Kamis, 31 Mei 2012

Lidah itu Memang Tak Bertulang

WOW.......“MULUTMU HARIMAUMU”

Mungkin kita pernah sakit hati oleh ucapan atau ejekan seseorang, atau merasakan fitnahkeji dan kabar dusta tentang kita. Ibnu Mas’ud berkata 

Demi dzat yang tiada Ilah selain Allah tidak ada sesuatu yang lebih layak untuk dipenjarakan daripada lisan”.


Mungkin inilah julukan yang paling tepat untuk menyatakan akan sifat lisan yang sukar untuk dikendali, pengaruhnya yang luar biasa mampu menembus batas-batas yang mungkin tidak sanggup untuk ditembus meski dengan alat secanggih dan serba modern sekalipun. 

Apalagi karakternya yang tidak bertulang, ukurannya yang kecil, bahkan termasuk organ tubuh yang kecil, memudahkan setiap orang untuk berbicara seenaknya. Namun…. Jangan ditanya apa akibat nya, seseorang bisa tergelincir hanya karenanya, namun karenanya juga seseorang bisa masuk jannah-Nya. Yah.. memang itulah lisan.

Bercermin pada Salaf

Al-kisah menyebutkan bahwa saat Umar bin Khottob tengah berjalan-jalan, di tengah perjalanan ia dapati Abu Bakar sedang menarik-narik lisannya, ketika ditanya , Abu Bakar menjawab 

Lidah adalah organ tubuh yang harus banyak dikekang”. 

 So, bagaimana dengan keadaan kita saat ini? sudahkah kita memberi rambu-rambu pada lisan kita? Sesuatu yang paling ditakutkan dan paling dikhawatirkan oleh nabi sterhadap umatnya adalah lisan. Dalam sebuah kitab BERDOSA KARENA LIDAH” disebut kan dari Shufyan bin Abdullah Ats-tsaqofi bahwa Nabisditanya tentang sesuatu yang paling di khawatirkan oleh beliau terhadap umatnya, maka beliau menunjukkan lidahnyan sembari bersabda ”ini”.

 Mana lebih utama, Diam atau Bicara?

Tidak ada pilihan lain bagi kita, kecuali satu diantara 2 hal, bicara yang baik atau diam. Dengan diam kita akan meraih simpati dan tidak menyakiti orang lain, kita akan memiliki kewibawaan tanpa harus repot-repot minta maaf, oleh karena itu bicaralah seperlunya saja, kalau tidak memungkinkan untuk berbicara maka cukuplah bagi kita untuk diam.

Rasulullahs bersabda:

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خيرا أوليصمت

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”

Al-Hafidz Ibnu Abdil Baar menyebutkan dalam kitabnya “ADAB AL-MAJALASAH” disebutkan, ada sejumlah orang sedang bermunaqosyah tentang “diam dan bicara” disamping Ahnaf bin Qois, sebagian mereka mengatakn,“diam lebih utama” lalu Ahmad bin Qois menyela, “bicara yang dilandasi ilmu utama daripada diam”. Ma’nanya adalah seseorang tidak akan meraih keutamaan dan manfaat kecuali dengan menuntut ilmu karena dengan ilmulah seseorang bisa membedakan antara yang berhak untuk dikatakan dan tidak, hingga secara otomatis ia akan berbicara disaat dan ditempat yang tepat dengan cara yang tepat pula.

Perlu kita intropeksi & renungkan diri, mengapa Allah menciptakan mata, telinga, kaki, tangan semuanya dua, sedangkan Allah menciptakan mulut itu hanya satu?, Itu semua karena Allah memerintahkan hambanya untuk banyak melihat, mendengar dan bekerja untuk kebaikan , bukan untuk banyak bicara.


Wallahu a’lam
  

Allah Selalu Mengawasi Kita

Mukmin Yang Kuat Menuju Maqom Mukmin Yang Utama.

Selayaknyalah kita ini harus menjadi orang mukmin yang kuat, karena mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah ta’ala dibandingkan mukmin yang lemah, yang namanya kuat itu macam-macam, ada kuat badan, kuat ekonomi, kuat mental dan lain-lain. Ada yang kuat dengan cara sendiri-sendiri (individu) adapula yang kuat secara bersama-sama. Menurut sunnatullah, orang bisa menjadi kuat itu mempunyai faktor-faktor penunjang.  Kuat badan ditunjang oleh kekeran tubuh, sempurnanya susunan tubuh. Kuat ekonomi ditentukan oleh harta kekayaan yang dihasilkan dari kerja keras penuh perhitungan. Kuat kedudukan ditunjang oleh kelebihan ilmu, akhlak. Kuat mental ini adalah karena kuatnya iman.


Jadi orang  yang kuat maka ia harus mempunyai faktor-faktor tersebut, mukmin yang kuat akan lebih dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, tapi yang harus dijaga ketika seorang mukmin itu telah menjadi adalah jangan sekali kali takabur, sombong, congkak. Sebab perlu diingat bahwa dari setiap hal yang baik itu masih ada yang lebih baik lagi. Mengenai faktor penunjang mukmin yang kuat. Rasullah shollallahu alaihi wasallam bersabda :

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

‘Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta ‘ala daripada orang mukmin yang lemah. Pada masing-masing memang terdapat kebaikan. Capailah dengan sungguh-sungguh apa yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kemalangan, maka janganlah kamu mengatakan; ‘Seandainya tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu’. Tetapi katakanlah; ‘lni sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya. Karena sesungguhnya ungkapan kata ‘law’ (seandainya) akan membukakan jalan bagi godaan syetan.’ H.R Muslim
Dalam hadits ini Rasullah menjelaskan tentang faktor-faktor untuk mejadi seorang mukmin yang kuat.  Mukmin yang kuat akan lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala dan sebuah motivasi suapaya kaum muslimin optimis dalam bekerja dan  tabah dalam menghadapi segala kemungkinan.

Hadist di atas mengandung tiga macam motivasi dan dua macam larangan.

Pertama yaitu Kuat Iman.

Hendaklah kita ini menguatkan iman, jadilah mukmin yang kuat. Dalam keimanan tiap-tiap orang itu berbeda da yang lemah dan ada yang kuat. Orang yang kuat imannya sangat terdorong untuk amal-amal sholeh sebanyak-banyaknya. Selalu beramar makruf nahi munkar, gemar bejihad, tidak takut akan rintangan dalam melaksanakan kebaikan dan sabar dalam melaksanakan hak-hak Allah.

Dan orang yang lemah imannya. Mereka lengah dan lalai dalam beramal sholeh. Dan  lalai dalam urusan akhirat, cita-citanya tidak untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Semua yang dilakukan oleh orang yang lemah imannya dan yang kuat imannya itu ada kebaikannya namun orang yang kuat imannya selalu menyuburkan imannya dengan amal yang sholeh sehingga imannya itu semakin rindang dan akarnya semakin menghujam kedalam hati sanubari.

Karena orang yang imannya kuats selalu berbuat kebaikan maka ia   akan mendapat kebahagian di dunia dan di akhirat. Allah ta’ala berfirman

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Q.S An Nahl : 97

Kedua : Semangat Untuk Mencari Segala Sesuatu Yang Membawa Kemanfaatan Baik Di Dunia Dan Akhirat

Seorang mukmin jangan sampai mengkosongkan waktu, sehingga waktu itu meninggalkan tanpa bekas apa-apa, namun isilah waktu itu dengan kegiaatan yang penuh semangat, seperti mencari ilmu, bekerja, semangat untuk berdakwah, membaca al qur’an dan semangat untuk sholat berjamaah.

Ketiga : Adapaun motivasi yang ketiga agar menjadi mukmin yang kuat adalah selalu memohon pertolongan kepada Allah.

Dalam menghadapi segala sesuatu dan rencana hendaklah memohon pertolongan kepada Allah. Karena yang memutuskan dan yang menentukan segala sesuatu adalah Allah subhanahu wata’ala tentu saja dalam hal ini diiringi dengan usaha-usaha bersifat lahiriyah.

وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ   رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ

bila kau meminta, mintalah pada Allah dan bila kau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah, ketahuilah sesungguhnya seandainya ummat bersatu untuk memberimu manfaat, mereka tidak akan memberi manfaat apa pun selain yang telah ditakdirkan Allah untukmu dan seandainya bila mereka bersatu untuk membahayakanmu, mereka tidak akan membahayakanmu sama sekali kecuali yang telah ditakdirkan Allah padamu, pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. H.R Tirmidzi

Adapun dua larangan supaya kita menjadi mukmin yang kuat adalah.

Pertama : Rasullallah Melarang Kita Untuk Bersifat Dhoif, Lemah Dalam Mencapai Cita-Cita.

Namun hendaklah kita optimis, besar hati dalam usaha kita, jiwa penuh kepercayaan kepada Allah agar apa yang kita cita-citakan itu tercapai. Disertai dengan usaha yang benar, tidak bolehlah kita bermalas-malas, lemah dan berdiam diri tanpa usaha.

Rasullah shollallahu alaihi wasallam mengajarkan kita sebuah doa.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah, malas, pengecut dan kepikunan dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa qubur”). Muttafaq alaih

Kedua : Janganlah Kita Mengucapkan Kata Andai-Andai.

Jika kita tertimpa suatu hal yang tidak mengenakkan, Rasullah melarang kita untuk megucapkan andai-andai, karena kata itu dapat membuka pekerjaan setan.

