Dari Ummu Humaid istri Abu Humaid as-Sa’idi ia datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata: “Hai Rasulullah, aku senang sholat bersamamu.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Aku tahu bahwa engkau senang sholat bersamaku tetapi shalatmu di ruang khusus dirumahmu lebih utama daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih utama daripada shalatmu diruang terbuka di rumahmu.dan shalatmu di rumahmu lebih utama daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih utama daripada shalatmu di masiidku.” (HR. Ahmad No 26550, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya; dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin AI-AIbani di dalam Jilbab Mar’ah Muslimah, hal. I55)
Mengomentari hadits di atas, Syaikh Albani hafidhahullah berkata: Hadits tersebut tidak bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim yang berbunyi: “Shalat di masjidku lebih utama seribu shalat dibandingkan dengan shalat di masjid-masjid yang lainnya.” Hadits ini tidak menafikan bahwa shalat-shalat mereka (para wanita) di rumahnya lebih utama bagi mereka, sebagaimana tidak dinafikannya pula keutamaan shalat sunnah di rumah bagi laki-laki dibandingkan dengan jika dilakukan di masjid. Akan tetapi jika dia (laki-laki) shalat di salah satu masjid yang tiga (Mekah, Madinah dan Aqsha), maka mereka mendapat keutamaan-keutamaan dan kekhususan-kekhususan Demikian pula halnya bagi wanita.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي حُجْرَتِهَا وَصَلَاتُهَا فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي بَيْتِهَا
"Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalat dikamarnya. Dan shalatnya diruang khusus dalam rumahnya lebih utama daripada shalatnya di rumahnya". (HR. Muslim No 570 dan Abu Dawud, hadits no. 566 dan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani)
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ
Sebaik-baik masjid bagi wanila adalah di dalam rumah-rumah mereka. (HR. Ahmad (6/301), Ibnu Khuzaimah (3/92) dan Baihaqi)
Dari riwayat-riwayat di atas, para ulama mengambil istimbath (kesimpulan) hukum bahwa shalat wanita di dalam rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid. (Lihat Syeikh Mustafa Al-Adawi di dalam kitab Ahkamu An-Nisa hal. 299, Imam Nawawi Syarh Muslim 2/73, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Imam Syaukani dalam Nailul Authar, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Majmu’atu Durusil Fatawa)
www.info-iman.blogspot.com
Buku Tentang Tuntunan Sholat
Tolong informasikan buku tuntunan sholat dan buku doa dan dzikir yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ? (Sugeng, Tanjung Bintang)
Jawab:
Diantara buku buku yang berisi tuntunan Sholat adalah: Shifat sholat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam karya Syeikh Muhammad Nashiruddin Albani, Shifat Sholat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam karya Syeikh Jibrin, Sholatul Mukmin (Edisi Terjemahan: Panduan Sholat Lengkap) karya Syeikh Said bin Ali Wahaf Al Qahthani, shifat sholat Nabi karya Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah, dan lain-lain.
www.info-iman.blogspot.com
Keutamaan Sholat Di Masjid Quba
Apakah ada haditsnya bahwa sholat di masjid Quba pahalanya sama dengan mengerjakan umrah satu kali?
Jawab:
Ya, didalam Sunan Ibnu Majah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskan tentang keutamaan tersebut. Adapun lafadz riwayatnya adalah sebagai berikut:
عَنْ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى مَسْجِدَ قُبَاءَ فَصَلَّى فِيهِ صَلَاةً كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ
“Dari Sahal bin Hunaif ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bersuci dirumahnya kemudian ia mendatangi masjid Quba lalu sholat di dalamnya, maka baginya pahala seperti pahala melakukan umrah.” (HR. Ibnu Majah No 1412, dishahihkan oleh Syeikh Albani)
www.info-iman.blogspot.com
Minggu, 02 November 2008
Posisi Imam Wanita Dalam Sholat Berjamaah
Bagaimana posisi imam wanita yang benar dalam sholat berjamaah, karena ada yang mengatakan imam berada didepan dan ada pula yang mengatakan imam sejajar dengan makmumnya? (Iza)
Jawab:
Jika kaum wanita mengerjakan sholat berjamaah dan imam mereka adalah seorang wanita maka posisi sang imam adalah ditengah-tengah shof yang pertama. Jadi bukan berada didepan seperti jika imamnya seorang laki-laki. (Lihat Al Muhalla, Ibnu Hazam 3/172 dam Musnad Imam Asy-Syafii 6/82)
Hal ini sebagaimana dipraktekkan oleh Ummu Salamah Radliyallahu anha ketika ia menjadi imam sebagaimana dikisahkan oleh Hujairah binti Hushain:
عَنْ حُجَيْرَةَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَتْ : أَمَّتْنَا أُمُّ سَلَمَةَ فِي صَلاَةِ الْعَصْرِ قَامَتْ بَيْنَنَا
“Dari Hujairah binti Hushain ia berkata: “Ummu Salamah mengimami kita dalam sholat ashar, beliau berdiri diantara kita.” (HR. Abdurrazaq dalam Mushannaf No 5082 (3/140), Ibnu Abi Syaibah II/131 dan Dar Quthni I/404)
Dan dalam sebuah atsar Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu berkata:
تَؤُمُّ الْمَرْأَةُ النِّسَاءَ تَقُوْمُ فِي وَسَطِهِنَّ
“Seorang wanita (bila) menjadi imam bagi kaum wanita maka ia berdiri ditengah-tengah mereka.” (HR. Abdurrazaq No 5083)
Demikian pula Aisyah Radliyallahu anha apabila mengimami kaum wanita beliau berdiri ditengah-tengah mereka. (Lihat Mushannaf Abdurrazaq 3/140)
Dan apabila jamaahnya hanya satu orang maka posisi sang imam sejajar dengan makmumnya. Sang makmum berada disebelah kanan imam. Posisi ini sama seperti jika seorang laki-laki berjamaah dengan seorang laki-laki. (lihat Al Kaafi, Ibnu Qudamah 1/434, Syarah Al Mumti’ , Syeikh Utsaimin 4/389, Majmu Fatawa Bin Bazz 12/131).
Wallahu A’lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Sholat Sunnah Sebelum Ashar
Sholat sunnah sebelum ashar yang benar 4 rakaat dua kali salam atau dua rakaat satu kali salam? (Ibu, Hamba Allah)
Jawab:
Sebelum melaksanakan sholat ashar memang seseorang dibenarkan untuk melaksanakan sholat qabliyah sekalipun para ulama menggolongkan sholat qabliyah ashar ini dalam kelompok sholat rawatib yang ghairu muakkad (yang tidak ditekankan). (Lihat Sholatul Mukmin [Edisi Indonesia: Panduan Sholat Lengkap], Syeikh Said bin Ali Wahaf Al Qahthani : 227)
Adapun pelaksanaannya bisa dikerjakan dua rakaat sekali dalam atau empat rakaat dengan dua kali salam. Keduanya boleh dikerjakan karena memiliki sandaran hukum dari hadits-hadits nabi yang shahih.
Dan diantara dalil yang menjelaskan bahwa sholat qabliyah ashar ini dikerjakan sebanyak empat rakaat adalah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا
“Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: “Semoga Allah merahmati seseorang yang melakukan sholat empat rakaat sebelum ashar.” (HR. Turmudzi No 430 dan dihasankan oleh AlBani)
Dalam riwayat lain disebutkan:
عَنْ عَاصِمِ بْنِ ضَمْرَةَ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ
“Dari ‘Ashim bin Dhamrah dari Ali ia berkata: “Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan sholat empat rakaat sebelum ashar.” (HR. Tirmidzi No 429 dan dihasankan oleh AlBani)
Imam Tirmidzi menyebutkan bahwa para salaf berbeda pendapat dalam teknis pelaksanaanya ada yang berpendapat empat rakaat satu kali salam seperti Ishaq bin Ibrahim. Dan ada yang berpendapat empat rakaat dengan dua kali salam. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad. (Lihat Sunan Tirmidzi No 429).
