Dalam rangka mengingatkan kesempurnaan agama Islam –yang telah kita diketahui bersama– dan mengingatkan konsekuensinya –yang mungkin banyak dilalaikan oleh sebagian orang–, ada 2 hal pokok yang perlu kita ketahui bersama:
1. | Termasuk prinsip agama yang wajib diyakini, iman seseorang tidak sah tanpa keyakinan ini, adalah bahwa agama Islam telah disempurnakan oleh Allâh Ta'âla . Maka, tugas manusia adalah mempelajari, mendengar dan mentaati. Allâh Ta'âla berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu. (Qs al-Mâidah/5:3) Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata dalam tafsirnya: “Ini merupakan nikmat Allâh Ta'âla terbesar kepada umat ini, yaitu Allâh Ta'âla menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama apapun selainnya, dan mereka tidak membutuhkan seorang Nabi-pun selain Nabi mereka. Oleh karena inilah Allâh Ta'âla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan (Allâh Ta'âla) mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau halalkan. Tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syari’atkan. Segala sesuatu yang beliau beritakan, maka hal itu haq dan benar (sesuai kenyataan), tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada kesalahan”. [1] |
2. | Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam berkewajiban menyampaikan agama, dan beliau telah melakukannya dengan sebaik-baiknya. Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam telah menyampaikan agama Islam dengan sempurna, tanpa dikurangi. Maka, tidaklah beliau wafat kecuali agama ini telah sempurna, tidak membutuhkan tambahan. Allâh Ta'âla telah menjadi saksi (surat al-Mâidah ayat 3) tentang hal ini, demikian juga orang-orang yang beriman. Dan cukuplah Allâh Ta'âla sebagai saksi. Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda:Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku melainkan wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang dia ketahui kepada umatnya dan memperingatkan keburukan yang dia ketahui kepada mereka. (HR. Muslim no. 1844) Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda: Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh perintahkan kepada kamu kecuali aku telah memerintahkannya, dan tidak pula aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh Ta'âla larang kepada kamu kecuali aku telah melarangnya.[2] Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda: Tidaklah tersisa sesuatu pun yang bisa mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, melainkan telah dijelaskan kepada kamu.[3] Al-Irbâdh bin Sariyah radhiyallâhu'anhu berkata: Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang menyentuh hati, menjadikan mata bercucuran air mata dan hati bergetar karenanya. Kemudian kami bertanya: ”Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya ini benar-benar nasehat orang yang berpamitan, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Aku telah meninggalkan kalian di atas (agama) yang putih (terang, jelas); malamnya seperti siangnya, tidak ada seorang pun menyimpang darinya, melainkan orang yang binasa. Barangsiapa di antara kalian yang hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sesuatu yang kalian ketahui dari Sunnahku dan Sunnah para Khulafâur Râshidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebutdengan geraham-geraham kalian. Hendaklah kalian taat walaupun kepada budak Habsyi (yang menjadi pemimpinmu), karena seorang Mukmin itu seperti onta yang penurut, kemana ia di bawa, ia tunduk.” [4] |
KONSEKUENSI KESEMPURNAAN ISLAM
Setelah mengetahui dengan pasti kesempurnaan agama Islam ini, maka di antara konsekuensinya adalah bahwa kita tidak boleh menambahkan sesuatu pun yang baru dalam agama ini, sebagaimana kita juga tidak boleh menguranginya. Inilah yang dipahami oleh para Ulama semenjak dahulu. Sebagian dari perkataan mereka di antaranya:
1. | Imam Mâlik bin Anas rahimahullâh berkata: “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam dan dia memandangnya sebagai suatu kebaikan, maka, sungguh dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad mengkhianati risalah (tugas menyampaikan agama) ini, karena Allâh telah berfirman: "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu." (Qs al-Mâidah/5:3). Oleh karena itu, segala sesuatu yang pada hari itu bukan dari agama, pada hari ini pun juga bukan dari agama”. [5] |
