Senin, 30 Mei 2011

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk 
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
  • Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
  • Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
  • Infant (0-1 tahun)
  • Toddler (2-3 tahun)
  • Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
  • Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)

Satuan pendidikan penyelenggara

Lihat pula


www.info-iman.blogspot.com

Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program dan Dana Bantuan Sosial Direktorat Kursus dan Pelatihan Tahun 2011


Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program dan Dana Bantuan Sosial Direktorat Kursus dan Pelatihan Tahun 2011



  1. Juknis Penyelenggaraan Program & Bantuan Sosial Kursus Keterampilan Kreatif. 
  2. Juknis Penyelenggaraan Program & Bantuan Sosial Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) pada Daerah Khusus. 
  3. Juknis Penyelenggaraan Program & Bantuan Sosial Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM). 
  4. Juknis Penyelenggaraan Program & Bantuan Sosial Desa Vokasi. 
  5. Juknis Penyelenggaraan Program & Bantuan Sosial Pendidikan Kecakapan Hidup melalui Lembaga Pendidikan (PKH-LPd). 
  6. Juknis Penyelenggaraan Program & Bantuan Sosial Pendidikan Kecakapan Hidup Bagi Lembaga Kursus dan Pelatihan. 
File bisa di UNDUH DI SINI



Sumber: Dit. Binsuslat

www.info-iman.blogspot.com

Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program Direktorat P2TK PAUD-NI Tahun 2011


Direktorat P2TK PAUD-NI telah mengeluarkan petunjuk teknis program untuk tahun 2011.
Daftar lengkap bisa di UNDUH DISINI


Sumber: Dit. P2TK PAUDNI

www.info-iman.blogspot.com

Petunjuk Teknis Dana Bantuan Direktorat PAUD

Direktorat PAUD mengeluarkan Petunjuk Teknis untuk mengakses dana bantuan, yaitu :
  1. Petunjuk Teknis pada  Subdit Program dan Evaluasi 
  2. Petunjuk Teknis pada Subdit Pembelajaran dan Peserta Didik
  3. Petunjuk Teknis pada Subdit Sarana dan Prasarana
  4. Petunjuk Teknis pada Subdit Kemitraan
  5. Petunjuk Teknis pada Program PPAUD
Selengkapnya bisa di unduh DI SINI



Sumber: Direktorat PAUD

www.info-iman.blogspot.com

Ucapan Lemah Lembut pada Orang Tua

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di zaman ini, akhlak baik kepada orang tua seakan semakin sirna. Apalagi sudah disibukkan dengan anak dan istri. Atau barangkali ada kesibukan yang sebenarnya tidaklah urgent, namun ketika ortu memanggil, jawaban sang anak, “Aduh Mama, ini lagi asyik nih. Trus saja Oci (panggilan akrabnya) diganggu.” Gitulah anak muda. Karena terpengaruh TV, lingkungan dan lainnya.
Tak tahukah kita bahwa bermuamalah baik dengan ortu adalah jalan menuju surga?
Coba kita lihat hadits berikut ini yang disebutkan oleh Imam Al Bukhari rahimahullah dalam kitab Al Adabul Mufrod.
Dari Thaisalah bin Mayyas , ia berkata,
كُنْتُ مَعَ النَّجَدَاتِ ، فَأَصَبْتُ ذَنُوْبًا لاَ أَرَاهَا إِلاَّ مِنَ الْكَبَائِرِ، فَذَكَرْتُ ذَالِكَ ِلابْنِ عُمَرَ. قاَلَ: مَا هِىَ؟ قلُتْ:ُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: لَيْسَتْ هَذِهِ مِنَ الْكَبَائِرِ، هُنَّ تِسْعٌ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَقَتْلُ نِسْمَةٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَةِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَإِلْحَادُ فِي الْمَسْجِدِ، وَالَّذِيْ يَسْتَسْخِرُ ، وَبُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوْقِ، قاَلَ: لِي ابْنُ عُمَرَ: أَتَفَرَّقُ النَّارَ ، وَتُحِبُّ أَنْ تَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قُلْتُ: إِيْ، وَاللهِ! قَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قُلْتُ: عِنْدِيْ أُمِّىْ. قَالَ: فَوَاللهِ! لَوْ أَلَنْتَ لَهَا الْكَلاَمَ، وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ، لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ الْكَبَائِرَ.
Ketika tinggal bersama An Najdaat, saya melakukan perbuatan dosa yang saya anggap termasuk dosa besar. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau lalu bertanya, ”Perbuatan apa yang telah engkau lakukan?” ”Saya pun menceritakan perbuatan itu.” Beliau menjawab, “Hal itu tidaklah termasuk dosa besar. Dosa besar itu ada sembilan, yaitu mempersekutukan Allah, membunuh orang, lari dari pertempuran, memfitnah seorang wanita mukminah (dengan tuduhan berzina), memakan riba’, memakan harta anak yatim, berbuat maksiat di dalam masjid, menghina, dan [menyebabkan] tangisnya kedua orang tua karena   durhaka [kepada keduanya].” Ibnu Umar lalu bertanya, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” ”Ya, saya ingin”, jawabku. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Saya masih memiliki seorang ibu”, jawabku. Beliau berkata, “Demi Allah, sekiranya engkau berlemah lembut dalam bertutur kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 8, shahih. Lihat Ash Shahihah 2898)
Lihatlah  akhi … saksikanlah ukhti … bagaimana dengan sikap lemah lembut pada orang tua yang mengandung dan membesarkan kita bisa memasukkan dalam surga! Subhanallah … Ternyata begitu ringan amalan tersebut bagi siapa yang Allah mudahkan.
Disebutkan oleh Imam Al Bukhari pula dalam kitab yang sama, dari Urwah, ia berkata mengucapkan firman Allah,
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (QS. Al Isro’: 24)
قاَلَ: “لاَ تَمْتَنِعْ مِنْ شَيْءٍ أحَبَّاهُ
Lalu ia berkata, “Janganlah engkau menolak sesuatu yang diinginkan oleh keduanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 9, shahih secara sanad)
Cobalah renungkan kedua hadits di atas. Berlemah lembut pada ortu sungguh luar biasa. Amalan sederhana. Namun memang butuh dilatih. Apalagi kita mesti menghadapi orang tua yang mudah emosi, sedikit-sedikit marah. Memang butuh kesabaran. Kalau kita mengingat balasan lemah lembut, sungguh itu akan membuat kita berakhlak baik pada mereka. Cobalah membalas keburukan dengan kebaikan. Moga saja kita dimudahkan oleh untuk bisa melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Sahabat yg mulia, Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan, “Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243)
Semoga kita kembali teringat dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ
Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” Ada yang bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, ”(Sungguh hina) seorang yang mendapati kedua orang tuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, namun justru ia tidak masuk surga.” (HR. Muslim no. 2551)
Jadikanlah bakti pada orang tua, berlemah lembut pada mereka sebagai jalan menuju surga yang penuh kenikmatan yang tiada tara.
Dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ وَ سَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 2. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan jika sampai pada sahabat, namun shahih jika sampai pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam)
Semoga kita mengingat perkataan amat bagus dari Ka’ab Al Ahbar. Beliau pernah ditanyakan mengenai perkara yang termasuk bentuk durhaka pada orang tua, beliau mengatakan,
إذا أمرك والدك بشيء فلم تطعهما فقد عققتهما العقوق كله
Apabila orang tuamu memerintahkanmu dalam suatu perkara (selama bukan dalam maksiat, pen) namun engkau tidak mentaatinya, berarti engkau telah melakukan berbagai macam kedurhakaan terhadap keduanya.” (Birrul Walidain, hal. 8, Ibnul Jauziy)
Semoga Allah beri taufik dan kemudahan bagi kita sekalian untuk berlemah lembut dan berakhlak pada orang tua kita yang amat kita kasihi. Wallahu waliyyut taufiq.
- Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat -
Riyadh-KSA, 24 Rabi’uts Tsani 1432 H (29/03/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

www.info-iman.blogspot.com

Allah Begitu Dekat pada Orang yang Berdoa

Sudah begitu lama, ingin agar harapan segera terwujud. Beberapa waktu terus menanti dan menanti, namun tak juga impian itu datang. Kadang jadi putus asa karena sudah seringkali memohon pada Allah. Sikap seorang muslim adalah tetap terus berdo’a karena Allah begitu dekat pada orang yang berdo’a. Boleh jadi terkabulnya do’a tersebut tertunda. Boleh jadi pula Allah mengganti permintaan tadi dengan yang lainnya dan pasti pilihan Allah adalah yang terbaik.
Ayat yang patut direnungkan adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
Sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ رَبُّنَا قَرِيبٌ فَنُنَاجِيهِ ؟ أَوْ بَعِيدٌ فَنُنَادِيهِ ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ
“Wahai Rasulullah, apakah Rabb kami itu dekat sehingga kami cukup bersuara lirih ketika berdo’a ataukah Rabb kami itu jauh sehingga kami menyerunya dengan suara keras?” Lantas Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas. (Majmu’ Al Fatawa, 35/370)
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedekatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kedekatan Allah pada orang yang berdo’a (kedekatan yang sifatnya khusus).” (Majmu’ Al Fatawa, 5/247)
Perlu diketahui bahwa kedekatan Allah itu ada dua macam:
  1. Kedekatan Allah yang umum dengan ilmu-Nya, ini berlaku pada setiap makhluk.
  2. Kedekatan Allah yang khusus pada hamba-Nya dan seorang muslim yang berdo’a pada-Nya, yaitu Allah akan mengijabahi (mengabulkan) do’anya, menolongnya dan memberi taufik padanya. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 87)
Kedekatan Allah pada orang yang berdo’a adalah kedekatan yang khusus –pada macam yang kedua- (bukan kedekatan yang sifatnya umum pada setiap orang). Allah begitu dekat pada orang yang berdo’a dan yang beribadah pada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits pula bahwa tempat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Allah adalah ketika ia sujud. (Majmu’ Al Fatawa, 15/17)
Siapa saja yang berdo’a pada Allah dengan menghadirkan hati ketika berdo’a, menggunakan do’a yang ma’tsur (dituntunkan), menjauhi hal-hal yang dapat menghalangi terkabulnya do’a (seperti memakan makanan yang haram), maka niscaya Allah akan mengijabahi do’anya. Terkhusus lagi jika ia melakukan sebab-sebab terkabulnya do’a dengan tunduk pada perintah dan larangan Allah dengan perkataan dan perbuatan, juga disertai dengan mengimaninya. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 87)
Dengan mengetahui hal ini seharusnya seseorang tidak meninggalkan berdo’a pada Rabbnya yang tidak mungkin menyia-nyiakan do’a hamba-Nya. Pahamilah bahwa Allah benar-benar begitu dekat dengan orang yang berdo’a, artinya akan mudah mengabulkan do’a setiap hamba. Sehingga tidak pantas seorang hamba putus asa dari janji Allah yang Maha Mengabulkan setiap do’a.
Ingatlah pula bahwa do’a adalah sebab utama agar seseorang bisa meraih impian dan harapannya. Sehingga janganlah merasa putus asa dalam berdo’a. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Do’a adalah sebab terkuat bagi seseorang agar bisa selamat dari hal yang tidak ia sukai dan sebab utama meraih hal yang diinginkan. Akan tetapi pengaruh do’a pada setiap orang berbeda-beda. Ada yang do’anya berpengaruh begitu lemah karena sebab dirinya sendiri. Boleh jadi do’a itu adalah do’a yang tidak Allah sukai karena melampaui batas. Boleh jadi do’a tersebut berpengaruh lemah karena hati hamba tersebut yang lemah dan tidak menghadirkan hatinya kala berdo’a. … Boleh jadi pula karena adanya penghalang terkabulnya do’a dalam dirinya seperti makan makanan haram, noda dosa dalam hatinya, hati yang selalu lalai, nafsu syahwat yang menggejolak dan hati yang penuh kesia-siaan.” (Al Jawaabul Kaafi, hal. 21). Ingatlah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ
Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah Ta’ala selain do’a.” (HR. Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3829, Ahmad 2/362. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Jika memahami hal ini, maka gunakanlah do’a pada Allah sebagai senjata untuk meraih harapan.
Penuh yakinlah bahwa Allah akan kabulkan setiap do’a. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Lalu pahamilah bahwa ada beberapa jalan Allah kabulkan do’a. Dari Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do’a-do’a kalian.” (HR. Ahmad 3/18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya jayyid). Boleh jadi Allah menunda mengabulkan do’a. Boleh jadi pula Allah mengganti keinginan kita dalam do’a dengan sesuatu yang Allah anggap lebih baik. Atau boleh jadi pula Allah akan mengganti dengan pahala di akhirat. Jadi do’a tidaklah sia-sia.
Ingatlah wejangan yang amat menyejukkan hati dari cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata,
من اتكل على حسن اختيار الله له، لم يتمن شيئا. وهذا حد الوقوف على الرضى بما تصرف به القضاء
Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah) berlakukan (bagi hamba-Nya)” (Lihat Siyaru A’laamin Nubalaa’ 3/262 dan Al Bidaayah wan Nihaayah 8/39). Pilihan Allah itulah yang terbaik.
Wallahu waliyyut taufiq.
Panggang-Gunung Kidul, 7 Jumadats Tsaniyah 1432 H (10/05/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

