(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII)
Pada acara-acara keagamaan di kampung-kampung, seringkali pembaca acara (moderator) menyampaikan rasa hormat dan terima kasih di antaranya kepada ulama. Padahal tidak jarang, sebutan ulama itu dimentahkan oleh realita acara tersebut. Ternyata yang dimaksud hanya guru ngaji atau guru madrasah biasa.
Surutnya kualitas makna ulama berbanding lurus dengan berkurangnya semangat untuk mencari, menghormati dan mengamalkan ilmunya. Masyarakat pun sepertinya kurang mendukung keberadaan orang alim yang benar-benar berilmu dan mendakwahkannya. Penceramah yang pandai memancing gelak-tawa hadirin lebih disukai. Jadilah majelis taklim seperti tontonan lawak, lantaran begitu derasnya tawa yang terdengar.
Apalagi bila ditambah dengan ulah buruk sebagian orang yang sudah meraih gelar ulama sehingga kian menambah terpuruknya citra Ulama itu sendiri. Sehingga, manusia bergelar ulama dengan makna sesungguhnya yang berorientasi kepada Allâh Ta'âla (Ulama Rabbani) menjadi makhluk langka.Ulama adalah panutan dan tumpuan terhadap persoalan-persoalan yang menjadi keluh-kesah masyarakat. Pada zaman globalisasi ini, permasalahan yang dihadapi semakin kompleks dan aneh-aneh. Dalam hal ini, para ahli hukum agama Islam (fuqaha) sebenarnya tidak boleh santai dalam mendalami ilmu. Apalagi sampai berhenti, merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki.
Kondisi ini sedikit demi sedikit kian parah, tatkala insan-insan yang sudah terdaulat mengerti masalah agama, tidak tanggap terhadap persoalan-persoalan baru dan masih fanatik dengan satu kitab kuningnya.
Akibatnya, pengetahuan agama berjalan di tempat, perkembangan ilmu agama tidak seimbang dengan perkembangan dinamika sosial yang bergerak cepat. Zakat saham, solusi dari bank ribawi, bayi tabung, sewa rahim, transaksi via internet dan deretan persoalan baru yang sudah akrab dengan denyut kesibukan masyarakat menuntut kesigapan para Ulama. Masalah-masalah yang dianggap kecil dan ringan saja masih memerlukan kehati-hatian untuk menjawabnya, terlebih lagi persoalan-persoalan kontemporer yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Akan tetapi bagi yang kurang takut kepada Allâh Ta'âla, akan memaksakan diri untuk memutar-mutar otak dan memeras kepalanya ketika menghadapi suatu pertanyaan; padahal sebenarnya dia belum pernah tahu. Akan tetapi terdorong oleh ego tinggi dan rasa malu bila tidak bisa menjawab, maka akhirnya terpaksalah muncul jawaban dari bibirnya.
Keadaan semacam ini sangat memprihatinkan. Tatkala orang secara serampangan mengeluarkan fatwa tentang masalah agama. Padahal ia tidak mengetahuinya atau kurang memahaminya.
Ketika orang mengatakan ini boleh, itu tidak boleh, itu halal, itu haram, pada hakekatnya ia telah berkata atas nama Allâh Ta'âla, Dzat yang berwenang menetapkan aturan hukum di alam semesta ini. Karena itu, setiap orang harus mengerem lidah dari berfatwa tentang permasalahan yang tidak ia ketahui dengan baik.
Kisah berikut cukuplah menjadi bahan renungan kita sekalian untuk selalu menjaga lisan dari segala yang tidak kita ketahui, apalagi masalah agama.
Pada suatu hari, Imam Mâlik rahimahullâh menjumpai gurunya, Imam Rabî’ah bin ‘Abdurrahmân rahimahullâh yang sedang menangis. Imam Mâlik rahimahullâh bertanya kepadanya:
“Apa gerangan yang menyebabkan engkau menangis? Apakah engkau ditimpa musibah?”
Beliau menjawab:
“Tidak, aku menangis karena adanya orang tak berilmu yang dimintai fatwa.”
Lalu Imam Rabî’ah rahimahullâh berkata:
” Sungguh, sebagian orang yang berfatwa di sini lebih layak untuk dipenjarakan daripada para pencuri." (At-Tamhîd:3/5)
Ibnu Shalah rahimahullâh mengomentari kisah ini dengan berkata:
“Semoga Allâh Ta'âla senantiasa merahmati Imam Rabî’ah, apa gerangan komentar beliau andaikan menyaksikan perilaku masyarakat di zaman ini” (Adâbul Mufti wal Mustafti 1/20)
Dan sekarang kita katakan, apa gerangan komentar beliau andaikan menyaksikan perilaku masyarakat di zaman ini? Apa komentar beliau seandainya melihat perilaku sebagian orang yang telah didaulat sebagai Ulama oleh masyarakat?
Para ulama terdahulu telah menetapkan betapa bahayanya berbicara tentang agama tanpa landasan ilmu yang benar. Kewajiban orang yang tidak tahu adalah diam dan mengatakan tidak tahu. Itulah jalan keselamatan.
Ibnu ‘Umar pernah ditanya oleh seorang Badui tentang bibi dari garis bapak, apakah ia memperoleh warisan. Ibnu Umar menjawab:
"Saya tidak tahu”.
Orang Badui itu bertanya keheranan:
"Engkau tidak mengerti?”.
"Ya", jawab Ibnu ‘Umar. "Datangilah ulama dan tanyalah mereka".
Ibnu ‘Uyainah bercerita:
"Dahulu Abul Hushain, jika ditanya suatu masalah (yang tidak diketahui) menjawab: 'Aku tidak mempunyai ilmu tentang itu. Wallahu a’lam'”. (Tahdzîbut Tahdzîb (7/127))
Semoga Allâh Ta'âla berkenan menghidupkan dan membangkitkan Ulama Rabbani yang ikhlas kepada Allâh Ta'âla, bermoral tinggi di hadapan Allâh Ta'âla dan manusia serta bersemangat memperbaiki masyarakat, dan selalu berlandaskan qâlallah dan qâla rasûluhu (ayat-ayat al-Qur‘an dan Hadits-hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam yang shahih). Wallahu a’lam.
www.info-iman.blogspot.com