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa jika sholat qabliyah ashar dilakukan sebanyak empat rakaat maka dengan dua kali salam. Ini berdasarkan keumuman riwayat:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى
“Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: “Sholat malam dan siang itu dua-dua.” (HR. Turmudzi No597, dishahihkan oleh Syeikh Albani )
Adapun dalil yang menyatakan bahwa sholat qabliyah ashar ini dilakukan sebanyak dua rakaat adalah:
عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَام أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي قَبْلَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ
“Dari Ali radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukan sholat dua rakaat sebelum ashar.” (HR. Abu Daud No 1272 dan dihasankan oleh Syeikh Albani)
Jadi seseorang dipersilahkan untuk memilih antara mengerjakan sholat qabliyah ashar dua rakaat atau empat rakaat. Namun jika memungkinkan diutamakan untuk melakukan yang empat rakaat dikarenakan akan mendapat keutamaan khusus sebagaimana dijelaskan dalam hadits diatas yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi No 430 bahwa Allah ta'ala akan memberi rahmat kepada orang yang mengerjakan sholat qabliyah ashar sebanyak empat rakaat. Wallahu A’lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Rabu, 22 Oktober 2008
Tata Cara Tidur Menurut Sunnah
Bagaimana tata cara tidur menurut sunnah?
Jawab:
Ada beberapa perkara yang hendaknya diperhatikan oleh seseorang yang hendak beranjak tidur sehingga tidurnya bernilai ibadah disisi Allah ta’ala dan mendapatkan balasan kebaikan dari-Nya, bahkan dapat memperoleh manfaat kebaikan dunyawi dan ukhrawi dari tidurnya tersebut. Syeikh Abdul Aziz bin Bazz menjelaskan adab-adab tidur yang seyogyanya diperhatikan oleh orang-orang yang beriman, diantaranya:
1. Berintrospeksi diri / muhasabah sesaat sebelum tidur. Sangat dianjurkan sekali bagi setiap muslim bermuhasabah (berintrospeksi diri) sesaat sebelum tidur, mengevaluasi segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Lalu jika ia dapatkan perbuatannya baik maka hendaknya memuji kepada Allah ta’ala dan jika sebaliknya maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya.
2. Tidur dini, berdasarkan hadits yang bersumber dari `Aisyah Radhiallaahu anha
كَانَ يَنَامُ أَوَّلَ اللَّيْلِ وَيُحْيِ آخِرَهُ
“Bahwasanya beliau (Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam) tidur pada awal malam dan menghidupkan akhir malamnya (dengan melakukan shalat).” (HR. Muslim No 739)
3. Disunnatkan berwudhu’ sebelum tidur, dan berbaring miring sebelah kanan.
Al-Bara’ bin `Azib radhialahu ‘anhu menuturkan: Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَن
“Apabila kamu akan tidur, maka berwudlu’lah sebagaimana wudlu’ untuk shalat, kemudian berbaringlah dengan miring ke sebelah kanan...” (HR. Bukhari No 244)
Dan tidak mengapa berbalik kesebelah kiri nantinya.
4. Disunnatkan pula mengibaskan sperei tiga kali sebelum berbaring, berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضْ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ
“Apabila seorang dari kamu akan tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah ia mengambil potongan kain dan mengirapkannya pada tempat tidurnya itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang terjadi sepeninggalnya tadi.” (HR. Bukhari No 5961).
5. Makruh tidur tengkurap.
Abu Dzar radhiallanhu ‘anhu menuturkan :
مَرَّ بِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مُضْطَجِعٌ عَلَى بَطْنِي فَرَكَضَنِي بِرِجْلِهِ وَقَالَ يَا جُنَيْدِبُ إِنَّمَا هَذِهِ ضِجْعَةُ أَهْلِ النَّارِ
”Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lewat melintasi aku, dikala itu aku sedang berbaring tengkurap. Maka Nabi membangunkanku dengan kakinya sambil bersabda: ”Wahai Junaidib (panggilan Abu Dzar), sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya penghuni neraka”. (H.R. Ibnu Majah No 3724 dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
عَنْ قَيْسِ بْنِ طِخْفَةَ الْغِفَارِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَصَابَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ عَلَى بَطْنِي فَرَكَضَنِي بِرِجْلِهِ وَقَالَ مَا لَكَ وَلِهَذَا النَّوْمِ هَذِهِ نَوْمَةٌ يَكْرَهُهَا اللَّهُ أَوْ يُبْغِضُهَا اللَّهُ
“Dari Qais bin Thighfah al Ghifari dari bapaknya ia berkata: “Rasulullah r mendapatiku sedang tidur tengkurap dimasjid. Lalu beliau membangunkanku dengan kakinya seraya berkata: “Mengapa engkau tidur dengan cara begini, ini adalah cara tidur yang dibenci atau dimurkai Allah.” (HR. Ibnu Majah No 3723)
6. Menutup pintu, jendela dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَغْلِقُوا الْبَابَ وَأَوْكِئُوا السِّقَاءَ وَأَكْفِئُوا الْإِنَاءَ أَوْ خَمِّرُوا الْإِنَاءَ وَأَطْفِئُوا الْمِصْبَاحَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ غَلَقًا وَلَا يَحِلُّ وِكَاءً وَلَا يَكْشِفُ آنِيَةً وَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ تُضْرِمُ عَلَى النَّاسِ بَيْتَهُمْ
“Dari Jabir radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tutuplah pintu, tutuplah bejana dan tempat minum kalian, dan padamkanlah lampu karena sesungguhnya setan tidak dapat membuka (sesuatu yang tertutup), tidak bisa melepas ikatan dan tidak dapat membuka bejana. Dan sesungguhnya tikus dapat menyebabkan rumah seseorang terbakar.” (HR. Turmudzi No 1812, dishahihkan oleh Syeikh Albani).
7. Membaca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadits-hadits shahih yang menganjurkan hal tersebut.
8. Membaca do'a-do'a dan dzikir sebelum tidur yang shahih dari Rasulullah, seperti:
اللَّهُمَّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ
Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali segenap hamba-hamba-Mu”. Dibaca tiga kali.(HR. Abu Dawud dan di hasankan oleh Al Albani)
Dan membaca:
بِاسْمِكَ اَللَّهُمَّ أَمُوْتُ وَأَحْيَا
"Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup." (HR. Al Bukhari).
9. Apabila di saat tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka disunnatkan (dianjurkan) berdo`a dengan do`a berikut ini :
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ ، وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّياَطِيْنِ وَأَنْ يَحْضُرُوْنِ
"Aku berlindung dengan Kalimat-kalimat Allah yang Maha Sempurna dari kemurkaan-Nya, dari kejahatan hamba-hamba-Nya, dan dari gangguan-gangguan syetan dan kehadiran mereka kepadaku”. (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani)
10. Hendaknya apabila bangun tidur membaca :
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرُ
"Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami dimatikan-Nya, dan kepada-Nya lah kami dikembalikan.” (HR. Al-Bukhari)
(Lihat: Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari penulis Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz)
www.info-iman.blogspot.com
Mendoakan Orang Lain Dengan Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur'an Untuknya
Apa hukumnya mendoakan orang lain dengan cara menghadiahkan pahala membaca Al Qur’an untuknya?
Jawab:
Mendoakan orang lain adalah suatu amalan yang mulia dan sangat dianjurkan oleh syariat, namun tentunya dengan cara-cara yang dibenarkan menurut syariat pula. Jika kita mendoakan orang lain dengan cara menghadiahkan pahala membaca Al Qur'an untuknya, maka hal semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam dan para sahabat beliau serta imam-imam yang terpercaya.
Apalagi kalau kita kaji pendapat Imam Syafii dalam hal ini, beliau berpendapat bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al Qur'an kepada orang lain yang telah meninggal dunia pahalanya tidak akan sampai kepadanya.