Dengan kata andai-andai seolah kita mampu menghindar dari taqdir Allah, padahal taqdir Allah mustahil untuk dihindari dan tidak terlaksana, yang benar untuk menanggapi peristiwa yang lampau kita katakan “Allah telah menaqdirkannya dan apa yang dikehendakiNya niscaya terjadi” sedang untuk menghadapi apa yang akan datang maka kita siapkan segalanya dengan sepenuhnya, dan seharusnya kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah kita alami pada waktu yang lampau jangan sampai kita terperosok dua kali dalam satu lubang.

Itulah tiga motivasi dan dua larangan untuk mencapai mukmin yang kuat. Adapun untuk menjadi mukmin yang utama. Untuk mencapai derajat paling tinggi Rasullah bersabda :

أفضل الإيمان أن تعلم أن الله معك حيثما كنت

Iman yang paling utama adalah kamu mengetahui bahwa Allah bersamamu di mana saja kamu berada. (HR. Ath Thabarani)

Dan juga sabda beliau

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik” H.R Tirmidzi

Masih sabda beliau shollallahu alaihi wasallam :

أَفْضَلُ الإِيمَانِ أَنْ تُحِبَّ لِلَّهِ ، وَتُبْغِضَ لِلَّهِ ، وَتُعْمِلَ لِسَانَكَ فِي ذِكْرِ اللَّهِ ” ، قَالَ : وَمَاذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ” وَأَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ ، وَتَكْرَهَ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ ، وَأَنْ تَقُولَ خَيْرًا أَوْ تَصْمُتَ

Seutama-utamnya iman adalah hendaklah kamu mencinta dan membenci karena Allah dan lisanmu selalu berdzikir kepada Allah” Kemudian Rasul ditanya lagi, “Selain itu apa wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Hendaklah kamu mencintai orang lain sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri, dan hendaklah kamu membenci bagi orang lain sebagaimana kamu membenci bagi dirimu sendiri.” H.R Thobrani

Dalam hadits-hadits di atas rasullah menjelaskan ciri-ciri orang yang memiliki iman yang paling utama, ada tiga ciri-ciri dari orang yang mempunyai seutama-utama iman.

Pertama : Merasa Diawasi Oleh Allah.

sesungguhnya Allah bersama kamu dimanapun kamu berada.

Maksudnya bahwa orang itu senantiasa merasa dalam pengawasan Allah dan selalu bertaqorrub kepada Allah ta’ala. Orang yang senantiasa merasa dalam pengawasan dan penglihatan Allah menandakan ia selalu menjalin hububungan Allah subhanahu wata’ala dimana saja dan di kondisi apa saja, ia menyadari segala tingkah laku dan gerak geriknya tidak lepas dari pengawasan Allah subhanahu wata’ala, maka dari itu setiap muslim yang mempunyai keimanan tinggi akan selalu berbuat jujur, tidak mudah bermaksiat kepada Allah, tidak menyakiti manusia yang lainya. Semua itu disebabkan karena ia menyadari baik apapun yang ia lakukan baik secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan jelas terlihat Allah subhanahu wata’ala.

Kedua : Berakhlak Baik Sesama Manusia.

Seorang yang memiliki iman yang kuat dan sempurna tentu akan menumbuhkan akhlak yang baik, karena akhlak yang baik adalah buah dari iman, seorang mukmin sejati tentu saja akan menjalin hubungan terhadap sesama manusia dengan akhlak yang baik, selalu bersikap sopan santun, jujur, rendah diri, ikhlash serta selalu mawas diri dari perbuatan yang kurang terpuji.

Ketiga : Mencintai Manusia Lebih Dari Mencintai Dirinya Sendiri.

Maksudnya adalah dalam bergaul sesama manusia hendaknya dilandasi dengan hati nurani yang bersih bisa mengukur perasaan orang lain dari perasaannya sendiri, misalnya jika tidak suka dicaci maki orang lain maka jangan mencaci maki orang lain, jika tidak suka ditipu orang lain maka jangan  menipu orang lain, jika tidak ingin disakiti orang lain maka jangan menyakiti orang lain.

Itulah tiga faktor untuk menjadi mukmin yang paling utama, jika ketiganya mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari maka akan lahirlah amal-amal sholeh yang membawa kita menjadi mukmin sejati yang layak untuk masuk surga dengan ridha Allah Ta’ala.

وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, niscaya Allah akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.” Q.S At Taghobun : 9







  

Apa Muslim dan Apa Mukmin

Yang Berserah Diri (Muslim) Vs. Yang Beriman (Mukmin)

Apakah Anda Seorang Muslim (Yang Berserah Diri) atau Seorang Mukmin (Yang Beriman)?

Pertanyaan di atas kelihatannya "tidak relevan" untuk kebanyakan orang yang mengikuti Al-Qur’an, tapi setelah selesai membaca artikel ini Insya Allah anda akan menyadari betapa pentingnya mengetahui apa yang dituntut dari diri kita masing-masing oleh Yang Maha Kuasa.

Istilah 'Muslim' dan 'Mukmin' digunakan secara bergantian oleh masyarakat Islam dan biasanya hampir setiap Muslim yang benar juga dianggap sebagai Mukmin yang benar.

Berikut adalah definisi Muslim dan Mukmin seperti yang biasa ditemukan dalam masyarakat Islam:
Muslim menurut tradisi
Seorang 'Muslim' menurut tradisi adalah seseorang yang menerima penuh 5 rukun:

  1.  Mengucapkan kalimat syahadat
  2. Shalat 5 waktu
  3. Puasa di bulan Ramadhan
  4. Membayar Zakat
  5. Naik Haji (bagi yang mampu)
Jika anda melakukan semua hal di atas, maka anda berada dalam pelukan Islam dan otomatis menjadi bagaian keluarga besar Islam yang berjumlah lebih dari 1 milyar itu.

Mukmin menurut tradisi
Definisi yang biasa diberikan untuk Mukmin adalah sebagai berikut:
  1. Iman kepada Allah
  2. Iman kepada malaikat
  3. Iman kepada Kitab-Kitab Suci-Nya
  4. Iman kepada Rasul-Rasul-Nya
  5. Iman kepada Hari Akhir
  6. Iman kepada Qada dan Qadr
Perhatikan definisi dari 'Muslim' dimana salah satunya adalah menerima Muhammad sebagai utusan-Nya. Jika anda telah melakukannya, maka anda juga telah menerima Al-Qur’an yang di dalamnya terkandung masalah Allah (Tauhid), malaikat, para rasul, Hari Akhir, juga Qada dan Qadr sebagai sesuatu yang benar!

Oleh karena itu, jika anda mendirikan 5 rukun Islam, maka anda juga harus menerima 6 rukun Iman, yang membuat seseorang menjadi Muslim dan Mukmin sekaligus.

Sejauh ini masih mudah dimengerti...

Nah, sekarang marilah kita lihat apa yang Allah cantumkan dalam Al-Qur’an.

Apakah Muslim dan Mukmin itu Sama?

Menurut Al-Qur’an, terdapat perbedaan yang sangat jelas antar seseorang Yang Berserah Diri atau Yang Tunduk Patuh dengan seseorang Yang Beriman
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman (A'manna)". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: ‘Kami telah tunduk (Aslamna)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (49:14)
Pada ayat di atas kita jelas diberitahu oleh Allah bahwa mereka yang mengaku "beriman" telah ditegur oleh-Nya karena mengatakan sesuatu yang tidak benar! Ibaratnya, mereka telah mencoba berlari meskipun berdiri saja belum mampu. Tidaklah mungkin mereka telah "beriman" meskipun mereka mau, namun mereka tetap dapat menjadi Muslim (Yang Tunduk, Yang Berserah Diri) jikalau mereka ingin berada di jalan-Nya.

Siapakah Para Muslim Itu?

Karena Allah telah secara gamblang memberitahu kita dalam 49:14 bahwa Yang Berserah Diri dan Yang Beriman tidaklah sama, kita mesti bertanya pertanyaan yang logis. Pertanyaan tersebut adalah "Siapakah para Muslim itu?"
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada (1) orang yang menyeru kepada Allah, (2) mengerjakan amal yang saleh dan berkata: (3) "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang Yang Berserah Diri"? (41:33)

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, (1) tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan (2) supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. (3) Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan (4) sesungguhnya aku termasuk orang-orang Yang Berserah Diri". (46:15)

Katakanlah: "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa, maka hendaklah kamu Berserah Diri (kepada-Nya)" (21:108)
Ternyata kelihatannya cukup sederhana berdasarkan ayat-ayat di atas.

Yang perlu kita lakukan untuk menjadi seorang Muslim (Yang Berserah Diri) adalah dengan mengakui Tauhid (Allah itu Esa), menghargai-Nya, dan melakukan hal-hal yang "baik"

Perlu dicatat bahwa tindakah syirik akan membuat amal kita yang "baik" itu lenyap dan imbalan kita hanyalah neraka.
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu" Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun. (5:72)
Satu Tuhan?

Jika seseorang Yang Berserah Diri atau Muslim cukup "menerima bahwa Tuhan itu satu yaitu Allah", bagaimana mungkin dia bisa berkesimpulan seperti itu jika dia tidak mengakui rasul-rasul-Nya dan kitab-kitab-Nya?