2. | Imam asy-Syâthibi rahimahullâh berkata: “Sesungguhnya orang yang menganggap baik suatu bid’ah, secara umum memuat konsekuensi bahwa menurutnya syari’at itu belum sempurna, sehingga firman Allâh Ta'âla, ”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu”, tidak memiliki nilai makna menurut mereka”.[6] Maka orang yang demikian adalah orang yang sesat dari jalan yang lurus. |
3. | Iman asy-Syaukâni rahimahullâh berkata: “Jika Allâh Ta'âla telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mewafatkan Nabi-Nya, maka apakah perlunya pemikiran/pendapat baru, padahal Allâh Ta'âla telah menyempurnakan agama-Nya. Jika menurut keyakinan mereka pemikiran baru itu termasuk agama, maka agama ini menurut mereka belum sempurna; kecuali dengan pemikiran mereka. Yang berarti bahwa keyakinan mereka ini membantah al-Qur’ân. Jika itu bukan dari agama, maka apa gunanya menyibukkan diri dengan perkara yang tidak termasuk agama. Ini adalah argumen yang sangat kuat dan bukti yang agung. Orang yang membuat pemikiran baru tidak mungkin membantahnya dengan bantahan apapun selamanya. Maka jadikanlah ayat yang mulia ini (Qs al-Mâidah ayat 3) pertama kali untuk menampar wajah ahli ra’yi (pengagung akal), menghinakan mereka, dan menghancurkan hujjah mereka”.[7] |
4. | Syaikh Muhammad Sulthân Al-Ma’shûmi rahimahullâh berkata: “Jalan-jalan agama dan ibadah-ibadah yang benar hanyalah yang telah dijelaskan oleh Sang Pencipta makhluk lewat lisan Rasul-Nya, Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Maka, barangsiapa menambah atau menguranginya berarti dia telah menyelisihi Allâh Ta'âla yang Maha Bijaksana, Maha Mencipta dan Maha Mengetahui, sebab dia meramu obat-obat bagi dirinya sendiri. Padahal, kemungkinan obat itu malah akan menjadi penyakit, dan ibadahnya menjadi maksiat tanpa dia sadari. Karena agama ini telah sempurna, maka barangsiapa menambah ajaran baru dalam agama, berarti dia menyangka bahwa agama ini kurang (sempurna), lalu dia menyempurnakannya dengan anggapan baik menurut akalnya yang rusak dan khayalnya yang tidak laku”.[8] |
SIKAP SALAF TERHADAP PERKARA BARU DALAM AGAMA
Dari uraian di atas menjadi jelaslah bahwa ibadah itu harus mengikuti dalil dari al-Qur’ân atau Sunnah dengan pemahaman yang benar dari para Salaf. Oleh karena itu para Salafus Shalih mengingkari cara-cara ibadah yang tidak dituntunkan; atau perkara-perkara yang ditambahkan di dalam ibadah yang telah dituntunkan; walaupun manusia menganggapnya sebagai kebaikan. Karena memang ibadah itu akan diterima dengan dua syarat yaitu ikhlas dan ittibâ’ (mengikuti tuntunan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam ).
Tentang syarat ikhlas, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allâh tidak akan menerima dari semua jenis amalan
kecuali yang murni untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya.[9]
kecuali yang murni untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya.[9]
Tentang syarat ittibâ’ (mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam), beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini,
sesuatu yang tidak ada contohnya, maka urusan itu tertolak.
(HR. Bukhâri no. 2697; Muslim no. 1718)
sesuatu yang tidak ada contohnya, maka urusan itu tertolak.
(HR. Bukhâri no. 2697; Muslim no. 1718)
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
Barangsiapa melakukan suatu amalan
yang tidak ada padanya tuntunan kami,
maka amalan itu tertolak.
(HR. Muslim no. 1718)
yang tidak ada padanya tuntunan kami,
maka amalan itu tertolak.
(HR. Muslim no. 1718)
Sebagian orang ketika melakukan ibadah bid’ah (ibadah baru yang tidak dituntunkan), lalu diingkari, dia segera menjawab: “Apa sih jeleknya berdzikir”, “Apa sih jeleknya berdoa”, “Apa sih jeleknya membaca al-Qur’ân”, dan semacamnya. Padahal yang diingkari itu bukan masalah berdzikir, berdoa, atau membaca al-Qur’ân. Tetapi yang diingkari adalah tata-cara ibadah mereka di dalam berdzikir, berdoa, atau membaca al-Qur’ân yang menyelisihi Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dan membuat tambahan di dalam agama yang sudah sempurna. Sehingga, ibadah mereka tidak memenuhi syarat ittibâ’, walaupun seandainya mereka ikhlas.