Oleh karena itu jika kita menghendaki untuk mendoakan orang lain, maka doakanlah dengan cara yang sesuai dengan yang dituntunkan oleh syariat, tidak dengan menghadiahkan pahala bacaan Al Qur'an kepadanya.
Diantara doa-doa yang dapat kita amalkan untuk mendoakan saudara-saudara kita adalah:
رَّبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Wahai Rabb-ku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan”. (Surat Nuh : 28)
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Wahai Rabb kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (Surat Ibrahim : 41)
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
"Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (Surat Al Hasyr : 10)
www.info-iman.blogspot.com
Rabu, 08 Oktober 2008
Mengadzankan Mayit Di Kuburan
Apakah mayit perlu di azankan di liang kubur?
Jawab :
Tidak ada tuntunannya mengadzankan mayit diliang kubur, karena adzan adalah panggilan untuk melaksanakan sholat. Dan tindakan ini merupakan bid'ah, perkara yang baru dalam persoalan dien yang harus kita tinggalkan. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah 9/22)
www.info-iman.blogspot.com
Doa Khusus Ketika Minum Air Zamzam
Apakah benar ada doa khusus ketika kita minum air zam zam?
Jawab :
Kalau doa akan meminumnya sama dengan doa akan makan atau minum pada umumnya, hanya ketika kita akan minum air zamzam kita diperbolehkan meniatkannya untuk apa saja yang kita kehendaki, seperti kita minum memohon kepada Allah ta'ala agar disembuhkan dari penyakit, atau dimudahkan untuk menghapal dan lain sebagainya. Hal ini sebagiamana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
مَاءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ
"Air zamzam tergantung pada apa yang diniatkan oleh peminumnya." (HR. Ibnu Majah No 3053)
www.info-iman.blogspot.com
Kriteria Ibadah Yang Baik
Bagaimanakah ibadah yang baik itu menurut Islam ?
Jawab:
Ibadah yang baik menurut Islam adalah ibadah yang dalam pelaksanaannya telah memenuhi dua syarat yaitu:
Ikhlash, maksudnya ibadah yang dikerjakan semata-mata diperuntukkan hanya bagi Allah ta'ala saja, tidak untuk yang lain-Nya.
Mutaba'ah, maksudnya ibadah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam .
Dua syarat ini mutlak harus ada, kalau hanya ada satu saja diantara keduanya maka ibadahnya belum diterima oleh Allah sampai kedua syarat tersebut benar-benar dapat dipenuhi.
www.info-iman.blogspot.com
Cara Melunasi Hutang Kepada Orang Yang Tidak Kita Ketahui Tempat Tinggalnya
Bagaimana kalau kita punya hutang kepada seseorang sementara kita tidak tahu di mana orang yang menghutangi kini berada karena rentang waktu yang begitu lama? (Abu Usamah, Way Halim )
Jawab:
Para Ulama mengatakan bahwa apabila kita mempunyai hutang kemudian kita tidak tahu di mana orang yang menghutangi kita, maka hendaknya kita menginfaqkan uang sebesar yang dihutangkan dengan niat pahalanya untuk orang yang menghutangi , dan apabila orang itu kembali/bertemu lagi maka kita sampaikan padanya perihal uangnya yang telah diinfaqkan atas namanya.
Namun jika ia memintanya kembali, maka hendaknya kita menggantikan uang yang telah kita infakkan tersebut dari uang peribadi kita lalu kita berikan kepadanya. Wallahu Ta’ala A’lam Bis Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Kamis, 25 September 2008
Hukum Iqamah Bagi Wanita
Bagaimana hukumnya iqomah bagi wanita?
Jawab:
Iqomah Shalat bagi wanita hukumnya mubah selama tidak keras (tidak memakai pengeras suara atau mix) dan semua jama’ahnya adalah wanita. Wallahu Ta’ala A’lam Bis Showab. (Lihat Majmu Fatawa wa Rasaail, Syeikh Muhammad Shalih Al Utsaimin 12/160).
www.info-iman.blogspot.com
Rabu, 24 September 2008
Doa Setelah Adzan
Ketika membaca doa setelah adzan apakah kita dituntunkan untuk membacanya hingga “Innaka Laa Tukhliful Mii’ad” atau hanya sebatas “Wa attah” saja? (Budi, Padang Ratu)
Jawab:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menuntunkan kepada kita bahwa setelah kita mendengarkan adzan kita hendaknya membaca sholawat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah itu kita membaca doa :
اَللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ، [إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ]
“Ya Allah, Rabb Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalat (wajib) yang didirikan, Berilah Al-Wasilah (derajat di Surga, yang tidak akan diberikan selain kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) dan fadhilah kepada Muhammad. Dan bangkitkan beliau sehingga bisa menempati maqam terpuji yang telah Engkau janjikan. [Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji].”
(HR. Al-Bukhari 1/152. Untuk kalimat: Innaka laatukhliful mii’aad, menurut riwayat Al-Baihaqi 1/410, Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz berpendapat, isnad hadits tersebut hasan dalam Tuhfatul Akhyar, hal. 38).
Jadi diperbolehkan bagi orang yang membaca doa setelah adzan hingga kata-kata “Innaka Laa Tukhliful Mii’ad” , dan juga dibenarkan jika hanya sebatas kata “Wa attah” saja, karena kedua riwayat tentang hal ini masing-masing sanadnya hasan dan shahih. Wallahu A’lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Selasa, 23 September 2008
Hikmah Dibalik Penciptaan Setan Dan Jin
Apa faidah Alllah Ta'ala menciptakan setan dan jin? (Yusdi Rizal, Bandar Lampung)
Jawab:
Didalam Al Quran Allah Ta'ala menjelaskan bahwa Allah Ta'ala menciptakan alam semesta dan semua yang ada di dalamnya, satu pun tidak ada yang batil atau sia-sia (QS Ali Imran : 191).
Oleh karena itu ketika Allah Ta'ala menciptakan iblis atau makhluk yang disebut setan Itu, bila dilihat dari sisi nilai ibadah, pada hakikatnya juga ada hikmahnya.
Imam al-Ghazali pernah menyatakan; jika ingin melihat kesalahan/kelemahan kita, carilah pada sahabat karib kita, karena sahabat kitalah yang tahu kesalahan/ kelemahan kita. Jika kita tidak mendapatkannya pada sahabat kita, carilah pada musuh kita, karena musuh kita itu paling tahu kesalahan/kelemahan kita. Sifat musuh adalah selalu mencari kelemahan lawan untuk dijatuhkan.
Demikian pula setan. la selalu mencari kesalahan/kelemahan orang-orang beriman untuk kemudian digelincirkan dengan segala macam cara.
Nah, jika kita telah mengetahui kesalahan/kelemahan kita, entah dari kawan, lawan, bahkan dari setan, lalu kita memperbaiki diri, insya Allah kita akan menjadi orang baik dan sukses. Jadi, kalau kita berpikir positif, ada juga hikmahnya setan itu buat orang-orang beriman.
Lebih rinci, di antara hikmah diciptakannya setan ialah :
1. Untuk menguji keimanan dan komitmen manusia beriman terhadap perintah Allah.
Karena setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah pasti akan diuji (QS. 29:2). Jika dengan godaan setan seorang mukmin tetap istiqamah dengan keimanannya, maka derajatnya akan ditinggikan oleh Allah Ta'ala dan hidupnya akan bahagia. Tetapi jika ia tergoda dan mengikuti ajakan setan, derajatnya akan jatuh, hina kedudukannya dan dipersulit hidupnya oleh Allah. (QS. 41 : 30-31).
