Bismillah...
Wahai saudariku, sebenarnya banyak hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengisi masa haidhmu. Syariat Yang Maha Bijaksana ini tidaklah membiarkan dirimu kosong tanpa aktifitas ibadah. Banyak sekali amalan-amalan yang mendekatkan diri kita kepada ALLOH Subahanahu wa ta’ala yang bisa dilakukan pada masa haidh. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa diantaranya:
1. Dzikrullah, istighfar, dan Tilawah al-Qur’an.
Wanita haidh dapat mengisi waktunya dengan dzikrullah, beristighfar dan tilawah al-Qur’an. Ibnu Hazm rohimahulloh berkata: “Membaca al-Qur’an, sujud ketika membaca al-Qur’an, menyentuh mushaf dan dzikrullah adalah perbuatan baik dan dianjurkan untuk dilakukan dan dibalas dengan pahala bagi yang melakukannya. Barangsiapa mengklaim bahwasanya hal itu dilarang pada beberapa kondisi, maka dia harus mendatangkan dalil.” [1]
2. Sujud tilawah ketika mendengar ayat sajadah
Tidak ada dalil yang melarang wanita haidh untuk melakukan sujud ketika mendengar ayat sajadah. Sujud di sini bukanlah sujud sholat, dan tidak disyariatkan harus bersuci. Dalam kitab Shahih Bukhari diriwayatkan bahwasanya Nabi sholallahu ‘alayhi wa sallam membaca surat an-Najm, lalu beliau sujud dan sujud pula kaum muslimin, musyrikin, jin dan manusia bersama beliau. [2]
Mustahil dikatakan bahwa mereka semua berwudhu’. Karena sujud tilawah tidaklah dianggap sebagai shalat. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari az-Zuhri dan Qatadah Rahimahullah sebagaimana disebutkan dalam kitab Mushannaf Abdurrazaq.[3]
3. Menyentuh Muhsaf
Tidak ada dalil yang jelas melarang wanita haidh menyentuh mushaf. Meski jumhur ahli ilmu yang melarangnya namun sebagian lagi membolehkannya. Di antara ulama yang membolehkannya adalah Ibnu Hazam azh-Zhahiri.[4]
4. Suami membaca al-Qur’an di pangkuan istrinya yang sedang haid
Dasarnya adalah hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia mengatakan: “Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam pada suatu ketika pernah membaca al-Qur’a, sementara kepala beliau ada di pangkuanku dan pada saat itu aku sedang haidh.”[5]
5. Menghadiri Shalat ‘Ied
Hal yang tidaklah mengapa, bahkan dianjurkan bagi wanita haidh untuk keluar menyaksikan shalat ‘Ied, hanya saja mereka menjauhi tempat shalat. Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
“Hendaklah turut keluar wanita-wanita yang sudah tua, gadis-gadis dalam pingitan dan wanita-wanita haidh untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Dan hendaklah wanita haidh menjauhi tempat shalat.[6]
6. Masuk ke dalam masjid
Dalam masalah ini terdapat perbedaan yang luas di kalangan ulama. Intinya, belum ditemukan dalil yang shahih dan jelas yang melarang wanita haidh masuk ke dalam masjid. Sedangkan hokum asal adalah boleh hinggga ditemukan larangan.
7. Makan dan minum bersama istri yang sedang haidh
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhallohu’anha, ia berkata: “Aku minum pada saat haidh kemudian aku memberikan minuman itu kepada Nabi shalallahu’alayhi wa sallam, lalu beliau meletakkan bibirnya pada tempat aku minum. Aku menggigit daging pada saat aku haidh, kemudian aku memberikannya kepada Nabi shalallahu’alayhi wa sallam, lalu beliau meletakkan bibirnya pada tempat aku menggigitnya.”[7]
8. Wanita haidh berkhidmat pada suaminya
Seperti mencuci kepalanya, menyisir rambutnya dan merapikannya. Diriwayatkannya dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, ia berkata: “Aku pernah menyisir rambut Rasulullah sholallohu’alayhi wasallam sementara aku sedang haidh.”[8]
9. Wanita haidh tidur bersama suaminya di dalam satu selimut
Diriwayatkan dari Ummu Salamah rodhiyallohu’anha, ia mengatakan: “Ketika aku berbaring bersama Nabi sholallohu’alayhi wa sallam dalam suatu selimut, tiba-tiba aku haidh. Lalu aku keluar dan memakai pakaian haidhku. Rosululloh mengatakan: “Apakah engkau haidh?” Aku berkata: “Ya”. Beliau memanggilku lalu aku berbaring bersama beliau di dalam satu selimut.[9]
An-Nawawi rohimahulloh berkata di dalam Syarh Muslim (I/954): “Di dalam hadits disebutkan bolehnya wanita haidh tidur dan berbaring bersama suaminya dalam satu selimut….”.