Karenanya, disini disampaikan beberapa sikap Salafus shalih tentang pengingkaran mereka terhadap berbagai tambahan dalam agama, walaupun mungkin di zaman sekarang orang menganggapnya sebagai suatu kebaikan. Namun, sebaik-baik generasi adalah para Sahabat, sehingga pemahaman para Sahabat itulah yang harus dijadikan rujukan di dalam beragama. Di antara riwayat tersebut adalah:
1. | Kisah Abu Abdurrahmân Abdullâh bin Mas’ûd radhiyallâhu'anhu Kisah terkenal tentang perbuatan Abdullâh bin Mas‘ûd radhiyallâhu'anhu yang mendatangi jama’ah dzikir yang berkelompok-kelompok memegang kerikil. Setiap kelompok dipimpin satu orang. Pemimpin itu memerintahkan: “Bertakbirlah 100 kali”, mereka pun melakukannya. Dia juga memerintahkan agar jama’ah bertahlil 100 kali dan bertasbih 100 kali, mereka juga melakukannya. Maka Abdullâh bin Mas’ûd radhiyallâhu'anhu berkata kepada mereka: “Apakah ini –yang aku lihat kamu lakukan–?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahmân, ini kerikil. Kami menghitung takbir, tahlil, dan tasbih dengannya.” Beliau berkata: “Hitung saja keburukan-keburukan kamu! Aku menjamin kebaikan-kebaikan kamu tidak akan disia-siakan sedikit pun. Kasihan kamu, wahai umat Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, alangkah cepatnya kebinasaan kalian! Ini, masih banyak para Sahabat Nabi kamu. Ini, pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allâh yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kamu berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan”. Mereka berkata: “Demi Allâh Ta'âla, wahai Abu Abdurrahmân, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”. Beliau menjawab: “Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan, tetapi tidak mendapatkannya”. Sesungguhnya Rasulullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah memberitakan kepada kami: “Bahwa ada sekelompok orang yang membaca al-Qur’ân, namun al-Qur’ân tidak melewati tenggorokan mereka”. “Demi Allah, aku tidak tahu, kemungkinan mayoritas mereka itu adalah dari kamu”. Kemudian Ibnu Mas`ud radhiyallâhu'anhu meninggalkan mereka. [10] |
2. | Kisah Abdullah bin ‘Umar radhiyallâhu'anhu Nâfi’ Maula Ibnu ‘Umar radhiyallâhu'anhu bercerita: Bahwa seorang laki-laki bersin di samping Ibnu ‘Umar radhiyallâhu'anhu, lalu dia berkata: “Alhamdulillâh wassalâmu ‘ala rasûlillâh”! Ibnu ‘Umar radhiyallâhu'anhu berkata: “Aku katakan, Alhamdulillâh wassalâmu ‘ala rasûlillâh, bukan begini yang diajarkan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau telah mengajari kita untuk mengucapkan: “Alhamdulillâh ‘ala kulli hâl”. [11] |
3. | Sa’îd bin Al-Musayyib rahimahullâh Abu Rabah, seorang lelaki tua dari keluarga ‘Umar radhiyallâhu'anhu berkata: Sa’îd bin Al-Musayyib melihat seorang laki-laki melakukan shalat dua raka’at setelah Ashar; dan dia sering melakukannya. Maka beliau melarangnya. Laki-laki itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku karena shalat?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi Dia akan menyiksamu karena menyelisihi Sunnah (tuntunan Nabi)”. [12] Setelah membawakan riwayat ini, Syaikh al-Albâni rahimahullâh berkata: “Ini termasuk jawaban-jawaban Sa’îd bin Al-Musayyib rahimahullâh yang mengagumkan. Merupakan senjata yang kuat untuk melawan para pelaku bid’ah, orang-orang yang menganggap baik banyak dari perkara-perkara bid’ah dengan sebutan bahwa itu adalah dzikir dan shalat!! Kemudian mereka mengingkari ahlus sunnah yang telah mengingkari bid’ah mereka itu. Mereka menuduh Ahlus sunnah mengingkari dzikir dan shalat!! Sedangkan sebenarnya, Ahlus sunnah itu hanyalah mengingkari ahli bid’ah yang menyelisihi sunnah di dalam dzikir, shalat dan semacamnya”.[13] |