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", atau agar kamu tidak mengatakan:"Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?" (7:172-173)
Permasalahan percaya kepada "Hanya Allah" ini lebih dari sekadar percaya kepada kitab-kitab atau rasul-rasul-Nya. Percaya kepada "Hanya Allah" adalah fitrah dari keberadaan kita, merupakan bagian diri kita yang tidak terpisahkan.

Tuhan itu Satu. Ini adalah fakta tak terbantahkan yang diakui seluruh umat manusia pada awal pencipataan mereka.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui  (30:30)
Untuk menjadi Yang Berserah Diri atau Muslim, seseorang cukuplah dengan memegang teguh "fakta" dari fitrahnya tersebut, dan tidak membiarkan dirinya tertipu untuk mengikuti "yang lain" yang telah mempraktekkan syirik terhadap Allah Yang Maha Kuasa. Tidak diperlukan kitab atau apa pun untuk bersaksi atas fakta ini, karena tidak ada satu pun yang bisa mengatakan bahwa dia tidak mengetahui fakta ini di Hari Akhir. Berarti fakta ini diterima oleh semua manusia, baik yang tinggal di kota, di dusun, maupun di pulau terpencil di ujung dunia.

Beramal Baik? 

Jika pengakuan adanya Satu Tuhan telah ditanamkan dalam fitrah keberadaan umat manusia, bagaimana elemen Muslim lainnya, yaitu "melakukan amal baik"?

Ketika seseorang telah memilih untuk melangkah di jalan "Allah itu Satu," maka hal-hal berikut akan menentukan apa yang dia anggap sebagai benar atau salah (kebanyakan orang tanpa kitab suci pun mengetahui hal ini, yaitu sifat alami)
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu:
  1. janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
  2. berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa,
  3. dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.  Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka;
  4. dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,
  5. dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).
  6. Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
  7. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.
  8. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu),
  9. dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat
(6:151-152)
Mengapa hampir setiap manusia setuju bahwa hal-hal di atas adalah penting, misalnya, hampir tidak ada yang setuju bahwa membunuh itu perbuatan yang baik? Padahal, tidak semuanya setuju atau mengakui Allah atau rasul-rasul-Nya atau puasa atau naik haji.

Bukankah ini bukti bahwa pengetahuan "benar" dan "salah" telah ditanamkan ke dalam fitrah umat manusia dan bahwa seseorang Yang Berserah Diri akan mengetahui kebenaran ini hanya dengan melihat ke "dalam" dirinya sendiri?

Kesimpulan: Yang Berserah Diri atau Muslim

Harus disebutkan sekarang bahwa definisi yang diperlukan agar seorang diakui sebagai Muslim (secara tradisi di atas), sebetulnya bukan hal yang betul!

Dia Yang Berserah Diri tidaklah dituntut untuk menunaikan shalat, zakat, puasa, ataupun naik haji. Dan semua ini dikatakan sendiri oleh Allah Yang Maha Kuasa di atas.

Yang Berserah Diri tidak dituntut untuk menerima Al-Qur’an, ataupun kitab-kitab sebelumnya, atau rasul manapun. Dia hanyalah: a) mengakui bahwa Allah itu Satu; dan b) Beramal baik.

Inilah jalan hidup Ibrahim AS, contoh yang sangat baik bagi seluruh umat manusia:

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (4:125)
Meskipun hal ini bisa mengagetkan mereka yang berpaham menurut tradisi di atas, ini adalah kenyataan sesungguhnya menurut perkataan Allah langsung kepada seluruh umat manusia yang Dia cantumkan dalam Al-Qur’an.

Kita hendaknya tidak berpaling kepada Sunni atau Shi’ah atau "pengikut Quran" untuk menemukan seseorang yang diakui Allah sebagai Muslim. Kita cukup melihat orang yang telah mengakui bahwa Allah itu Satu dan telah mendedikasikan hidupnya untuk berbuat amal-amal yang baik.

Kitab-Kitab Allah diturunkan untuk menuntun umat manusia yang bertakwa atau Muttaqin; dan Al-Qur’an adalah kitab yang berisi fakta dan hukum yang diturunkan sebagai sumber insiprasi bagi umat manusia.

Siapakah Yang Beriman?

Ini mungkin menjadi permasalahan yang paling membingungkan.
Pemahaman yang kurang seringkali menyebabkan seseorang tidak bisa membedakan mana yang Muslim dan mana yang Mukmin, dan telah menciptakan kebingungan sehingga melabelkan sifat-sifat yang seharusnya dimiliki Mukmin kepada yang Muslim.

1. Mereka beriman kepada Allah dan Utusan-Nya

Sesungguhnya orang-orang Yang Beriman hanyalah orang-orang Yang Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (49:15)
Ini jauh dari sekedar mengakui Allah. Ayat ini berbicara mengenai kemantapan kepercayaan dan keyakinan dalam hati dan menerima utusan-Nya dengan memikul tanggung jawab dalam mengakui (menjalani) Al-Qur’an.

2. Mereka mencapai tahap yang tidak mempunyai keraguan sedikit pun

Lihat kembali 49:15. Mereka yakin atas apa yang diturunkan dan kata-kata yang terkandung di dalamnya menambah keyakinan mereka.

3. Mereka berjuang dengan harta dan jiwa mereka

Lihat kembali 49:15. Memiliki keyakinan hanyalah langkah awal bagi mereka. Mereka adalah orang-orang yang menempatkan uang mereka sesuai perkataan mereka dan berjuang menuju Allah dengan kekayaan dan jiwa mereka

4. Hati mereka bergetar saat Nama Allah disebut

Sesungguhnya orang-orang Yang Beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, ...  (8:2)

5. Keyakinan mereka bertambah saat mendengar wahyu-Nya

... dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) ... (8:2)

6. Mereka bertawakal kepada Tuhan mereka

... dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal (8:2)

7. Mereka menegakkan shalat

(yaitu) orang-orang yang mendirikan salat ... (8:3)
Disebabkan "perjalanan" yang telah dilalui mereka Yang Beriman, hubungan spiritual yang lebih sangat dibutuhkan dengan jalan menegakkan shalat dan secara konsisten melantunkan kata-kata dan perintah-perintah Allah.

8. Mereka menafkahkan sebagian rezeki mereka

... dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka (8:3)
Mereka Yang Beriman juga memberi sedekah untuk mencapai tingkat "Zakat" atau "kemurnian" yang berarti membersihkan jiwa dan menyempurnakan "perjalanan" menuju Allah.

Hasilnya adalah:

Itulah orang-orang Yang Beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia (8:3)
Seperti yang dapat kita baca, mereka Yang Beriman berada pada tingkatan yang jauh berbeda dan telah mencakup elemen-elemen "baru" ketimbang apa yang telah disebutkan di atas mengenai mereka yang berstatus Muslim atau Yang Berserah Diri.

Mengapa Seseorang Ingin Menjadi Yang Beriman?

Karena Muslim cukuplah percaya bahwa Allah itu Satu dan berlaku kebaikan, mengapa seseorang ingin berkutat dengan para rasul dan kitab suci yang pada intinya berarti menaati sejumlah peraturan dan perintah?

Dan apabila dibacakan (Al-Qur'an itu) kepada mereka, mereka berkata: "Kami beriman kepadanya; sesungguhnya; Al-Qur'an itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan Kami, sesungguhnya Kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan (nya)." (28:53)
Ketika mereka memutuskan untuk mengambil langkah selanjutnya dan menegakkan cirri-ciri dari Yang Beriman menurut Al-Qur’an, mereka akan memperoleh pahala dua kali.
Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan.  (28:54)
Satu pahala sebagai Muslim, dan satu pahala sebagai Mukmin.
Pada intinya, mereka yang ingin menjadi Mukmin, adalah mereka yang menginginkan sesuatu yang lebih.

Seperti yang kita tahu bahwa surga dibagi atas beberapa tingkatan, tergantung seberapa jauh seseorang berjalan menuju Allah semasa hidupnya. Merupakan hal yang logis bahwa Allah memberikan pengetahuan kepada kita agar kita dapat mengetahui bagaimana mencapai tingkat yang lebih tinggi, dan bagaimana bahkan sampai pada tingkatan yang dicapai oleh para rasul dan mereka yang mati syahid.

Yang Beriman = Yang Benar dan Lurus

Karena mereka Yang Beriman telah memutuskan untuk melangkah lebih jauh dari sekedar percaya kepada Allah, dan telah pula meyakini utusan-utusan-Nya (49:15), maka mereka telah diatur oleh peraturan baru yang menjadikan mereka kaum Yang Benar dan Lurus.
Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,
(yaitu)
  1.  mereka Yang Beriman kepada yang gaib,
  2.  yang mendirikan shalat
  3.  dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,
  4.  dan mereka Yang Beriman kepada Kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu
  5. dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu,
  6.  serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
  7.  Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
(2:2-5)
Mereka adalah orang-orang yang telah melangkah lebih jauh dari sekedar hal-hal yang dasar yaitu a) Allah itu Satu, dan b) beramal baik. Mereka telah mendapatkan keimanan dan secara otomatis telah termasuk dalam lingkaran yang sama sekali berbeda.
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah
  1.  beriman kepada Allah,
  2.  hari kemudian,
  3. malaikat-malaikat,
  4.  kitab-kitab,
  5.  nabi-nabi
  6.  dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
  7.  dan  (memerdekakan) hamba sahaya,
  8.  mendirikan salat,
  9. dan menunaikan zakat;
  10. dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
  11.  dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
  12.  Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
(2:177)
Perintah-perintah yang mengatur mereka Yang Benar dan Lurus lebih dari sekedar "berbuat baik" dan termasuk di dalamnya semua perintah Allah. Yaitu:
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: (1) janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, (2) berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, (3) dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.  Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; (4) dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, (5) dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).

