Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa tidak boleh membangun masjid di atas kuburan dan hal ini merupakan kesesatan dalam agama. Di samping itu, perbuatan ini merupakan jalan menuju syirik serta menyerupai perbuatan Ahlul Kitab. Perbuatan tersebut juga akan mendatangkan kemarahan dan laknat Allah Ta'ala.
Masalah ini merupakan masalah paling besar yang telah menimpa ummat Islam. Dewasa ini telah banyak masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan dan dibangun juga kubah-kubah di atasnya. Bahkan, tidak sedikit kuburan yang ditinggikan dan di-bangun dengan hiasan yang ketinggiannya melebihi tinggi tubuh manusia serta dihias dengan hiasan-hiasan yang mewah, hal tersebut adalah perbuatan haram.
Sementara, orang-orang datang mengunjunginya untuk mencari dan minta berkah, berdo’a (memohon) kepada penghuninya, menyembelih binatang dan memohon syafa’at serta kesembuhan dari mereka. Perbuatan itu semua termasuk ke dalam syirik akbar. Itulah fakta yang kita dapati dari kebanyakan negeri Islam di zaman ini yang bisa kita dapati di mana-mana. Dan kiranya tidak perlu kami buktikan kenyataan ini. -Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari Allah-.[2]
Dari ‘Aisyah radhiallahu'anha bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah radhiallahu'anhuma menceritakan kepada Rasulullah shalallahu 'alahi wassalam tentang gereja dengan rupaka-rupaka yang ada di dalamnya yang dilihatnya di negeri Habasyah (Ethiopia). Maka, beliau shalallahu 'alahi wassalam bersabda:
أُولَئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُوْلَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Mereka itu adalah suatu kaum, apabila ada seorang hamba yang shalih atau seorang yang shalih meninggal di antara mereka, mereka bangun di atas kuburannya sebuah tempat ibadah dan mereka buat di dalam tempat itu rupaka-rupaka. Mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah pada hari Kiamat.”[3]
Rasulullah shalallahu 'alahi wassalam juga bersabda:
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.
“Laknat Allah atas Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.”[4]
Dari Jundub bin ‘Abdillah radhiallahu'anhu berkata: “Aku mendengar bahwa lima hari sebelum Nabi shalallahu 'alahi wassalam wafat, beliau shalallahu 'alahi wassalam pernah bersabda:
إِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ يَكُوْنَ لِي مِنْكُمْ خَلِيْلٌ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ.
‘Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil (kekasih mulia) di antara kamu, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil, seandainya aku boleh menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai tempat ibadah. Ingatlah, janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.’”[5]
Yang dimaksud dengan اِتِّخَاذُ الْقُبُوْرِ مَسَاجِدَ yaitu menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid (tempat ibadah), mencakup tiga hal, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah:[6]
1. Tidak boleh shalat menghadap kubur. Hal ini ada larangan yang tegas dari Nabi shalallahu 'alahi wassalam:
لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تَجْلِسُوْا عَلَيْهَا.
“Jangan kamu shalat menghadap kubur dan jangan duduk di atasnya.”[7]
2. Tidak boleh sujud di atas kubur.
3. Tidak boleh membangun masjid di atasnya (tidak boleh shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan).
Beliau rahimahullah juga menyebutkan dalam kitabnya, bahwasanya: Membangun masjid di atas kubur hukumnya haram dan termasuk dosa besar menurut empat madzhab.[8]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz rahimahullah menjelaskan dalam fatwanya:
- Hadits-hadits larangan tersebut menunjukkan tentang haramnya membangun masjid di atas kubur dan tidak boleh menguburkan mayat di dalam masjid.[9]
- Tidak boleh shalat di masjid yang di sekelilingnya terdapat kuburan.[10]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan di dalam kitabnya:
- Siapa yang mengubur seseorang di dalam masjid, maka ia harus memindahkannya dan mengeluarkannya dari masjid.
- Siapa yang mendirikan masjid di atas kuburan, maka ia harus membongkarnya (merobohkannya).[11]
Dinyatakan pula oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitabnya[12], bahwa menjadikan kubur sebagai tempat ibadah termasuk dosa besar, dengan sebab:
- Orang yang melakukannya mendapat laknat Allah.
- Orang yang melakukannya disifatkan dengan sejelek-jelek makhluk.