2. Menguji keikhlasan manusia beriman dalam mengabdi kepada Allah Ta'ala.
Allah Ta'ala menjelaskan bahwa Dia menciptakan jin dan manusia tidak lain supaya mereka mengabdi kepada-Nya (QS. 51 : 56). Kemudian setan datang menggoda manusia, membangkit-bangkitkan syahwat kepada kenikmatan duniawi, rnembisikkan ke dalam hatinya angan-angan kosong dan keraguan, supaya manusia lupa terhadap tujuan dan tugas hidupnya di dunia. Jika manusia tetap sadar akan tujuan dan tugas hidupnya di dunia, dia akan tetap ridha menjadi hamba Allah Ta'ala dan mengabdi kepada-Nya. Terhadap hamba Allah seperti ini, setan tidak akan mampu menggodanya (QS. 15 : 40). Tetapi jika manusia tergoda, pada gilirannya ia akan menjadi hamba setan.
3. Untuk meningkatkan perjuangan di jalan Allah.
Sebab tanpa ada setan yang memusuhi kebenaran, maka tidak akan ada semangat perjuangan (jihad) untuk mempertahankan kebenaran. Dan sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Al Jazairi dalam Minhajul Muslim-nya bahwa salah satu bentuk jihad adalah jihad melawan setan. Ini merupakan sebuah tantangan yang cukup berat bagi orang yang beriman dalam mempertahankan komitmen keimanannya.
4. Allah Ta'ala hendak memberi pahala yang lebih besar kepada para hamba-Nya.
Semakin besar godaan setan kepada manusia dan dia mampu menghadapinya dengan baik, maka semakin besar pahalanya di sisi Allah Ta'ala.
5. Agar manusia waspada setiap saat, selalu memperbaiki kesalahan, meningkatkan kualitas ibadah dengan bertaqarrub kepada Allah Ta'ala.
Karena setan senantiasa mengintai kelengahan manusia. Sekejap saja manusia lengah, setan akan masuk, lalu mengacaukan hati dan syahwat. Tapi orang yang selalu waspada, akan senantiasa ingat kepada Allah sehingga setan tidak punya kesempatan untuk mengganggunya.
Jadi, bagi orang yang sudah kuat imannya, gangguan setan itu tidak akan merusak ibadahnya. tetapi malah mempertinggi kualitas iman dan ibadahnya. Masalahnya, tayangan-tayangan setan yang makin marak di televisi, tidak ditonton oleh mereka yang telah kuat imannya, melainkan oleh masyarakat dari berbagai lapisan umur dan kadar iman yang terbanyak masih memerlukan bimbingan. Bagi mereka ini, tayangan-tayangan itu sangat kontra produktif, bahkan bisa mendangkalkan iman mereka. (diadaptasi dari swaramuslim). Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Berinfaq Untuk Orang Tua Yang Sudah Meninggal Dunia
Bolehkah kita berinfaq lalu pahalanya kita berikan kepada orang tua yang sudah meninggal dunia? (081540889XXX)
Jawab:
Berinfaq atas nama orang tua yang sudah meninggal dunia termasuk amalan mulia dan disyariatkan dalam Islam, baik sedekah tersebut dalam bentuk uang maupun barang atau benda yang bermanfaat bagi orang banyak, semisal membuat sumur, mewakafkan buku-buku agama, mushaf Al Qur'an, meja belajar, peralatan sholat dan lain-lain. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah 9/25).
Adapun dalil diperbolehkannya bersedekah atas nama orang tua yang telah meninggal dunia adalah:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ سَعْدًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَلَمْ تُوصِ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
"Dari Ibnu Abbas bahwa Saad bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam : "Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan tidak berwasiat, apakah aku boleh bersedekah atas namanya?" Beliau menjawab: "Ya." (HR. Nasa'i No 3654, dishahihkan oleh Syeikh Albani)
Dan sedekah atas nama orang tua yang meninggal dunia ini akan bermanfaat bagi orang yang telah meninggal dunia tersebut berdasarkan ijma' (kesepakatan) para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah 9/27). Jika sedekah ini tidak bermanfaat bagi orang yang telah meninggal dunia maka tidak ada manfaatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan Saad bin Ubadah untuk bersedekah atas nama ibunya sebagaimana dikisahkan dalam hadits diatas, padahal setiap tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pasti memiliki manfaat dan tidak mungkin sia-sia belaka. Wallahu A'lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Perihal Mentalkinkan Mayat Di Kuburan
Larangan mentalqinkan mayit setelah dikuburkan itu terdapat disurat apa dan ayat berapa? (Suwito, Way Abung)
Jawab:
Mengenai larangan mentalqinkan mayit setelah dikuburkan tidak terdapat di dalam al Qur'an, dan juga secara tekstual juga tidak kita dapatkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Namun larangan mentalqinkan mayit setelah dikuburkan ini merupakan kesimpulan para ulama yang didasarkan pada amaliyah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam memprosesi jenazah sejak meninggal sampai dikuburkan, dimana tidak didapati bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melakukan hal tersebut padahal ini merupakan ibadah dan ibadah tidak boleh kita lakukan kecuali ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .
Maka ketika kita tidak mendapati adanya tuntunan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang mentalqinkan mayit setelah dikuburkan berarti ini termasuk amalan yang tidak boleh dilakukan. Jika tetap dilakukan maka ini termasuk perbuatan bid'ah yang diada-adakan dalam Dien. Sementara setiap bid'ah adalah sesat sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabda beliau :
َإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku maka ia akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham (kalian). Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena setiap perkara yang baru (dalam persoalan agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud No 4607, dishahihkan oleh Syeikh Albani)
(Lihat Fatawa Arkanil Islam, Syeikh Utsaimin : 404)
www.info-iman.blogspot.com
Minggu, 21 September 2008
Bershadaqoh Melebihi Kadar Zakat
Bagaimana jika seseorang bershodaqoh melebihi kadar zakat yang semestinya harus dikeluarkan, apakah ia masih harus mengeluarkan zakat lagi? (Sugiman, Lampung Barat)
Jawab:
Jika seseorang ketika mengeluarkan harta dengan niat sebagai infaq atau shodaqoh, maka jatuhnya harta yang ia keluarkan tersebut adalah infaq atau shodaqoh, bukan zakat, meskipun kadarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar zakat yang harus ia keluarkan. Maka ia harus mengeluarkan harta lagi dengan niat khusus sebagai zakat dengan kadar yang telah ditentukan oleh syariat.
Hal ini dikarenakan setiap amalan itu tergantung pada niatnya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari No 1)
www.info-iman.blogspot.com
Zakat Mal Untuk Masjid
Apakah sebagian zakat mal saya dapat diberikan ke masjid? (Samsul Arif, Bandar Lampung)
Jawab:
Ketika ditanya demikian Syeikh Sholeh Utsaimin menjelaskan: Pembelanjaan (penyaluran) zakat tidak boleh dilakukan kecuali kepada delapan golongan yang telah disebutkan oleh Allah, karena Allah menyebutkan hal itu dengan pola pembatasan yakni dengan ‘innama’, Allah ta'ala berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ {60}
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah ; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [At-Taubah : 60]
Sehingga tidak boleh dibelanjakan untuk pembangunan masjid dan semacamnya lantaran pembangunan masjid tidak masuk dalam lingkup kandungan makna firman Allah Subahanhu wa Ta’ala ‘wa fi sabilillah’ , karena makna yang dipaparkan oleh para mufasir (ahli tafsir) sebagai tafsir dari ayat ini adalah jihad fi sabilillah. Karena jika kita katakan, ‘Sesungguhnya yang dimaksud dari fi sabilillah adalah semua yang mengarah kepada kebaikan maka pembatasan pada firmanNya:
“Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir….”
menjadi tidak ada gunannya, padahal sebuah pembatasan seperti yang diketahui adalah penetapan hukum pada hal yang disebutkan dan menafikan selainnya. Apabila kita katakan, ‘Sesunnguhnya ‘wa fi sabilillah’ adalah semua jalan kebaikan, maka ayat itu menjadi tidak berguna, berkenaan dengan asal kata ‘innama’ yang menunjukan adanya pembatasan.