10. Wanita Haidh Boleh Melangsungkan Akad Nikah
Syeikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: “Jika ternyata akan nikah terhadap seorang wanita dilakukan pada waktu dia haidh, maka akad tersebut sah dan benar. Menurutku janganlah ia masuk menemuinya sehingga suci. Karena kalau ia menemuinya sebelum suci, maka dikhawatirkan ia jatuh ke dalam larangan menyetubuhi istri sewaktu haidh. Karena barangkali ia tidak data menahan hawa nafsunya, apalagi kalau ia seorang pemuda. Tunggulah sampai ia suci, sehingga ia mendatangi istrinya dalam keadaan ia dapat menyetubuhinya pada kemaluannya, wallahu a’lam.”[10]
11. Berhias Dan Bersolek Untuk Suami
Kaum wanita dibolehkah menghiasi tangan dan kaki dengan inai. Dianjurkan agar ia melakukan itu pada masa haidh. Sebab pada masa haidh ia tidak perlu menghilangkannya karena harus berwudhu’, sebab pada masa haidh ia tidak boleh mengerjakan sholat.
Telah dinukil dari ‘Abdullah bin Umar rodhiyallohu’anhu melalui jalur Nafi’ Maula Ibnu Umar, bahwa beliau berkata: “Istri-istri Ibnu Umar rodhiyallohu’anhu biasa mewarnai tangan dan kaki mereka pada masa haidh.”[11]
‘Aisyah rodhiyallohu’anha juga pernah ditanya oleh seorang wanita, apakah wanita haidh boleh memakai inai? ‘Aisyah rodiallohu’anha menjawab: “Kami dahulu pada masa Nabi sholallohu’alayhi wasallam biasa memakai inai dan beliau tidak melarang kami darinya.”[12]
Dan tidak mengapa pula ia memakainya pada masa suci. Akan tetapi ia harus menghilangkannya ketika berwudhu’. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Abbas rodhiyallohu’anhu, ia berkata: “Dahulu istri-istri kami memakai inai pada malam hari. Apabila pagi hari mereka menghilangkannya lalu berwudhu’ dan mengerjakan sholat. Kemudian mereka memakai inai kembali sesudah sholat. Dan apabila masuk waktu zhuhur mereka menghilangkannya lalu berwudhu’ dan mengerjakan sholat. Mereka berhias dengan mengenakan inai dan hal itu tidaklah menghalangi mereke dari mengerjakan sholat.”[13]
12. Mengerjakan sa’i
Telah disebutkan sebelumnya bahwa di antar perkara yang tidak boleh dilakukan oleh seorang wanita haidh adalah mengerjakan thawaf. Lalu bagaimana dengan sa’i? bolehkah wanita haidh melakukan sa’I antara Shafa dan Marwa?
Dalam hadits ‘Aisyah rodhiyallohu’anha tercantum tambahan lafazh: “Kerjakanlah apa yang dikerjakan oleh orang yang haji selain thawaf di baitullah dan tidak juga sa’I antara Shafa dan Marwa hingga kamu suci.” Hanya saja lafazh tambahan: “dan tidak juga sa’I antara Shafa dan Marwa” Adalah tambahan yang tidak shahih.
Tidak ada satu dalilpun yang mensyaratkan bersuci sebelum melakukan sa’i. Bahkan dalam sebuah hadits shahih dari Ibnu Umar rodiyallohu’anhu diriwayatkan bahwasanya ia berkata: “Apabila seorang wanita mendapatkan haidh setelah ia melakukan thawaf, sebelum melakukan sa’I maka ia harus teruskan untuk melakukan sa’I antara Shafa dan Marwa.”
Pendapat seperti ini diriwayatkan dari al-Hasan, ‘Atha’, al-Hakam, Hammad dan ulama salaf (pendahulu, red) lainnya. Demikian juga halnya ulama madzhab asy-Syafi’i.
13. Meruqyah
Wanita yang sedang haidh boleh meruqyah selama ruqyah tersebut tidak mengandung kesyirikan, karena pada asalnya ia tidak dilarang membaca al-Qur’an dan berdo’a.
[1] Al-Muhalla (I/77-78)
[2] Silahkan lihat Shahih al-Bukhari (4862)
[3] Mushannaf Abdurraqaz (I/321)
[4] Al-Muhalla (I/77 dan 81)
[5] Diriwayatkan oleh al-Bukhori (7594) dan Muslim (hal.246) dan selain keduanya
[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhori dalam 'Muadhi" hadits no.324
[7] Diriwayatkan oleh MUslim (300), Abu Dawud (259), An-Nasa'i (I/56) dan Ibnu Majah (643)
[8] Diriwayatkan oleh al-Bukhori (259) dan Muslim (297)
[9] Diriwayatkan oleh al-Bukhori (298) dan Muslim (296)
[10] Ithaaful MIlaah fii Maa Yahtaajuhu Aqidun Nikah tulisan Ahmad bin Abdullah as-Sulami
[11] Diriwayatkan oleh ad-Darimi (1094) dengan sanad shohih
[12] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (656) dengan sanad shohih
[13] Diriwayatkan oleh ad-Darimi (1093) dengan sanad shohih
Sumber:
Wanita Haidh Tak Luput Pahala karya Abu Ihsan al-Atsary, penerbit Pustaka at-Tibyan.
www.info-iman.blogspot.com