(6) Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. (7) Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.  (8) Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu), (9) dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,

dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, (10) maka ikutilah dia; (11) dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (6:151-153)
 Mereka Yang Benar dan Lurus juga dituntut hal-hal lain dalam perjalanan mereka seperti:
Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang Yang Beriman. (4:103)
Lalu juga membersihkan diri mereka dengan berzakat (2:177).

Berpuasa dalam periode tertentu untuk menumbuhkan kesabaran (shiyam) seperti dalam:

Hai orang-orang Yang Beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa .(2:183)

Kesimpulan

Mereka yang mengikuti Al-Qur’an secara penuh yang diwahyukan melalui para rasul tidak lagi menjadi sekedar Muslim, namun mereka telah maju ke tingkatan berikutnya yaitu menjadi Mukmin.

Hal yang kerap terjadi di masyarakat sekarang adalah orang-orang menuntut hal-hal yang seharusnya dikerjakan bagi Yang Beriman kepada mereka yang baru pada tingkatan Yang Berserah Diri. Ini seperti menyuruh mereka menerbangkan pesawat tempur padahal naik pesawat penumpang saja belum pernah.

Seseorang tidak akan bisa menghargai atau mengerti nilai-nilai dari shalat dan zakat jika dia belum melangkah di jalan a) Allah itu Satu dan b) beramal baik.

Hanya ketika mereka mendapatkan "kepastian" dalam hatinya, mereka bisa melangkah lebih jauh ke tingkatan selanjutnya; yaitu meyakini Utusan-Nya dan menegakkan peraturan Kebenaran atau Taqwa dalam hidupnya.
___________________________________________
Oleh Free-Minds ( free@fre-minds.org)
Terjemahan Adley ( adley194@gmail.com)
Judul asli: Submitters (Muslims) Vs. Believers (Mumins)

Jagalah Hati

Dengki dan Dendam

Dalam Al-Quran Allah berfirman yang artinya: "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang di karuniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi seorang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah yang maha mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32).


Dendam dalam bahasa Arab di sebut hiqid, ialah "Mengandung permusuhan didalam batin dan menanti-nanti waktu yang terbaik untuk melepaskan dendamnya, menunggu kesempatan yang tepat untuk membalas sakit hati dengan mencelakakan orang yang di dendami". 

Berbahagialah orang yang berlapang dada, berjiwa besar dan pema 'af. Tidak ada sesuatu yang menyenangkan dan menyegarkan pandangan mata seseorang, kecuali hidup dengan hati yang bersih dan jiwa yang sehat, bebas dari rasa kebingungan dan bebas dari rasa dendam yang senantiasa menggoda manusia. Seseorang yang hatinya bersih dan jiwanya sehat, ialah mereka yang apabila melihat sesuatu nikmat yang diperoleh orang lain, ia merasa senang dan merasakan karunia itu ada pula pada dirinya. 

Dan apabila ia melihat musibah yang menimpa seseorang hamba Allah, ia merasakan sedihnya dan mengharapkan kepada Allah untuk meringankan penderitaan dan mengampuni dosanya. Demikianlah seorang muslim, hendaknya selalu hidup dengan hati yang bersih dan jiwa yang sehat, rela terhadap ketentuan Allah dan terhadap kehidupan. 

Jiwanya bebas dari perasaan dengki dan dendam. Karena perasaan dengki dan dendam itu merupakan penyakit hati, yang dapat merembeskan iman keluar dari hati, sebagaimana merembesnya zat cair dari wadah yang bocor. Islam sangat memperhatikan kebersihan hati karena hati yang penuh dengan noda-noda kotoran itu, dapat merusak amal sholeh, bahkan menghancurkannya. 

Sedang hati yang bersih, jernih dan bersinar itu dapat menyuburkan amal dan dorongan semangat untuk meningkatkan amal ibadah, dan Allah memberkahi dan memberikan segala kebaikan kepada orang yang hatinya bersih. Oleh karena itu, jamaah muslimin yang sebenarnya, hendaknya jamaah yang terdiri dari orang-orang yang bersih jiwanya dan sehat hatinya, yang terdiri di atas saling cinta mencintai, saling kasih mengasihi, sayang menyayangi, yang merata, di atas pergaulan yang baik dan kerjasama yang saling menguntungkan timbal balik, di dalamnya tidak ada seorang yang untung sendiri, bahkan golongan yang semacam ini, sebagaimana di gambarkan dalam Al-Qur'an yang artinya: "Yang orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa 'Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang beriman, Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau maha penyantun lagi maha penyayang". (Al-Hasyr: 10). Apabila rasa permusuhan telah tumbuh dengan suburnya, sampai berakar, dapat mengakibatkan hilangnya rasa kasih sayang dan hilangnya kasih sayang dapat mengakibatkan rusaknya perdamaian. 

Dan jika sudah sampai demikian, maka dapat menghilangkan keseimbangan yang pada mulanya menjurus kearah perbuatan dosa-dosa kecil, dan akhirnya dapat mengarah kepada dosa-dosa besar yang mengakibatkan turunnya kutukan Allah. Perasaan iri hati karena orang lain memperoleh nikmat kadangkala dapat menimbulkan khayalan yang bukan-bukan sampai membuat-buat kedustaan. Islam membenci perbuatan demikian dan memperingatkan jangan sampai terjerumus kedalamnya. 

Mencegah adanya ketegangan dan permusuhan, menurut Islam merupakan ibadah yang besar, sebagaimana sabda Nabi saw yang artinya: "Maukah aku beritahukan kepadamu perkara yang lebih utama dari puasa, shalat dan shadaqoh?, Jawab sahabat: "Tentu mau". Sabda Nabi saw: "yaitu mendamaikan di antara kamu, karena rusaknya perdamaian di antara kamu adalah menjadi pencukur yakni perusak agama". (HR. Abu Daud dan Turmudzi). 

Syaitan kadangkala tidak mampu menggoda orang-orang pandai untuk menyembah berhala, tetapi syaitan sering juga mampu menggoda dan menyesatkan manusia, melalui celah-celah pergaulan dengan cara merusak perdamaian diantara mereka itu sendiri, sehingga dengan hawa nafsunya yang tidak terkendalikan, mereka tersesat dan tidak mengetahui hak-hak Tuhannya, bagaikan menyembah berhala. 

Di sinilah syaitan mulai menyalakan api permusuhan di hati manusia dan jika api permusuhan itu telah menyala, ia senang melihat api itu membakar manusia dari zaman ke zaman, sehingga turut terbakarnya hubungan dan segi-segi keutamaan manusia. Kita harus mengetahui bahwa manusia itu berbeda-beda tabiat dan wataknya, berbeda-beda kecerdasan akal dan daya tangkapnya. 

Karena itu dalam pergaulan dan pertemuan di lapangan kehidupan, kadangkala mereka membuat kesempatan yang mengakibatkan perselisihan dan permusuhan. Maka Islam telah memberikan cara penanggulangan mensyari'atkan penepatan akhlak yang baik, yang membuat hati mereka luluh dan sarat berpegang kepada kasih sayang. 

Dan Islam melarang memutuskan hubungan dan berbantah-bantahan. Memang kita sering merasakan seolah-olah kejelekan itu dilemparkan kepada kita, sehingga kita sering tidak mampu mengendalikan perasaan dan kejengkelan kita, yang apabila fikiran kita sempit, maka timbullah niat untuk memutuskan hubungan dengan si pemeluknya. Tetapi Allah tidak rela perbuatan yang demikian. 

Memutuskan hubungan sesama muslim dilarang, sebagaimana sabda nabi saw yang artinya: "Janganlah kamu putus hubungan, belakang membelakangi, benci membenci, hasut menghasut. Hendaknya kamu menjadi hamba Allah yang bersaudara satu sama yang lain (yang muslim) dan tidaklah halal bagi (setiap) muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari". (HR. Bukhori dan Muslim). 

Dalam hadits ini dinyatakan batas tiga hari, karena pada waktu tiga hari kemarahan sudah bisa reda, setelah itu wajib bagi seorang muslim, untuk menyambung kembali hubungan tali persaudaraannya dengan saudara-saudaranya sesama muslim, dan membiasakan perilaku yang utama ini. 

Karena putusnya tali persaudaraan ini tak ubahnya seperti awan hitam atau mendung apabila telah di hembus angin, maka hilanglah mendungnya dan cuacapun menjadi bersih dan terang kembali. Ringkasnya, hendaknya orang-orang yang mempunyai penyakit hati, seperti rasa dendam, iri hati, dan dengki selalu ingat bahwa kekuasaan Allah mengatasi segala kekuasaan. 

Dan hendaklah ia ingat, bahwa harta benda dan kedudukan yang bersifat duniawi itu selamanya tidak kekal. Paling jauh dan lama, sepanjang hidupnya saja, bahkan mungkin sebelum itu. Dalam Al-Quran Allah berfirman yang artinya: "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang di karuniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi seorang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah yang maha mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32). 

Kecintaan Kepada Dunia Mengakibatkan Dengki

Iri Dan Dengki….., Kenali Kemudian Jauhi !

