At Tauhid edisi VII/19
Oleh: M. Nur Ichwan Muslim
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah. Amma ba’du.
Rasa aman merupakan salah satu nikmat terbesar. Kehilangan rasa aman merupakan bencana paling mengerikan yang dialami oleh manusia.
Keamanan adalah Nikmat Asasi
Rasa aman merupakan perkara yang sangat vital. Hal itu tidak dapat dipungkiri, karena manusia sangat membutuhkan rasa aman melebihi kebutuhan terhadap makanan dan minuman. Inilah hikmah mengapa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam lebih mendahulukan permohonan keamanan dalam do’anya sebelum memohon rezeki dalam surat al-Baqarah ayat 126. Sebab, rezeki yang melimpah tentulah menjadi tidak berarti bagi suatu negeri jika keamanan menjadi barang yang mahal disana. Penduduknya tidak akan mampu menikmati berbagai bentuk rezeki tersebut jika disertai kecemasan dan ketakutan yang mencekam.
Islam sebagai agama yang paripurna datang untuk memelihara hak asasi yang lima, yang salah satu diantaranya adalah memelihara jiwa manusia. Demikian pula, Islam menetapkan hudud (sanksi-sanksi hukum) yang sangat keras bagi siapa saja yang melanggarnya. Semua itu demi mengutamakan keselamatan dan keamanan yang merupakan nikmat asasi di dalam kehidupan manusia, sebagaimana tercantum dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menjumpai pagi hari dalam keadaan aman, sehat jasmani, dan memiliki makanan pokok untuk hari itu, maka seakan-akan dunia dan segala isinya telah dia dapatkan pada hari itu” [HR. Tirmidzi].
Oleh karenanya, rasa aman merupakan salah satu nikmat yang paling besar, dan kehilangan rasa aman merupakan bencana yang paling mengerikan yang dialami oleh manusia. Allah ta’ala berfirman, (yang artinya), “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” [An Nahl : 112].
Perhatian Rasulullah terhadap Penjagaan Keamanan
Suri tauladan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memiliki perhatian yang sedemikian besar terhadap keamanan, baik kepada kaum muslimin maupun kaum kuffar. Kepada kaum muslimin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari berbagai tindakan kezhaliman melalui sabdanya, “Orang muslim itu saudara muslim lainnya, dia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan tidak pula meremehkannya. Ketakwaan itu letaknya disini, -beliau beisyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah seorang itu dikatakan buruk perangainya jika dia meremehkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim haram melanggar darah, harta, dan kehormatan muslim yang lain” [HR. Bukhari dan Muslim].
Bahkan untuk sekedar menakuti saudara sesama muslim, meski dengan niat bercanda, rasulullah memperingatkan dengan keras, “Barangsiapa yang mengacungkan kepada saudaranya dengan sebilah benda tajam, maka sesungguhnya para malaikat melaknatnya sampai dia berhenti, meski saudaranya itu adalah saudara sebapak dan seibu.” [HR. Muslim].
Demikian pula dengan kaum kuffar, Islam pun memberikan perhatian yang serupa. Tidak serta merta karena kekafiran mereka, lantas boleh bagi kaum muslimin untuk mengganggu keamanan jiwa mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang membunuh orang mu’ahad (kafir yang memiliki perjanjian damai dengan pihak muslim) niscaya tidak akan mencium wangi surga.” [HR. Bukhari].
Asy Syaukani mengatakan, “Mu’ahad adalah penduduk dar al-harb yang masuk ke negeri Islam dengan adanya jaminan keamanan. Oleh karena itu, haram bagi kaum muslimin membunuhnya hingga dia kembali ke negerinya, dan tidak ada khilaf di kalangan para ulama akan hal ini. Hal itu ditunjukkan dalam firman-Nya di surat at-Taubah ayat 6″ [Nail al-Authar 7/155].
Syaikh Masyhur alu Salman mengatakan, “Membunuh kaum kafir dzimmi (tanpa alasan yang dibenarkan), di akhirat nanti, hukumannya sama seperti membunuh seorang muslim dan sungguh Allah ta’ala telah memberitakan hukuman bagi tindak pembunuhan terhadap seorang muslim dalam surat al-Anbiya ayat 93. Maka, demikian pula hukum membunuh kafir dzimmi. Kekufurannya tidak lantas menjadi alasan sehingga diperbolehkan membunuhnya ketika perjanjian keamanan telah diadakan” [Al Injad fi Abwab al-Jihad hlm. 293].
Teror Bom, Mengapa Bisa Dianggap Jihad?!
Dengan demikian, paham radikal yang berkembang dan kemudian diwujudkan dalam praktek teror bom yang marak belakangan ini, dilihat dari tinjauan agama dan akal sehat tidaklah sejalan dengan ajaran Islam, apalagi dikatakan sebagai jihad. Bagaimana bisa dianggap sebagai jihad sedangkan berbagai syarat dan etika dalam berjihad tidak dihiraukan oleh para pencetus dan pelaku teror bom ini.
Hal ini bisa kita dari pemaparan ringkas berikut :
a. Mereka yang melakukan atau minimal mendukung tindakan pengeboman ini terdiri dari dua golongan manusia, yaitu mereka yang meyakini bahwa seluruh manusia telah kafir, tidak terkecuali kaum muslimin yang ada hidup berdampingan dengan mereka. Orang-orang yang dikecualikan oleh golongan ini adalah mereka yang sepemahaman dengan mereka saja. Sehingga, jangan heran jika golongan ini tidak segan-segan melakukan pengeboman meski korban dari kalangan anak-anak dan kaum wanita berjatuhan. Golongan kedua, adalah mereka yang tidak mengkafirkan secara umum, namun mendukung dan melakukan praktek pengeboman massal. Golongan kedua ini hanya mengkafirkan dan menghalalkan darah aparat pemerintah, namun untuk merealisasikan tujuannya, mereka tidak segan mengorbankan jiwa-jiwa yang tidak berdosa [Tamyiz Dzawi al-Fithan hlm. 49].