Kemudian, sesungguhnya di dalam kebolehan pembelanjaan zakat untuk pembangunan masjid dan jalan-jalan kebaikan lainnya terdapat penelantaran kebaikan, karena sebagian besar manusia dikalahkan oleh kekikiran dirinya. Apabila mereka melihat bahwa pembangunan masjid dan jalan-jalan kebaikannya boleh dijadikan tujuan penyaluran zakat, maka mereka akan menyalurkan zakat mereka ke sana, sedangkan orang-orang fakir dan miskin tetap dihimpit kefakiran selamanya (lantaran mereka tidak mendapatkan bagian dari zakat).
[Lihat kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, (edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah), Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka Arafah]
www.info-iman.blogspot.com
Sabtu, 20 September 2008
Zakat Anak Kepada Orang Tuanya
Apakah boleh seorang anak membayar zakat kepada orang tuanya?
Jawab:
Ketika ditanya tentang hal demikian, Syeikh Bin Bazz menjelaskan: “Seorang muslim tidak boleh mengeluarkan zakat untuk diberikan kepada kedua orang tuanya, juga tidak boleh mengeluarkan zakat untuk diberikan kepada anak-anaknya, akan tetapi hendaknya seseorang memberi nafkah kepada kedua orang tua dan kepada anak-anaknya dari hartanya jika mereka membutuhkannya, demikian ini jika ia memang mampu memberi infaq kepada mereka.[Fatawa Al-Mar'ah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/44]
www.info-iman.blogspot.com
Bertayammum Ketika Sakit Dan Cuaca Dingin
Ditempat saya cuacanya sangat dingin, sedang saya dalam kondisi tidak sehat, ketika junub saya hanya bertayammum, apakah ini tidak salah? (081379009XXX)
Jawab:
Jika memang demikian keadaannya, maka tindakan anda sudah benar, tidak salah. Karena kondisi sakit merupakan salah satu udzur yang dibenarkan bagi seseorang untuk melakukan tayammum, apalagi ditambah cuaca yang begitu dingin, sehingga dikhawatirkan penyakitnya akan semakin parah jika ia menyentuh air.
Hal ini selaras dengan firman Allah ta'ala:
وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ {6}
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Surat Al Maidah : 6)
www.info-iman.blogspot.com
Wanita Haid Memotong Kuku dan Rambut
Adakah hadits yang menyatakan bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh memotong kuku dan rambut? (08197999XXX)
Jawab:
Tidak ada hadits shahih yang melarang wanita yang sedang haid untuk memotong kuku atau rambutnya. Yang ada adalah larangan bagi wanita haid untuk mengerjakan sholat dan puasa. Larangan ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
"Bukankah jika wanita sedang haidh tidak shalat dan tidak puasa" [HR. Bukhari No 298]
[Lihat At-Tanbihat, Syaikh Shalih Al-Fauzan, halaman : 213]
www.info-iman.blogspot.com
Waktu Membaca Doa Buka Puasa
Doa berbuka puasa dibaca sesudah atau sebelum makan atau minum (081321523XXX)
Jawab:
Doa buka puasa dibaca ketika kita akan berbuka puasa. Adapun doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kita ketika akan berbuka puasa adalah:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
"Hilanglah rasa dahaga, basah kembali urat-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah" (HR. Abu Daud No 3257)
www.info-iman.blogspot.com
Puasa dibulan Rajab
Apakah ada tuntunannya puasa rajab dan apa keutamaannya?
Jawab:
Tidak ada satupun hadits shahih yang menjelaskan tuntunan atau keutamaan melaksanakan puasa pada bulan Rajab. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh imam Ibnul Qayyim dalam Al-Manar Al-Munif hal : 96: “Setiap hadits yang menyebutkan tentang puasa Rajab dan sholat pada sebagian malamnya, merupakan kedustaan yang diada-adakan.”
Demikian pula pernyataan Al Faqih Majdudin Fairuz Abadi dalam Safar As-Sa’adah : 150.
www.info-iman.blogspot.com
Adzan Ketika Terjadi Musibah
Apakah disyari’atkan adzan jika dikhawatirkan akan terjadi tsunami, kebakaran atau musibah-musibah lainnya?
Jawab:
Adzan adalah lafadz-lafadz tertentu yang digunakan untuk menyeru kaum muslimin dan memberitahukan kepada mereka bahwa waktu sholat telah masuk, sehingga dengan mendengar suara tersebut kaum muslimin diharapkan segera datang ke arah sumber suara tersebut apakah dari masjid atau musholla untuk melaksanakan sholat-sholat wajib secara berjamaah
Ini adalah prinsip dasar disyariatkannya adzan. Oleh karenanya seseorang tidak boleh melakukan adzan diluar untuk memanggil sholat kecuali ada dalil yang menjelaskannya. Seperti adzan ditelinga kanan dari bayi yang baru dilahirkan, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
“Dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari bapaknya, ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengumandangkan adzan seperti adzan untuk sholat ditelinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya.” (HR. Abu Daud No 5105)
Meskipun hadits ini diperselisihkan keshahihannya dikalangan para ulama.
Sementara itu kita tidak mendapati dalil tentang disyariatkannya adzan ketika terjadi tsunami, atau kebakaran atau musibah-musibah lainnya termasuk kematian. Oleh karenanya hendaknya kita tidak ikut-ikutan orang lain dalam mengamalkan suatu amalan sehingga kita tidak terjebak dalam persoalan yuang tidak dituntunkan. Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Cara Menggenapkan Adzan Dan Mengganjilkan Iqamah
Didalam bab adzan diterangkan agar kita menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah? Bagaimanakah caranya? (Abbas)
Jawab:
Memang dalam kitab-kitab fiqih bab adzan kita dituntunkan untuk menggenapkan bilangan adzan dan mengganjilkan iqamah. Ini berdasarkan riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَأَنْ يُوتِرَ الْإِقَامَةَ
“Dari Anas ia berkata: “Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah. (HR. Bukhari No 580)
Adapun cara mempraktekkan apa yang diperintahkan kepada Bilal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini adalah sebagaimana yang digambarkan dalam riwayat berikut ini :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاقُوسِ يُعْمَلُ لِيُضْرَبَ بِهِ لِلنَّاسِ لِجَمْعِ الصَّلَاةِ طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوسًا فِي يَدِهِ فَقُلْتُ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَتَبِيعُ النَّاقُوسَ قَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهِ فَقُلْتُ نَدْعُو بِهِ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ أَفَلَا أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ فَقُلْتُ لَهُ بَلَى قَالَ فَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّي غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ قَالَ وَتَقُولُ إِذَا أَقَمْتَ الصَّلَاةَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا رَأَيْتُ فَقَالَ إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ
“Dari Abdullah bin Zaid ia berkata: “Dimasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan membunyikan lonceng untuk mengumpulkan orang-orang guna melaksanakan sholat, dikala aku tidur aku bermimpi melihat seorang laki-laki yang mengitariku sambil membawa sebuah lonceng ditangannnya.” Lalu aku bertanya: “Hai hamba Allah, apakah engkau akan menjual lonceng itu? ”Akan engkau pergunakan untuk apa lonceng ini?” tanyanya. ”Akan kami gunakan untuk memanggil orang-orang untuk sholat,” jawabku. Orang itu berkata: “Maukah engkau aku tunjukkan yang lebih baik dari itu?”. “Mau,” jawabku. Ia berkata: “Engkau ucapkanlah:
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Kemudian orang laki-laki itupun menjauhiku, lalu berkata: “Dan jika engkau mau iqamah maka ucapkanlah:
اللَّهُ أَكْبَرُ أَكْبَرُ
أَشْهَدُ اللَّهُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Dipagi harinya aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan aku ceritakan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam perihal mimpikiu tersebut. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya mimpi itu benar, insya Allah. Berdiri dan temuilah Bilal, lalu ajarkanlah kepadanya (lafadz-lafadz) yang ada dalam mimpimu supaya ia mengumandangnkan adzan dengannya karena ia lebih keras dan nyaring suaranya daripada engkau.” (HR. Abu Daud No 499 dan Ahmad No 16042, menurut Syeikh Albani hasan shahih)
www.info-iman.blogspot.com
Jumat, 19 September 2008
Kirim Al Fatihah Kepada Arwah Orang Yang Telah Meninggal Dunia
Adakah dalilnya kirim al fatihah kepada arwah orang yang telah meninggal dunia?
