Jika kita bepergian ke negara-negara “maju”, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada, Australia dan lain sebagainya, ada banyak fenomena menarik dalam kehidupan keseharian jika dibandingkan dengan Indonesia. Mereka negara yang relatif sekular, negara tidak mencampuri urusan agama masyarakat. Agama dan keyakinan hidup adalah urusan individu masing-masing orang.
Pertama-tama yang langsung terlihat adalah kebersihan, keteraturan, ketertiban, kerapihan dan keindahan. Kota yang indah, rapi, teratur dan tertib. Public transportation seperti bus, trem, kereta api dengan aneka nama dan jenisnya, transportasi sungai dan laut, semuanya tampak bersih, rapi, tertib dan memenuhi standar keamanan. Lalu lintas tampak ramai, namun tidak terdengar bunyi klakson.
Semua trafict light, semua tanda-tanda lalu lintas relatif dipatuhi. Sangat jarang dijumpai pengendara mobil yang “ugal-ugalan” atau tidak tertib di jalan maupun saat parkir. Mengendarai mobil di ruas-ruas jalan, baik siang maupun malam, terasa aman dan nyaman, karena yakin bahwa semua orang mematuhi aturan lalu lintas. Tidak khawatir akan diserobot atau ditabrak mobil lain, karena masing-masing mengerti dan mentaati aturan di jalan.
Jika kita di stasiun bus, bandara atau tempat umum lainnya, menjumpai toilet dalam keadaan bersih dan tidak berbau. Saya ingat cerita mbak Marissa Haque suatu ketika, bahwa kalau di Amerika kita harus jeli membaca tulisan atau bertanya kepada orang untuk mencari toilet di bandara. Namun di Indonesia tidak perlu bertanya atau membaca petunjuk, karena toilet bisa dikenali lewat baunya dari jarak jauh. Bau toilet yang khas menuntun kita menemukan lokasi toilet.
Di sepanjang trotoar jalan tampak bersih dan tidak ada pedagang kaki lima yang memenuhi badan trotoar. Toko dan pusat perbelanjaan kelihatan rapi dan tertib. Di semua tempat kita menyaksikan orang sangat tertib antri, untuk berbagai urusan. Jika menunggu bus umum, semua orang antri di halte. Saat bus datang, orang masuk sesuai urutan antri dan tidak berebutan masuk, apalagi dorong mendorong. Di kassa super market, semua orang antri dengan tertib. Di kasir saat kita di rumah makan atau kedai minuman, semua orang antri dengan tertib. Bahkan cenderung sepi, karena tidak terdengar orang berteriak-teriak.
Jika kita naik bus atau kereta api, selalu ada tempat yang dikhususkan untuk para penyandang cacat dan orang-orang tua, juga untuk ibu hamil. Anak-anak muda dan orang dewasa yang normal tidak akan menduduki kursi khusus tersebut, karena mereka mengutamakan orang cacat, orang tua dan ibu hamil.
Jika ada orang tua atau penyandang cacat naik bus, tampak bus dimiringkan posisinya oleh sopir, agar penumpang yang cacat atau sudah tua mudah naik ke dalam bus. Sopir akan menunggu sampai penumpang duduk, baru menjalankan busnya. Kecepatan bus juga diatur, ada kecepatan maksimal yang tidak boleh dilampaui.
Itu beberapa hal yang kelihatan dengan cepat oleh mata kita di negara-negara maju tersebut. Seorang teman mengatakan, “Akhlak mereka lebih baik dari akhlak masyarakat Indonesia”. Saya menyanggahnya. Tidak, ini bukan soal akhlak.
Jika kita bicara akhlak, maka selalu melibatkan dimensi Ketuhanan di dalamnya. Kita tidak perlu terlalu jauh meninjau sampai kepada dimensi Ketuhanan, karena akan lebih rumit. Jadi, mari kita pahami dengan dimensi kemanusiaan, yang relatif lebih mudah dilihat.
Apa yang kita saksikan di negara-negara maju tersebut merupakan akumulasi dari proses yang panjang. Proses pendidikan, proses kemakmuran dan penegakan hukum. Tentu sangat banyak proses lainnya, namun coba kita lihat dari tiga sisi ini saja untuk memudahkan.
Kumpulan dari masyarakat yang (relatif) terdidik, makmur dan dijaga dengan hukum yang ketat, menyebabkan mereka menjadi masyarakat yang tertib, teratur dan tampak sopan. Masyarakat tidak berani melanggar aturan karena mereka tahu bahwa hukum akan menyulitkan dan memberatkan mereka. Pelanggaran di jalan, akan berdampak langsung kepada mereka. Kamera yang dipasang di sepanjang jalan akan memotret pelanggaran yang dilakukan, dan akan langsung terkirim ke alamat rumah tagihan denda atas pelanggaran yang dilakukan.