www.info-iman.blogspot.com

Minggu, 29 Mei 2011

TAUBAT

Kenapa manusia harus berakhlak kepada Allah? Sebab manusia akan berakhlak dengan baik kepada yang lain kalau dia berakhlak kepada Allah. Kalau kepada Allah saja dia tidak berakhlak bagaimana mungkin dia akan berakhlak kepada manusia, makhluk dan alam semesata.
Umar bin Khattab jika mengangkat gubernur ia hanya bertanya satu hal saja, bagaimana shalat berjamaahnya, suka ke masjid atau tidak? Kalau laporannya adalah ke masjid setiap waktu shalat, maka dia layak menjadi gubernur. Alasan Umar sederhana saja, shalat itu amanah Allah, kalau amanah Allah sudah diabaikan apalagi amanah manusia. Tapi kalau amanah Allah dia jaga, Insya allah dia akan menjaga amanah manusia. Demikian juga dengan akhlak, kalau dia berakhlak baik kepada Allah, insyaallah dia juga akan berakhlak baik kepada sesama.


Raja Najasyi waktu bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib, apakah orang yang mengaku Nabi itu pernah berdusta? Kata Abu Sufyan, setahu kami dia tidak pernah berdusta. Ini ciri kenabian. Kenapa begitu? Kalau kepada manusia saja dia tidak berdusta mana mungkin dia berani berdusta atas nama Tuhan.
Jadi sederhana saja mengukur kehidupan itu. Makanya pantas Nabi mengatakan:
“Atsqolus sholaati ‘alal munaafiqi sholaatul ‘isyaa’i wa sholaatil fajri”
(“Salat yang paling berat untuk orang munafik adalah salat isya dan solat fajri”)
Maka jika ada ustadz yang tidak pernah salat jamaah subuh, maka titel ustadznya harus dipertanyakan. Kalau ustadznya saja tidak pergi ke masjid bagaimana dengan jamaahnya. Kata orang Amerika, kalau jumlah kaum muslimin yang shalat subuh sudah seperti jumlah orang yang shalat Jum’at, maka Amerika akan bisa dikalahkan oleh orang Islam.
Akhlak kepada Allah banyak ragamnya diantaranya, yang pertama dan yang paling utama adalah beribadah. Kemudian taubat, sabar, syukur, ridho, istiqomah dan do’a. Hanya saja pada kesempatan ini saya hanya membahas tentang taubat.
Apa itu taubat? Taubat berasal dari kata taaba yatuubu taubatan, yang artinya, pertama ar ruju’ kembali. Asalnya tidak mau kemasjid kembali mau kemasjid, asalnya tidak mau menutup aurat kembali menutup aurat. Arti kedua, nadama, menyesal. Menyesal sering mengabaikan perintah Allah. Menyesal sering melawan suami. Dan yang ketiga, nawa, bertekad, berazam untuk memperbaikinya di masa yang akan datang.
Taubat secara istilah adalah kembalinya seorang hamba yang asalnya jauh kepada Allah menjadi dekat kepada Allah, dari maksiat menjadi taat, dari jahililah kepada Islam dan dari musyrik kepada tauhid.
Alasan mengapa kita harus bertobat:
1. Taubat adalah merupakan kebutuhan manusia.
Taubat adalah merupakan kebutuhan manusia, karena manusia ini tidak lepas dari kesalahan. Sebagaimana
Nabi Muhammad Saw bersabda :
“Kullu bani aadama khoththooun wa khoirul khoththtooiina at tawwaabuun”.(“Setiap Anak Adam pasti ada saja berbuat salah (khilaf), tetapi sebaik-baik yang berbuat kesalahan adalah mereka yang bertaubat”).
Hanya saja hadits ini jangan dijadikan dalih untuk menjustisifikasi kesalahan yang sengaja dilakukan, tetapi ini sebuah peringatan agar manusia berhati-hati atas segala ucapan, tingkahlaku dan perbuatannya. Manusia memang tidak luput dari kesalahan, bahkan jangankan manusia pada umumnya, sampai orang bertakwa sekaliapun ada saja yang berbuat kesalahan. Di surat Ali Imran ketika Allah bercerita tentang orang-orang yang berbuat kebajikan dalam surat Ali Imron, 3:135 , yang artinya :
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau mendzalimi diri mereka sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui.
Ayat tersebut menjadi dalil bahwa jangankan manusia pada umumnya sampai orang bertaqwa pun ada saja melakukan kesalahan dan kekhilafan. Tapi dia tidak membiarkan dirinya terus melakukan kesalahan itu, terus asyik dalam perbuatan dosa tapi segera bertaubat kepada Allah. Jadi dengan demikian taubat merupakan kebutuhan kita sebagai manusia, sebab kita tidak pernah lepas dari segala kekhilafan dan kesalahan.

2. Taubat merupakan perintah Allah kepada seluruh orang yang beriman.
Allah Swt memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk selalu bertobat kepadaNya, sebagaimana firmanNya dalam surat At-Tahriim, 66:8, yang artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu ke dalam syurga yang mengalir di bawahanya sungai-sungai”.
Dalam ayat tersebut yang diperintahkan bertaubat itu, bukan ahlul ma’siat (orang yang senantiasa berbuat maksiat), tetapi yang diperintahkan untuk bertobat adalah orang yang beriman.
Ibnul Qoyyim al-jauzy dalam kitabnya Tahdib Madaarijis Shaalihiin, ketika mengomentari ayat ini, beliu mengatakan, ayat ini termasuk ayat madaniyah yang menjadi khitobnya adalah orang beriman yang sudah teruji keimanannya. Meraka sudah hijrah dan berjihad. Hijrah itu bukan perkara yang ringan tetapi teramat sangat berat yang menunjukkan kedalaman keimanan mereka kepada Allah Swt. Mereka harus meninggalkan rumah tempat tinggal, keluarga dan sanak saudara. Diantara mereka ada yang meninggalkan perniagaan, ladang, perkebunan peternakan dan harta benda mereka menuju Madianah yang belum jelas akan tidur dimana, tinggal dimana dan tidak mempunyai uang sepeserpun. Tapi ini perintah Allah, tidak ada pilihan kecuali sami’na wa atho’na, (kami dengar dan kami taati). Sudah berkorban habis-habisan, keimanannya sudah teruji masih diperintahkan bertaubat. Berarti taubat itu bukan hanya bagi mereka yang sering melakukan maksiat tetapi juga bagi seluruh orang yang beriman. jadi jelas, taubat itu bukan saja kebutuhan kita sebagai manusai yang suka khilaf dan salah, tapi perintah Allah kepada orang-orang beriman.

3. Rasulullah Saw sebagai teladan orang-orang beriman adalah Imaam at Tawwabiin (pemimpin orang-orang yang bertaubat).
Rasul yang wajib kita ikuti, beliau tidak pernah kurang dari 70-100 kali beristigfar dan bertaubat. Dalam hadits riwayat Bukhary belaiau berkata;
“Wallahi inni laastaghfiru wa atuubu ilallahi fi yaumin aktsaro min sab’iina marroh”.
(Demi Allah aku bertobat dan beristighfar dalam sehari lebih dari 70 kali). Nabi yang ma’sum, dosanya sudah diampuni, yang selalu melaksanakan perintah Allah, dalam sehari tidak kurang dari 70 kali beristigfar dan memohon ampun kepada Allah.
Dalam riwayat yang lainnya , yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Saw bersabda :
”Ayyuhan naasu tuubuu ilallahi, fainni atuubu ilaihi fi yaumin miatu marroh”
(Wahai manusia bertobatlah kalian kepada Allah dan sesungguhnya aku bertobat kepada Allah dalam sehari 100 kali).
Lalu bagaimana dengan kita?, padahal maksiat yang kita lakukan tidak terhitung jumlahnya, dari hari kehari dosa semakin menumpuk, maka terapilah diri kita dengan istigfar. Banyak-banyaklah beistigfar dan bertaubat.
Seorang sahabat Ibnu Umar menghitung taubat Rasulullah dalam satu majlis saja Rasul membaca 100 kali :
“Rabbigfirlii wa tub ‘alayya innaka antat tawwabul ghofuur”
(Ya allah ampunilah aku terimalah taubatku sesungguhnya engkau maha pengampun dan maha penerima taubat).
Atau dalam redaksi yang lain:
”Rabbigfirlii wa tub ‘alayya innaka antat tawwaabur rohiim”
Dan dalam riwayat yang lain Rasul mengatakan minimal dalam sehari kita membaca pada waktu pagi dan sore sayyidul istighfar:
“Allahumma anta robbi laa ilaaha illa anta kholaqtanii wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastaho’tu a’uudzubika min syarri ma shona’tu abu’u laka bini’matika ‘alayya wa abu’u bidzanbii fagfirlii fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta”.
Kala terlalu panjang ada yang lebih pendek lagi
“Astagfirullahal ladzi laa ilaaha illa hual hayyul qoyyuum wa atuubu ilaihi”
Itu juga terlalu panjang
“Rabbigfirlii wa tub ‘alayya innaka antat tawwwabul ghofuur” Itu juga belum hafal maka bacalah “Astaghfirullahal ‘azhiim”

4. Allah mencintai orang-orang yang bertaubat.
Dan ini Allah sendiri yang mengatakannya, sebagimana firmanNya surat Al-Baqoroh, 2:222
“Sesungguhnya Allah maha menyukai orang-orang yang bertaubat dan dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”

Kalau mau dicintai Allah maka bertaubatlah. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan sungguh Allah merasa gembira ketika menerima taubat hambanya. Kegembiraanya ini melebihi seorang musafir yang kehilangan untanya yang sudah ia cari kemana-mana tetapi tidak ketemu, ketika sudah merasa lelah dia duduk dan ajaibnya ontanya datang dengan sendirinya. Maka bergembiralah si musafir tadi dan kegembiraan Allah melebihi musafir tadi.
Allah sangat senang dan bergembira jika ada hamba-Nya yang bertaubat. Allah sangat cinta ketika seorang hamba menangis di malam hari, mengadukan masalahnya kepadaNya, dan memohon ampun atas segala dosa-dosanya. Bahkan dalam hadits, disebutkan Allah membentangkan ampunannya di malam hari untuk mengampuni taubat seorang hamba yang salah di siang hari. Dan Allah membentangkan taubatnya di siang hari untuk mengampuni dan menerima taubat hamba yang salah di malam hari, sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya (kiamat).
Jadi, tidak alasan untuk tidak memperbanyak taubat. Sebagai manusia kita sering khilaf dan salah maka taubat adalah kebutuhan. Sebagai orang beriman kita diperintahkan oleh Allah untuk bertaubat. Sebagai seorang muslim kita wajib mengikuti Rasul yang dalam sehari tidak kurang dari 100 kali bertaubat. Dan sebagai hamba, Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Maka tidak ada alasan untuk tidak bertaubat dan menunda-nunda taubat. Wallahu A’lam

www.info-iman.blogspot.com

BAHAYA LIDAH

Perintah berkata baik
Kemampuan berbicara adalah salah satu kelebihan yang Allah berikan kepada manusia, untuk berkomunikasi dan menyampaikan keinginan-keinginannya dengan sesama manusia. Ungkapan yang keluar dari mulut manusia bisa berupa ucapan baik, buruk, keji, dsb.

