Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan ‘tali Allah’ di sini adalah al-Jama’ah/persatuan, atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Dalam riwayat Muslim Ahmad dan Abu Daud tatkala menceritakan golongan yang selamat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yaitu al-Jama’ah.” (dinukil dari al-Ishbah fi Bayani Manhaj as-Salaf fi at-Tarbiyah wa al-Ishlah karya Syaikh Abdullah bin Shalih al-Ubailan, hal. 79)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Apabila umat manusia kembali kepada al-Kitab dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya persatuan itu akan terwujud. Sebagaimana hal itu telah terjadi pada generasi awal umat ini, padahal mereka dahulu -sebelumnya- berpecah-belah…” (al-Ishbah, hal. 82). Beliau menekankan, “Tidak akan bisa menyatukan hati dan mempersatukan umat manusia kecuali dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Kalau tanpa itu maka tidak mungkin mereka bisa bersatu…” (al-Ishbah, hal. 82).
Syaikh Abdullah al-Ubailan hafizhahullah berkata, “Dengan tiga perkara berikut ini, maka persatuan itu akan terlaksana; [1] aqidah yang sahihah, [2] kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika berselisih, [3] taat kepada ulil amri (umara/ulama) serta selalu menginginkan kebaikan bagi mereka dan menasehati dengan cara yang bijak…” (al-Ishbah, hal. 84).
Apa Sebab Perpecahan?
Syaikh Abdullah al-Ubailan hafizhahullah berkata, “Mereka -Ahlus Sunnah- meyakini bahwa sebab utama perpecahan adalah sikap sektarian dan suka bergolong-golongan pada diri sebagian kaum muslimin terhadap suatu kelompok tertentu, jama’ah tertentu, atau sosok tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia.” (al-Ishbah, hal. 85)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong-golongan. Maka engkau -wahai Muhammad- tidak ikut bertanggung jawab atas mereka sedikitpun.” (QS. al-An’am: 159).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa agama memerintahkan untuk bersatu dan bersepakat, dan agama ini melarang tindak perpecah-belahan dan persengketaan bagi segenap pemeluk agama (Islam), dalam seluruh persoalan agama; yang pokok maupun yang cabang…” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 285)
Suatu ketika, Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ditanya, “Kamu berada di atas millah Ali atau millah Utsman?”. Maka beliau menjawab, “Bahkan, saya berada di atas millah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (dinukil dari al-Ishbah, hal. 86)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat dahulu biasa meninggalkan pendapat pribadi mereka, meskipun pendapat itu dibangun di atas al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka meninggalkannya apabila hal itu menyebabkan tercerai-berainya persatuan. Lihatlah, bagaimana sikap Abdullah bin Mas’ud seorang sahabat yang mulia -semoga Allah meridhainya- tatkala Amirul Mukminin Utsman radhiyallahu’anhu menyempurnakan sholat (tidak mengqashar) di Mina. Padahal, Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berpendapat qashar di Mina. Meskipun demikian, apabila beliau sholat di belakang Utsman radhiyallahu’anhu maka beliau menyempurnakan (tidak qashar). Ketika ditanyakan kepadanya tentang hal itu, beliau menjawab, ‘Wahai putraku, perselisihan itu buruk.’ (HR. Bukhari dan Muslim).” (dinukil dari al-Ishbah, hal. 97). Lihatlah, bagaimana Ibnu Mas’ud mengalah dan mengikuti pendapat Amirul Mukminin demi mempertahankan kesatuan umat…
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Memang terkadang sesuatu yang lebih utama ditinggalkan kepada sesuatu yang kurang utama, hal itu apabila dengan sesuatu yang kurang utama itu akan membuahkan persatuan. Di saat semacam itu, wajib baginya untuk mengalah dari menginginkan sesuatu yang lebih utama menuju sesuatu yang kurang utama. Hal itu perlu dilakukan demi utuhnya kesatuan dan persatuan kaum muslimin…” (al-Ishbah, hal. 98).
Beliau menambahkan, “Hal itu -dianjurkan untuk mengalah- berlaku dengan catatan selama tidak merusak agama. Adapun apabila menimbulkan kerusakan agama, maka tidak boleh. Oleh karenanya wajib bagi seorang muslim mengalah dari memaksakan pendapat dan ijtihadnya, meskipun menurutnya apa yang dia yakini itulah yang lebih utama. Lantas, bagaimana lagi apabila ternyata apa yang dianut oleh jama’ah (mayoritas umat/ulama) adalah sesuatu yang lebih utama, sedangkan apa yang diyakini oleh orang yang menyelisihi ini adalah sesuatu yang kurang utama, atau bahkan sesuatu yang tidak benar?!.” (al-Ishbah, hal. 98).
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu seharusnya para penuntut ilmu dan orang-orang yang menyandarkan diri kepada ilmu mencamkan baik-baik kaidah ini; yaitu apabila seseorang muslim memiliki pendapat dan ijtihad yang seandainya ditampakkan kepada orang banyak menimbulkan kekacauan dan persengketaan, maka semestinya dia tidak perlu menampakkannya. Cukuplah dia mengikuti apa yang dianut oleh mayoritas umat Islam. Sebab hal itu lebih menjamin -kebaikan- baginya dan lebih mendekati kebenaran.” (al-Ishbah, hal. 98).
Syaikh Abdullah al-Ubailan mengomentari ucapan terakhir Syaikh Fauzan di atas, “Benar, hal ini tidak ragu lagi sangat diperlukan. Apalagi dalam kondisi berkecamuknya fitnah.” (al-Ishbah, hal. 98).
Kesimpulan dan Pelajaran
Dari paparan ringkas di atas, dapat kita petik kesimpulan dan faedah sebagai berikut:
- Berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah dengan benar -sebagaimana dipahami Nabi dan para sahabat- membuahkan persatuan yang sejati, bukan justru mengobarkan perpecahan di tengah-tengah umat, terlebih lagi di kalangan para da’i…!
- Apabila perpecahan itu telah terjadi, maka sebabnya adalah tidak mewujudkan salah satu di antara ketiga hal di atas. Bisa jadi karena perbedaan aqidah, atau tidak mau merujuk kepada al-Kitab dan as-Sunnah, atau karena tidak merujuk kepada ulil amri (ulama dan umara) dan menasehati mereka dengan cara yang bijak.
- Seorang muslim hendaknya tidak segan untuk mengalah, menjaga persatuan, dan lebih mengutamakan kemaslahatan umat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Seorang muslim -apalagi penuntut ilmu dan da’i- semestinya memperhitungkan dampak dari pendapat atau ucapan yang dilontarkannya di hadapan manusia, apakah hal itu menimbulkan kekacauan di tengah-tengah mereka ataukah tidak.
- Sebuah pelajaran berharga, bahwa perpecahan tidak akan teratasi dengan perpecahan pula. Perpecahan hanya bisa diatasi dengan persatuan yang sejati. Barangsiapa mengira bahwa perpecahan bisa diatasi dengan sikap ta’ashub kepada sosok tertentu selain Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sungguh dia telah keliru!
Artikel www.muslim.or.id
www.info-iman.blogspot.com