Membaca judul tulisanku di atas, tentu kawan semuanya telah dapat menduga bahwa kali inipun aku akan kembali membeberkan sebuah curhatan yang pernah disampaikan kepadaku. Hahay, mulai sekarang janganlah kawan terlalu mempercayaiku sebagai tempat bercurhat karena aku ini orangnya ember ya kawan, bukan sembarang ember malahan, aku ini ember bekas nan pula bocor, he he.
Besar harapanku, agar kawan semuanya bersedia membaca tulisanku yang sebelumnya terlebih dahulu, ~Keluhan Perempuan Yang Tak Cantik Dan Tidak Pula Bening~ kemudian baru melanjutkan membaca tulisan ini sehingga dengan demikian semoga kawan bisa mengambil sebuah ibrah yang runut dari kedua seri tulisan sederhana ini, insya Allah.
Telah kuceritakan pula sebelumnya kepada kawan sekalian tentang bagaimana berliku-likunya proses penulisan dan penerbitan tulisan pertamaku yang dimaksud, sampai-sampai aku harus merevisi, atau lebih tepatnya menambahkan dua halaman lagi agar aku dapat terbebas dari predikat tidak adil yang disematkan kepadaku oleh seorang akhowat tak jelas itu, siapa lagi kalau bukan si perempuan buruk rupa yang tak cantik dan tak pula bening itu?
Dia mengataiku demikian karena menurutnya tulisan pertamaku tersebut hanya semakin melemahkan mentalnya saja untuk ‘melirik’ salah seorang ikhwan shalih diantara begitu banyaknya ikhwan shalih di perkampungannya nan indah, yang karena saking indahnya perkampungan tersebut, maka segala sesuatu ‘penampakan’ disana cukup menguji kesabaran dan usaha penguasaan diri agar tidak mencemburi setiap ‘pengantin baru’ yang tidak malu untuk ber-honey moon di sembarang tempat. Maklum lah kawan, perkampungannya ini memang cukup terkenal baik dikalangan turis domestik maupun dikalangan turis internasional. Wallahu a’lam.
Setelah edisi revisi kukirimkan ke emailnya maka barulah dia setuju agar tulisan itu dipublish, alhamdulillah. Namun, apalah yang hendak dikata, dia malah menambahkan edisi keluhannya kepadaku tentang betapa susahnya dia untuk bersegera menikah. Sekali lagi kutekankan kepadamu kawan bahwasanya perempuan-perempuan yang terlambat menikah itu akan berdampak tak baik bagi orang-orang disekitarnya.
Berikut kembali ku copykan saja obrolan chat kami kepada kawan semuanya, beginilah ia kira-kira:
“Mba, sebenarnya apa-apa yang aku sampaikan kemarin dan engkau pula telah rangkaikan dalam tulisan itu hanyalah salah satu alasan diantara banyaknya alasan tentang kenapa aku belum jua berniat menikah, atau sedikit sekali niatku untuk menikah.”
Diapun mulai berkoar-koar tentang satu persatu perkara yang dianggapnya sebagai alasan terlambatnya dia menikah, “Pertama aku sudah sangat terbiasa sama ikhwan-ikhwan biasa yang begajulan itu, sehingga aku sih santai saja sama mereka. Hal ini karena aku merasa mereka-mereka itu memang tidak bisa kupilih sebagai tempat pelabuhan hatiku. Bukan karena aku sombong Mba, akan tetapi karena aku ini tak berani mengambil risiko besar. Aku sudah pasti tidak sekuat dan se-shalihah Ummu Sulaim, sedangkan para ikhwan begajulan itu belum tentu pula sepenurut dan se-shalih Abu Thalhah. Apalah jadinya keluargaku nanti kalau aku tetap memberani-beranikan diriku untuk mengambil resiko menikah dengan salah satu dari mereka-mereka itu?? Berharap aku bisa membina mereka, eh malah dia dan pula aku yang terbinasakan!! Sunguh, sekali lagi sungguh aku tidak berani mengambil risiko yang teramat besar ini, Mba.
Lanjutnya lagi, “Kedua, jika sama para ikhwan yang telah bejenggot, tidak isbal dan sering kudapati duduk di majlis-majlis ta’lim itu, entah kenapa aku menganggap kalau mereka-mereka itu akan sama saja dengan si ‘Raja’ kita dan lain-lain ikhwan ‘mengaji’ yang aku kenal. Pernah aku sedikit bersimpati kepada salah seorang dari mereka, tapi ketika ku intip akun fbnya di dunia maya, aduhai, mau muntah saja aku rasanya. Sama saja mereka-mereka itu Mba, sama-sama begajulan!”
Hay kawan, sungguh aku geleng-geleng kepala mendengar celotehan si perempuan yang tadinya telah buruk rupa ini, sekarang malah menjelma menjadi juri terhormat dalam kontes pemilihan ikhwan favorit! Terpaksa aku menarik nafas dalam-dalam sebelum merespon pertanyaannya dengan sebuah candaan, kemudian barulah kukomen curhatannya itu berdasarkan ilmu dan pengalamanku yang masih cetek ini, sekali lagi hanya berdasarkan ilmu dan pengalamanku saja, jadi untuk lebih jelasnya silakan kawan sekalian meruju’ kepada kitab para ulama yang telah menjelaskan perkara ini secara gamblang. Wallahu a’lam.