Agar kemampuan berbicara yang menjadi salah satu ciri manusia ini menjadi bermakna dan bernilai ibadah, Allah SWT menyerukan umat manusia untuk berkata baik dan menghindari perkataan buruk. Allah SWT berfirman :

“Dan katakan kepada hamba-hamba-Ku. “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar) sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” QS. 17: 53

”Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” QS. 16:125


Rasulullah SAW bersabda :
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” HR. Muttafaq alaih
“ Takutlah pada neraka, walau dengan sebiji kurma. Jika kamu tidak punya maka dengan ucapan yang baik “ Muttafaq alaih

“Ucapan yang baik adalah sedekah” HR. Muslim.

KEUTAMAAN DIAM
Bahaya yang ditimbulkan oleh mulut manusia sangat besar, dan tidak ada yang dapat menahannya kecuali diam. Oleh karena itu dalam agama kita dapatkan anjuran diam dan perintah pengendalian bicara. Sabda Nabi:
“ Barang siapa yang mampu menjamin kepadaku antara dua kumisnya (kumis dan jenggot), dan antara dua pahanya, saya jamin dia masuk sorga” HR. Al Bukhariy

“Tidak akan istiqamah iman seorang hamba sehingga istiqamah hatinya. Dan tidak akan istiqamah hati seseorang sehingga istiqamah lisannya” HR Ahmad

Ketika Rasulullah ditanya tentang perbuatan yang menyebabkan masuk surga, Rasul menjawab : “Bertaqwa kepada Allah dan akhlaq mulia”. Dan ketika ditanya tentang penyebab masuk neraka, Rasul menjawab : “dua lubang, yaitu mulut dan kemaluan” HR. At Tirmidziy

Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang bisa menjaga mulutnya, Allah akan tutupi keburukannya” HR. Abu Nuaim.

Ibnu Mas’ud berkata : “Tidak ada sesuatupun yang perlu lebih lama aku penjarakan dari pada mulutku sendiri”
Abu Darda berkata : “Perlakukan telinga dan mulutmu dengan obyektif. Sesungguhnya diciptakan dua telinga dan satu mulut, agar kamu lebih banyak mendengar dari pada berbicara.

MACAM-MACAM AFATUL-LISAN, PENYEBAB DAN TERAPINYA
Ucapan yang keluar dari mulut kita dapat dikategorikan dalam empat kelompok : murni membahayakan, ada bahaya dan manfaat, tidak membahayakan dan tidak menguntungkan, dan murni menguntungkan.
Ucapan yang murni membahayakan maka harus dijauhi, begitu juga yang mengandung bahaya dan manfaat. Sedangkan ucapan yang tidak ada untung ruginya maka itu adalah tindakan sia-sia, merugikan. Tinggallah yang keempat yaitu ucapan yang menguntungkan.
Berikut ini akan kita bahas afatul lisan dari yang paling tersembunyi sampai yang paling berbahaya. Ada beberapa macam bahaya lisan, yaitu :

1. Berbicara sesuatu yang tidak perlu
Rasulullah SAW bersabda : “Di antara ciri kesempurnaan Islam seseorang adalah ketika ia mampu meninggalkan sesuatu yang tidak ia perlukan” HR At Tirmidziy

Ucapan yang tidak perlu adalah ucapan yang seandainya anda diam tidak berdosa, dan tidak akan membahayakan diri maupun orang lain. Seperti menanyakan sesuatu yang tidak diperlukan. Contoh pertanyaan ke orang lain “apakah anda puasa, jika dijawab YA, membuat orang itu riya, jika dijawab TIDAK padahal ia puasa, maka dusta, jika diam tidak dijawab, dianggap tidak menghormati penanya. Jika menghindari pertanyaan itu dengan mengalihkan pembicaraan maka menyusahkan orang lain mencari – cari bahan, dst.

Penyakit ini disebabkan oleh keinginan kuat untuk mengetahui segala sesuatu. Atau basa-basi untuk menunjukkan perhatian dan kecintaan, atau sekedar mengisi waktu dengan cerita-cerita yang tidak berguna. Perbuatan ini termasuk dalam perbuatan tercela.

Terapinya adalah dengan menyadarkan bahwa waktu adalah modal yang paling berharga. Jika tidak dipergunakan secara efektif maka akan merugikan diri sendiri. selanjutnya menyadari bahwa setiap kata yang keluar dari mulut akan dimintai pertanggung jawabannya. ucapan yang keluar bisa menjadi tangga ke sorga atau jaring jebakan ke neraka. Secara aplikatif kita coba melatih diri senantiasa diam dari hal-hal yang tidak diperlukan.

2. Fudhulul-Kalam ( Berlebihan dalam berbicara)
Perbuatan ini dikategorikan sebagai perbuatan tercela. Ia mencakup pembicaraan yang tidak berguna, atau bicara sesuatu yang berguna namun melebihi kebutuhan yang secukupnya. Seperti sesuatu yang cukup dikatakan dengan satu kata, tetapi disampaikan dengan dua kata, maka kata yang kedua ini “fudhul” (kelebihan). Firman Allah : “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh bersedekah, berbuat ma’ruf, atau perdamaian di antara manusia” QS.4:114.

Rasulullah SAW bersabda : “Beruntunglah orang yang dapat menahan kelebihan bicaranya, dan menginfakkan kelebihan hartanya “ HR. Al Baghawiy.

Ibrahim At Taymiy berkata : Seorang mukmin ketika hendak berbicara, ia berfikir dahulu, jika bermanfaat dia ucapkan, dan jika tidak maka tidak diucapkan. Sedangkan orang fajir (durhaka) sesungguhnya lisannya mengalir saja”

Berkata Yazid ibn Abi Hubaib :”Di antara fitnah orang alim adalah ketika ia lebih senang berbicara daripada mendengarkan. Jika orang lain sudah cukup berbicara, maka mendengarkan adalah keselamatan, dan dalam berbicara ada polesan, tambahan dan pengurangan.

3. Al Khaudhu fil bathil (Melibatkan diri dalam pembicaraan yang batil)
Pembicaraan yang batil adalah pembicaraan ma’siyat, seperti menceritakan tentang perempuan, perkumpulan selebritis, dsb, yang tidak terbilang jumlahnya. Pembicaraan seperti ini adalah perbuatan haram, yang akan membuat pelakunya binasa. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan ucapan yang Allah murkai, ia tidak menduga akibatnya, lalu Allah catat itu dalam murka Allah hingga hari kiamat” HR Ibn Majah.

“ Orang yang paling banyak dosanya di hari kiamat adalah orang yang paling banyak terlibat dalam pembicaraan batil” HR Ibnu Abiddunya.

Allah SWT menceritakan penghuni neraka. Ketika ditanya penyebabnya, mereka menjawab: “ …dan adalah kami membicarakan yang batil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya” QS. 74:45
Terhadap orang-orang yang memperolok-olokkan Al Qur’an, Allah SWT memperingatkan orang-orang beriman :”…maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka.” QS. 4:140

5. Al Jidal (Berbantahan dan Perdebatan)
Perdebatan yang tercela adalah usaha menjatuhkan orang lain dengan menyerang dan mencela pembicaraannya, menganggapnya bodoh dan tidak akurat. Biasanya orang yang diserang merasa tidak suka, dan penyerang ingin menunjukkan kesalahan orang lain agar terlihat kelebihan dirinya.
Hal ini biasanya disebabkan oleh taraffu’ (rasa tinggi hati) karena kelebihan dan ilmunya, dengan menyerang kekurangan orang lain.

Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan tersesat suatu kaum setelah mereka mendapatkan hidayah Allah, kecuali mereka melakukan perdebatan” HR. At Tirmidziy
Imam Malik bin Anas berkata : “Perdebatan akan mengeraskan hati dan mewariskan kekesalan”

6. Al Khusumah (pertengkaran)
Jika orang yang berdebat menyerang pendapat orang lain untuk menjatuhkan lawan dan mengangkat kelebihan dirinya. Maka al khusumah adalah sikap ingin menang dalam berbicara (ngotot) untuk memperoleh hak atau harta orang lain, yang bukan haknya. Sikap ini bisa merupakan reaksi atas orang lain, bisa juga dilakukan dari awal berbicara.
Aisyah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang bermusuhan dan suka bertengkar” HR. Al Bukhariy

7. Taqa’ur fil-kalam (menekan ucapan)
Taqa’ur fil-kalam maksudnya adalah menfasih-fasihkan ucapan dengan mamaksakan diri bersyaja’ dan menekan-nekan suara, atau penggunaan kata-kata asing. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di hari kiamat, adalah orang-orang yang buruk akhlaknya di antara kamu, yaitu orang yang banyak bicara, menekan-nekan suara, dan menfasih-fasihkan kata”. HR. Ahmad.

Tidak termasuk dalam hal ini adalah ungkapan para khatib dalam memberikan nasehat, selama tidak berlebihan atau penggunaan kata-kata asing yang membuat pendengar tidak memahaminya. Sebab tujuan utama dari khutbah adalah menggugah hati, dan merangsang pendengar untuk sadar. Di sinilah dibutuhkan bentuk-bentuk kata yang menyentuh.

8. Berkata keji, jorok dan caci maki
Berkata keji, jorok adalah pengungkapan sesuatu yang dianggap jorok/tabu dengan ungkapan vulgar, misalnya hal-hal yang berkaitan dengn seksual, dsb. Hal ini termasuk perbuatan tercela yang dilarang agama. Nabi bersabda :
“Jauhilah perbuatan keji. Karena sesungguhnya Allah tidak suka sesuatu yang keji dan perbuatan keji” dalam riwayat lain :”Surga itu haram bagi setiap orang yang keji”. HR. Ibnu Hibban

“Orang mukmin bukanlah orang yang suka menghujat, mengutuk, berkata keji dan jorok” HR. At Tirmidziy.

Ada seorang A’rabiy (pedalaman) meminta wasiat kepada Nabi : Sabda Nabi : “Bertaqwalah kepada Allah, jika ada orang yang mencela kekuranganmu, maka jangan kau balas dengan mencela kekurangannya. Maka dosanya ada padanya dan pahalanya ada padamu. Dan janganlah kamu mencaci maki siapapun. Kata A’rabiy tadi : “Sejak itu saya tidak pernah lagi mencaci maki orang”. HR. Ahmad.

“Termasuk dalam dosa besar adalah mencaci maki orang tua sendiri” Para sahabat bertanya : “Bagaimana seseorang mencaci maki orang tua sendiri ? Jawab Nabi: “Dia mencaci maki orang tua orang lain, lalu orang itu berbalik mencaci maki orang tuanya”. HR. Ahmad.

Perkataan keji dan jorok disebabkan oleh kondisi jiwa yang kotor, yang menyakiti orang lain, atau karena kebiasaan diri akibat pergaulan dengan orang-orang fasik (penuh dosa) atau orang-orang durhaka lainnya.

9. La’nat (kutukan)
Penyebab munculnya kutukan pada sesama manusia biasanya adalah satu dari tiga sifat berikut ini, yaitu : kufur, bid’ah dan fasik. Dan tingkatan kutukannya adalah sebagai berikut :
Kutukan dengan menggunakan sifat umum, seperti : semoga Allah mengutuk orang kafir, ahli bid’ah dan orang-orang fasik.

Kutukan dengan sifat yang lebih khusus, seperti: semoga kutukan Allah ditimpakan kepada kaum Yahudi, Nasrani dan Majusi, dsb.

Kutukan kepada orang tertentu, seperti : si fulan la’natullah. Hal ini sangat berbahaya kecuali kepada orang-orang tertentu yang telah Allah berikan kutukan seperti Fir’aun, Abu Lahab, dsb. Dan orang-orang selain yang Allah tentukan itu masih memiliki kemungkinan lain.

Kutukan yang ditujukan kepada binatang, benda mati , atau orang tertentu yang tidak Allah tentukan kutukannya, maka itu adalah perbuatan tercela yang haus dijauhi. Sabda Nabi :
“ Orang beriman bukanlah orang yang suka mengutuk” HR At Tirmidziy

“Janganlah kamu saling mengutuk dengan kutukan Allah, murka-Nya maupun jahanam” HR. At Tirmidziy.