Sebagian manusia tidak mampu mengelakkan dirinya dari sifat iri dan dengki. Dengki kepada rekan yang baru naik jabatan, dengki kepada tetangga yang punya mobil mewah, dengki kepada saudara yang anaknya sarjana dan dengki kepada seorang ustadz yang memiliki murid yang pintar dan lain sebagainya.


Dan sungguh tidak bisa dibayangkan, ketika abad globalisasi dan keterbukaan yang telah mulai membuka pintunya akan semakin memberikan peluang untuk membuka ‘kran hati’ untuk saling mendengki. Karena ukuran globalisasi identik dengan materi. Orang pun semakin tak bisa mengendalikan hati.

Rasa dengki dan iri baru tumbuh manakala orang lain menerima nikmat. Biasanya jika seseorang mendapatkan nikmat, maka akan ada dua sikap pada manusia. Pertama, ia benci terhadap nikmat yang diterima kawannya dan senang bila nikmat itu hilang daripadanya. Sikap inilah yang disebut hasud, dengki dan iri hati. Kedua, ia tidak menginginkan nikmat itu hilang dari kawannya, tapi ia berusaha keras bagaimana mendapatkan nikmat semacam itu. Sikap kedua ini dinamakan ghibthah (keinginan). Yang pertama itulah yang dilarang sedang yang kedua diperbolehkan.

Beberapa Kisah Al Qur’an tentang Orang-orang yang Dengki

Dalam bahasa sarkasme, orang pendengki adalah orang yang senang melihat orang lain dilanda bencana, dan itu disebut syamatah. Syamatah dengan hasad selalu berkait dan berkelindan. Dari sini kita tahu, betapa jahat seorang pendengki, ia tidak rela melihat orang lain bahagia, sebaliknya ia bersuka cita melihat orang lain bergelimang lara. Allah Ta’ala menggambarkan sikap dengki ini dalam firmanNya, yang artinya: “Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran: 120)

Dengki juga merupakan sikap orang-orang ahli Kitab. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Kebanyakan orang-orang ahli Kitab menginginkan supaya mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, disebabkan karena kedengkian (hasad) yang ada dalam jiwa mereka.” (QS. Al Baqarah: 109)

Kedengkian saudara-saudara Yusuf kepada dirinya mengakibatkan sebagian dari mereka ingin menghabisi nyawa saudaranya sendiri, Yusuf ‘Alaihis Salam. Allah Ta’ala mengisahkan dalam firmanNya, yang artinya: “(Yaitu) ketika mereka berkata: Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau buanglah ia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.” (QS. Yusuf: 8 – 9)

Terhadap orang-orang pendengki tersebut Allah Ta’ala dengan keras mencela: “Apakah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah berikan kepadanya?” (QS. An Nisaa’: 54)

Sebab-sebab Dengki

Rasa dengki pada dasarnya tidak timbul kecuali karena kecintaan kepada dunia. Dan dengki biasanya banyak terjadi di antara orang-orang terdekat; antar keluarga, antarteman sejawat, antar tetangga dan orang-orang yang berde-katan lainnya. Sebab rasa dengki itu timbul karena saling berebut pada satu tujuan. Dan itu tak akan terjadi pada orang-orang yang saling berjauhan, karena pada keduanya tidak ada ikatan sama sekali.

Adapun orang yang mencintai akhirat, yang mencintai untuk mengetahui Allah, malaikat-malaikat, nabi-nabi dan kerajaanNya di langit maupun di bumi maka mereka tidak akan dengki kepada orang yang mengetahui hal yang sama. Bahkan sebaliknya, mereka malah mencintai bahkan bergembira terhadap orang-orang yang mengetahuiNya. Karena maksud mereka adalah mengetahui Allah dan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisiNya. Dan karena itu, tidak ada kedengkian di antara mereka.

Kecintaan kepada dunia yang mengakibatkan dengki antarsesama disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya karena permusuhan. Ini adalah penyebab kedengkian yang paling parah. Ia tidak suka orang lain menerima nikmat, karena dia adalah musuhnya. Diusahakanlah agar jangan ada kebajikan pada orang tersebut. Bila musuhnya itu mendapat nikmat, hatinya menjadi sakit karena bertentangan dengan tujuannya. Permusuhan itu tidak saja terjadi antara orang yang sama kedudukannya, tetapi juga bisa terjadi antara atasan dan bawahannya. Sehingga sang bawahan misalnya, selalu berusaha menggoyang kekuasaan atasannya.

Sebab kedua adalah ta’azzuz (merasa paling mulia). Ia keberatan bila ada orang lain melebihi dirinya. Ia takut apabila koleganya mendapatkan kekuasaan, pengetahuan atau harta yang bisa mengungguli dirinya.

Sebab ketiga, takabbur atau sombong. Ia memandang remeh orang lain dan karena itu ia ingin agar dipatuhi dan diikuti perintahnya. Ia takut apabila orang lain memperoleh nikmat, berbalik dan tidak mau tunduk kepadanya. Termasuk dalam sebab ini adalah kedengkian orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang seorang anak yatim tapi kemudian dipilih Allah untuk menerima wahyuNya. Kedengkian mereka itu dilukiskan Allah Ta’ala dalam firmanNya, yang artinya: “Dan mereka berkata: Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?” (QS. Az Zukhruf: 31) Maksudnya, orang-orang kafir Quraisy itu tidak keberatan mengikuti Muhammad, andai saja beliau itu keturunan orang besar, tidak dari anak yatim atau orang biasa.

Sebab keempat, merasa ta’ajub dan heran terhadap kehebatan dirinya. Hal ini sebagaimana yang biasa terjadi pada umat-umat terdahulu saat menerima dakwah dari rasul Allah. Mereka heran manusia yang sama dengan dirinya, bahkan yang lebih rendah kedudukan sosialnya, lalu menyandang pangkat kerasulan, karena itu mereka mendengki-nya dan berusaha menghilangkan pangkat kenabian tersebut sehingga mereka berkata: “Adakah Allah mengutus manusia sebagai rasul?” (QS. Al-Mu’minun: 34). Allah Ta’ala menjawab keheranan mereka dengan firmanNya, yang artinya: “Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu ?” (QS. Al A’raaf: 63)

Sebab kelima, takut mendapat saingan. Bila seseorang menginginkan atau mencintai sesuatu maka ia khawatir kalau mendapat saingan dari orang lain, sehingga tidak terkabullah apa yang ia inginkan. Karena itu setiap kelebihan yang ada pada orang lain selalu ia tutup-tutupi. Bila tidak, dan persaingan terjadi secara sportif, ia takut kalau dirinya tersaingi dan kalah. Dalam hal ini bisa kita misalkan dengan apa yang terjadi antardua wanita yang memperebutkan seorang calon suami, atau sebaliknya. Atau sesama murid di hadapan gurunya, seorang alim dengan alim lainnya untuk mendapatkan pengikut yang lebih banyak dari lainnya, dan sebagainya.

Sebab keenam, ambisi memimpin (hubbur riyasah). Hubbur riyasah dengan hubbul jah (senang pangkat/kedudukan) adalah saling berkaitan. Ia tidak menoleh kepada kelemahan dirinya, seakan-akan dirinya tak ada tolok bandingnya. Jika ada orang di pojok dunia ingin menandingi-nya, tentu itu menyakitkan hatinya, ia akan mendengkinya dan menginginkan lebih baik orang itu mati saja, atau paling tidak hilang pengaruhnya.

Sebab ketujuh, kikir dalam hal kebaikan terhadap sesama hamba Allah. Ia gembira jika disampaikan khabar pada-nya bahwa si fulan tidak berhasil dalam usahanya. Sebaliknya ia merasa sedih jika diberitakan, si fulan berhasil mencapai kesuksesan yang dicarinya. Orang sema-cam ini senang bila orang lain terbelakang dari dirinya, seakan-akan orang lain itu mengambil dari milik dan simpanannya. Ia ingin meskipun nikmat itu tidak jatuh padanya, agar ia tidak jatuh pada orang lain. Ia tidak saja kikir dengan hartanya sendiri, tetapi kikir dengan harta orang lain. Ia tidak rela Allah memberi nikmat kepada orang lain. Dan inilah sebab kedengkian yang banyak terjadi.

Terapi Mengobati Dengki

Hasad atau dengki adalah penyakit hati yang paling berbahaya. Dan hati tidak bisa diobati kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu tentang dengki yaitu hendaknya kita ketahui bahwa hasad itu sangat membahayakan kita, baik dalam hal agama maupun dunia. Dan bahwa kedengkian itu setitikpun tidak membahayakan orang yang didengki, baik dalam hal agama atau dunia, bahkan ia malah memetik manfaat darinya. Dan nikmat itu tidak akan hilang dari orang yang kita dengki hanya karena kedengkian kita. Bahkan seandainya ada orang yang tidak beriman kepada hari Kebangkitan, tentu lebih baik baginya meninggalkan sifat dengki daripada harus menanggung sakit hati yang berkepan-jangan dengan tiada manfaat sama sekali, apatah lagi jika kemudian siksa akhirat yang sangat pedih menanti?

Bahkan kemenangan itu ada pada orang yang didengki, baik untuk agama maupun dunia. Dalam hal agama, orang itu teraniaya oleh Anda, apalagi jika kedengkian itu tercermin dalam kata-kata, umpatan, penyebaran rahasia, kejelekan dan lain sebagainya. Dan balasan itu akan dijumpai di akhirat. Adapun kemenang-annya di dunia adalah musuhmu bergembira karena kesedihan dan kedengkianmu itu.

