Richard Beauchamp adalah seorang pemuda Amerika. Seperti mualaf Amerika pada umumnya, Beauchamp menemukan Islam melalui pencarian seorang diri. Ia mulai tertarik setelah membaca buku Islam. Pemuda ini bahkan belum berkomunikasi dengan seorang muslim pun sebelumnya.
Sejak usia muda, Beuchamp sudah kecewa dengan agamanya, Kristen. Ia tidak memahami bagaimana Kristiani meyakini satu Tuhan dan Trinitas sekaligus bersamaan. Namun saat itu tidak ada pilihan lain yang sejalan dengan hatinya hingga ia tertarik kepada Islam.
Selesai membaca buku tentang Islam, Beuchamp ingin sekali ke masjid. Seolah ingin membuktikan apakah Islam yang indah itu sekedar teori atau benar-benar demikian. Dan masjid adalah “lapangan” yang akan membuktikan benar tidaknya teori indah itu.
Pertama kali ke masjid, Beauchamp gugup. Ia hanya duduk di area parkir memandang para Muslim keluar Masuk. Dalam duduknya, Beauchamp mengumpulkan keberanian. Dan akhirnya masuklah ia ke rumah Allah itu.
"Mereka luar biasa baik," kata Beauchamp mengenang betapa ia disambut dengan hangat dan diperlakukan sangat ramah. "Mudah sekali untuk kembali datang ke sana," tambahnya.
Kesan pertama ke masjid yang penuh keakraban dan persaudaraan membuat Beauchamp "ketagihan". Beauchamp datang ke masjid berikutnya bertepatan dengan pelaksanaan shalat Jumat. Saat itu Beuchamp masih belum tahu sama sekali cara Muslim beribadah. Ia pun hanya duduk dan melihat. Hampir semua pria berdiri di lantai. Betapa terlihat kesetaraan manusia di hadapan Tuhan, siapapun bahkan bisa menempati baris (baca: shaf) pertama. Tak peduli ia pejabat atau orang biasa. Miskin atau kaya.
Dari cara shalat Jum'at itu tergambar bahwa Islam yang tidak membedakan manusia di hadapan Tuhan benar-benar bukan hanya teori. Inilah agama yang memberikan kesempatan sama kepada semua orang untuk menjadi yang terbaik di hadapan Tuhannya.
"Kursi hanya digunakan untuk orang tua yang tak sanggup berdiri." Ungkap Beauchamp menambahkan pengecualian.
Hadir pada shalat Jum'at itu, Beauchamp merasakan getar-getar jiwa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Saat itu saya larut dalam doa sehingga hampir tidak memperhatikan sekitar."
Bukti indahnya Islam bukan hanya teori didapatkan Beauchamp tidak hanya dalam dua kali kunjungan ke masjid. Ia bahkan memantapkan dirinya dengan mengunjungi masjid selama setahun. Dengan hidayah Allah, jadilah pemuda yang dulunya suka ke club malam, minum dan bergaul bebas dengan para wanita itu menjadi muslim. Lalu ia mengubah total hidupnya.
"Saya saat itu memiliki gaya hidup seperti warga Amerika lain berusia 20-an," tuturnya. "Saya keluar ke club malam, minum dan bergaul bebas dengan para wanita. Sebagai muslim kini saya tak bisa lagi bebas bergaul dan bepergian seenaknya dengan teman wanita. Yang pasti saya tidak minum minuman keras lagi."
Keislaman Beauchamp bukannya tanpa tantangan. Begitu diketahui ia menjadi mualaf, orang tuanya merespon keras. Teman-temannya merespon lebih keras lagi. "Namun ketika saya membaca tulisan teman-teman Muslim lain, justru kian sulit untuk menengok kebelakang," tutur Beauchamp memberi kesaksian indahnya dakwah menguatkan dirinya.