Setelah ku fahami dan kuanalisis kedua keluhan tambahan dari si akhowat tak jelas ini, (olaah, lihatlah gayaku sekarang kawan, semakin sok bijak saja aku rupanya!) maka menurutku sebenarnya hal ini adalah masalah standar penerimaan dan atau pencarian dari seorang perempuan normal terhadap seorang laki-laki shalih yang akan dipilihnya dan semoga dipilihkan Allah pula untuknya sebagai tempat mencurahkan segala cinta dan kasih secara halal, insya Allah.
Untuk alasan pertama:
Sebenarnya para ikhwan biasa nan begajulan itu, yang selanjutnya kubahasakan dengan ‘ikhwan yang belum mengaji’, maka mereka belum tentu lebih buruk dari pada para ikhwan yang telah berjenggot, tidak isbal, dan lain-lain ukuran keshalihan dalam fikiran para akhowat tak jelas, yang untuk golongan ini maka akan aku bahasakan mereka dengan ‘ikhwan yang telah mengaji’ saja. Pun pula sebaliknya, para ikhwan yang telah mengaji itu belum tentu lebih baik daripada para ikhwan yang belum mengaji, bukan begitu??
Bukankah ini adalah masalah hidayah Allah semata, dimana yang satu telah Allah beri hidayah sedangkan yang lainnya belum? Atau mungkin mereka jua sebenarnya telah mulai bersentuhan dengan hidayah Allah itu, hanya saja mereka belum tahu bagaimana dan dengan cara apa mereka hendak mengolah hidayah yang dimaksud. Ini urusan Allah. Bisa jadi mereka-mereka yang sekarang belum mengaji akan tetapi apabila mereka telah diberikan hidayah oleh Allah nantinya, kemudian mereka pula dapat mengolah hidayah itu dengan baik, maka mungkin saja pada akhirnya merekalah yang akan jauh lebih hebat daripada mereka-mereka yang sekarang telah mengaji namun pencapaiannya stagnan, alias jalan di tempat saja.
Selanjutnya, kuingatkan kepada para akhowat tak jelas, sudah berjenggotnya seorang ikhwan, tidak isbalnya celana-celana mereka dan lain-lain, kadang belum bisa sepenuhnya kita jadikan sebagai ukuran keshalihan mereka! Bahkan, menurut pengakuan beberapa orang temanku, lulusan sebuah pondok pesantren kenamaan sekalipun belum bisa dijadikan standar, karena sejatinya shalih atau tidak shalihnya seseorang itu adalah penilaian Allah semata. Betapa tidak akan begitu, bukankah banyak diantara manusia yang terlihat shalih ketika berhadapan dengan sesama, namun akan berubah menjadi bejat ketika berkesendirian di dalam rumah atau didalam kamarnya?? Adapun beberapa hal yang nampak dari fisik mereka, maka cukuplah hal itu kita jadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan kita dalam menilai kesungguhan mereka untuk mengamalkan hukum-hukum syari’at di tengah dahsyatnya fitnah syahwat dan syubhat pada zaman ini. Wallahu a’lam.
Ya kawan, sebelum berbicara lebih jauh, kita para akhowatpun seharusnya pula berkaca diri. Apakah lebarnya jilbab yang telah menguluri seluruh tubuh-tubuh kita jua telah menguluri seluruh bagian dari hati-hati kita? Apakah kita yang seharusnya rela menjadi gadis-gadis pingitan akan tetapi masih saja secara tidak sadar seolah-olah menampakkan ketidakrelaan kita dengan berbagai perbuatan yang menunjukkan bahwa kita tidak menarima kodrat kita sebagai gadis pingitan tersebut?
Contoh, banyak diantara kita yang merasa telah dengan sukarela dipingit di dalam rumah-rumah kita, namun ternyata tidak rela dipingit ketika berintekasi di dunia maya, dengan alasan untuk sekedar meng-eksistensi-kan diri-diri kita!! Biodata di info profil kita kadang lebih lengkap daripada biodata untuk keperluan ta’aruf! Tak tanggung-tanggung, lengkap pula di sana berat dan tinggi badan, plus golongan darah segala! Dan pada akhirnya, ketika terjadi fitnah yang tidak diinginkan itu kita pula yang bertanya kenapa, kita pula yang merasa telah kecolongan karena telah diintip oleh para ikhwan, padahal kitalah yang sebenarnya telah memberi celah kepada para ikhwan tersebut, yang sebagian dari mereka memang sengaja menjelma menjadi detektif-detektif dadakan untuk mengintip diri-diri kita. Dengan sebuah kedok atas nama ta’aruf, mengapa kita bersedia meladeni mereka, kita beberkan setiap hal mengenai diri kita, kita biarkan mereka mencicipi indahnya gaya bahasa kita atau aduhainya pola fikir kita, kemudian disaat badan tersadar akan siapa dia yang sebenarnya mengapa kita pulalah yang malah meraung-raung dan sibuk menghujat mereka?? Ironis.