“Sesungguhnya orang-orang yang saling mengutuk tidak akan mendapatkan syafaat dan menjadi saksi di hari kiamat” HR. Muslim

10. Ghina’ (nyanyian) dan Syi’r (syair)
Syair adalah ungkapan yang jika baik isinya maka baik nilainya, dan jika buruk isinya buruk pula nilainya. Hanya saja tajarrud ( menfokuskan diri) untuk hanya bersyair adalah perbuatan tercela. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya memenuhi rongga dengan nanah, lebih baik dari pada memenuhinya dengan syair” HR Muslim. Said Hawa mengarahkan hadits ini pada syair-syair yang bermuatan buruk.
Bersyair secara umum bukanlah perbuatan terlarang jika di dalamnya tidak terdapat ungkapan yang buruk. Buktinya Rasulullah pernah memerintahkan Hassan bin Tsabit untuk bersyair melawan syairnya orang kafir.

11. Al Mazah (Sendau gurau)
Secara umum mazah adalah perbuatan tercela yang dilarang agama, kecuali sebagian kecil saja yang diperbolehkan. Sebab dalam gurauan sering kali terdapat kebohongan, atau pembodohan teman. Gurauan yang diperbolehkan adalah gurauan yang baik, tidak berdusta/berbohong, tidak menyakiti orang lain, tidak berlebihan dan tidak menjadi kebiasaan. Seperti gurauan Nabi dengan istri dan para sahabatnya.
Kebiasaan bergurau akan membawa seseorang pada perbuatan yang kurang berguna. Disamping itu kebiasaan ini akan menurunkan kewibawaan.
Umar bin Khatthab berkata : “Barang siapa yang banyak bercanda, maka ia akan diremehkan/dianggap hina”.
Said ibn al Ash berkata kepada anaknya : “Wahai anakku, janganlah bercanda dengan orang mulia, maka ia akan dendam kepadamu, jangan pula bercanda dengan bawahan maka nanti akan melawanmu”

12. As Sukhriyyah (Ejekan) dan Istihza’( cemoohan)
Sukhriyyah berarti meremehkan orang lain dengan mengingatkan aib/kekurangannya untuk ditertawakan, baik dengan cerita lisan atau peragaan di hadapannya. Jika dilakukan tidak di hadapan orang yang bersangkutan disebut ghibah (bergunjing).
Perbuatan ini terlarang dalam agama. Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok dan janganlah pula wanita-wanita mengolok-olok wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita yang diolok-olok itu lebih baik dari yang mengolok-olok “ QS. 49:11
Muadz bin Jabal ra. berkata : Nabi Muhammad SAW bersabda : “ Barang siapa yang mencela dosa saudaranya yang telah bertaubat, maka ia tidak akan mati sebelum melakukannya” HR. At Tirmidziy

13. Menyebarkan rahasia
Menyebarkan rahasia adalah perbuatan terlarang. Karena ia akan mengecewakan orang lain, meremehkan hak sahabat dan orang yang dikenali. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya orang yang paling buruk tempatnya di hari kiamat, adalah orang laki-laki yang telah menggauli istrinya, kemudian ia ceritakan rahasianya”. HR. Muslim

14. Janji palsu
Mulut sering kali cepat berjanji, kemudian hati mengoreksi dan memutuskan tidak memenuhi janji itu. Sikap ini menjadi pertanda kemunafikan seseorang.
Firman Allah : “Wahai orang-orang beriman tepatilah janji…” QS 5:1
Pujian Allah SWT pada Nabi Ismail as: “Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya..” QS 19:54
Rasulullah SAW bersabda : “ada tiga hal yang jika ada pada seseorang maka dia adalah munafiq, meskipun puasa, shalat, dan mengaku muslim. Jika berbicara dusta, jika berjanji ingkar, dan jika dipercaya khiyanat” Muttafaq alaih dari Abu Hurairah

15. Bohong dalam berbicara dan bersumpah
Berbohong dalam hal ini adalah dosa yang paling buruk dan cacat yang paling busuk. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya berbohong akan menyeret orang untuk curang. Dan kecurangan akan menyeret orang ke neraka. Dan sesungguhnya seseorang yang berbohong akan terus berbohong hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pembohong” Muttafaq alaih.
“Ada tiga golongan yang Allah tidak akan menegur dan memandangnya di hari kiamat, yaitu : orang yang membangkit-bangkit pemberian, orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu, dan orang yang memanjangkan kain sarungnya” HR Muslim.
“Celaka orang berbicara dusta untuk ditertawakan orang, celaka dia, celaka dia” HR Abu Dawud dan At Tirmidziy

16. Ghibah (Bergunjing)
Ghibah adalah perbuatan tercela yang dilarang agama. Rasulullah pernah bertanya kepada para sahabat tentang arti ghibah. Jawab para sahabat: ”Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui”. Sabda Nabi: “ghibah adalah menceritakan sesuatu dari saudaramu, yang jika ia mendengarnya ia tidak menyukainya.” Para sahabat bertanya : “Jika yang diceritakan itu memang ada? Jawab Nabi : ”Jika memang ada itulah ghibah, jika tidak ada maka kamu telah mengada-ada” HR Muslim.

Al Qur’an menyebut perbuatan ini sebagai memakan daging saudara sendiri (QS. 49:12)
Ghibah bisa terjadi dengan berbagai macam cara, tidak hanya ucapan, bisa juga tulisan, peragaan. dsb.
Hal-hal yang mendorong terjadinya ghibah adalah hal-hal berikut ini :
-Melampiaskan kekesalan/kemarahan
-Menyenangkan teman atau partisipasi bicara/cerita
-Merasa akan dikritik atau dcela orang lain, sehingga orang yang dianggap hendak mencela itu jatuh lebih dahulu.
-Membersihkan diri dari keterikatan tertentu
-Keinginan untuk bergaya dan berbangga, dengan mencela lainnya
-Hasad/iri dengan orang lain
-Bercanda dan bergurau, sekedar mengisi waktu
-Menghina dan meremehkan orang lain
-Terapi ghibah sebagaimana terapi penyakit akhlak lainnya yaitu dengan ilmu dan amal.
-Secara umum ilmu yang menyadarkan bahwa ghibah itu berhadapan dengan murka Allah. Kemudian mencari sebab apa yang mendorongnya melakukan itu. Sebab pada umumnya penyakit itu akan mudah sembuh dengan menghilangkan penyebabnya.
-Menceritakan kekurangan orang lain dapat dibenarkan jika terdapat alasan berikut ini:
-Mengadukan kezaliman orang lain kepada qadhi
Meminta bantuan untuk merubah kemunkaran
-Meminta fatwa,seperti yang dilakukan istri Abu Sufyan pada Nabi.
-Memperingatkan kaum muslimin atas keburukan seseorang
-Orang yang dikenali dengan julukan buruknya, seperti al a’raj (pincang), dst.
-Orang yang diceritakan aibnya, melakukan itu dengan terang-terangan (mujahir)
Hal-hal penting yang harus dilakukan seseorang yang telah berbuat ghibah adalah :
1. Menyesali perbuatan ghibahnya itu
2. Bertaubat, tidak akan mengualnginya lagi
3. Meminta maaf/dihalalkan dari orang yang digunjingkan.

oleh : Marhadi Muhayar, Lc., M.A


www.info-iman.blogspot.com

Selasa, 24 Mei 2011

Fenomena Kemerosotan Kualitas Agama

(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII)

Pada acara-acara keagamaan di kampung-kampung, seringkali pembaca acara (moderator) menyampaikan rasa hormat dan terima kasih di antaranya kepada ulama. Padahal tidak jarang, sebutan ulama itu dimentahkan oleh realita acara tersebut. Ternyata yang dimaksud hanya guru ngaji atau guru madrasah biasa.
Surutnya kualitas makna ulama berbanding lurus dengan berkurangnya semangat untuk mencari, menghormati dan mengamalkan ilmunya. Masyarakat pun sepertinya kurang mendukung keberadaan orang alim yang benar-benar berilmu dan mendakwahkannya. Penceramah yang pandai memancing gelak-tawa hadirin lebih disukai. Jadilah majelis taklim seperti tontonan lawak, lantaran begitu derasnya tawa yang terdengar.
Apalagi bila ditambah dengan ulah buruk sebagian orang yang sudah meraih gelar ulama sehingga kian menambah terpuruknya citra Ulama itu sendiri. Sehingga, manusia bergelar ulama dengan makna sesungguhnya yang berorientasi kepada Allâh Ta'âla (Ulama Rabbani) menjadi makhluk langka.
Ulama adalah panutan dan tumpuan terhadap persoalan-persoalan yang menjadi keluh-kesah masyarakat. Pada zaman globalisasi ini, permasalahan yang dihadapi semakin kompleks dan aneh-aneh. Dalam hal ini, para ahli hukum agama Islam (fuqaha) sebenarnya tidak boleh santai dalam mendalami ilmu. Apalagi sampai berhenti, merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki.
Kondisi ini sedikit demi sedikit kian parah, tatkala insan-insan yang sudah terdaulat mengerti masalah agama, tidak tanggap terhadap persoalan-persoalan baru dan masih fanatik dengan satu kitab kuningnya.
Akibatnya, pengetahuan agama berjalan di tempat, perkembangan ilmu agama tidak seimbang dengan perkembangan dinamika sosial yang bergerak cepat. Zakat saham, solusi dari bank ribawi, bayi tabung, sewa rahim, transaksi via internet dan deretan persoalan baru yang sudah akrab dengan denyut kesibukan masyarakat menuntut kesigapan para Ulama. Masalah-masalah yang dianggap kecil dan ringan saja masih memerlukan kehati-hatian untuk menjawabnya, terlebih lagi persoalan-persoalan kontemporer yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Akan tetapi bagi yang kurang takut kepada Allâh Ta'âla, akan memaksakan diri untuk memutar-mutar otak dan memeras kepalanya ketika menghadapi suatu pertanyaan; padahal sebenarnya dia belum pernah tahu. Akan tetapi terdorong oleh ego tinggi dan rasa malu bila tidak bisa menjawab, maka akhirnya terpaksalah muncul jawaban dari bibirnya.
Keadaan semacam ini sangat memprihatinkan. Tatkala orang secara serampangan mengeluarkan fatwa tentang masalah agama. Padahal ia tidak mengetahuinya atau kurang memahaminya.
Ketika orang mengatakan ini boleh, itu tidak boleh, itu halal, itu haram, pada hakekatnya ia telah berkata atas nama Allâh Ta'âla, Dzat yang berwenang menetapkan aturan hukum di alam semesta ini. Karena itu, setiap orang harus mengerem lidah dari berfatwa tentang permasalahan yang tidak ia ketahui dengan baik.
Kisah berikut cukuplah menjadi bahan renungan kita sekalian untuk selalu menjaga lisan dari segala yang tidak kita ketahui, apalagi masalah agama.
Pada suatu hari, Imam Mâlik rahimahullâh menjumpai gurunya, Imam Rabî’ah bin ‘Abdurrahmân rahimahullâh yang sedang menangis. Imam Mâlik rahimahullâh bertanya kepadanya:
“Apa gerangan yang menyebabkan engkau menangis? Apakah engkau ditimpa musibah?”
Beliau menjawab:
“Tidak, aku menangis karena adanya orang tak berilmu yang dimintai fatwa.”
Lalu Imam Rabî’ah rahimahullâh berkata:
” Sungguh, sebagian orang yang berfatwa di sini lebih layak untuk dipenjarakan daripada para pencuri." (At-Tamhîd:3/5)