- Menyerupai orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan menyerupai mereka hukumnya haram.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya, Zaadul Ma’ad[13]: “Berdasarkan hal itu, masjid harus dibongkar bila dibangun di atas kubur. Sebagaimana halnya kubur yang berada dalam masjid harus dibongkar. Pendapat ini telah disebutkan oleh Imam Ahmad dan lainnya. Tidak boleh bersatu antara masjid dan kuburan. Jika salah satu ada, maka yang lain harus tiada. Mana yang terakhir didirikan itulah yang dibongkar. Jika didirikan bersamaan, maka tidak boleh dilanjutkan pembangunannya, dan wakaf masjid tersebut dianggap batal. Jika masjid tetap berdiri, maka tidak boleh shalat di dalamnya (yaitu di dalam masjid yang ada kuburannya) berdasarkan larangan dari Rasulullah shalallahu 'alahi wassalam dan laknat beliau shalallahu 'alahi wassalam terhadap orang-orang yang menjadikan kubur sebagai masjid atau menyalakan lentera di atasnya. Itulah dienul Islam yang Allah turunkan kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad shalallahu 'alahi wassalam, meskipun dianggap asing oleh manusia sebagaimana yang engkau saksikan.”[14]
Jawaban terhadap syubhat yang ada: “Yaitu orang berkata sekarang kita dalam dilema sehubungan dengan makam Rasulullah shalallahu 'alahi wassalam karena kuburan beliau shalallahu 'alahi wassalam berada tepat di tengah masjid. Bagaimana menjawabnya?”
Sesungguhnya Rasulullah shalallahu 'alahi wassalam ketika meninggal dunia dimakamkan di kamar ‘Aisyah di rumahnya sebelah masjid, dipisahkan dengan tembok dan ada pintu yang beliau shalallahu 'alahi wassalam biasa keluar menuju masjid. Hal ini adalah perkara yang sudah disepakati para ulama dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya para Sahabat g menguburkan Nabi shalallahu 'alahi wassalam di kamarnya. Mereka lakukan demikian supaya tidak ada seorang pun sesudah mereka menjadikan kuburan beliau shalallahu 'alahi wassalam sebagai masjid atau tempat ibadah, sebagaimana hadits dari ‘Aisyah radhiallahu'anha dan yang lainnya.
‘Aisyah radhiallahu'anha berkata: “Ketika Nabi shalallahu 'alahi wassalam sakit yang karenanya beliau shalallahu 'alahi wassalam meninggal, beliau shalallahu 'alahi wassalam bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.
‘Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat per-ibadahan.’”
‘Aisyah radhiallahu'anha melanjutkan:
وَلَوْلاَ ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خُشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا.
“Seandainya bukan karena larangan itu tentu kuburan beliau sudah ditampakkan di atas permukaan tanah (berdampingan dengan kuburan para Sahabat di Baqi’). Hanya saja beliau khawatir akan dijadikan sebagai tempat ibadah.”[15]
Rasulullah shalallahu 'alahi wassalam bersabda:
اَللّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا، لَعَنَ اللهُ قَوْمًا اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.
“Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala (yang disembah). Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat untuk ibadah.”[16]
Kemudian -Qaddarallahu wa Maasyaa’a Fa’ala- terjadi sesudah mereka apa yang tidak diperkirakan sebelumnya, yaitu pada zaman al-Walid bin ‘Abdul Malik tahun 88 H. Ia memerintahkan untuk membongkar masjid Nabawi dan kamar-kamar istri Nabi shalallahu 'alaihi wassalam termasuk juga kamar ‘Aisyah radhiallahu'anha sehingga dengan demikian masuklah kuburan Nabi shalallahu 'alaihi wassalam ke dalam Masjid Nabawi.[17]
Pada saat itu tidak ada seorang Sahabat pun di Madinah an-Nabawiyyah. Sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan muridnya al-‘Allamah al-Hafizh Muhammad bin Hadi rahimahullah : “Sesungguhnya dimasukkannya kamar beliau shalallahu 'alaihi wassalam ke dalam masjid pada masa khilafah al-Walid bin ‘Abdil Malik, sesudah wafatnya seluruh Sahabat g yang ada di Madinah. Dan yang terakhir wafat adalah Jabir bin ‘Abdillah[18], beliau rahimahullah wafat pada zaman ‘Abdul Malik pada tahun 78 H. Sedangkan al-Walid menjabat khalifah tahun 86 H dan wafat pada tahun 96 H. Maka dari itu, dibangunnya (renovasi) masjid dan masuknya kamar Nabi shalallahu 'alahi wassalam terjadi antara tahun 86-96 H.[19]
Perbuatan al-Walid bin ‘Abdil Malik ini salah -semoga Allah mengampuninya-.[20]
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam Fat-hul Baari dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al-Jawaabul Baahir: “Bahwasanya kamar Nabi shalallahu 'alahi wassalam tatkala dimasukkan ke dalam masjid, ditutup pintunya, dibangun atasnya tembok lain untuk menjaga agar rumah beliau shalallahu 'alahi wassalam tidak dijadikan tempat perayaan dan kuburnya tidak dijadikan berhala.”[21]
Larangan shalat di masjid yang ada kuburnya atau masjid yang dibangun di atas kubur mencakup semua masjid di seluruh dunia kecuali Masjid Nabawi. Hal tersebut karena Masjid Nabawi mempunyai keutamaan yang khusus yang tidak didapati di seluruh masjid di muka bumi kecuali Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.
Berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alahi wassalam:
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.
“Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 (seribu) kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram.”[22]
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.
“Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 (seribu) kali daripada shalat di masjid-masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram.”[23]
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِيْ هذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ، فَصَلاَةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ.
“Shalat di Masjidku ini lebih utama 1000 (seribu) kali daripada shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram, maka shalat di Masjidil Haram lebih utama 100.000 (seratus ribu) kali daripada shalat di masjid yang lainnya.”[24]
مَا بَيْنَ بَيْتِيْ وَمِنْبَرِيْ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِيْ عَلَى حَوْضِي.
“Antara rumahku dan mimbarku ada taman dari taman-taman Surga dan mimbarku di atas telagaku.”[25]
Dan keutamaan-keutamaan yang lain yang tidak didapati di masjid lainnya. Kalau dikatakan tidak boleh shalat di masjid beliau berarti menyamakan dengan masjid-masjid lainnya dan menghilangkan keutamaan-keutamaan ini dan hal ini jelas tidak boleh.[26]
- Masjid Nabawi itu tidak didirikan di atas kuburan, tetapi masjid didirikan pada zaman Rasulullah shalallahu 'alahi wassalam.
- Nabi shalallahu 'alahi wassalam tidak dikuburkan di dalam masjid, namun dikubur di dalam rumah beliau shalallahu 'alahi wassalam.
- Menggabungkan rumah Rasulullah shalallahu 'alahi wassalam, termasuk pula rumah ‘Aisyah radhiallahu'anha dengan masjid, bukan atas kesepakatan para Sahabat. Hal ini terjadi setelah sebagian besar Sahabat sudah meninggal dunia dan yang masih hidup saat itu tinggal se-dikit, kira-kira pada tahun 94 H. Hal ini termasuk masalah yang tidak disepakati semua Sahabat yang masih ada. Yang pasti bahwa sebagian di antara mereka menentang rencana itu, termasuk pula Sa’id bin al-Musayyab,[28] dari kalangan Tabi’in. Dia tidak ridha atas hal itu.[29]
- Kuburan beliau shalallahu 'alahi wassalam tidak berada di dalam masjid Nabawi, meskipun setelah itu masuk di dalamnya, karena kuburan beliau ada dalam ruangan tersendiri yang terpisah dengan masjid, sehingga masjid tidak didirikan di atas kuburan. Karena itu tempat tersebut dijaga dan dilapisi tiga dinding. Dinding-dinding itu berbentuk segi tiga yang posisinya miring dengan arah Kiblat, sedangkan rukun (tiang) di sisi utara, sehingga orang yang shalat tidak mengarah ke sana, karena bentuknya agak miring.
Wallaahu a’lam.
Sumber Pustaka imam As Syafi'i
[1] Lihat pembahasan ini dalam kitab Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah dan Tahdziirus Saajid min Ittikhaadzil Qubuur Masaajid oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, th. 1422 H.
[2] Lihat Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/259).
[3] HR. Al-Bukhari (no. 427, 434, 1341) dan Muslim (no. 528) bab an-Nahyu ‘an Binaa-il Masaajid ‘alal Qubuuri wa Ittikhadzish Shuwari fiiha wan Nahyu ‘an Ittikhadzil Qubuuri Masaajid (Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Memasang di Dalamnya Gambar-Gambar Serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid) dan Abu ‘Awanah (I/401).
[4] HR. Al-Bukhari (no. 435, 436, 3453, 3454, 4443, 4444, 5815, 5816) dan Muslim (no. 531 (22)) dari ‘Aisyah x.
[5] HR. Muslim (no. 532 (23)) bab: An-Nahyu ‘an Binaa-il Masaajid ‘alal Qubuuri wa Ittikhadzis Shuwari fiiha wan Nahyu ‘an Ittikhadzil Qubuuri Masaajid (Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Membuat Patung-Patung serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid).
[6] Lihat Tahdziirus Saajid min Ittikhaadzil Qubuur Masaajid (hal 29-44) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. I/ Maktabah al-Ma’arif/ th. 1422 H.
[7] HR. Muslim (no. 972 (98)) dan lainnya dari Sahabat Abu Martsad al-Ghanawi t.
[8] Tahdziirus Saajid (hal 45-62).
[9] Fataawaa Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz (IV/337-338 dan VII/426-427), dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’ad asy-Syuwai’ir, cet. I, th. 1420 H.
