Kaum Nahdliyin, walaupun dipimpin oleh para kiyai, tetapi sebagian dari mereka adalah awam, sehingga dalam menghadapi masalah furu’iyah yang muncul sering mereka termakan oleh isu-isu yang kurang pas (kurang sesuai) dengan dalil-dalil yang di pedomani oleh para ulama ahlissunnah wal jamaah. Maka dari itu perlu sekali para kiyai memberi penjelasan kepada umat NU mengenai aturan dalam bersyari’at, tidak dengan cara sekedar ikut-ikutan, tetapi dengan mengetahui dasar-dasar syari’at dengan memahami perbandingan madzhab yang ada, sehingga mereka yakin bahwa apa yang diamalkan itu baik dan benar sesuai dengan madzhab yang dianutnya.
Di anatara masalah furu’iyah yang muncul adalah : jika hari raya Idul Fitri atau Idul Adlha jatuh pada hari Jum’at. Apakah shalat Jum’at masih wajib bagi orang yang sudah melakukan shalat id atau tidak? Dengan pengertian mendapat rukhshah (keringanan untuk tidak melakukan shalat Jum’at).
Hal tersebut memang merupakan salah satu dari sekian banyak masalah khilafiyah (terdapat perbedaan pendapat di antara para imam madzhab) sebagaimana tercantum dalam kitab Rahmatul Ummah :
(فَصْلٌ) إِذَا اتَّفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ فَاْلأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْجُمْعَةَ لاَ تَسْقُطُ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ بِصَلاَةِ الْعِيْدِ، وَأَمَّا مَنْ حَضَرَ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَالرَّاجِحُ عِنْدَهُ سُقُوْطُهَا عَنْهُمْ فَإِذَا صَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ لَهُمْ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَيَتْرُكُوْا الْجُمْعَةَ. وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ بِوُجُوْبِ الْجُمْعَةِ عَلَى أَهْلِ الْبَلَدِ. وَقَالَ أَحْمَدُ لاَ تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى أَهْلِ الْقُرَى وَلاَ عَلَى أَهْلِ الْبَلَدِ، بَلْ يَسْقُطُ فَرْضُ الْجُمْعَةِ بِصَلاَةِ الْعِيْدِ وَيُصَلُّوْنَ الظُّهْرَ. وَقَالَ عَطَاءٌ: تَسْقُطُ الْجُمْعَةُ وَالظُّهْرُ مَعًا فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعِيْدِ إِلاَّ الْعَصْرَ. إه رحمة الأمة ص: 69
Maksud dari ibarat yang ada dalam kitab Rahmatul Ummah tersebut adalah apabila hari raya bertepatan dengan hari Jum’at, maka mengenai pelaksanaan shalat Jum’at dan shalat dzuhur bagi umat Islam yang telah menunaikan shalat id, itu para ulama madzhab berbeda pendapat :
1. Menurut madzhab Imam Syafi’i : Jum’atan wajib bagi seluruh ahlil balad, sedangkan bagi ahlil qaryah tidak wajib;
2. Menurut madzhab Imam Hanafi : Jum’atan wajib bagi seluruh ahlul balad;
3. Menurut madzhab Imam Hambali : tidak wajib Jum’atan bagi ahlil qaryah dan ahlil balad, mereka tetap wajib shalat dzuhur.
4. Menurut madzhab Imam Atho’ : Jum’atan dan shalat dzuhur keduanya tidak wajib bagi mereka yang telah menunaikan shalat id, mereka langsung melakukan shalat Ashar.
Perbedaan pendapat antara Imam-imam madzhab tersebut, karena peninjauannya masing-masing pada hadits nabi SAW. :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ. رواه أبو داود
وَفِيْ رِوَايَةٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَم قَالَ: صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ. رواه الخمسة إلا الترمذي
Maksud kedua hadits tersebut : karena pada hari itu terjadi dua hari raya (yaumul jum’at dan yaumul id), maka Nabi SAW. mempersilahkan bagi orang-orang yag telah menunaikan shalat id, jika ia menghendaki (مَنْ شَاءَ) untuk tidak mengikuti shalat Jum’at.
Pertanyaannya sekarang : Siapa yang dimaksuk dengan kata مَنْ شَاءَ dalam hadits tersebut? Apakah ditujukan kepada semua hadirin yang melaksanakan shalat id atau ditujukan kepada sebagian hadirin?