Ibnu Shalah rahimahullâh mengomentari kisah ini dengan berkata:
“Semoga Allâh Ta'âla senantiasa merahmati Imam Rabî’ah, apa gerangan komentar beliau andaikan menyaksikan perilaku masyarakat di zaman ini” (Adâbul Mufti wal Mustafti 1/20)
Dan sekarang kita katakan, apa gerangan komentar beliau andaikan menyaksikan perilaku masyarakat di zaman ini? Apa komentar beliau seandainya melihat perilaku sebagian orang yang telah didaulat sebagai Ulama oleh masyarakat?
Para ulama terdahulu telah menetapkan betapa bahayanya berbicara tentang agama tanpa landasan ilmu yang benar. Kewajiban orang yang tidak tahu adalah diam dan mengatakan tidak tahu. Itulah jalan keselamatan.
Ibnu ‘Umar pernah ditanya oleh seorang Badui tentang bibi dari garis bapak, apakah ia memperoleh warisan. Ibnu Umar menjawab:
"Saya tidak tahu”.
Orang Badui itu bertanya keheranan:
"Engkau tidak mengerti?”.
"Ya", jawab Ibnu ‘Umar. "Datangilah ulama dan tanyalah mereka".
Ibnu ‘Uyainah bercerita:
"Dahulu Abul Hushain, jika ditanya suatu masalah (yang tidak diketahui) menjawab: 'Aku tidak mempunyai ilmu tentang itu. Wallahu a’lam'”. (Tahdzîbut Tahdzîb (7/127))
Semoga Allâh Ta'âla berkenan menghidupkan dan membangkitkan Ulama Rabbani yang ikhlas kepada Allâh Ta'âla, bermoral tinggi di hadapan Allâh Ta'âla dan manusia serta bersemangat memperbaiki masyarakat, dan selalu berlandaskan qâlallah dan qâla rasûluhu (ayat-ayat al-Qur‘an dan Hadits-hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam yang shahih). Wallahu a’lam.

www.info-iman.blogspot.com

INGKARUS SUNNAH PERUSAK AL-QUR’AN

Tafsir Ayat:
…. Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu (Nabi) menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. an-Nahl [16]: 44)
Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dua wahyu yang tidak bisa dipisahkan. Barangsiapa berpegang pada salah satunya saja dengan meninggalkan yang lain, sungguh dia telah tersesat. Ironisnya, ada sebagian kalangan yang merasa cukup dengan al-Qur’an, tidak mau mengambil as-Sunnah. Merekalah kaum Qur’aniyyun alias Inkarus Sunah.
Syaikh Abdul Wahhab bin Abdul Jabbar ad-Dahlawi rohimahulloh berkata: “Musibah yang menimpa kaum muslimin pada zaman sekarang ialah tersebarnya kelompok yang berpegang hanya kepada al-Quran dan menolak hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam yang mutawatir. Musibah ini melanda negeri-negeri Islam, khususnya India. Mereka mempunyai organisasi yang menamakan dirinya “Ahlu al-Qur’an”. Mereka sebarkan pemahaman ini lewat tulisan, brosur, dan majalah India. Akan tetapi, mereka telah dibantah oleh para ulama India, seperti Syaikh as-Sayid Sulaiman an-Nadawi rohimahullohTahqiq . (lihat Tahqiq Ma’na as-Sunnah oleh an-Nadawi: 24).
Betapa banyak ayat al-Qur’an yang butuh penjelasan dari as-Sunnah, seperti ayat sholat, zakat, dan lainnya. Ayat di atas (QS. an-Nahl [16]: 44) menjadi rujukan kami untuk menjelaskan betapa pentingnya kita berpegang kepada as-Sunnah. Mustahil kita bisa mengamalkan al-Qur’an tanpa keterangan dari sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.
tafsir ayat
Syaikh al-Albani rohimahulloh berkata: “Yang dapat saya pahami dari ayat ini ada dua keterangan:

1. Penjelasan lafazh dan tata letaknya, yaitu beliau shollallohu alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya, tetapi menyampaikan kepada umatnya (lihat surat al-Ma’idah [5]:67).
Aisyah rodhiyallohu anha berkata: ‘Barangsiapa menuduh bahwa Mu­hammad shollallohu alaihi wa sallam menyimpan sedikit saja dari ayat Alloh, sungguh orang (penuduh) ini paling besarnya dustanya di sisi Alloh’ (HR. Muslim 1/159)
2. Beliau shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan makna lafazh dan makna secara umum atau menerangkan makna ayat yang menjadi kebutuhan umatnya. Terutama apabila ayat itu bersifat glo­bal, umum, atau mutlak, maka as-Sunnah menerang­kan yang masih global, mengkhususkan yang umum, dan mentaqyid yang mutlak, baik lewat perkataan, perbuatan, atau ketetapan beliau tatkala melihat sahabatnya berbuat.” (Manzilatus Sunnah fil Islam oleh al-Albani: 4)
Syaikh Sulaiman an-Nadawi rohimahulloh berkata: “Berdasarkan ayat ini, apabila para sahabat tidak memahami suatu ayat, mereka segera merujuk maknanya ke­pada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Apabila ada suatu peristiwa, mereka me­nyampaikan kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallamshollallohu alaihi wa sallam menjelaskan puasanya tetap sah, karena orang lupa dan keliru tidak dihukum sebagaimana disebutkan di dalam surat al-Ahzab [33]: 5.” (Tahqiq Ma’na as-Sunnah wa Bayanul Hajati Ilaiha oleh Sulaiman an-Nadawi: 29-30 ta’liq wa tahrij al-Albani dkk.) untuk mendapatkan penjelasan dan pelajaran yang belum didapatkan sebelumnya. Misalnya puasa, al-Qur’an tidak menjelaskan hukum orang berpuasa apabila dia lupa makan dan minum, tetapi Nabi
faedah ayat
Ayat ini mendapat perhatian serius dari para ulama Sunnah. Dari keterangan mereka dapat kita ambil beberapa faedah:
1. Para sahabat rodhiyallohu anhum mengerti al-Qur’an karena menerima keterangan dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata: “Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam mengajarkan makna al-Qur‘an kepada para sahabat dan lafazhnya. Abu Abdirrohman as-Sulami rohimahulloh berkata: ‘Orang yang membaca al-Qur’an seperti Utsman bin Affan dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhuma bercerita kepada kami, apa­bila mereka belajar dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam sepuluh ayat, tidaklah melanjutkannya sehingga mereka betul-betul paham, mengerti, dan mengamalkannya” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 13/331)
2. Imam Syafi’i berkata: “Ayat ini menjadi dalil, sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam merupakan penjelas al-Qur’an.” (al-Mahsul 3/513)
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rohimahulloh berkata: “Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan al-Qur’an ke­pada mereka dengan keterangan yang lengkap. Jika tidak menger­ti, para sahabat segera bertanya kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam lalu beliau segera menjelaskannya.” (I’lamul Muwaqqi’in 4/153)
3. Ayat ini membantah Qur’aniyyun.
Imam Ibnu Hazm rohimahulloh berka­ta: “Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang mujmal (global) seperti sholat, zakat, haji, dan lainnya, yang tidak kita ketahui apa yang harus kita kerjakan. Akan teta­pi, dengan keterangan Nabi shollallohu alaihi wa sallam kita menjadi tahu. Oleh karena itu, apabila keterangan beliau ini dapat dipercaya penukilannya maka batallah orang yang beralasan dengan dalil al-Qur’an saja….” (al-Ihkam 1/78)
3. Wajib menerima hadits ahad yang shohih.
Al-Amidi rohimahulloh berkata: “Risalah yang sampai kepada kita adakalanya mutawatir dan (ada-kalanya) ahad, sedangkan yang mutawatir hanya sedikit; maka jika hadits ahad ditolak, tentulah tidak akan terwujud fungsi beliau shollallohu alaihi wa sallam sebagai penyampai risalah untuk semua lapisan manusia, dan ini mustahil karena Alloh subhanahu wa ta’ala menyuruh Nabi shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan ayat kepada mereka (lihat QS. an-Nahl [16]: 44).” (al-Ihkam 2/68, oleh al-Amidi)
5. Ingkar as-Sunnah sesat dan jahil.
Imam Ibnu Abdil Bar rohimahulloh berkata: “Tidak mungkin me­mahami maksud ayat al-Qur’an melainkan lewat Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Belumkah kamu membaca firman-Nya dalam surat an-Nahl [16]: 44? Belumkah kamu ketahui bahwa sholat, zakat, haji, puasa, dan semua hukum di dalam al-Qur’an umumnya masih global? Lalu Nabi shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan hu-kumnya. Barangsiapa menolak hadits yang shohih, dia sesat dan jahil.” (at-Tamhid 23/324)
6. Keterangan Nabi shollallohu alaihi wa sallam tentang ayat al-Qur’an berdasarkan wahyu.
Aisyah rodhiyallohu anha berkata: “Tidak­lah Nabi shollallohu alaihi wa sallam(ats-Tsiqqot Ibnu Hibban 7/395) menafsirkan ayat al-Qur’an sedikitpun melainkan karena Jibril alaihissalam mengajarkan kepada beliau.”
7. As-Sunnah untuk mengetahui halal dan harom.
Mujahid rohimahulloh berkata: “Mak­na ayat tersebut, agar Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan yang halal dan yang harom kepada manusia.” (ad-Durrul Mantsur 5/133)
8. As-Sunnah pelengkap keterangan al-Qur’an.
Ibnu Rojab rohimahulloh berkata: “Tidaklah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam meninggal dunia melainkan setelah sempurna menjelaskan al-Qur’an ke­pada umatnya, sebagaimana ke­terangan surat an-Nahl [16]: 44.”
makna as-sunnah
Sering kita dengar terucap perkataan: “Fulan di atas Sunnah”, “Mari kita berpegang ke­pada as-Sunnah”, dan perkataan lain yang serupa. Agar kita tidak salah menafsirkan makna as-Sun­nah dan siapakah ahlinya, mari kita ikuti pembahasannya.
As-Sunnah ada dua macam: (1) sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sunnah para sahabatnya shollallohu alaihi wa sallam. Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda: (2)
“Maka wajib atasmu berpegang dengan sunnahku (petunjukku) dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapat petunjuk dan menunjukkan jalan yang haq. ” (HR. Abu Dawud: 3991, bersumber dari al-’Irbadh bin Sariyah rodhiyallohu anhu; dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Sunan Abi Dawud, lihat pula Shohihul Jami’: 2549)
Pengambilan kalimat “as-Sunnah”
Sulaiman an-Nadwi rohimahulloh ber­kata: “Sebagian orang jahil berkata bahwa kalimat as-Sunnah diambil dari kata masnat bahasa Ibrani, artinya orang Yahudi meninggalkan Taurot karena berpe­gang kepada riwayat Isra’iliyyah, sedangkan orang Islam meninggalkan al-Qur‘an karena berpe­gang kepada hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam lalu menamakannya as-Sunnah. Hal ini tidak benar, karena as-Sun­nah diambil dari ayat al-Qur’an, bukan dari bahasa Ibrani.
…. Dan tidaklah akan kamu dapati perubahan bagi sunnah (ketetapan) Kami itu. (QS. al-Isro’ [17]: 77).” (Tahqiq Ma’na as-Sunnah wa Bayanul Hajati Ilaiha oleh Sulaiman an-Nadawi: 70)
Kami tambahkan, diambil pula dari sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam sebagai­mana keterangan hadits di atas.
“As-Sunnah” menurut bahasa
Abul Qosim al-Ashbahani rohimahulloh berkata: “Ahli bahasa ber­kata as-sunnah ialah jalan yang ditempuh.” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/384)
“Sunnah” menurut bahasa ini bersifat umum, ada sunnah hasanah dan ada yang sayyi’ah, sebagaimana keterangan hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya.
Makna “as-Sunnah” yang sempurna
Imam Ibnu Rojab rohimahulloh berka­ta: “As-Sunnah meliputi berpe­gang kepada sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin dari sisi i’tiqod, amalan, dan perkataan. Inilah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, ulama salaf dahulu tidaklah menamai as-Sunnah melainkan bila mencakup ini semua.” (Jami’ul Ulum wal Hikam: 28)
Ibnu Taimiyyah rohimahulloh ber­kata: “As-Sunnah ialah amalan yang berdasarkan dalil syar’i, menaati Alloh dan Rosul-Nya; (pada) perkara yang diamalkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam atau diamal­kan ]pada zamannya, yang beliau tinggalkan atau tidak diamalkan pada zamannya karena tidak ada keharusan pada waktu itu atau adanya hambatan, jika ada dalil bahwa beliau memerintahkan atau menganjurkan maka itulah sunnah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/317-318)
Jadi harus dibedakan dengan makna “sunnah” menurut ahli fiqih yang meninjau dari sisi hukum, bahwa sunnah adalah ama­lan yang bukan wajib; seperti sholat sunnah, puasa sunnah, dan contoh lainnya.
Beda “al-Hadits”dan “as-Sunnah”
Sulaiman an-Nadwi rohimahulloh ber­kata: “Al-Hadits ialah riwayat yang menerangkan perkataan, perbuatan, dan tingkah laku Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam. Sedang­kan as-Sunnah ialah pengamalan hadits dan al-Qur’an yang sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir, baik mutawatir lafzhi atau amali, yang dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, dan generasi sesudahnya; se­perti perintah sholat di dalam al-Qur’an lalu diperjelas oleh Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan sabda beliau: ‘Sholatlah kalian seperti kamu melihatku sholat’ dan amalan sholat ini dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, dan semua kaum muslimin. Demikian pula puasa, zakat, haji, dan semua perintah lainnya.” (Tahqiq Ma’na as-Sun­nah wa Bayanul Hajati Ilaiha oleh Sulaiman an-Nadwi: 52, 56)
Makna “as-Sunnah an-Nabawiyyah”
Syaikh Ibnu Utsaimin ber­kata: “As-Sunnah an-Nabawiyyah ialah yang dinukil dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan beliau. Mengamalkan as-Sunnah wajib, sebagaimana mengamalkan al-Qur’an.” (at-Tamassuk bi Sunnah an-Nabawiyyah wa Atsaruhu: 6, Ibnu Utsaimin)
Siapakah “Ahli as-Sunnah”?
Abul Qosim al-Ashbahani rohimahulloh berkata: “Fulan dikatakan ahli Sunnah apabila mengamal­kan al-Qur’an, as-Sunnah, dan atsar dalam segi i’tiqod, perbuatan, maupun perkataan. Ahli Sunnah bukanlah orang yang menyelisihi Alloh subhanahu wa ta’ala dan Nabi shollallohu alaihi wa sallam” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/384)
Ulama salaf berkata: “Ahli Sunnah mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta beramal seperti salafush-sholih dan mengikuti atsar para sahabat rodhiyallohu anhum.” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/428)
Hadits yang shohih itulah “as-Sunnah”
Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata: “Maka wajib dibedakan antara hadits shohih dan hadits palsu. Sesungguhnya as-Sunnah adalah hadits yang shohih, bukan hadits yang lemah.” (Majmu’ Fatawa 3/380)
Bila “as-Sunnah” menjadi landasan hukum ?
Syaikh al-Albani rohimahulloh berka­ta: ‘As-Sunnah menjadi landasan hukum apabila datang berdasarkan ilmu dan sanad shohih yang dikenal oleh ulama hadits dan perowinya.” (Manzilatus Sunnah fil Islam: 5)
Dari keterangan di atas, kita dapat membedakan makna “sunnah” menurut bahasa dan istilah, kapan boleh dijadikan hujjah dan diamalkan, dan kapan seseorang berhak disebut “ahli Sunnah”.
penyebab ingkar sunnah
Orang mengingkari as-Sun­nah tentunya memiliki sebab dan tujuan. Inilah di antaranya:
1. Membenci Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan rosul. Ini berawal dari kelompok Yahudi yang tidak senang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
2. Agar manusia bebas berpikir dan berbuat menuruti hawa nafsunya, tidak terikat dengan ketentuan as-Sunnah.
3. Karena kebodohannya, tidak mau menuntut ilmu kepada ahlinya.
4. Memusuhi Islam dengan cara yang halus lewat mulut mereka. Mustahil mereka membela Islam kalau membenci as-Sunnah.
5. Memecah belah persatuan dan kekuatan kaum muslimin. Apabila al-Qur’an ditafsirkan dengan as-Sunnah dan pemahaman sahabat rodhiyallohu anhum kaum muslimin menjadi kuat dan bersatu.
6. Memberi peluang musuh Is­lam agar bisa bersikap keras kepada kaum muslimin. Sebaliknya, mereka menjadikan umat Islam bersikap .lembut terhadap pemeluk agama lain, bersabar, dan suka memaaf-kan bila Yahudi atau Nasrani bersalah kepada kaum mus­limin.
Imam Ahmad berkata: “Barangsiapa menolak hadits Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam maka dia di ambang pintu kehancuran.”
as-sunnah adalah wahyu alloh
Setelah kita memahami mak­na as-Sunnah an-Nabawiyyah, ketahuilah bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dua wahyu yang tidak boleh dipisahkan. Dalil yang menerangkan bahwa as-Sunnah an-Nabawiyyah termasuk wahyu:
Dan (juga karena) Alloh telah menurunkan Kitab dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui… (QS. an-Nisa‘ [4]: 113)
Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir berkata: “Al-Hikmah ialah Sun­nah.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/555, Tafsir ath-Thobari 3/274)
Dan tiadalah yang diucapkannya (Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. an-Najm [53]: 3-4)
al-qur‘an mengagungkan as-sunnah
Perlu kami sampaikan dalil dari ayat al-Qur‘an tentang wajibnya mengagungkan dan mengamalkan as-Sunnah. Orang yang berpegang kepada al-Qur’an harus berpegang kepada ayat yang menjelaskan keharusan berpegang kepada as-Sunnah pula. Jika tidak demikian, tidaklah benar pengakuan me­reka berpegang kepada ayat al-Qur’an. Inilah dalilnya:
1. Alloh subhanahu wa ta’ala memerintahkan supaya menaati Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
Dan taatilah Alloh dan Rosul, supaya kamu diberi rohmat. (QS. Ali lmron[3]:132)
2. Alloh subhanahu wa ta’ala. menyifati seseorang sebagai mu’min bila taat ke­pada Nabi shollallohu alaihi wa sallam. (Lihat QS. al-Anfal [8]: 1, an-Nisa’ [4]: 63)
3. Alloh subhanahu wa ta’ala. menjelaskan bahwa di antara batalnya amal ialah karena tidak taat kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam. (Lihat QS. Muhammad [47]: 33)
4. Orang yang tersesat ialah orang yang durhaka kepada Rosul-Nya. (Lihat QS. al-Ah-zab [33]: 36)
5. Orang yang tidak taat kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam masuk neraka. (Li­hat QS. al-Jin [72]: 32)
6. Alloh subhanahu wa ta’ala menjadikan Nabi shollallohu alaihi wa sallamuswatun hasanah. (Lihat QS. al-Ahzab [33]: 21) sebagai
7. Al-Qur”an menerangkan wajibnya kita berpegang kepada sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.
…. Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…. (QS. al-Hasyr[59] :7)
8. Al-Qur’an mewajibkan berhukum dengan as-Sunnah. (Lihat QS. an-Nur [24]: 48, 51)
Qur’aniyyun hendaknya menerima ketetapan ayat di atas, dan harus berpegang kepada as-Sunnah. Jika tidak, jawablah pertanyaan Alloh subhanahu wa ta’ala di bawah ini:
Maka kepada perkataan apakah selain al-Qur’an ini mereka akan beriman? (QS. al-Mursalat [77]: 50)
Dalil dari Sunnah Nabawiyyah yang mewajibkan kita berpegang dan mengamalkan sunnah beliau shollallohu alaihi wa sallam banyak sekali. Di antaranya:
1. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Adapun sesudahnya, maka sebaik-baik perkataan adalah kitab Alloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallohu alaihi wa sallam.” (HR. Muslim: 1435)
2. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya! Tidaklah salah satu di antara kamu beriman sehingga aku lebih disenanginya melebihi orangtua dan anaknya.” (HR. Bukhori: 13)
4. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Alloh, saya tidak menjumpai salah satu di antara kamu ada di ternpat tidurnya, lantas datang kepadanya perintahku atau laranganku, lalu dia berkata: ‘Saya tidak tahu, yang kami jumpai dari al-Qur’an itulah yang kami amalkan.’” (HR. Ibnu Majah: 13, dishohihkan oleh al-Albani 1/14, bersumber dari Rofi’
Abu Bakar rodhiyallohu anhu berkata: “Tidaklah yang diamalkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam melainkan aku mengamalkannya. Sungguh aku takut apabila meninggalkan sebagian perintahnya, aku menjadi orang yang berpaling dari sunnahnya.” (al-Ibanah 1/246)
faedah berpegang kepada as-sunnah
Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata: Di antara faedah berpegang kepada as-Sunnah dan atsar yang terpuji ialah sebagai berikut:
1. Orang yang bepegang kepada as-Sunnah menjadi imam dan panutan yang baik, jauh dari kesalahan. Berbeda halnya dengan orang yang taklid kepada salah seorang pemimpin, jelas banyak kesalahannya. Jika kamu ditanya: “Mana dalilmu?” Jawablah: “Ini adalah sunnah Rosululloh atau sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam.”
2. Berakhlak seperti akhlak Nabi shollallohu alaihi wa sallam, karena beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dan beliau ditakdirkan berakhlak mulia.
3. Berpegang kepada as-Sunnah menjadikan seseorang bersifat tengah-tengah, umat pun menjadi baik, tidak berlebih-lebihan dalam menyenangi Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan tidak menghina atau meremehkan beliau, karena Dinulloh (agama Alloh) itu dinul wasath atau tengah-tengah….
4. Orang yang berpegang kepada as-Sunnah menyeru manusia dengan penuh rohmat, lembut, dan kasih sayang lagi ramah….
(Diringkas dari at-Tamassuk bi Sunnah an-Nabawiyyah wa Atsaruhu oleh Ibnu Utsaimin: 17-20)
Kami tambahkan, berpegang kepada as-Sunnah memperkecil perselisihan serta mempererat persaudaraan dan persatuan, karena ulama berbeda-beda di dalam keilmuan dan pemahaman, seperti yang dijelaskan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala:
…. Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada Dzat yang Maha Mengetahui. (QS. Yusuf [12]: 76)
Bagi orang awam, apabila tidak paham hendaknya merujuk dan menanyakan kepada ahlinya, yaitu Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan orang yang berpegang kepada sunnah beliau, sebagaimana dijelaskan di dalam QS. an-Nahl [16]: 43.
sikap ulama terhadap “ingkar sunnah”
1. Dilarang bergaul dan mengambil ilmu mereka
Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhu berkata: ”Kalian akan menjumpai suatu kaum, mereka mengaku mengajak kamu kepada kitab Alloh, padahal mereka membuang al-Qur’an ke balik punggung me­reka. Maka kalian wajib berpe­gang kepada ilmu, jauhkan dirimu dari perkara bid’ah, jauhkan dirimu dari mendalami perkara (berlebihan) , dan kamu wajib berpegang kepada Sunnah.” (Sunan ad-Darimi 1/66)
Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu ber­kata: “Janganlah kamu bergaul dengan orang yang mengandalkan pendapatnya. Sesungguhnya mereka musuh Sunnah. Mereka menolak hadits yang mereka hafal, (lantas) berpegang kepada pendapatnya. Mereka sesat dan menyesatkan (lihat al-Lalikai 1/123)
2. Wajib mendakwahi mereka agar kembali kepada Sunnah dan menjelaskan bahayanya sesuai dengan keterangan di atas
Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma berkata: “Hampir saja diturunkan kepa­da kalian hujan batu dari langit, (ketika) saya berkata ‘Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda’ sedangkan kamu (membantah) berkata ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian’.” (Syarh Kitab Tauhid 1/482)
3. Mereka penyesat umat
Abu Qilabah rohimahulloh berkata: “Jika kamu menyampaikan as-Sunnah kepada seseorang lalu dia berkata ‘Tinggalkan as-Sun­nah, mana dalil al-Qur’an?’ Ketahuilah, dia sesat”. (Thobaqot Ibnu Sa’ad 7/I84)
4. Mereka itu Abu Jahal pada zaman sekarang.
Imam adz-Dzahabi rohimahulloh ber­kata: “Apabila kamu melihat ahli kalam dan orang ahli bid’ah ber­kata ‘Tinggalkan al-Qur’an dan hadits ahad, bawakan akal’. Ketahuilah, dia Abu Jahal…” (Siyar A’lamin Nubala’ 4/472)
5. Mereka di ambang pintu kehancuran
Imam Ahmad rohimahulloh berkata: “Barangsiapa menolak hadits Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam maka dia di am­bang pintu kehancuran.” (Thobaqotul Hanabilah 2/15, al-Ibanah 1/260)
6. Mereka penyembah hawa nafsu
Imam al-Barbahari rohimahulloh ber­kata: “Jika kamu mendengar sese­orang mencela atsar atau menolak atsar atau ingin selain atsar, curigailah keislamannya. Tidak diragukan, dialah penyembah hawa nafsu, ahli bid’ah.” (Syarhus Sunnah: 51)
Abul Qosim al-Ashbahani rohimahulloh berkata: “Ahli Sunnah dari ulama salaf berkata: ‘Apabila ada orang yang mencela atsar maka harus dicurigai keislaman­nya” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/428)
6. Tidak diajak bicara, bila hal itu ada maslahatnya.
Ibnu Sirin rohimahulloh pernah menceritakan hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam ke­pada seseorang, lalu orang itu berkata: “Akan tetapi, fulan ber­kata demikian demikian.” Lalu Ibnu Sirin rohimahulloh menjawab: “Aku menceritakan hadits dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam lantas kamu berkata ‘Fulan bicara demikian’, tak perlu saya bicara denganmu selamanya.” (Sunan ad-Darimi: 442)
Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu tidak mengajak bicara anaknya yang bernama Bilal ketika melarang wanita masuk masjid padahal Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam membolehkannya (lihat Shohih Muslim: 672).
Jika menolak satu hadits saja disikapi demikian, bagaimanakah terhadap pengingkarnya.
8. Boleh dicurigai keislamannya
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh berkata: “Barang­siapa membenci sebagian dari apa yang didatangkan oleh Ro­sululloh shollallohu alaihi wa sallam walaupun dia mengamalkan, maka dia kafir.” Lalu beliau menukil QS. Muhammad [47]: 9 (lihat Nawaqidhul Islam).
bahaya ingkarus sunnah
Orang yang menolak Sunnah hendaknya waspada, boleh jadi adzab Alloh subhanahu wa ta’ala bukan hanya menimpa mereka pada hari kiamat, tetapi juga di dunia.
Al-Akwa” rodhiyallohu anhu pernah bercerita kepada anaknya yang bernama Salamah: ‘Ada seseorang makan dengan tangan kiri, lalu Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda: ‘Makanlah dengan tangan kanan!’ Dia berkata: ‘Saya tidak bisa’ Padahal dia mampu, tetapi (ucapan itu keluar) karena sombong. Lalu tangannya benar-benar lumpuh, tidak bisa mengangkat ke mulutnya.” (HR. Muslim: 3766)
Dari Ibnu Abbas rodhiyallohu anhu, Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu datang ke rumah istrimu pada malam hari dengan tiba-tiba.” Lalu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam datang kembali, tiba-tiba ada dua orang laki-laki berjalan menemui istrinya pada malam hari, masing-masing menjumpai istrinya bersama orang laki-laki. (HR. ad-Darimi: 444, dishohihkan oleh al-Albani; lihat Jami’ush Shoghir 1/1332, Silsilah ash-Shohihah 8/92)
Sa’id bin Musayyib rohimahulloh berkata: “Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah orang yang keluar dari masjid ketika mendengar adzan melainkan dia orang munafik, kecuali apabila keluar karena ada keperluan lalu kembali ke masjid lagi.” Lantas ada orang yang berkata: “Temanku di Harroh.” Lalu dia keluar setelah adzan dikumandangkan. Sa’id menegurnya: “Jangan keluar!” Akan tetapi, dia tetap keluar. Lalu Sa’id diberi tahu bahwa orang itu jatuh dari kendaraannya dan patah tulang pahanya. (HR. ad-Darimi: 447, al-Albani berkata: “Sanadnya hasan”, lihat ats-Tsimar al-Mustathob 1/145)
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il at-Taimi rohimahulloh berka­ta: “Saya pernah membaca sebuah cerita, bahwa sebagian ahli bid’ah ketika mendengar hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam ‘Apabila salah satu di antara kamu bangun dari tidur maka janganlah mencelupkan tangannya ke bejana sehingga membasuhnya, karena dia tidak tahu tempat bermalam tangannya’, lalu ahli bid’ah itu berkata: ‘Saya tahu di mana tanganku bermalam’ Tiba-tiba pada pagi harinya tangannya masuk dalam duburnya sampai hasta.” At-Taimi berkata: “Waspadalah! Jangan meremehkan Sunnah, lihat bagaimana akibatnya.” (Lihat Bustanul Arifin oleh Imam Nawawi: 94)
bahaya menafsirkan al-qur’an tanpa as-sunnah
Orang yang mengamalkan al-Qur’an namun menolak as-Sunnah tentu akan mengartikan ayat secara ngawur mengikuti hawa nafsunya. Bukanlah dia pengamal al-Qur’an, namun justru perusak al-Qur’an. Bagaima­na tidak, al-Qur’an diturunkan bukan di lubuk hati tiap-tiap manusia, tetapi lewat Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
Umar bin Abdul Aziz rohimahulloh berkata: “Tak seorang pun boleh berpegang pada pendapatnya bila menjumpai sunnah Rosu­lulloh shollallohu alaihi wa sallam.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/282)
Imam Syafi’i rohimahulloh berkata: “Ulama Sunnah bersepakat, barangsiapa yang sudah jelas baginya sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam maka tidak halal meninggalkannya lantaran berpegang kepada pendapat seseorang.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/282)
Ali bin Sulthon al-Qori’ rohimahulloh berkata: “Barangsiapa menerangkan al-Qur‘an dengan pendapatnya, sungguh ia kufur; maka bagaimanakah membicarakan Dzatulloh dan sifat-Nya ber-dasarkan hawa nafsunya.” (ar-Roddu ‘ala Wihdatil Wujud 1/46)
Ibnu Abil Izzi rohimahulloh berka­ta: “As-Sunnah datang untuk menjelaskan dan menetapkan apa yang ada di dalam al-Qur’an. Tidaklah Alloh membutuhkan pendapat si fulan atau perasaan si fulan untuk urusan agama ini.” (Syarh ath-Thohawiyyah 1/89)
Bahaya lain, dia sesat dan menyesatkan umat serta menjadi penyembah hawa nafsu, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Jatsiyah [45]: 23.
MUSTAHIL MENGAMALKAN AL-QUR’AN TANPA AS-SUNNAH
Mustahil Quraniyyun bisa mengamalkan al-Qur’an dengan benar dan jujur tanpa bantuan as-Sunnah shohihah, mengapa?
1. Alloh menurunkan al-Qur’an bukan kepada setiap manusia, tetapi kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan perantara Jibril alaihissalam. Lantas, bagaimana akal bisa memahami al-Qur’an tanpa as-Sunnah?
2. Jika akal saja cukup untuk memahami al-Qur’an, tentu sia-sialah Alloh mengutus utusan-Nya untuk menjelas­kan makna al-Qur’an. Yang demikian itu tidak bisa diterima oleh akal yang waras
3. Mereka harus mengingkari sebagian ayat yang mengharuskan berpegang kepada Sunnah, termasuk ayat yang jadi pembahasan di atas.
4. Akan meninggalkan sebagian amal ibadah yang di dalam al-Qur’an masih bersifat umum -belum jelas kaifiyyahnya- , atau beribadah dengan cara yang tidak benar.
5. Mereka akan merusak makna ayat yang sebenarnya, sebagaimana perilaku kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL), ahli bid’ah, pemuja ilmu kalam, dan lainnya.
Adapun contoh sebagian ayat yang membutuhkan keterangan dari as-Sunnah:
1. Surat al-Ma’idah [5]: 38 yang menjelaskan bahwa pencuri harus dipotong tangannya. Akan tetapi dalam ayat tersebut tidak dijelaskan kadar barang yang dicuri, melainkan kita jumpai kadarnya lewat hadits yang shohih. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Tangan pencuri dipotong bila mencuri seperempat dinar ke atas. ” (HR. Bukhori: 6291 kitab al-Hudud, bersumber dari Aisyah rodhiyallohu anha)
2. Surat al-An’am [6]: 82 yang menjelaskan bahwa orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan zhulm (kezholiman) , mereka akan mendapat keamanan dan petunjuk. Para sahabat rodhiyallohu anhum merasa keberatan, lantaran adakah manusia yang tidak berbuat zholim kepada dirinya? Nabi shollallohu alaihi wa sallam menjawab: “Bukan seperti yang kamu maksudkan, belumkah kamu mendengar perkataan Luqman kepada anaknya: Sesungguhnya syirik adalah kezholiman yang sangat besar (QS. Luqman [31]: 13).” (HR. Bukhori: 3100)
3. Surat al-Ma‘idah [5]: 3 menjelaskan haromnya bangkai, tetapi di dalam hadits disebutkan ada bangkai yang halal. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai, ikan dan belalang. ” (HR. Ibnu Majah: 3209, bersumber dari Ab-dulloh bin Umar rodhiyallohu anhu; dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Misykah: 4132 dan ash-Shohihah: 1148)
4. Ada orang yang berpendapat bahwa sutera tidak harom bagi kaum pria karena keumuman QS. al-A’rof [7]: 32. Akan tetapi, bila merujuk kepada hadits yang shohih, kita menjumpai keharoman sutera bagi kaum pria. Ali bin Abu Tholib rodhiyallohu anhu berkata: Sesungguhnya Nabi shollallohu alaihi wa sallam mengambil kain sutera dengan tangan kanannya dan mengambil emas dengan tangan kirinya, lalu berkata:
“Sesungguhnya dua benda ini harom untuk umatku yang laki-laki. ” (HR. Abu Dawud: 3535, dishohihkan oleh al-Albani; lihat ash-Shohihah 1/661, Shohih at-Targhib wa Tarhib 2/224)
ingkar sunnah = ingkar syahadat kerosulan nabi muhammad shollallohu alaihi wa sallam
Barangsiapa mengingkari as-Sunnah berarti mengingkari persaksiannya “Muhammad adalah utusan Alloh”. Mengapa? Karena makna syahadat yang kedua ini adalah bersaksi untuk menyanggupi beribadah kepada Alloh subhanahu wa ta’ala dengan cara yang dicontohkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Juga karena beliau adalah suri teladan yang baik dalam semua urusan. (Lihat QS. al-Ahzab [33]: 21)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Muhammad Alu Syaikh hafidhohulloh Mufti Kerajaan Saudi Arabia- berkata: Hakikat makna syahadat “Muhammad adalah utusan Alloh” ialah sebagai berikut:
1. Beriman bahwa beliau shollallohu alaihi wa sallam utusan Alloh subhanahu wa ta’ala, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Fath [48]: 29.
2. Beriman bahwa risalah beliau berlaku umum untuk semua manusia, bahkan termasuk jin; lihat QS. al-A’rof [7]: 185 dan al-Ahqof [46]: 29.
3. Beriman bahwa beliau hamba -tidak boleh disembah- dan utusan -tidak berdusta dan tidak boleh didustakan- (li­hat QS. Fushshilat [41]: 6).
4. Beriman bahwa beliau adalah penutup para nabi dan rosul (lihat QS. al-Ahzab [33]: 40).
5. Menaati perintahnya, membenarkan beritanya, dan memenuhi panggilannya (lihat QS. an-Nisa’ [4]: 80).
6. Mencintai, membela, dan mengagungkannya semasa beliau hidup, serta membela sunnahnya sepeninggal be­liau; sebagaimana keterangan hadits shohih, lihat pula QS. at-Taubah [9]: 24.
7. Ridho dengan hukumnya dan berpegang kepada syari’atnya (lihat QS. an-Nur [24]: 51).
8. Meniru dan mengikuti sun­nahnya serta mengembalikan semua perselisihan kepada sunnahnya (lihat QS. al-Ahz­ab [33]: 21 dan al-Hasyr [59]: 7) (Diringkas dari kitab Haqiqotu Syahadah “Wa Anna Muhamadan Rosululloh”, hal. 60-75)
Semoga dengan keterangan ini kita dapat menerima al-Qur‘an dan as-Sunnah sebagai sumber asli untuk mengetahui hukum-hukum Islam yang sebenarnya. []
***
Sumber : Majalah Al-FurQon Edisi 06 Tahun IV // Muharom 1428 [Februari 2007]
www.info-iman.blogspot.com