Jawab:
Syeikh Abdul Aziz bin Bazz pernah ditanya dengan pertanyaan yang serupa, dan beliau menjawab: “Perbuatan ini dan yang serupa itu tidak ada asalnya, tidak diketahui bahwa itu berasal dari Nabi Shallalahu 'alaihi wasallam dan tidak diriwayatkan pula dari sahabat beliau Shallalahu 'alaihi wasallam bahwa mereka membacakan Al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal dunia, bahkan Nabi Shallalahu 'alaihi wasallam telah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka itu tertolak” [Dikeluarkan oleh Muslim dalam Al-Aqdhiyyah (18-1718)
Disebutkan dalam Ash-Shahihain, dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallalahu 'alaihi wasallam beliau bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunannya) padanya, maka ia tertolak” [Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697), Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718)]
Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Jabir bahwa dalam salah satu khutbah Jum’at Nabi Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-sebaik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Shallalahu 'alaihi wasallam, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru (bid’ah)adalah sesat” [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Jumu’ah 867]
An-Nasa’i menambahkan pada riwayat ini dengan isnad shahih:
وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka” [Hadits Riwayat Nasa’i dalam Al-Idain 1578, dishahihkan oleh Syeikh Albani]
Adapun bersedekah atas nama si mayat dan mendo’akannya, bisa berguna baginya dan sampai kepadanya menurut ijma’ kaum msulimin. Hanya Allah-lah yang kuasa memberi petunjuk dan Hanya Allah-lah tempat meminta. [Kitab Ad-Da’wah, Juz 1, hal.215, Syaikh Ibnu Baz]
www.info-iman.blogspot.com
Mendengar Adzan Atau Meneruskan Bacaan Al Qur’an
Jika ketika kita sedang membaca Al Qur’an di rumah, tiba-tiba terdengar suara adzan, mana yang lebih utama di lakukan, menjawab adzan atau meneruskan bacaan Al Qur’an? (081379098XXX)
Jawab:
Jika kita sedang membaca Al Qur’an baik dirumah ataupun di masjid lalu kita mendengar adzan dikumandangkan, maka hendaknya kita menyelesaikan ayat yang kita baca lalu mendengarkan sang muadzin dan menjawab adzan sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
َ إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
“Jika kalian mendengar adzan maka ucapkanlah apa-apa yang diucapkan oleh sang muadzin.” (HR. Bukhari No 586)
www.info-iman.blogspot.com
Menjawab Adzan Ketika Sedang Berjalan Menuju Masjid
Apabila kita menuju masjid lalu dijalan kita mendengarkan adzan, apakah kita harus menjawabnya? (M. Rohli, Way Kandis Bandar Lampung)
Jawab:
Menjawab adzan adalah suatu amalan sunnah yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat yang shahih:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian mendengar seorang muadzin (sedang mengumandangkan adzan) maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan, kemudian bersholawatlah kalian untukku karena sesungguhnya barangsiapa yang sekali bersholawat untukku maka Allah akan bersholawat untuknya sepuluh kali, kemudian mohonkanlah kepada Allah “Al wasilah” untukku, karena sesungguhnya al wasilah itu adalah sebuah kedudukan di jannah yang tidak patut diberikan kecuali kepada seorang hamba Allah dan aku berharap akulah yang mendapatkannya, maka barangsiapa yang memohonkan al wasilah untukku maka halal baginya syafaatku.” (HR. Muslim No 384)
Apabila kita sedang berada di rumah atau sedang di pasar, atau sedang dikantor, di kebun dan ditempat-tempat lainnya, atau kita sedang berjalan menuju masjid lalu kita mendengar adzan sedang dikumandangkan, maka kita disunnahkan untuk menjawab adzan tersebut, sebagaimana dianjurkan dalam hadits shahih di atas. Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com
Kamis, 18 September 2008
Status Ibu Mertua Setelah Istri Meninggal Dunia
Bagaimana hubungan ibu mertua dengan kita bila istri kita telah meninggal dunia, apakah beliau masih termasuk mahram? (081369041XXX)
Jawab:
Ibu mertua adalah merupakan salah satu dari wanita yang haram dinikahi kerena sebab pernikahan untuk selama lamanya. Sehingga kendatipun istri kita sudah meninggal dunia atau masih hidup namun sudah dicerai, ibu mertua tetap menjadi mahram bagi kita. Hal ini berdasarkan pada keumuman firman Allah ta’ala :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua).” (Surat An Nisa; 23)
www.info-iman.blogspot.com
Apa dan Siapa Mahram Itu?
Apakah yang dimaksud dengan mahram? Dan siapa sajakah mereka itu? (081540926XXX)
Jawab:
Pengertian mahram menurut Imam Ibnu Qudamah adalah: “Semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab (keturunan) persusuan dan pernikahan.” (Al Mughni 6/555. Lihat juga Tanbihat Alal Ahkam Takhtassu bil Mukminat, Syekh Sholih Al Fauzan : 67).
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa mahram mencakup tiga macam, karena sebab keturunan, persususan dan pernikahan. Adapun perinciannya adalah:
Mahram karena nasab (keturunan).
Bapak. Termasuk kategari bapak adalah kakek, baik kakek dari bapak maupun dari pihak ibu. Adapun bapak angkat bukan termasuk mahram, ia adalah orang asing seperti laki-laki asing pada umumnya.
Anak laki-laki. Termasuk kategori anak laki-laki adalah cucu, baik cucu dari anak laki-laki maupun cucu dari anak perempuan.
Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki kandung, maupun seayah atau seibu saja.
Anak laki-laki dari saudara (keponakan) baik keponakan dari saudara laki-laki maupun perempuan dan anak keturunan mereka.
Paman, baik paman dari bapak maupun paman dari ibu.
Adapun dalil dari point mahram karena sebab nasab ini adalah firman Allah ta’ala :
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّمَاظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka.” (Surat An Nuur : 31)
Mahram karena persusuan.
Bapak persusuan (suami dari ibu/wanita yang menyusuinya) terus keatas.
Anak laki-laki dari ibu susu, termasuk cucu dan anak keturunannya.
Saudara laki-laki sepersusuan.
Keponakan sepersusuan (anak saudara sepersusuan)
Paman persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu)
Adapun dalil hubungan mahram dari hubungan persusuan adalah firman Allah ta’ala :
وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ
“(Diharamkan atas kamu (mengawini)) ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.” (Suarat An Nisa : 23)
Adapun dalil dari hadits adalah dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يُحْرَمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يُحْرَمُ مِنَ النَّسَبِ
“Diharamkan karena sebab persusuan apa-apa yang diharamkan karena sebab nasab (hubungan darah).” (HR. Bukhari N0 2645)
Mahram karena pernikahan.
Bapak mertua (bapak dari suami). Termasuk kakek dari suami dan terus keatas.
Anak tiri, termasuk cucu tiri dan terus kebawah.