Kamera menyebabkan tidak ada negosiasi di jalan. Jika bertemu polisi yang menemukan kita melakukan pelanggaran, kita tidak akan bisa negosiasi dengannya. Jika sopir bus berlaku tidak sopan, bisa kena komplain dari pelanggan. Jika sopir terkena komplain, dia bisa terkena sanksi sejak dipotong gaji sampai dikeluarkan dari pekerjaan. Jika sudah punya catatan dikeluarkan dari pekerjaan, akan menyebabkan sulit baginya mencari pekerjaan berikutnya.
Jika ada orang melakukan pelanggaran terhadap aturan pemerintah, siapapun orang itu, akan langsung terkena dampak hukum. Orang takut melanggar, orang takut menyimpang dari aturan karena akan membuat kesulitan yang panjang dalam hidup mereka selanjutnya. Orang berusaha untuk tidak berurusan dengan hukum, apalagi penjara. Tidak ada negosiasi dalam penegakan aturan. Walikota yang melanggar, akan tetap terkena sanksi hukum.
Kejahatan bisa terjadi dimana-mana sebagai tabiat alam kehidupan. Namun kejahatan bisa dikurangi dan dicegah dengan proses pendidikan, dengan peningkatan kemakmuran dan penegakan hukum yang tegas dan pasti. Saya masih ingat saat di Canberra, diantar oleh dua muslimah asal Malaysia menuju ke bukit salju. Berjalan dengan kecepatan 100 sampai 150 km/jam, muslimah ini tampak sangat santai mengendarai mobil. Perjalanan selama 3 jam lebih terasa nyaman, karena kondisi jalan yang bagus, lapang, dan semua orang taat aturan lalu lintas.
Di negara kita tercinta, pendidikan masih harus terus menerus ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Kemakmuran masyarakat juga masih sangat jauh dari harapan, termasuk kemakmuran para aparat penegak hukum. Apalagi hukum tidak ditegakkan dengan konsisten. Semua bisa dinegosiasi, semua bisa diatur, semua bisa diselesaikan dengan “cara adat”. Terlebih ada kesan, siapa punya duwit, dia bisa mengatur apa saja di Indonesia.
Masyarakat merasa tidak takut melanggar aturan, karena sangat banyak orang melanggar tidak diapa-apakan. Aman-aman saja. Bebas-bebas saja. Masyarakat tidak malu melanggar lampu lalu lintas, karena banyak teman yang melakukannya. Pejabat tidak malu korupsi, karena banyak sahabatnya, dan tidak diproses hukum.
Masih banyak ingin saya tuliskan, tapi ini ibu-ibu pengajian British Columbia (BC) sudah mengajak saya jalan-jalan ke Dollar Store di downtown Vancouver. Nanti saya teruskan ceritanya. Khawatir mereka marah….. tuh sudah pada siap di mobil…. saya pergi dulu yah….
Vancouver 16 Maret 2011
Sumber : pkspiyungan.blogspot.com
Pertama-tama yang langsung terlihat adalah kebersihan, keteraturan, ketertiban, kerapihan dan keindahan. Kota yang indah, rapi, teratur dan tertib. Public transportation seperti bus, trem, kereta api dengan aneka nama dan jenisnya, transportasi sungai dan laut, semuanya tampak bersih, rapi, tertib dan memenuhi standar keamanan. Lalu lintas tampak ramai, namun tidak terdengar bunyi klakson.
Semua trafict light, semua tanda-tanda lalu lintas relatif dipatuhi. Sangat jarang dijumpai pengendara mobil yang “ugal-ugalan” atau tidak tertib di jalan maupun saat parkir. Mengendarai mobil di ruas-ruas jalan, baik siang maupun malam, terasa aman dan nyaman, karena yakin bahwa semua orang mematuhi aturan lalu lintas. Tidak khawatir akan diserobot atau ditabrak mobil lain, karena masing-masing mengerti dan mentaati aturan di jalan.
Jika kita di stasiun bus, bandara atau tempat umum lainnya, menjumpai toilet dalam keadaan bersih dan tidak berbau. Saya ingat cerita mbak Marissa Haque suatu ketika, bahwa kalau di Amerika kita harus jeli membaca tulisan atau bertanya kepada orang untuk mencari toilet di bandara. Namun di Indonesia tidak perlu bertanya atau membaca petunjuk, karena toilet bisa dikenali lewat baunya dari jarak jauh. Bau toilet yang khas menuntun kita menemukan lokasi toilet.
Di sepanjang trotoar jalan tampak bersih dan tidak ada pedagang kaki lima yang memenuhi badan trotoar. Toko dan pusat perbelanjaan kelihatan rapi dan tertib. Di semua tempat kita menyaksikan orang sangat tertib antri, untuk berbagai urusan. Jika menunggu bus umum, semua orang antri di halte. Saat bus datang, orang masuk sesuai urutan antri dan tidak berebutan masuk, apalagi dorong mendorong. Di kassa super market, semua orang antri dengan tertib. Di kasir saat kita di rumah makan atau kedai minuman, semua orang antri dengan tertib. Bahkan cenderung sepi, karena tidak terdengar orang berteriak-teriak.