Hukum Memakai Cadar dalam Pandangan 4 Madzhab

Wanita bercadar seringkali diidentikkan dengan orang arab atau timur-tengah. Padahal memakai cadar atau menutup wajah bagi wanita adalah ajaran Islam yang didasari dalil-dalil Al Qur’an, hadits-hadits shahih serta penerapan para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta para ulama yang mengikuti mereka. Sehingga tidak benar anggapan bahwa hal tersebut merupakan sekedar budaya timur-tengah.
Berikut ini sengaja kami bawakan pendapat-pendapat para ulama madzhab, tanpa menyebutkan pendalilan mereka, untuk membuktikan bahwa pembahasan ini tertera dan dibahas secara gamblang dalam kitab-kitab fiqih 4 madzhab. Lebih lagi, ulama 4 madzhab semuanya menganjurkan wanita muslimah untuk memakai cadar, bahkan sebagiannya sampai kepada anjuran wajib. Beberapa penukilan yang disebutkan di sini hanya secuil saja, karena masih banyak lagi penjelasan-penjelasan serupa dari para ulama madzhab.
Madzhab Hanafi
Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
* Asy Syaranbalali berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“ (Matan Nuurul Iidhah)
* Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة
“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)
* Al Allamah Al Hashkafi berkata:
والمرأة كالرجل ، لكنها تكشف وجهها لا رأسها ، ولو سَدَلَت شيئًا عليه وَجَافَتهُ جاز ، بل يندب
“Aurat wanita dalam shalat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 2/189)
* Al Allamah Ibnu Abidin berkata:
تُمنَعُ من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة ، لأنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة
“Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat” (Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189)
* Al Allamah Ibnu Najiim berkata:
قال مشايخنا : تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة
“Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah” (Al Bahr Ar Raaiq, 284)
Beliau berkata demikian di zaman beliau, yaitu beliau wafat pada tahun 970 H, bagaimana dengan zaman kita sekarang?
Madzhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
* Az Zarqaani berkata:
وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها . وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني
“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176)
* Ibnul Arabi berkata:
والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها عما يَعنُّ ويعرض عندها
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)
* Al Qurthubi berkata:
قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229)
* Al Hathab berkata:
واعلم أنه إن خُشي من المرأة الفتنة يجب عليها ستر الوجه والكفين . قاله القاضي عبد الوهاب ، ونقله عنه الشيخ أحمد زرّوق في شرح الرسالة ، وهو ظاهر التوضيح
“Ketahuilah, jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka wanita wajib menutup wajah dan telapak tangannya. Ini dikatakan oleh Al Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan inilah pendapat yang lebih tepat” (Mawahib Jaliil, 499)
* Al Allamah Al Banaani, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas:
وهو الذي لابن مرزوق في اغتنام الفرصة قائلًا : إنه مشهور المذهب ، ونقل الحطاب أيضًا الوجوب عن القاضي عبد الوهاب ، أو لا يجب عليها ذلك ، وإنما على الرجل غض بصره ، وهو مقتضى نقل مَوَّاق عن عياض . وفصَّل الشيخ زروق في شرح الوغليسية بين الجميلة فيجب عليها ، وغيرها فيُستحب
“Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Ightimamul Furshah, ia berkata: ‘Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki’. Al Hathab juga menukil perkataan Al Qadhi Abdul Wahhab bahwa hukumnya wajib. Sebagian ulama Maliki menyebutkan pendapat bahwa hukumnya tidak wajib namun laki-laki wajib menundukkan pandangannya. Pendapat ini dinukil Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab Syarhul Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah” (Hasyiyah ‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176)
Madzhab Syafi’i
Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.
* Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)
* Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن
“Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411)
* Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)
* Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)
* Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)” (Kifaayatul Akhyaar, 181)
Madzhab Hambali
* Imam Ahmad bin Hambal berkata:
كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر
“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)
* Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata:
« وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها ، صرح به في الرعاية . اهـ إلا وجهها فليس عورة في الصلاة . وأما خارجها فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة
“Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140)
* Ibnu Muflih berkata:
« قال أحمد : ولا تبدي زينتها إلا لمن في الآية ونقل أبو طالب :ظفرها عورة ، فإذا خرجت فلا تبين شيئًا ، ولا خُفَّها ، فإنه يصف القدم ، وأحبُّ إليَّ أن تجعل لكـمّها زرًا عند يدها
“Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan’” (Al Furu’, 601-602)
* Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, ketika menjelaskan matan Al Iqna’ , ia berkata:
« وهما » أي : الكفان . « والوجه » من الحرة البالغة « عورة خارجها » أي الصلاة « باعتبار النظر كبقية بدنها »
“’Keduanya, yaitu dua telapak tangan dan wajah adalah aurat di luar shalat karena adanya pandangan, sama seperti anggota badan lainnya” (Kasyful Qanaa’, 309)
* Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال الأجانب
“Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4913.shtml)
Cadar Adalah Budaya Islam
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam.
Diantara bukti lain bahwa cadar (dan juga jilbab) adalah budaya Islam :
1.     Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan wanita jahiliyah terdahulu” (QS. Al Ahzab: 33)
Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah Shallalahu’alihi Wasallam belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam.
2.     Ketika turun ayat hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada Rasulullah Shallalahu’alaihi Wasallam seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka.  ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:
مَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari 4759)
Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut.
Singkat kata, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab.

Penukilan pendapat-pendapat para ulama di atas merupakan kesungguhan dari akhi Ahmad Syabib dalam forum Fursanul Haq (http://www.forsanelhaq.com/showthread.php?t=83503)
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
www.info-iman.blogspot.com

Label

'idul adha adab dan sunnah adik saudara sepersusuan adzan air kencing bayi air kencing Rasulullah Akhirat akhlak Akhlaq Kepribadian Akhwat akidah Al Qur'an Al Qur#039;an Al Quran Al-Qur'an Alam Aliran-aliran Amalan AMALIYAH NU anak Analisa Angin Aqidah Aqiqah Artikel Artikel IImiah Asmara Astronomi ASWAJA Azab Bab Adab Bab Nikah Bab Puasa Bab Sholat Bab Thaharah Bab Zakat bantahan belajar islam Berita bersin Bid'ah bid'ah dalam aqidah bid'ah dalam ibadah Biografi Biologi Bisnis Blackberry Budaya Budi Daya buka puasa buku Cantik Fisik catatanku Cerpen Chairil Anwar Curahan Hati Curhat daging qurban Dakwah Dakwah Pemikiran Islam dakwah umum Dambaan insan Dari Salafushshalih Dasar Islam Dasar Keislaman demam Desain Dhaif Do'a do'a buka puasa Do'a dan Dzikir Doa doa bersama doa sholat tarawih download dunia islam Dunia Islam Kontemporer Dzikir dzikir dengan tangan kiri Ekonomi Eksoplanet Emansipasi Emha Ainun Nadjib Fakta Ilmiah Fakta Jin-Iblis-Syetan Fakta Manusia faraidh Fenomena Asteroid Fenomena Bencana Alam Fenomena Bintang Fenomena Bulan Fenomena Bumi Fenomena Hewan Fenomena Kutub Fenomena Langit Fenomena Matahari Fenomena Meteorit Fenomena Petir Fenomena Planet Fenomena Ruang Angkasa Fenomena Tumbuhan Fiqh Fiqh Muamalat Fiqh Wanita Fiqih Fisika Galaksi Geografi Geologi gerhana gigi palsu Hadis Hadis 40 hadist Hadits Hadits Palsu HAID Halal Haram HAM HARI RAYA ID HUKUM ISLAM hukum natal bersama hutang i'tikaf Ibadah ibadah yang baik ibu mertua ilmu ilmuan muslim Ilmuwan imam terlalu cepat bacaannya IMAN Inovasi intermezzo Internet Iptek iqomah isbal Islam jabat tangan setelah sholat JADWAL RAMADHAN Jagad Raya Jalaluddin Rumi jamaah sholat jumat jenazah Jual Beli judi junub Kabar Dalam Negeri kabar manca negara Kahlil Gibran Kajian Karya Buku Karya Ulama KB Keajaiban Alam Keajaiban Hewan KECANTIKAN Kecelakaan Maut Kehutanan Kelautan keluarga Kepemerintahan Kepengurusan Kerajaan Kesehatan Keuangan Keutamaan KHITAN Khitan Wanita khurofat Khutbah Khutbah Jum'at khutbah jumat Khutbah Rasulullah saw Kiamat Kidung Hati Kimia Kisah Kisah Kami Kisah Nyata Kisah Orang-Orang Shaleh Kisah Teladan Komputer Konversi Energi Kosmologi Kumpulan Do'a Kumpulan Kata lafadz adzan lafadz iqomah Lain-Lain Lalu Lintas lembaga sosial Lingkungan Hidup Lubang Hitam macam puasa sunnah mahram Makanan mandi jum'at mandi wajib Manhaj Manusia Manusia dan Teknologi masjid masjid quba Masuk Perguruan Tinggi Matahari Materi gelap Mayit media cetak memandikan jenazah membayar zakat memotong kuku memotong rambut mendahului gerakan imam menemani sholat jamaah menembok kuburan mengadzankan mayit di liang kubur mengangkat tangan menghadiahkan pahala mengqadha puasa menguburkan jenazah mengucapkan selamat natal mengusap kepala Mengusap muka setelah berdoa menikah di bulan syawwal menikah setelah berzina meninggal dunia Meninggalkan sholat jum'at menjawab adzan menjual kotoran hewan menyapu kepala menyentuh wanita Meteorologi Meteorologi-Klimatologi mihrab Mineralogi minum air zamzam Motivasi motivasi belajar Motivasi Beramal MQ (menejemen qolbu) mu'athilah Muallaf muamalah Muhasabah Mungkar murottal Muslimah Muslimah Articles Musyabbihah Mutiara Hikmah Mutiara Kalimat Mutiara Tafakur Nabi Muhammad Nagham Alqur'an Nasehat Neraka News niat sholat nikah nisfu aya'ban Oase Iman Olah Raga OLAHRAGA Otak PAKAIAN panas PAUD Pendidikan Penelitian penelitian sunnah Pengembangan Diri Pengobatan Akibat Sihir Peninggalan Sejarah Penjajahan Pentingnya Waktu Peradaban Islam Perbandingan Agama dan Aliran Perbankan Pergaulan Perkawinan Perkembangan Da'wah Islam Permata Hati pernikahan Personaliti Pesawat Ruang Angkasa Pesepakbola Muslim Pojok Ramadhan posisi imam wanita produksi awal program kerja Proyek Luar Angkasa Psikologi Puasa puasa daud puasa rajab Puasa Setiap Hari puasa sunnah puasa wanita hamil Puisi Puisi bahasa Ingris qunut nazilah QURAN radar lampung Radio Rajab Ramadhan ramalan cuaca Renungan Riba dan Jual Beli salafush shalih salah bacaan sholat Salam Khudam Sastra sedekah Sejarah Sejarah Islam SEKS Sentilan Seputar Daerah Buton Shalat shodaqoh shodaqoh melebihi kadar Sholat sholat dan keputihan sholat di rumah sholat ghoib sholat jamaah sholat jamaah estafet sholat jumat sholat jumat wanita sholat pindah tempat sholat qashar sholat sambil melihat mushaf sholat sendirian sholat sunnah sholat sunnah qobliyah isya sholat sunnah sebelum asar sholat sunnah setelah shubuh sholat takhiyatul masjid sholat wanita sifat dzatiyah sifat fi'aliyah Sihir Simpan Pinjam Sirah Siroh Shahabiyyah Software Islami Sosial Kemasyarakatan Sosiologi sujud sahwi sujud syukur sumpah dan nadzar Sunnah sutrah sutroh syafaat Syurga Tafakur Alam Semesta Tafsir Tafsir Al-Qur'an tahlilan Takbirotul ihram takwil mimpi tambal gigi tamsil Tanda Akhir Zaman Tanda-Tanda Kiamat Tanya jawab Tarbiyah Tasawwuf dan Adab tata cara tidur menurut sunnah Tata Surya Taufiq Ismail Tauhid tayammum Tazkirah Tazkiyah tazkiyatun nafs Tech News Teknik Sipil teladan Tenaga Kerja tertawa saat sholat Thoharoh tidak taat suami tinggi TK Tokoh Tokoh Dan Ulama Tokoh Islam Tools TPA Tsunami Tujuan Hidup tuntunan sholat uang pensiun dari riba uang riba ucapan assalamualaika UNCATEGORY Video da'wah video Motivasi Diri Video Muhasabah video murotal W. S. Rendra waktu membaca doa wanita wanita haid Wisata wudhu yasinan zakat zakat anak kepada orang tua zakat barang temuan zakat harta zakat harta warisan zakat hasil perkebunan zakat hasil pertanian zakat mal zakat padi zakat pns zakat tanah zina