4. | Imam Mâlik bin Anas rahimahullâh Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullâh berkata: “Imam Malik rahimahullâh didatangi seorang lelaki, lalu bertanya: “Wahai Abu ‘Abdillâh, dari mana aku berihram?” Beliau menjawab: “Dari Dzul Hulaifah, tempat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dahulu berihram”. Lelaki tadi berkata: “Aku ingin berihram dari masjid di dekat kubur”. Imam Mâlik rahimahullâh berkata: “Jangan engkau lakukan, aku khawatir musibah akan menimpamu”. Dia menjawab: “Musibah apa tentang ini?” Imam Mâlik rahimahullâh berkata: “Musibah mana yang lebih besar dari anggapanmu bahwa engkau meraih keutamaan yang Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tidak dapat meraihnya? Sesungguhnya aku mendengar Allâh Ta'âla berfirman: Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (Qs an-Nûr/24:63)[14] |
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa agama Islam ini telah dinyatakan sempurna oleh Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya. Demikian juga diakui oleh para Sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dan para Ulama setelah mereka. Maka, segala macam tambahan dan perkara baru di dalam agama ini adalah tertolak. Karena setelah jelas al-haq, semua yang bertentangan dengannya adalah kebatilan. Semoga Allâh Ta'âla selalu menganugerahkan kepada kita keikhlasan di dalam niat dan kebenaran dengan mengikuti Sunnah. Amin.
[1] | Tafsir Al-Qur’ânil ‘Azhîm, karya Imam Ibnu Katsîr surat al-Mâidah ayat 3 |
[2] | Hadits Shahîh dengan seluruh jalur riwayatnya. Riwayat Syâfi’i, al-Baihaqi, al-Khathib al-Baghdâdi, dan lainnya. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni di dalam Silsilah ash-Shahîhah 4/416-417 dan Syaikh Ahmad Syâkir dalam Ta’lîqur-Risâlah, hlm. 93-103. Dinukil dari Al-Bid’ah Wa Atsaruha As-Sayyi’ Fil Ummah, hlm 25 |
[3] | Hadits Shahîh. Lihat penjelasannya di dalam Ar-Risâlah karya Imam Syâfi’i, hal 93 Ta’lîq Syaikh Ahmad Syâkir. Dinukil dari ‘Ilmu Ushûlil Bida’, hlm 19. |
[4] | Hadits Shahîh. Riwayat Ibnu Mâjah no. 43; Ahmad 4/126; dan Ibnu Abi ‘Ashim no. 48, 49. |
[5] | Kitab Al-I’tishâm, juz: 2, hal: 64, karya Imam Asy-Syâtibi |
[6] | Kitab Al-I’tishâm, juz: 1, hal: 111, karya Imam Asy-Syâtibi |
[7] | Al-Qaulul Mufîd, hal. 38 |
[8] | Miftâhul Jannah, Lâ ilâha illallâh, hal. 58 |
[9] | HR. Nasâi, no 3140; Lihat: Silsilah Ash-Shahîhah, no. 52; Ahkâmul Janâiz, hal. 63 |
[10] | Hadits Shahîh Riwayat Ad-Dârimi di dalam Sunannya, juz 1, hlm. 68-69, no. 206; dan Bahsyal di dalam Târîkh Wasith, hlm. 198-199. Lihat: Al-Bid’ah, hlm. 43-44; Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 92 |
[11] | Hadits Hasan Riwayat Tirmidzi, no. 2738; dll. Lihat Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 71 |
[12] | Riwayat Shahîh. Diriwayatkan oleh Darimi, juz 1, hlm. 116, no. 437, dll. Lihat Ilmu Ushul Bida’, hlm. 71 |
[13] | Irwâul Ghalîl, juz. 2, hlm. 236 |
[14] | Riwayat Al-Khathib di dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, juz. 1, hlm. 148; dll. Lihat ‘Ilmu Ushul Bida’, hlm. 72 |
www.info-iman.blogspot.com