Jika kita naik bus atau kereta api, selalu ada tempat yang dikhususkan untuk para penyandang cacat dan orang-orang tua, juga untuk ibu hamil. Anak-anak muda dan orang dewasa yang normal tidak akan menduduki kursi khusus tersebut, karena mereka mengutamakan orang cacat, orang tua dan ibu hamil.
Jika ada orang tua atau penyandang cacat naik bus, tampak bus dimiringkan posisinya oleh sopir, agar penumpang yang cacat atau sudah tua mudah naik ke dalam bus. Sopir akan menunggu sampai penumpang duduk, baru menjalankan busnya. Kecepatan bus juga diatur, ada kecepatan maksimal yang tidak boleh dilampaui.
Itu beberapa hal yang kelihatan dengan cepat oleh mata kita di negara-negara maju tersebut. Seorang teman mengatakan, “Akhlak mereka lebih baik dari akhlak masyarakat Indonesia”. Saya menyanggahnya. Tidak, ini bukan soal akhlak.
Jika kita bicara akhlak, maka selalu melibatkan dimensi Ketuhanan di dalamnya. Kita tidak perlu terlalu jauh meninjau sampai kepada dimensi Ketuhanan, karena akan lebih rumit. Jadi, mari kita pahami dengan dimensi kemanusiaan, yang relatif lebih mudah dilihat.
Apa yang kita saksikan di negara-negara maju tersebut merupakan akumulasi dari proses yang panjang. Proses pendidikan, proses kemakmuran dan penegakan hukum. Tentu sangat banyak proses lainnya, namun coba kita lihat dari tiga sisi ini saja untuk memudahkan.
Kumpulan dari masyarakat yang (relatif) terdidik, makmur dan dijaga dengan hukum yang ketat, menyebabkan mereka menjadi masyarakat yang tertib, teratur dan tampak sopan. Masyarakat tidak berani melanggar aturan karena mereka tahu bahwa hukum akan menyulitkan dan memberatkan mereka. Pelanggaran di jalan, akan berdampak langsung kepada mereka. Kamera yang dipasang di sepanjang jalan akan memotret pelanggaran yang dilakukan, dan akan langsung terkirim ke alamat rumah tagihan denda atas pelanggaran yang dilakukan.
Kamera menyebabkan tidak ada negosiasi di jalan. Jika bertemu polisi yang menemukan kita melakukan pelanggaran, kita tidak akan bisa negosiasi dengannya. Jika sopir bus berlaku tidak sopan, bisa kena komplain dari pelanggan. Jika sopir terkena komplain, dia bisa terkena sanksi sejak dipotong gaji sampai dikeluarkan dari pekerjaan. Jika sudah punya catatan dikeluarkan dari pekerjaan, akan menyebabkan sulit baginya mencari pekerjaan berikutnya.
Jika ada orang melakukan pelanggaran terhadap aturan pemerintah, siapapun orang itu, akan langsung terkena dampak hukum. Orang takut melanggar, orang takut menyimpang dari aturan karena akan membuat kesulitan yang panjang dalam hidup mereka selanjutnya. Orang berusaha untuk tidak berurusan dengan hukum, apalagi penjara. Tidak ada negosiasi dalam penegakan aturan. Walikota yang melanggar, akan tetap terkena sanksi hukum.
Kejahatan bisa terjadi dimana-mana sebagai tabiat alam kehidupan. Namun kejahatan bisa dikurangi dan dicegah dengan proses pendidikan, dengan peningkatan kemakmuran dan penegakan hukum yang tegas dan pasti. Saya masih ingat saat di Canberra, diantar oleh dua muslimah asal Malaysia menuju ke bukit salju. Berjalan dengan kecepatan 100 sampai 150 km/jam, muslimah ini tampak sangat santai mengendarai mobil. Perjalanan selama 3 jam lebih terasa nyaman, karena kondisi jalan yang bagus, lapang, dan semua orang taat aturan lalu lintas.
Di negara kita tercinta, pendidikan masih harus terus menerus ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Kemakmuran masyarakat juga masih sangat jauh dari harapan, termasuk kemakmuran para aparat penegak hukum. Apalagi hukum tidak ditegakkan dengan konsisten. Semua bisa dinegosiasi, semua bisa diatur, semua bisa diselesaikan dengan “cara adat”. Terlebih ada kesan, siapa punya duwit, dia bisa mengatur apa saja di Indonesia.
Masyarakat merasa tidak takut melanggar aturan, karena sangat banyak orang melanggar tidak diapa-apakan. Aman-aman saja. Bebas-bebas saja. Masyarakat tidak malu melanggar lampu lalu lintas, karena banyak teman yang melakukannya. Pejabat tidak malu korupsi, karena banyak sahabatnya, dan tidak diproses hukum.
Masih banyak ingin saya tuliskan, tapi ini ibu-ibu pengajian British Columbia (BC) sudah mengajak saya jalan-jalan ke Dollar Store di downtown Vancouver. Nanti saya teruskan ceritanya. Khawatir mereka marah….. tuh sudah pada siap di mobil…. saya pergi dulu yah….
Vancouver 16 Maret 2011
Sumber : pkspiyungan.blogspot.com
www.info-iman.blogspot.com