Rukun
Berdasarkan definisi di atas, maka ulama membagi rukun I’tikaf menjadi tiga, yaitu niat, tempat, dan diam.
Mengenai niat, meskipun seseorang berdiam di masjid dan beribadah tetapi tidak berniat I’tikaf, maka tidak ada pahala I’tikaf di atasnya. Yang ada hanya pahala atas amalan ibadahnya saja. Demikian pula bila terjadi hal yang membatalkan I’tikaf, bila ingin menyambung kembali I’tikafnya harus berniat kembali.
Mengenai tempat untuk I’tikaf, yaitu masjid, maka para ulama berbeda pendapat mengenai masjid yang dapat dipakai untuk I’tikaf ini. Secara umum masjid didefiniskan sebagai setiap tempat yang khusus beribadah sholat di dalamnya. Jadi musholla termasuk juga sebagai kategori masjid. Menurut Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsur, I’tikaf boleh dilakukan pada masjid yang di dalamnya senantiasa digunakan untuk sholat lima waktu berjamaah. Namun menurut Malik, Syafi’I dan Daud boleh di masjid apa pun karena tidak ada dalil yang jelas untuk memberikan pengkhususan seperti ini.
Sedangkan diam berarti tetap di dalam masjid, keluar dari masjid dapat membatalkan I’tikaf. Adapun yang termasuk dalam bagian masjid sebagian ulama berpendapat bahwa itu adalah tempat yang biasa dipakai untuk sholat saja. Sedangkan menurut Hanafi, Syafi’I dan Ahmad, pekarangan atau halaman masjid termasuk masjid sehingga tdak membatalkan I’tikaf bila kita berada di sana.
Waktu
Dalam I’tikaf sebenarnya tidak ada batasan waktu. I’tikaf di dalam masjid bisa sebentar (beberapa jam) atau pun sampai bermalam, tergantung dari niatnya. Rasulullah biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir (bermalam) pada bulan Ramadhan.
“Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR Bukhari Muslim)
“Dan daripadanya (Aisyah r.ha.), ia berkata: “Bahwasanya Nabi saw apabila hendak beri’tikaf beliau sholat fajar, kemudian masuk ke tempat I’tikafnya.” (HR Bukhari Muslim)
Syarat
Seseorang yang beri’tikaf haruslah memenuhi syarat: Muslim, mumayyiz (mampu membedakan mana yang baik dan buruk), suci dari jinabah, haid dan nifas. Maka hal-hal yang menyalahi persyaratan di atas otomatis akan membatalkan I’tikaf seperti murtad, hilang ingatan, haidh, dan jima’.
Aktifitas I’tikaf
Disunnahkan dalam beri’tikaf untuk memperbanyak amalan sunnah di samping amalan yang wajib seperti tilawatil Qur’an, menghafalkan Al-Qur’an, memperbanyak dzikir, do’a, dan shalawat.
Termasuk pula aktifitas halaqoh ilmu, atau pun membaca kitab tafsir, hadits, fiqh maupun buku-buku keislaman lainnya. Sedangkan hal-hal yang dimakruhkan adalah menyibukkan diri dengan hal yang tidak bermanfaat baik melalui perkataan maupun perbuatan. Namun makruh juga menahan diri dari berbicara.
Di antara perbuatan yang diperbolehkan dalam I’tikaf antara lain:
Keluar dari tempat I’tikaf karena alas an yang mendesak seperti: Buang hajat, mandi, ta’ziah, makan, ujian, pamit kepada keluarga, dan lain-lain. Namun harus diingat agar kembali berniat jika hendak meneruskan I’tikaf kembali.
Makan, minum, dan tidur di dalam masjid juga diperbolehkan selama terjaga kebersihan dan ketentraman masjid.
I’tikaf Rasulullah
Rasulullah saw senantiasa melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, hingga saat meninggal dunia. Sekali beliau pernah meninggalkannya, tapi kemudian mengqodhonya pada bulan Syawal. Sekali beliau pernah I’tikaf pada 10 hari yang pertama, lalu pertengahan, lalu yang terakhir untuk mencari lailatul qadar. Lalu menjadi ketetapan bagi beliau pada sepuluh hari yang terakhir beliau senantiasa melakukannya sampai akhir hayat.
Beliau memerintahkan untuk mendirikan tenda di masjid lalu beliau berada di dalamnya, menyendiri bersama Allah. Jika hendak I’tikaf, beliau shalat fajar terlebih dahulu. Beliau juga memerintahkan pendirian tenda-tenda untuk istri-istri beliau. Setelah shalat subuh, beliau melihat kea rah tenda-tenda itu lalu memerintahkan untuk merobohkannya, Beliau I’tikaf sepuluh hari setiap tahunnya. Tapi pada tahun terakhir, beliau I’tikaf dua puluh hari.
Saat I’tikaf beliau memasuki kemahnya sendirian, tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan-keperluan yang bersifat manusiawi. Beliau pernah melongokkan kepala ke bilik Aisyah, lalu Aisyah menghampiri beliau dan membasuh kepala beliau di dalam masjid, sementara saat itu Aisyah sedang haidh.
Sebagian istri yang lain dating berkunjung saat beliau I’tikaf. Jika istri yang berkunjung ini bangkit untuk pulang, maka beliau ikut bangkit dan mengantarkannya hingga tiba di rumahnya. Saat itu waktunya malam hari.
Selagi melakukan I’tikaf, beliau tidak mencampuri istri-istrinya sekalipun hanya memeluknya. Jika sedang I’tikaf, kasur beliau pindah ke tempat I’tikafnya. Ketika sedang I’tikaf dan beliau keluar untuk keperlluannya, beliau melewati orang yang sedang sakit. Tapi beliau tidak menghampirinya dan juga tidak menanyakan keadaannya. Beliau juga pernah menggelar tikar sebagai alas ketika sedang I’tikaf.
Sumber: Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim Al-Jauziya;, Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq
www.info-iman.blogspot.com