***
Kemudian untuk alasan kedua dari si akhowat, juri terhormat dalam kontes pemilihan ikhwan favorit di atas, yaitu:
Si akhowat tak jelas beralasan, dia seolah-olah telah bersu’udhzan kepada semua ikhwan yang telah mengaji itu, karena menurut pengalamannya mereka semua sama saja, sama-sama begajulan, seakan-akan lebatnya jenggot-jenggot mereka dan tidak isbalnya celana-celana meraka hanya sebagai topeng untuk mengambil simpati para akhowat!! Ckckckckck, dahsyat sekali tudingan temanku ini kepada para ikhwan, bukan??
Jika difikir-fikir memang sih kebanyakan realitanya begitu. Namun, marilah kita jaga prasangka kita kepada mereka dengan kembali ke kaidah asal bahwasanya mereka-mereka yang telah mengaji itupun juga manusia, sehingga dengan begitu hendaklah kita posisikan mereka ya sebagai manusia, yaitu sebagai makhluk Allah tempat bersarangnya salah dan lupa. Jangan sesekali kita memposisikan mereka pada posisi malaikat yang akan senantiasa patuh kepada Rabbnya.
Godaan dan tergoda itu manusiawi saja, akan tetapi lihatlah bagaimana usaha-usaha mereka dalam mengatasi godaan tersebut. Insya Allah, mereka pula berusaha untuk lepas dan menjauh dari godaan-godaan yang dimaksud, sebagaimana kita para akhowat yang jua selalu berusaha untuk itu, yang bahkan mungkin saja godaan nan menghampiri mereka akan jauh lebih berat daripada godaan-godaan yang menimpa kita, bukan begitu? Wallhu a’lam.
O iyya, ada satu paragraph yang cukup menarik nan disampaikan oleh si akhwat tak jelas ini, yaitu:
“Bukan karena aku sombong Mb, akan tetapi aku ini tak berani mengambil risiko besar. Aku sudah pasti tidak sekuat dan se-shalihah Ummu Sulaim, sedangkan para ikhwan begajulan itu belum tentu pula sepenurut dan se-shalih Abu Thalhah. Apalah jadinya keluargaku nanti kalau aku tetap memberani-beranikan diriku untuk mengambil resiko menikah dengan salah seorang dari mereka-mereka itu? Berharap aku bisa membina mereka, eh malah dia dan pula aku yang terbinasakan!!”
Nah, kalau untuk separagraf di atas akupun setuju 100%. Meski apa jua realita yang kita dapati di antara para ikhwan, baik yang belum mengaji maupun yang telah mengaji, maka kita tetap jua harus memilih, yang dalam memilih sudah barang tentu kecondongan hati dan fikiran kita adalah kepada yang baik-baik saja, bukan?
Menikah dengan seseorang tidaklah untuk sehari atau dua hari saja, akan tetapi untuk sekian tahun sampai masing-masing dari pasangan kita tutup usia, insya Allah, yang kalau terlalu berat mungkin mereka akan menikah lagi setelah pasangannya meninggal dunia, apalagi untuk si ikhwan (baca: suami).
Memilih pasangan bukan seperti halnya memilih bakwan untuk dimakaan. Asal comot saja, jelek bentuknya-kah, agak gosong-kah, atau meski sudah rada basi-kah mungkin tetap akan kita makan kalau memang perut lagi lapar, bukan begitu?
Menikah adalah untuk menyempurnakan separoh agama, kawan! Jangan hanya karena sekarang sedang musim ‘kawin’, sampai-sampai sapi dan kerbaupun tengah musim kawin rupanya, atau hanya karena untuk menyumpal mulut orang tua dan para tetangga kita, karena kita belum kunjung jua menikah, kemudian dengan serta merta kitapun menurunkan saja standar pencarian kita akan keshalihan para ikhwan tersebut, sehingga siapapun yang datang kita iyakan saja, padahal nantinya diri-diri kita jualah yang kelak akan menderita.
Tetaplah menjadi shalihah, kawan karena hanya dengan usaha itulah Allah jua akan sandingkan kita dengan seorang laki-laki shalih dambaan kita, insya Allah.
Tetaplah memilih alternatif yang syar’i dalam setiap proses pencarian kita, kawan agar tabir ghaib antara kita dan dia yang didamba segera disibakkan Allah, agar pernikahan yang kita lakukan diberkahi Allah dan dianugerahiNya dengan kebaikan yang banyak, insya Allah. Akan tetapi jangan kaget ya, jika mahkluk yang berada di balik tabir ghaib Allah itu ternyata adalah si laki-laki buruk rupa yang tak ganteng dan tak pula bening seperti halnya diri-diri kita. Lupakanlah sudah usaha untuk memperbaiki keturunan kalau begitu, he he.
***
13 Juni 2011
Bumi Allah,
Info-iman
****
Teruntuk bagi para perempuan yang belum jua menikah, atau para perempuan yang telah terlambat menikah, he he. Peace!!
www.info-iman.blogspot.com