Bapak tiri (suami ibu tapi bukan bapak kandungnya, jika bapak tiri tersebut sudah menggauli ibunya)
Menantu laki-laki (suami dari putri kandungnya)
Adapun dalil-dalil tentang mahram yang disebabkan karena pernikahan ini adalah firman Allah ta’ala :
وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ
“Dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka.” (Surat An Nuur : 31)
وَلاَتَنكِحُوا مَانَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ النِّسَآءِ إِلاَّ مَاقَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَآءَ سَبِيلاً {22}
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (Surat An Nisaa : 22)
وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبُكُمُ الاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ الاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلآَئِلُ أَبْنَآئِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
“(Diharamkan atas kamu (mengawini)) ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu).” (Surat An Nisaa : 23)
www.info-iman.blogspot.com
Perihal Menikah Setelah Berzina
Apakah yang harus dilakukan terlebih dahulu jika seseorang telah berzina lalu ia hamil dan anaknya lahir, apakah orang tuanya harus menikah dulu atau mengaqiqahi dan memberi nama anaknya? (081540881XXX)
Jawab:
Berzina adalah perbuatan dosa besar yang harus dijauhi dan ditinggalkan. Allah ta’ala telah memperingatkan akan hal ini sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”(Surat Al Isra : 32)
Jika seseorang berzina, lalu akibat perzinaan tersebut ia hamil, maka ia tidak boleh untuk menikah, baik menikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau laki-laki lain, sehingga ia melahirkan janin yang dikandungnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Surat At-Thalaq : 4)
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala :
وَلاَ تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ {235}
”Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya.” (QS. Al-Baqarah : 235).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini berkata: Yaitu jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas 'iddah-nya. Kemudian beliau berkata : Dan para 'ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa 'iddah. (Lihat : Al-Mughny 11/227, Takmilah Al-Majmu' 17/347-348, Al-Muhalla 10/263 dan Zadul Ma'ad 5/156.)
Jika ia sudah melahirkan, mana yang harus didahulukan apakah orang tuanya menikah terlebih dahulu atau mengaqiqahi anaknya terlebih dahulu itu tergantung keadaan. Jika ia mau langsung menikah diperbolehkan karena tidak ada penghalang secara syar’i yang melarangnya, yang jelas pada hari ketujuh jika ia mampu hendaknya ia mengaqiqahi anaknya, jika bayinya laki-laki maka ia sembelihkan dua ekor kambing, dan jika bayinya perempuan maka ia sembelihkan seekor kambing. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ أُمِّ كُرْزٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ لَا يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ أَمْ إِنَاثًا
“Dari Umi Kurzin bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “(Aqiqah) bagi anak laki-laki berupa dua ekor kambing dan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing, tidak mengapa bagi kalian, apakah hewan tersebut berkelamin jantan atau betina.” (HR. Nasa’i No 4218 dan dishahihkan oleh Albani)
Pendek kata, tidak ada keharusan untuk mendahulukan menikah dari aqiqah atau sebaliknya. Artinya jika sebelum hari ketujuh bisa melaksanakan aqad nikah, maka silakan dilaksanakan. Namun jika sampai hari ketujuh belum bisa dilaksanakan maka pada hari ketujuh tersebut sebaiknya ia mengaqiqahi anaknya terlebih dahulu, ini jika ia mampu melaksanakannya. Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showab
www.info-iman.blogspot.com
Syafaat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Pada Hari Kiamat
Benarkah di hari kiamat nanti tidak ada syafaat dari Rasul? (Sumardiyanto, Metro)
Jawab:
Dihari kiamat nanti beliau Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam dapat memberikan syafa’at kepada umatnya, bahkan paman beliaupun mendapat syafa’at dengan diringankan adzabnya oleh Allah ta'ala .
Untuk lebih jelasnya, kita ikuti penjelasan Syeikh Sholih Al Utsaimin tentang syafaat, beliau berkata:
Kata as-syafa’ah diambil dari kata as-syaf’u yang artinya adalah lawan dari kata al-witru (ganjil), yaitu menjadikan yang ganjil menjadi genap (as-syaf’u), seperti anda menjadikan satu menjadi dua dan tiga menjadi empat. Demikian menurut arti “lughawinya” (makna secara etimologis/bahasa).
Adapun menurut istilah, syafa’at adalah penengah (perantara) bagi yang lain dengan mendatangkan suatu kemanfaatan atau menolak suatu kemudharatan. Maksudnya, syafi’ (pemberi syafa’at) itu berada di antara masyfu’ lahu (yang diberi syafa’at) dan masyfu’ ilaih (syafa’at yang diberikan) sebagai wasithah (perantara) untuk mendatangkan keuntungan (manfaat) bagi masyfu’ lahu atau menolak mudharat darinya.
Syafa’at Itu Ada Dua Macam
PERTAMA: SYAFAAT TSABITAH SHAHIHAH (yang tetap dan benar),
yaitu yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya atau yang ditetapkan oleh RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syafa’at ini hanya bagi ‘Ahlut Tauhid wal Ikhlas’, karena Abu Hurairah pernah bertanya kepada Nabi : “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafa’at baginda ?” Beliau menjawab:
“Orang yang mengatakan Laa ilaaha illallah secara ikhlas (murni) dari kalbunya”.
Syafa’at ini bisa diperoleh dengan adanya tiga syarat, yaitu:
Pertama : Keridhaan Allah terhadap yang memberi syafa’at (syafi’)
Kedua : Keridhaan Allah terhadap yang diberi syafa’at (masyfu’ lahu)
Ketiga : Izin Allah Ta’ala bagi syafi’ untuk memberi syafa’at.
Syarat-syarat ini secara global terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لاَتُغْنِى شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلاَّ مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرْضَى {26}
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai(Nya)” [An-Najm: 26]
Kemudian diperinci oleh firmanNya.
مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” [Al-Baqarah : 255]
يَوْمَئِذٍ لاَتَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً {109}
“Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya dan Dia telah meridhai perkataanNya” [Thaha : 109]
وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى {28}
“Mereka tidak bisa memberi syafa’at kecuali kepada orang yang diridhai oleh Allah” [Al-Anbiya : 28]
Ketiga syarat ini harus ada untuk bisa memperoleh suatu syafa’at.
Selanjutnya para ulama –Rahimahullah- membagi syafa’at ini menjadi dua macam:
Pertama : Syafa’at ‘Ammah (syafa’at yang bersifat umum).
Arti umum disini bahwa Allah Ta’ala mengizinkan siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hambaNya yang shalih untuk memberikan syafa’at kepada orang yang juga diizinkan oleh Allah untuk memperoleh syafa’at.
Syafa’at semacam ini bisa didapatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain beliau dari para Nabi yang lain, shidiqqin, syuhada’ dan shalihin. Yaitu bisa berupa syafa’at kepada penghuni naar dari kalangan orang beriman yang bermaksiat agar mereka bisa keluar dari neraka.
Kedua : Syafa’ah Khasshah (syafa’at yang bersifat khusus).
Syafa’at ini khusus dimiliki oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan syafa’at yang paling agung. Syafa’at yang paling agung ini adalah syafa’at pada hari kiamat ketika manusia tertimpa kesedihan dan kesukaran yang tidak mampu mereka pikul, kemudian mereka meminta orang yang bisa memohonkan syafa’at kepada Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan mereka dari keadaan yang demikian itu.
Mereka datang kepada Adam, kemudian kepada Nuh, kemudian Ibrahim, Musa dan Isa --‘alaihimus salam--, namun mereka semua tidak bisa memberi syafa’at, sehingga akhirnya meminta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliaupun bangkit untuk memohonkan syafa’at di sisi Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan hamba-hambaNya dari keadaan seperti ini. Allah mengabulkan do’a beliau dan menerima syafa’atnya. Ini merupakan termasuk Al-maqam Al-Mahmud (tempat yang terpuji) yang telah dijanjikan oleh Allah dan firmanNya.
وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu ; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” [Al-Isra’ : 79]
Diantara syafa’at khusus dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah syafa’at beliau terhadap ahlul jannah untuk masuk jannah. Karena ahlul jannah itu ketika melewati shirath, mereka diberhentikan di atas jembatan antara jannah dan naar, lalu hati mereka satu sama lain disucikan sehingga menjadi suci, kemudian barulah diizinkan masuk jannah dan dibukakan untuk mereka pintunya dengan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
KEDUA: SYAFAAT BATHILAH (syafa’at yang batil).