Mengenai hal ini, Imam Syafi’i menerangkan dalam kitab Al-Umm juz I hal. 212 sebagai berikut :
أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بن مُحَمَّدٍ قال أخبرنا إبْرَاهِيمُ بن عُقْبَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ: اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: من أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ فَلْيَجْلِسْ في غَيْرِ حَرَجٍ.
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِيْ عُبَيْدٍ مَوْلىَ ابْنِ أَزْهَرَ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيدَ مع عُثْمَانَ بن عَفَّانَ فَجَاءَ فَصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ فَخَطَبَ فقال إنَّهُ قد اجْتَمَعَ لَكُمْ في يَوْمِكُمْ هذا عِيدَانِ فَمَنْ أَحَبَّ من أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ.
Dalam kedua riwayat tersebut bisa difahami bahwa pemberian rukhsah/kemurahan untuk tidak melaksanakan shalat itu tidak ditujukan kepada semua orang yang hadir, akan tetapi hanya ditujukan kepada ahlul aliyah (penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat id).
Lebih jelas lagi, Imam Nawawi dalam kitab Muhadzdzab juz I hal. 109 menerangkan :
وَإِنِ اتَفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ فَحَضَرَ أَهْلُ السَّوَادِ فَصَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَيَتْرُكُوْا الْجُمْعَةَ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِيْ خُطْبَتِهَ: "أَيُّهَا النَّاسُ قَدِ اجْتَمَعَ عِيْدَانِ فِيْ يَوْمِكُمْ هَذَا فَمَنْ أَرَادَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَنَا الْجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَنْصَرِفْ" وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ (قَوْلُهُ السَّوَاد) هُمْ أَهْلُ الْقُرَى وَالْمَزَارِعِ حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ الْكَبِيْرَةِ (قَوْلُهُ أَهْلِ الْعَالِيَةِ) قَالَ الْجَوْهَرِيْ: الْعَالِيَةُ مَا فَوْقَ نَجْدٍ إِلَى أَرْضِ تِهَامَةَ وَإِلَى وَرَاءِ مَكَّةَ وَهُوَ الْحِجَازُ وَمَا وَالاَهَا. (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَلاَ يَجُوْزُ هَذَا لأَحَدٍ مَنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يَدَعُوْا أَنْ يَجْتَمِعُوْا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ يَجُوْزُ لَهُمْ بِهِ تَرْكُ الْجُمْعَةِ وَإِنْ كَانَ يَوْمَ عِيْدٍ. اهـ
Artinya :
“Apabila hari raya betepatan dengan hari Jum’at, maka penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat id yang telah hadir untuk melaksanakan shalat id boleh kembali ke kampungnya, tidak usah mengikuti jum’atan. Diriwayatkan dari sayyidina Utsman ra beliau bekata dalam khutbahnya wahai manusia, pada hari ini terjadi dua hari raya, maka barang siapa di antara penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat id ini menghendaki ikut shalat Jum’at, silahkan dan barang siapa yang pulang ke kampungnya silahkan ia pulang. Terhadap katata sayyidina Utsman ini tidak seorangpun sahabat yang mengingkarinya.
(kata-kata “as-sawad”) artinya: penduduk perkampungan dan persawahan di sekitar kota besar (kata-kata “al-aliyah”) Imam Jauhari mengatakan yaitu kawasan pegunungan di atas kota Najd sampai daratan Tihamah sampai belakang Makkah, Hijaz dan sekitarnya. Imam Syafi’i bekata: tidak boleh meninggalkan Jum’atan bagi salah seorang penduduk kota kecuali karena adanya udzur yang memperbolehkan tidak Jum’atan, walaupun bertepatan dengan hari raya.
Maka dari itu, warga Nahdiyin tidak usah goyah, berdasarkan dalil-dalil yang bersumber dari hadits dan pendapat ulama madzhab (madzhab syafi’i) serta fakta yang nyata yakni dekatnya domisili kaum muslimin dari tempat shalat Jum’atan, pada saat sekarang ini wajib hukumnya bagi mereka melaksanakan shalat Jum’at pada hari raya yang kebetulan jatuh pada hari Jum’at, selama tidak ada salah satu udzur min a’dzaril Jum’ah.
www.info-iman.blogspot.com