Inilah golongan yang menganggap praktek pengeboman tersebut sebagai aksi jihad. Mengapa hal ini bisa dikatakan jihad, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengatakan, “Barangsiapa dari umatku yang keluar melukai umatku, tanpa mempedulikan yang baik dan yang fajir, tidak khawatir perbuatannya tersebut menimpa orang mukmin dan tidakpula menepati janji kepada orang yang sedang mengikat perjanjian dengan umatku, maka dia bukan dari golonganku” [HR.Muslim].
Dari Ibnu ‘Umar radlialallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Mayat wanita musyrikin dijumpai terbunuh di salah satu medan pertempuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari pembunuhan terhadap wanita dan anak-anak kaum musyrikin” [HR. Bukhari dan Muslim].
b. Salah satu syarat jihad dari sekian syarat yang dilanggar oleh mereka yang menegakkan “jihad” ini adalah tamayuzu ash-shufuf, yaitu tidak terjadi pencampur-bauran antara barisan kaum muslimin dengan kaum kuffar, karena yang disyari’atkan dalam jihad adalah barisan kaum muslimin berhadap-hadapan dengan barisan kaum kuffar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka), supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih.” [Al Fath : 25].
Lihat, bagaimana Allah memerintahkan rasul-Nya untuk menahan diri untuk memerangi kaum musyrikin Quraisy hingga kaum muslimin yang berada di tengah-tengah mereka tidak lagi bercampur-baur dengan kaum musyrikin.
Praktek pengeboman yang dilakukan di tempat-tempat umum seperti yang telah terjadi sangat berpotensi menimbulkan korban jiwa dari kalangan kaum muslimin padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersada, “Hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim” [HR. Tirmidzi].
c. Terkait dengan kaum kuffar, maka sebagaimana yang telah disebutkan di atas, tidak serta-merta karena kekafirannya, kaum muslimin boleh mengancam keselamatan jiwanya. Janganlah kekejian yang dilakukan sebagian kaum kuffar yang lain menyebabkan kita bersikap tidak adil kepada mereka yang tidak bersalah, karena hal ini merupakan bentuk kezhaliman. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” [Al An]am : 164].
Selain itu, membunuh kaum kuffar yang memiliki perjanjian damai atau datang ke negara kita dengan memperoleh jaminan keamanan (visa) termasuk dosa besar dan diancam masuk neraka sebagaimana telah disebutkan. Membunuh mereka termasuk perbuatan khianat karena telah melanggar perjanjian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap orang yang menjamin keamanan orang lain kemudian membunuhnya, maka aku berlepas diri dari pembunuh tersebut meski yang terbunuh adalah seorang kafir” [HR. Ibnu Hibban].
Nasehat
Kepada mereka yang mendukung tindakan pengeboman ini, dari kalangan yang memiliki ghirah (kecemburuan) terhadap Islam. Hendaklah kita sebagai kaum muslimin, tunduk terhadap dalil dari al-Quran dan sunnah dengan tidak memilah-milih dalil. Kembali kepada penjelasan para ulama terkait masalah ini dan tidak hanya mengedepankan semangat adalah langkah yang harus ditempuh, sehingga tidak membawa kerugian bagi Islam dan kaum muslimin.
Kepada aparat yang berwenang, kerjasama dengan para da’i yang berakidah dan berpemahaman lurus patut ditempuh untuk melaksanakan sosialisasi kepada kaum muslimin sehingga tidak terjangkiti oleh pemahaman radikal yang bisa memicu praktek pengeboman. Meminimalisir peredaran buku-buku yang menyebarkan paham radikal ini juga merupakan salah satu upaya yang patut dilaksanakan.
Kepada kaum muslimin yang lain, ketahuilah bahwa praktek pengeboman ini adalah perbuatan kriminal dan tidak terkait dengan kaum muslimin yang multazim (komitmen) dengan ajaran Islam. Mereka yang tidak berisbal (menjulurkan celana hingga mata kaki), berjilbab syar’i hingga menutup dada ataupun bercadar, semua itu dilakukan karena itulah yang diajarkan oleh agama. Dan selayaknya, media massa pun membuat pemberitaan yang berimbang, karena berpenampilan sesuai syari’at tidaklah identik dengan pelaku atau pendukung praktek pengeboman. Wallahu ta’ala a’lam bi ash-shawab.
[M. Nur Ichwan Muslim*]
*Penulis adalah alumni Ma’had al-‘Ilmi Yogyakarta, lulusan S-1 Jurusan Teknik Mesin dan Industri UGM, dan sekarang aktif menulis artikel dakwah di web muslim.or.id.
Sumber rujukan :
- Fatwa-fatwa Terlengkap Seputar Terorisme, Jihad, dan Mengkafirkan Muslimin
- Kajian Syaikh Abdurrazzaq al-Badr, Terorisme dalam Syari’at Islam
- Tamyiz Dzawi al-Fithan baina Syaraf al-Jihad wa Saraf al-Fitan
- Al Jihad Anwa’uhu wa Ahkamuhu
www.info-iman.blogspot.com