Adapun amal yang bermanfaat yaitu hendaknya kita melakukan apa yang merupakan lawan dari kedengkian. Misalnya, jika dalam jiwa kita ada iri hati kepada seseorang, hendaknya kita berusaha untuk memuji perbuatan baiknya, jika jiwa ingin sombong, hendaknya kita melawannya dengan rendah hati, jika dalam hati kita terbetik keinginan menahan nikmat pada orang lain maka hendaknya kita berdo’a agar nikmat itu ditambahkan. 

Dan hendaknya kita teladani perilaku orang-orang salaf yang bila mendengar ada orang iri padanya, maka mereka segera memberi hadiah kepada orang tersebut. Dan sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan kata-kata Ibnu Sirin: “Saya tidak pernah mendengki kepada seorangpun dalam urusan dunia, sebab jika dia penduduk Surga, maka bagaimana aku menghasudnya dalam urusan dunia sedangkan dia berjalan menuju Surga. Dan jika dia penduduk Neraka, bagaimana aku menghasud dalam urusan dunianya sementara dia sedang berjalan menuju ke Neraka.”


Kita Hidup Untuk Apa

Untuk Apa Hidup Kita?

Kita lahir ke dunia. Tumbuh menjadi besar. Sekolah dari TK, SD, SMP, SMU dan jika beruntung meneruskan kuliah. Lalu bekerja dan menikah. Punya anak. Jika umur panjang, masih bisa lihat cucu, buyut, dan -jika beruntung- canggah. Lalu mati. Itulah gambar kasar dari hidup kita. Lalu hari-hari hidup itu adalah bangun, mandi, makan pagi, bekerja atau sekolah, makan siang, mengisi waktu dengan berbagai aktivitas, mandi lagi, makan malam, dan tidur lagi. Kebanyakan dari kita melakukan hari-harinya seperti itu.


Lalu apa sebenarnya hidup kita ini ? Karl Marx  pernah berkata, ” Hidup itu perut kenyang”. Maksudnya hidup itu untuk makan (saja). Sedangkan Sigmund Freud berpendapat hidup itu pemenuhan kebutuhan seksual belaka, lain tidak. Jika kita tanya orang-orang di sekitar kita tentang ‘untuk apa kita hidup ?’ mungkin -dan sangat mungkin- jawaban yang kita peroleh adalah sebanyak orang yang kita tanyai. Maksudnya adalah satu orang menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda dari yang lainnya, sebagaimana pendapat Karl Marx berbeda dengan Sigmund Freud.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat, maka gunakan akal sehat kita ! Yang paling tahu untuk apa kita hidup tentu saja ialah Yang Menghidupkan kita, yaitu Sang Pencipta, Alloh subhaanahu wa ta’ala. Alloh subhaanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya: ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu..” (QS: Adz-Dzaariyaat: 56).

Sekarang sudah jelas bagi kita, bahwa kita diciptakan dan dihidupkan hanya untuk beribadah kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala saja dan tidak ada tujuan yang lain.

Mungkin timbul pertanyaan: Lalu apakah hidup kita ini hanya  untuk sholat saja, ke masjid saja, mengaji saja ? Kemudian tidak mancari nafkah, tidak menikah ? Sebelum bertanya-tanya, lebih dulu harus kita pahami makna ‘ibadah’ itu.

Pengertian Ibadah yang biasa dirujuk oleh ulama adalah pengertian yang dirumuskan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, yaitu ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Alloh subhaanahu wa ta’ala, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang nampak (lahir) maupun yang tersembunyi (batin). Sebagian ulama menambahkan dengan: disertai oleh ketundukan yang paling tinggi dan rasa kecintaan yang paling tinggi kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala.

Ibadah itu banyak macamnya dan terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala), raja’ (mengaharap rahmat Alloh subhaanahu wa ta’ala), mahabbah (cinta kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala), tawakkal adalah ibadah yang berkaitan dengan hati. Sedangkan membaca Al-Qur’an, tasbih, tahlil, takbir, tahmid adalah ibadah lisan dan hati. Sedangkan shalat, zakat, haji, berbakti pada orang tua, membantu orang kesulitan adalah ibadah badan dan hati.

Jadi ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala) atau apa saja yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan yang mubah pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala. Seperti tidur, makan, minum, jual beli, bekerja mencari nafkah, menikah, dan sebagainya. Jadi ibadah itu tidaklah sempit cakupannya, bahkan ia mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid.

Sebagai contoh ibadah di luar masjid adalah bekerja. Banyak hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk bekerja dan memuji para pelakunya. Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: ” Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah dari hasil kerjamu sendiri” (HR: Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan An-Nasa-i, dari ‘A-isyah dengan sanad shahih).

Ketika para sahabat menyaksikan seorang laki-laki berjalan dengan gesit, mereka berkomentar, ” Seandainya (saja) ia berjalan di jalan Allah (berjihad).” Kemudian Nabi Shallaallaahu  ‘alaihi wa sallam meluruskan pernyataan tersebut dan bersabda, yang artinya: “Jika ia keluar mencarikan nafkah anaknya yang kecil, maka ia di jalan Alloh subhaanahu wa ta’ala. Jika ia keluar mencarikan nafkah kedua orang tuanya yang sudah tua, maka ia di jalan allah, dan jika ia keluar mencari nafkah untuk dirinya dengan maksud menjauhkan diri dari yang tidak baik, maka ia di jalan Allah. Dan jika ia keluar dengan maksud riya’ (pamer) dan sombong, maka ia di jalan setan. ” (HR. Ath-Thabrany dari Ka’ab bin Ujrah dengan sanad shahih).

Rasululloh shallaalaahu ‘alaihi wa sallam -yang merupakan teladan yang utama dan pertama dalam beribadah-  pada waktu kecil bekerja menggembala kambing dengan upah beberapa dinar. Kemudian beliau juga pernah berdagang. Begitu pula dengan para salafush-sholih (para pendahulu Islam yang sholih) mereka juga mencari nafkah dan membenci pengangguran. Abu Bakar, Utsman dan Thalhah Radhiyallahu ‘anhum adalah pedagang kain. Az-Zubair, dan Amr bin Al-Ash Radhiyallaahu ‘anhuma bekerja menjual pakaian jadi. Imam Ahmad Rahimahullah bekerja sebagai penulis kitab bayaran.

Jadi merupakan pandangan yang salah jika ada orang yang menganggap bekerja itu tidak termasuk ibadah. Namun tentu saja, bekerja yang dihitung sebagai ibadah adalah bekerja yang diniatkan untuk mencari bekal agar bisa mendekatkan diri kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala dan menjaga kehormatan muslim serta harus dengan cara yang halal. Jika bekerja namun diniatkan untuk menumpuk harta atau berfoya-foya tanpa memikirkan hak anak, istri, orang tua serta ditempuh dengan cara yang haram masih ditambah lagi dengan melalaikan kewajiban agama (sholat dan mncari ilmu agama misalnya), tentu saja bekerja yang seperti ini tidaklah bernilai ibadah, bahkan hanya menambah dosa.

Ibadah yang bermanfaat adalah ibadah yang diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala. Jika kita telah berlelah-lelah beribadah namun tidak diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala maka ibadah kita tidak bermanfaat dan arti hidup kita akan tidak bermakna serta tujuan hidup kita tidaklah tercapai.

Agar bisa diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan syarat: Ikhlas karena Alloh subhaanahu wa ta’ala semata, bebas dari syirik besar dan kecil & Sesuai tuntunan Rasullulloh shallaallaahu ‘alaihi wa sallam

Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa ilaaha ilaaLlaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya. Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammadur-Rasululloh karena ia menuntut wajibnya ta’at keada Nabi, mengikuti tuntunannya dan meninggalkan bid’ah (ibadah atau cara beribadah yang tidak pernah dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Dalil bagi kedua syarat ini ialah firman Alloh subhaanahu wa ta’ala, yang artinya: ” Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun (terhadap Alloh) dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS: Al-Kahfi :110).

Kalimat “..maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih..” merupakan manifestasi syarat kedua, yaitu sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena amal shalih itu adalah amal yang pasti telah dituntunkan Nabi. Sedangkan “..dan janganlah ia mermpersekutukan seorang pun (terhadap Allah) dalam beribadah kepada Tuhannya.” meruplakan manifestasi syarat pertama, yaitu keharusan ikhlash.

Dua syarat ini merupakan keharusan yang mutlak. Jadi adalah salah jika orang beribadah dengan cara yang tidak pernah dituntunkan Nabi kemudian dia berkata untuk membenarkan ibadahnya : ” Yang penting kan niatnya” atau ” Yang penting kan ikhlas”.

Niat ikhlas tidak bisa mengubah cara beribadah yang salah menjadi benar. Apalagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Barang siapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami (yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkannya dan tidak pernah membolehkannya) maka amal itu ditolak” (HR: Al-Bukhary dan Muslim ). Begitu pula sebaliknya, jika kita telah sesuai dengan tuntunan Nabi namun niatnya tidak ikhlas, maka amalan kita juga ditolak Alloh azza wa jalla.