Yaitu syafa’at yang tidak akan bisa memberi manfaat. Itulah syafa’at yang jadi anggapan orang-orang musyrik berupa syafa’at dari ilah-ilah mereka yang dianggap bisa menyelamatkan mereka di sisi Allah Azza wa Jalla. Syafa’at ini sama sekali tidak akan memberikan manfaat kepada mereka. Allah Ta’ala berfirman.
فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at” [Al-Muddatsir : 48]
Itu karena Allah tidak ridha terhadap kemusyrikan orang-orang musyrik tersebut dan tidak mungkin mengizinkan kepada siapapun untuk mensyafa’ati mereka, karena tiada syafa’at kecuali bagi orang-orang yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla. Allah tidak ridha akan kekufuran bagi hamba-hambaNya dan tidak menyukai kerusakan. Ketergantungan orang-orang musyrik terhadap ilah-ilah mereka yang mereka ibadahi serta mengatakan : “(Mereka adalah para pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah), adalah ketergantungan yang batil yang tidak bermanfaat”. Bahkan hal ini tidak akan menambah mereka di sisi Allah melainkan kejauhan. Orang-orang musyrik mengharap syafa’at dari berhala-berhala mereka dengan cara yang batil, yaitu dengan mengibadahi berhala-berhala ini, yang merupakan kebodohan mereka yang berupa usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang justru malah semakin menjauhkan mereka dari Allah.
[Fatawa Anil Iman wa Arkaniha, yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud, (edisi Indonesia Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Pustaka At-Tibyan)]
www.info-iman.blogspot.com
Hukum Menghadiri Perayaan Natal
Apakah boleh menghadiri perayaan natal dan mengucapkan selamat Natal kepada orang-orang Kristen?
Jawab:
Tidak diperbolehkan menghadiri acara natalan atau mengucapkan selamat hari natal kepada orang-orang yang merayakannya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –rahimahullah- ditanya : Bagaimana hukum mengucapkan “Merry Christmas” (Selamat Natal) kepada orang-orang Kafir? Bagaimana pula memberikan jawaban kepada mereka bila mereka mengucapkannya kepada kita? Apakah boleh pergi ke tempat-tempat pesta yang mengadakan acara seperti ini? Apakah seseorang berdosa, bila melakukan sesuatu dari yang disebutkan tadi tanpa sengaja (maksud yang sebenarnya) namun dia melakukannya hanya untuk berbasa-basi, malu, nggak enak perasaan atau sebab-sebab lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka di dalam hal itu?
Lalu beliau menjawab:
Mengucapkan “Merry Christmas” (Selamat Natal) atau perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang Kafir adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama (Ijma’). Hal ini sebagaimana dinukil dari Ibn al-Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya “Ahkâm Ahl adz-Dzimmah”, beliau berkata:
“Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap Hari-Hari besar mereka dan puasa mereka, sembari mengucapkan, ‘Semoga Hari raya anda diberkahi’ atau anda yang diberikan ucapan selamat berkenaan dengan perayaan hari besarnya itu dan semisalnya. Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya dapat lolos dari kekufuran, maka dia tidak akan lolos dari melakukan hal-hal yang diharamkan. Ucapan semacam ini setara dengan ucapannya terhadap perbuatan sujud terhadap Salib bahkan lebih besar dari itu dosanya di sisi Allah. Dan amat dimurka lagi bila memberikan selamat atas minum-minum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan dan sebagainya. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut. Jadi, barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena melakukan suatu maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi Kemurkaan Allah dan Kemarahan-Nya.”
Mengenai kenapa Ibnu al-Qayyim sampai menyatakan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang Kafir berkenaan dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka haram dan posisinya demikian, karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran yang mereka lakukan dan meridlai hal itu dilakukan mereka sekalipun dirinya sendiri tidak rela terhadap kekufuran itu, akan tetapi adalah HARAM bagi seorang Muslim meridlai syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat kepada orang lain berkenaan dengannya karena Allah Ta’ala tidak meridlai hal itu, sebagaimana dalam firman-Nya:
إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلاَيَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ {7}
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” [Az-Zumar:7]
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” [Al-Ma`idah :3]
Jadi, mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengan hal itu adalah haram, baik mereka itu rekan-rekan satu pekerjaan dengan seseorang (Muslim) ataupun tidak.
Bila mereka mengucapkan selamat berkenaan dengan hari-hari besar mereka kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari besar itu bukanlah hari-hari besar kita. Juga karena ia adalah hari besar yang tidak diridlai Allah Ta’ala; baik disebabkan perbuatan mengada-ada ataupun disyari’atkan di dalam agama mereka akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dienul Islam yang dengannya Nabi Muhammad Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam diutus Allah kepada seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ اْلأِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ {85}
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran :85]
Karena itu, hukum bagi seorang Muslim yang memenuhi undangan mereka berkenaan dengan hal itu adalah HARAM karena lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengannya. Memenuhi undangan tersebut mengandung makna ikut berpartisipasi bersama mereka di dalamnya.
Demikian pula, haram hukumnya bagi kaum Muslimin menyerupai orang-orang Kafir, seperti mengadakan pesta-pesta berkenaan dengan hari besar mereka tersebut, saling berbagi hadiah, membagi-bagikan manisan, hidangan makanan, meliburkan pekerjaan dan semisalnya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [Hadits Riwayat Abu Daud No 4031]
Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata di dalam kitabnya Iqtidlâ` ash-Shirâth al-Mustaqîm, Mukhâlafah Ashhâb al-Jahîm:
“Menyerupai mereka di dalam sebagian hari-hari besar mereka mengandung konsekuensi timbulnya rasa senang di hati mereka atas kebatilan yang mereka lakukan, dan barangkali hal itu membuat mereka antusias untuk mencari-cari kesempatan (dalam kesempitan) dan mengihinakan kaum lemah (iman).”
Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah berdosa, baik melakukannya karena berbasa-basi, ingin mendapatkan simpati, rasa malu atau sebab-sebab lainnya karena ia termasuk bentuk peremehan terhadap Dienullah dan merupakan sebab hati orang-orang kafir menjadi kuat dan bangga terhadap agama mereka.
Kepada Allah kita memohon agar memuliakan kaum Muslimin dengan dien mereka, menganugerahkan kemantapan hati dan memberikan pertolongan kepada mereka terhadap musuh-musuh mereka, sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
[Disalin dari Majmû’ Fatâwa Fadlîlah asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, Jilid.III, h.44-46, No.403]
www.info-iman.blogspot.com
Haid Datang Ketika Sedang Puasa Syawwal
Bagaimana hukum seorang wanita yang melakukan puasa syawal namun tidak lengkap 6 hari karena haid?
Jawab:
Sebenarnya untuk melakukan puasa syawal, tidak diharuskan seseorang itu melakukannya secara berturut-turut. Yang penting puasa itu dilakukan selama bulan syawal. Sehingga masing-masing dari kita hendaknya dapat mengatur waktunya sedemikian rupa supaya kita dapat menyempurnakan puasa sunnah ini sebelum habis waktunya.
Terlebih lagi bagi seorang wanita, dimana ia mesti harus membayar terlebih dahulu puasa ramadhan yang ditinggalkan pada bulan ramadhan lantaran haid, maka ia harus benar-benar cermat berhitung sehingga disamping ia dapat membayar hutang puasanya, iapun dapat menyempurnakannya dengan puasa enam hari dibulan syawwal.
Jika ketika ia sedang melaksanakan puasa enam hari dibulan syawwal kemudian haidnya datang, maka praktis ia harus membatalkan puasa pada hari tersebut, namun puasa yang belum ia sempurnakan ini tidak bisa di qadha pada hari yang lain, kecuali jika bulan syawwal masih tersisa. Namun ia akan tetap mendapat pahala puasa pada hari-hari sebelum haidnya datang. Wallahu A'lam Bish Showab.
www.info-iman.blogspot.com