Pada 2006, Beucham pergi ke Indonesia untuk menikahi seorang wanita. Ia mengenalnya lewat sebuah situs kontak jodoh di Internet. "Ia wanita yang baik dan taat," ujarnya. Gayung bersambut, keluarga perempuan itu setuju, dan mereka pun bersatu dalam indahnya keluarga Islam. [Disarikan dari Republika]
Sejak usia muda, Beuchamp sudah kecewa dengan agamanya, Kristen. Ia tidak memahami bagaimana Kristiani meyakini satu Tuhan dan Trinitas sekaligus bersamaan. Namun saat itu tidak ada pilihan lain yang sejalan dengan hatinya hingga ia tertarik kepada Islam.
Selesai membaca buku tentang Islam, Beuchamp ingin sekali ke masjid. Seolah ingin membuktikan apakah Islam yang indah itu sekedar teori atau benar-benar demikian. Dan masjid adalah “lapangan” yang akan membuktikan benar tidaknya teori indah itu.
Pertama kali ke masjid, Beauchamp gugup. Ia hanya duduk di area parkir memandang para Muslim keluar Masuk. Dalam duduknya, Beauchamp mengumpulkan keberanian. Dan akhirnya masuklah ia ke rumah Allah itu.
"Mereka luar biasa baik," kata Beauchamp mengenang betapa ia disambut dengan hangat dan diperlakukan sangat ramah. "Mudah sekali untuk kembali datang ke sana," tambahnya.
Kesan pertama ke masjid yang penuh keakraban dan persaudaraan membuat Beauchamp "ketagihan". Beauchamp datang ke masjid berikutnya bertepatan dengan pelaksanaan shalat Jumat. Saat itu Beuchamp masih belum tahu sama sekali cara Muslim beribadah. Ia pun hanya duduk dan melihat. Hampir semua pria berdiri di lantai. Betapa terlihat kesetaraan manusia di hadapan Tuhan, siapapun bahkan bisa menempati baris (baca: shaf) pertama. Tak peduli ia pejabat atau orang biasa. Miskin atau kaya.
Dari cara shalat Jum'at itu tergambar bahwa Islam yang tidak membedakan manusia di hadapan Tuhan benar-benar bukan hanya teori. Inilah agama yang memberikan kesempatan sama kepada semua orang untuk menjadi yang terbaik di hadapan Tuhannya.
"Kursi hanya digunakan untuk orang tua yang tak sanggup berdiri." Ungkap Beauchamp menambahkan pengecualian.
Hadir pada shalat Jum'at itu, Beauchamp merasakan getar-getar jiwa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Saat itu saya larut dalam doa sehingga hampir tidak memperhatikan sekitar."
Bukti indahnya Islam bukan hanya teori didapatkan Beauchamp tidak hanya dalam dua kali kunjungan ke masjid. Ia bahkan memantapkan dirinya dengan mengunjungi masjid selama setahun. Dengan hidayah Allah, jadilah pemuda yang dulunya suka ke club malam, minum dan bergaul bebas dengan para wanita itu menjadi muslim. Lalu ia mengubah total hidupnya.
"Saya saat itu memiliki gaya hidup seperti warga Amerika lain berusia 20-an," tuturnya. "Saya keluar ke club malam, minum dan bergaul bebas dengan para wanita. Sebagai muslim kini saya tak bisa lagi bebas bergaul dan bepergian seenaknya dengan teman wanita. Yang pasti saya tidak minum minuman keras lagi."
Keislaman Beauchamp bukannya tanpa tantangan. Begitu diketahui ia menjadi mualaf, orang tuanya merespon keras. Teman-temannya merespon lebih keras lagi. "Namun ketika saya membaca tulisan teman-teman Muslim lain, justru kian sulit untuk menengok kebelakang," tutur Beauchamp memberi kesaksian indahnya dakwah menguatkan dirinya.
Pada 2006, Beucham pergi ke Indonesia untuk menikahi seorang wanita. Ia mengenalnya lewat sebuah situs kontak jodoh di Internet. "Ia wanita yang baik dan taat," ujarnya. Gayung bersambut, keluarga perempuan itu setuju, dan mereka pun bersatu dalam indahnya keluarga Islam. [Disarikan dari Republika]