[10] Lihat Fataawaa Muhimmah Tata’allaqu bish Shalah (hal. 17-18, no. 12) oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz, cet. I, Daarul Fa-izin lin Nasyr-th. 1413 H.
[11] Lihat al-Qaulul Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid (I/402) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin.
[12] Lihat Mausuu’atul Manaahi asy-Syar’iyah (I/426).
[13] Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/572) tahqiq Syu’aib dan ‘Abdul Qadir al-Arnauth, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H.
[14] Tentang harus dibongkarnya masjid yang dibangun di atas kubur itu tidak ada khilaf di antara para ulama yang terkenal, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Iqthidhaa’us Sirathil Mustaqiim (II/187).
[15] HR. Al-Bukhari (no. 1330), Muslim (no. 529 (19)), Abu Awanah (I/399) dan Ahmad (VI/80, 121, 255). Perkataan ‘Aisyah radhiallahu'anha ini menunjukkan dengan jelas tentang sebab mengapa Nabi shalallahu 'alahi wassalam dikuburkan di rumahnya. Beliau shalallahu 'alahi wassalam menutup jalan supaya tidak dibangun di atasnya masjid (sebagai tempat ibadah). Maka, tidak boleh dijadikan alasan tentang bolehnya mengubur di rumah, karena hal ini menyalahi hukum asal. Menurut Sunnah menguburkan mayat di pekuburan kaum Muslimin. (Lihat Tahdziirus Saajid hal 14).
[16] HR. Ahmad (II/246), al-Humaidi dalam Musnadnya (no. 1025) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ dari Sahabat Abu Hurairah z. Sanadnya shahih. Diriwayatkan juga oleh Imam Malik (I/156 no. 85), dari ‘Atha’ bin Yasar secara marfu’. Hadits ini mursal shahih. Lihat Tahdziirus Saajid (hal. 25-26).
[17] Lihat Taariikhuth Thabari (V/222-223) dan Taariikh Ibni Katsir (IX/74-75). Dinukil dari Tahdziirus Sajid (hal. 79).
[18] Beliau adalah seorang Sahabat yang mulia, Jabir bin ‘Abdillah bin ‘Amr bin Haram bin Ka’ab al-Anshari as-Silmi. Seorang yang banyak meriwayatkan hadits dari Nabi j, ikut dalam bai’at ‘Aqabah dan ikut bersama Nabi shalallahu 'alahi wassalam dalam banyak peperangan. Setelah Nabi shalallahu 'alahi wassalam meninggal, dia membuat halaqah (kajian) di Masjid Nabawi untuk ditimba ilmunya. Lihat al-Ishaabah (I/213 no. 1026).
[19] Lihat al-Jawaabul Baahir fii Zuwwaaril Maqaabir (hal. 72), Majmuu’ Fataawaa (XXVII/419) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, juga Tahdziirus Saajid (hal. 79-80) oleh Syaikh al-Albani.
[20] Tahdziirus Saajid (hal. 86) oleh Syaikh al-Albani.
[21] Ibid, hal. 91.
[22] HR. Muslim (no. 1395) dari Sahabat Ibnu ‘Umar c.
[23] HR. Al-Bukhari (no. 1190), Muslim (no. 1394), at-Tirmidzi (no. 325), Ibnu Majah (no. 1404), ad-Darimi (I/330), al-Baihaqi (V/246), Ahmad (II/256, 386, 468), dari Abu Hurairah t. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 971).
[24] Ahmad (III/343, 397), Ibnu Majah (no. 1406) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah.
[25] HR. Al-Bukhari (no. 1196, 1888), Muslim (no. 1391), Ibnu Hibban (no. 3750/ Ta’liiqaatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni Hibban (no. 3742)), al-Baihaqi (V/246), dari Sahabat Abu Hurairah t.
[26] Lihat Tahdziirus Saajid hal. 178-182.
[27] Lihat al-Qaulul Mufiid ‘alaa Kitaabit Tauhiid (I/398-399).
[28] Nama lengkapnya Sa’id bin al-Musayyab bin Hazan bin Abi Wahhab al-Makh-zumi al-Qurasyi. Dia adalah seorang ahli Fiqih di Madinah. Dia menguasai ilmu hadits, fiqih, zuhud, wara’. Dia orang yang paling hafal hukum-hukum ‘Umar bin Khaththab dan keputusan-keputusannya, wafat di Madinah th. 94 H. Lihat Taqriibut TahdziibSiyar A’laamin Nubalaa’ (IV/217-246, no. 88). (I/364 no. 2403) dan
[29] Majmuu’ Fataawaa (XXVII/420) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
www.info-iman.blogspot.com