Dua syarat ini haruslah dipahami dan berusaha terus untuk dikaji secara mendalam dan dipraktekkan. Maka tentu saja merupakan suatu kebohongan yang besar jika ada seorang muslim banyak ibadahnya tapi tidak pernah belajar bagaimana cara beribadah yang benar dan bagaimana agar amal ibadahnya dapat diterima Alloh subhaanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, langkah awal seorang muslim agar tujuan hidupnya tercapai adalah belajar dulu bagaimana cara beribadah yang benar dan dapat diterima. Tidak mungkin seorang yang tidak pernah mengaji, tidak pernah belajar agama  bisa benar ibadahnya. Padahal tujuan dihidupkannya kita ini adalah ibadah -yang mencakup seluruh aspek kehidupan, lain tidak.

Maka marilah kita hidupkan semangat mencari ilmu agama agar kemudian ibadah kita benar dan dapat diterima oleh Allah, sehingga hidup kita benar-benar bermakna dan tujuan hidup kita tercapai. Marilah kita baca Al-Qur’an, kita pelajari isinya melalui buku-buku agama, kita baca hadits-hadits, kita pahami maknanya melalui majelis-majelis pengajian, agar tak menyesal jika sudah sampai di kuburan nanti.


Ziarah Kubur Bid'ah Atau Sunnah

Ziarah Kubur Antara Sunnah dan Bid'ah.
 
Dalam tradisi Islam, ziarah kubur merupakan bagian dari ritual ke agamaan. Seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia telah melakukannya. Pada zaman permulaan Islam berkembang Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin menziarahi kuburan. Larangan ini lantaran kekhawatiran terjadi kesyirikan dan pemujaan terhadap keburan tersebut. Apalagi bila yang mati itu adalah termasuk orang-orang yang saleh. Di samping itu keimanan para sahabat masih lemah dan membutuhkan pembinaan dari Rasulullah SAW.


      Peringatan tersebut tidak hanya ditujukan kepada para sahabat saat itu, tetapi juga kepada umat sekarang ini sebagai generasi berikutnya. Ternyata kalau kita perhatikan apa yang dikhawatirkan Rasulullah SAW memang terjadi saat ini. Di zaman ini banyak kaum muslimin yang salah dalam menerapkan ziarah kubur. Mereka melakukan ziarah kubur hanya sekedar mengikuti adat dan tradisi daerah. Sehingga syariat Islam bercampur tradisi yang sesat.

Hikmah dan manfaat ziarah kubur

Ziarah kubur banyak memiliki hikmah dan manfaat, di antara yang terpenting adalah : 

1.         Ia akan mengingatkan akhirat dan kematian sehingga dapat memberikan pelaja ran dan ibrah bagi orang yang berziarah. Sehingga dapat memberikan dampak yang positif dalam kehidaupan.
2.         Mendoakan keselamatan bagi orang-orang yang telah meninggal dunia dan memohonkan ampuna untuk mereka atas segala amalan di dunia.
3.           Untuk menghidupkan sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
4.           Untuk mendapatkan pahala kebaikan dari Allah dengan ziarah kubur yang dilaku kannya.

Ziarah kubur adalah  wasilah menuju allah swt.

      Melihat kuburan yang sunyi,gelap,timbunan tanah diatasnya akan menggerakkan hatii dan jiwa manusia untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian. Bila seseorang meli hatnya lebih dalam lagi maka akan berkata pada dirinya sendiri; ''Kehidupan dunia adalah sementara karenanya beberapa saat lagi akan berakhir dengan kemusnahan seluruh kebutuhan materi yang selama ini dicari dengan berbagai cara, adakah bekal ruhani yang telah dipersiapkan untuk kehidupan di alam sana?''

     Menyaksikan nisan-nisan dapat melembutkan hati yang paling keras sekalipun, membuat pendengaran yang paling tuli dan memberikan cahaya kepada penglihatan yang paling samar. Menyebabkan orang melihat kembali cara hidupnya, mengevaluasinya, berpikir mengenai pertanggung jawaban nya yang berat dihadapan Allah dan manusia serta terhadap kurangnya amal kebajikan yang telah dibuat.

    Di samping itu, ziarah kubur, terutama kepada para Nabi dan orang-orang saleh, dapat memberikan berkah dan tempat untuk mendapatkan wasilah serta syafaat dalam perjalanan ruhani menuju Allah SWT. Kelak, kata Rasulullah, dalam hadisnya, ''di akhirat ketika tidak ada lagi pembela di hadapan Allah Ta'ala, kalian akan mendapatkan syafaat dariku, ahlul baitku, para syuhada dan orang-orang saleh di antara kalian.''
    
 Di dalam Al-Quran disebutkan antara lain tugas Rasulullah SAW (dilanjutkan para ulama) dalam membimbing umat manusia adalah mensucikan hati. ''Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayat Allah, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Susungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.''(QS.62:2).

Sunnah-sunnah dalam ziarah kubur

     Manfaat dan hikmah yang telah tersebut diatas dapat diperoleh dengan sempurna apabila seseorang yang akan melakukan ziarah kubur harus mengetahui sunnah dan tata cara berziarah yang benar sesuai tuntunan syari’at. Diantara petunjuk Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam ziarah kubur adalah sebagai berikut:

1.  Ziarah kubur dapat dilakukan setiap saat dan kapan saja,  tidak ada kekhususan hari atau waktu tertentu karena salah satu inti dari ziarah kubur adalah agar dapat memberi pelajaran dan peringatan agar hati yang keras menjadi lunak, hati tersentuh sehingga menitikkan air mata. Selain itu agar kita menyampaikan do’a dan salam untuk mereka yang telah mendahului kita memasuki alam kubur.

2.  Ketika ziarah kubur disertai dalam benak kita rasa takut kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya dan hanya bertujuan mencari keridhaan-Nya semata.

3. Mengucapakan salam kepada ahli kubur, mendoakan mereka agar mendapatkan rahmat, ampunan dan afiyah (kekuatan). Diantara doa yang dianjurkan untuk dibaca adalah yang artinya : "Keselamatan semoga terlimpah kepada para penghuni (kubur) dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (meninggal) diantara kami dan yang belakangan, insya Allah kami semua akan menyusul (Anda)". (lafazh ini berdasar riwayat Imam Muslim)

Bid'ah-bid'ah dalam ziarah kubur
  1. Mengkhususkan hari-hari tertentu dalam melakukan ziarah kubur, seperti harus pada hari Jum’at, tujuh atau empat puluh hari setelah kematian, pada hari raya dan sebagainya. Semua itu tak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan beliaupun tidak pernah mengkhususkan hari-hari tertentu untuk berziarah kubur.
  2. Thawaf (mengelilingi) kuburan, beristighatsah (minta perlindungan) kepada penghuninya terutama sering terjadi dikuburan orang shalih, ini termasuk syirik besar. Demikian pula menyembelih disisi kuburan dan ditujukan karena si mayit.
  3. Menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid untuk pelaksanaan ibadah dan acara-acara ritual.
  4. Sujud, membungkuk kearah kuburan, kemudian mencium dan mengusapnya.
  5. Shalat diatas kuburan, ini tidak diperbolehkan kecuali shalat jenazah bagi yang ketinggalan dalam menyolatkan si mayit.
  6. Membagikan makanan atau mengadakan acara makan-makan di kuburan.
  7. Membangun kubur, memberi penerangan (lampu), memasang selambu atau tenda diatasnya.
  8. Menaburkan bunga-bunga dan pelepah pepohonan diatas pusara kubur. Adapun apa yang dilakukan Rasulullah ketika meletakkan pelepah kurma diatas kubur adalah kekhususan untuk beliau dan berkaitan denga perkara ghaib, karena Allah memperlihatkan keadaan penghuni kubur yang sedang disiksa.
  9. Memasang prasasti baik dari batu marmer maupun kayu dengan menuliskan nama, umur, tanggal lahir dan wafatnya si mayit.
  10. Mempunyai persangkaan bahwa berdo’a dikuburan itu mustajab sehing-ga harus memilih tempat tersebut.
  11. Membawa dan membaca Mushaf Al Qur’an di atas kubur, dengan keyakinan bahwa membaca di situ memiliki keutamaan. Juga mengkhususkan membaca surat Ya sin dan Al Fatihah untuk para arwah.
  12. Ziarahnya para wanita ke kuburan, padahal dalam hadits Rasulullah jelas-jelas telah bersabda:
    “Allah melaknat para wanita yang sering berziarah kubur dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid”(Riwayat Imam Ahmad dan Ahlus sunan secara marfu’)
  13. Meninggikan gundukan kubur melebihi satu dhira’ (sehasta) yakni kurang lebih 40cm.
  14. Berdiri di depan kubur sambil bersedekap tangan layaknya orang yang sedang shalat (terkesan meratapi atau mengheningkan cipta, red).
  15. Buang hajat diatas kubur.
  16. Membangun kubah, menyemen dan menembok kuburan dengan batu atau batu bata
  17. Memakai sandal ketika memasuki komplek pemakaman, namun dibolehkan jika ada hal yang mambahayakan seperti duri, kerikil tajam atau pecahan kaca dan sebagainya, atau ketika sangat terik dan kaki tidak tahan untuk menginjak tanah yang panas.
  18. Membaca dzikir-dzikir tertentu ketika membawa jenazah, demikian pula mengantar jenazah dengan membawa tempat pedupaan untuk membakar kayu cendana atau kemenyan.
  19. Duduk di atas kuburan
  20. Membawa jenazah dengan sangat pelan-pelan dan langkah yang lambat, ini termasuk meniru ahli kitab Yahudi dan menyelisihi sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
  21. Menjadikan kuburan sebagai ied dan tempat berkumpul untuk menyelenggarakan acara-acara ibadah disana.
Kesimpulan :
   
  Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya ziarah kubur itu ada dua macam:
  1. Ziarah syar’iyah yang diizinkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan dalam ziarah ini ada dua tujuan, pertama bagi yang melakukan ziarah akan dapat mengambil pelajaran dan peringatan, yang kedua bagi mayit ia akan mendapatkan ucapan salam dan doa dari orang yang berziarah.
  2. Ziarah bid’iyah yaitu ziarah kubur untuk tujuan-tujuan tertentu bukan sebagaimana yang tersebut di atas, di antaranya untuk shalat di sana, thawaf, mencium dan mengusap-usapnya, mengambil sebagian dari tanah atau batunya untuk tabaruk, dan memohon kepada penghuni kubur agar dapat memberi pertolongan, kelancaran rizki, kesehatan, keturunan atau agar dapat melunasi hutang dan terbebas dari segala petaka dan marabahaya dan permintaan-permintaan lain yang hanya biasa dilakukan oleh para penyembah berhala dan patung saja.
     Maka selayaknya setiap muslim berpegang dengan ajaran agamanya, dengan kitabullah dan sunnah nabinya serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat yang tidak pernah diajarkan dalam Islam. Dengan itu maka akan diperoleh kebahagiaan di dunia maupun diakherat kelak, karena seluruh kebaikan itu ada dalam ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya sedang keburukan selalu ada dalam kemaksiatan dan ketidaktaatan. Allahu A'lam.  
______________________________________
Sumber Bacaan :
    1. Makalah Ziarah Kubur antara Sunnah dan Bid'ah (internet)
    2. Menziarahi Kubur Menurut Islam (internet)
    3. Ziarah Kubur Merupakan Wasilah Menuju Allah SWT (internet)
    4. Ziarah Kubur (internet)
    5. Ziarah Kubur oleh Ibnu Taimiyah.

Label

'idul adha adab dan sunnah adik saudara sepersusuan adzan air kencing bayi air kencing Rasulullah Akhirat akhlak Akhlaq Kepribadian Akhwat akidah Al Qur'an Al Qur#039;an Al Quran Al-Qur'an Alam Aliran-aliran Amalan AMALIYAH NU anak Analisa Angin Aqidah Aqiqah Artikel Artikel IImiah Asmara Astronomi ASWAJA Azab Bab Adab Bab Nikah Bab Puasa Bab Sholat Bab Thaharah Bab Zakat bantahan belajar islam Berita bersin Bid'ah bid'ah dalam aqidah bid'ah dalam ibadah Biografi Biologi Bisnis Blackberry Budaya Budi Daya buka puasa buku Cantik Fisik catatanku Cerpen Chairil Anwar Curahan Hati Curhat daging qurban Dakwah Dakwah Pemikiran Islam dakwah umum Dambaan insan Dari Salafushshalih Dasar Islam Dasar Keislaman demam Desain Dhaif Do'a do'a buka puasa Do'a dan Dzikir Doa doa bersama doa sholat tarawih download dunia islam Dunia Islam Kontemporer Dzikir dzikir dengan tangan kiri Ekonomi Eksoplanet Emansipasi Emha Ainun Nadjib Fakta Ilmiah Fakta Jin-Iblis-Syetan Fakta Manusia faraidh Fenomena Asteroid Fenomena Bencana Alam Fenomena Bintang Fenomena Bulan Fenomena Bumi Fenomena Hewan Fenomena Kutub Fenomena Langit Fenomena Matahari Fenomena Meteorit Fenomena Petir Fenomena Planet Fenomena Ruang Angkasa Fenomena Tumbuhan Fiqh Fiqh Muamalat Fiqh Wanita Fiqih Fisika Galaksi Geografi Geologi gerhana gigi palsu Hadis Hadis 40 hadist Hadits Hadits Palsu HAID Halal Haram HAM HARI RAYA ID HUKUM ISLAM hukum natal bersama hutang i'tikaf Ibadah ibadah yang baik ibu mertua ilmu ilmuan muslim Ilmuwan imam terlalu cepat bacaannya IMAN Inovasi intermezzo Internet Iptek iqomah isbal Islam jabat tangan setelah sholat JADWAL RAMADHAN Jagad Raya Jalaluddin Rumi jamaah sholat jumat jenazah Jual Beli judi junub Kabar Dalam Negeri kabar manca negara Kahlil Gibran Kajian Karya Buku Karya Ulama KB Keajaiban Alam Keajaiban Hewan KECANTIKAN Kecelakaan Maut Kehutanan Kelautan keluarga Kepemerintahan Kepengurusan Kerajaan Kesehatan Keuangan Keutamaan KHITAN Khitan Wanita khurofat Khutbah Khutbah Jum'at khutbah jumat Khutbah Rasulullah saw Kiamat Kidung Hati Kimia Kisah Kisah Kami Kisah Nyata Kisah Orang-Orang Shaleh Kisah Teladan Komputer Konversi Energi Kosmologi Kumpulan Do'a Kumpulan Kata lafadz adzan lafadz iqomah Lain-Lain Lalu Lintas lembaga sosial Lingkungan Hidup Lubang Hitam macam puasa sunnah mahram Makanan mandi jum'at mandi wajib Manhaj Manusia Manusia dan Teknologi masjid masjid quba Masuk Perguruan Tinggi Matahari Materi gelap Mayit media cetak memandikan jenazah membayar zakat memotong kuku memotong rambut mendahului gerakan imam menemani sholat jamaah menembok kuburan mengadzankan mayit di liang kubur mengangkat tangan menghadiahkan pahala mengqadha puasa menguburkan jenazah mengucapkan selamat natal mengusap kepala Mengusap muka setelah berdoa menikah di bulan syawwal menikah setelah berzina meninggal dunia Meninggalkan sholat jum'at menjawab adzan menjual kotoran hewan menyapu kepala menyentuh wanita Meteorologi Meteorologi-Klimatologi mihrab Mineralogi minum air zamzam Motivasi motivasi belajar Motivasi Beramal MQ (menejemen qolbu) mu'athilah Muallaf muamalah Muhasabah Mungkar murottal Muslimah Muslimah Articles Musyabbihah Mutiara Hikmah Mutiara Kalimat Mutiara Tafakur Nabi Muhammad Nagham Alqur'an Nasehat Neraka News niat sholat nikah nisfu aya'ban Oase Iman Olah Raga OLAHRAGA Otak PAKAIAN panas PAUD Pendidikan Penelitian penelitian sunnah Pengembangan Diri Pengobatan Akibat Sihir Peninggalan Sejarah Penjajahan Pentingnya Waktu Peradaban Islam Perbandingan Agama dan Aliran Perbankan Pergaulan Perkawinan Perkembangan Da'wah Islam Permata Hati pernikahan Personaliti Pesawat Ruang Angkasa Pesepakbola Muslim Pojok Ramadhan posisi imam wanita produksi awal program kerja Proyek Luar Angkasa Psikologi Puasa puasa daud puasa rajab Puasa Setiap Hari puasa sunnah puasa wanita hamil Puisi Puisi bahasa Ingris qunut nazilah QURAN radar lampung Radio Rajab Ramadhan ramalan cuaca Renungan Riba dan Jual Beli salafush shalih salah bacaan sholat Salam Khudam Sastra sedekah Sejarah Sejarah Islam SEKS Sentilan Seputar Daerah Buton Shalat shodaqoh shodaqoh melebihi kadar Sholat sholat dan keputihan sholat di rumah sholat ghoib sholat jamaah sholat jamaah estafet sholat jumat sholat jumat wanita sholat pindah tempat sholat qashar sholat sambil melihat mushaf sholat sendirian sholat sunnah sholat sunnah qobliyah isya sholat sunnah sebelum asar sholat sunnah setelah shubuh sholat takhiyatul masjid sholat wanita sifat dzatiyah sifat fi'aliyah Sihir Simpan Pinjam Sirah Siroh Shahabiyyah Software Islami Sosial Kemasyarakatan Sosiologi sujud sahwi sujud syukur sumpah dan nadzar Sunnah sutrah sutroh syafaat Syurga Tafakur Alam Semesta Tafsir Tafsir Al-Qur'an tahlilan Takbirotul ihram takwil mimpi tambal gigi tamsil Tanda Akhir Zaman Tanda-Tanda Kiamat Tanya jawab Tarbiyah Tasawwuf dan Adab tata cara tidur menurut sunnah Tata Surya Taufiq Ismail Tauhid tayammum Tazkirah Tazkiyah tazkiyatun nafs Tech News Teknik Sipil teladan Tenaga Kerja tertawa saat sholat Thoharoh tidak taat suami tinggi TK Tokoh Tokoh Dan Ulama Tokoh Islam Tools TPA Tsunami Tujuan Hidup tuntunan sholat uang pensiun dari riba uang riba ucapan assalamualaika UNCATEGORY Video da'wah video Motivasi Diri Video Muhasabah video murotal W. S. Rendra waktu membaca doa wanita wanita haid Wisata wudhu yasinan zakat zakat anak kepada orang tua zakat barang temuan zakat harta zakat harta warisan zakat hasil perkebunan zakat hasil pertanian zakat mal zakat padi zakat pns zakat tanah zina