Fraksi-PKS Online: Pasal 28 C UUD 1945 bahwa: "setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia".
Pengantar
Kontroversi Ujian Nasional dapat dilihat dalam berbagai dimensi. Namun sesungguhnya jika dipahami secara komprehensif, maka UN sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan standar kualitas pendidikan nasional. Sehingga diharapkan pelaksanaan pendidikan nasional dapat melahirkan output sumber daya manusia yang berkualitas. Seharusnya pelaksanaan UN tidak hanya dipahami secara parsial, karena UN sesungguhnya adalah hanya salah satu instrumen yang terdapat dalam 8 (delapan) standarisasi pendidikan nasional, sebagaimana diatur oleh Pasal 35 Undang-Undang Sisdiknas.
Delapan standarisasi itu adalah: standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Sehingga jika UN dilaksanakan sebelum pemenuhan standarisasi pendidikan nasional, maka hasil yang diharapkan tentunya tidak akan mencapai sasaran utama sebagaimana cita-cita pendidikan nasional, yaitu dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan Pasal 35 Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, maka UN termasuk dalam bagian penilaian pendidikan, harus dipahami secara sistematis. Sehingga sebelum pada tahapan pelaksanaan UN, maka pemerintah harus terlebih dahulu melaksanakan 7 (tujuh) instrumen sebelumnya. Karena ini adalah konsekuensi dari pemerintah untuk melaksanakan pemenuhan standarisasi pendidikan nasional, dengan penggunaan anggaran 20% yang diamanatkan oleh APBN 2010, atau sekitar 200 Triliun dari sekitar 1000 Triliun APBN, seharusnya difokuskan pada pelaksanaan standarisasi pendidikan nasional.
STANDAR PENDIDIKAN NASIONAL
Pelaksanaan standarisasi pendidikan nasional harus dilakukan dengan penyebaran di setiap wilayah Indonesia. Sehingga tidak ada dikotomi antara Jawa dan Luar Jawa, Pendidikan Negeri dan Swasta. Jika tidak dilakukan, hal tersebut akan melahirkan kebijakan yang diskriminasi, dan itu bertentangan dengan UUD 1945 pada Pasal 28 C UUD 1945 bahwa:
"setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia".
Dengan demikian perlakuan diskriminasi dalam pelaksanaan pemenuhan standar pendidikan nasional termasuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Pelaksanaan pemenuhan delapan standarisasi pendidikan nasional secara adil harus tersebar secara merata di hampir 17.000 pulau di seluruh Indonesia dengan memperhatikan keragaman peradaban masing-masing wilayah. Maka dari itu dituntut kapasitas Kementerian Pendidikan Nasional harus mampu mengelola dan mengatur secara adil dan bijaksana. Untuk melaksanakannya, dibutuhkan personel yang memiliki kualitas dan profesionalitas yang dapat dipertanggungjawabkan dalam pelaksanaan pemenuhan 8 (delapan) standarisasi pendidikan nasional.
Pelaksanaan standarisasi pendidikan nasional yang tidak merata sesungguhnya telah menjadi virus yang mematikan bagi daerah-daerah pedalaman, pesisir dan kepulauan, serta daerah-daerah terpencil. Sehingga hal tersebut berpengaruh pada pelaksanana pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan semakin mengaburkan tujuan pendidikan nasional sesuai dengan fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional juga bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Alih - alih untuk mencerdaskan bangsa, pemerintah sibuk dengan pelaksanaan UN yang acapkali melahirkan kontroversi dikalangan masyarakat. UN juga mengakibatkan ekses buruk bagi peserta didik dan penyelenggara pendidikan serta orang tua didik. Sekalipun sangat penting dalam pelaksanaan standarisasi kualitas peserta didik, namun UN hanya dapat dilaksanakan apabila 8 (delapan) standarisasi pendidikan nasional telah terpenuhi secar adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dengan anggaran 20% dari APBN pemerintah harusnya bisa melaksanakan standar pendidikan secara adil dan merata tanpa melahirkan dikotomi sehingga mengakibatkan disparitas diantara daerah. Dengan terpenuhinya standar pendidikan nasional, maka pemerintah baru dapat melaksanakan UN sebagai salah satu bentuk penilaian pendidikan nasional.
KEBERADAAN UJIAN NASIONAL
Putusan Mahkamah Agung dengan Nomor Register 2596 K/PDT/2008, sesungguhnya telah mengingatkan kepada kita bahwa, harusnya Kemdiknas menjadikan keputusan itu sebagai dasar pijakan pelaksanaan UN. Jika ditelusuri, keberadaan Permen 74/2009 yang terbit tertanggal 13 Oktober 2009 tentang Ujian Nasional Tingkat SMP dan SMA terbit setelah adanya Putusan Mahkamah Agung pada tanggal 14 September 2009.
Permen itu menyatakan bahwa "UN tingkat SMA, MA, dan SMK 2010 akan diselenggarakan pada minggu ketiga Maret 2010 mendatang, sedangkan UN untuk SMP akan diselenggarakan satu minggu setelah pelaksanaan UN tingkat SMA, MA, dan SMK". Ternyata hal ini membuktikan bahwa perumus Peraturan Menteri tidak mendasarkan pada prinsip kehati-hatian dalam bertindak, atau dapat dikatakan tidak mendasarkan pada asas kecermatan pelakasanaan tugas dan wewenangnya dan dapat melahirkan kebijakan yang sewenang-wenang (wilekur).
Kebijakan UN yang dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menentukan kelulusan siswa sangatlah bertentangan dengan peraturan perundang-undang. Jika mengacu pada Pasal 63 Undang Undang Sisdiknas menyatakan bahwa:
Pasal 61
(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
(3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
(4) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
Pasal 61 khusunya ayat (2) bahwa kelulusan siswa dimaksudkan ditentukan oleh satuan pendidikan terakreditasi, bukan melalui Ujian Nasional, sementara menurut Pasal 1 angka 10, bahwa Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, non formal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut, keberadaan UN sebagai salah satu parameter kelulusan siswa dapat dinyatakan inkonstitusional karena bertentangan dengan maksud dari Undang Undang Sisdiknas. UU mendelegasikan adanya pembentukan peraturan pelaksana, karena tentunya tidak dapat bertenangan baik secara formil dan materil dengan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukannya. Sehingga jika bertentangan dapat menimbulkan batal demi hukum, karena bertentangan dengan asas dalam peraturan perundang-undangan yaitu, lex superiory derogate legi imferior. Yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan keberadaan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Dalam praktiknya, pelaksanaan Ujian Nasional yang dipaksakan terkesan hanya dalam rangka kepentingan anggaran sebesar Rp 560 Milyar, sehingga penggunaan anggaran ini juga harus dikontrol secara intensif, karena dikhawatirkan dapat mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang dapat merugikan keuangan negara.
PERSPEKTIF UJIAN NASIONAL KEDEPAN
Standarisasi mutu pendidikan sangat diperlukan dalam rangka menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik. Namun demikian, perlu diperjelas parameter standarisasi dan perumusan instrumen standar mutu sebagai tolok ukur pemerintah dalam melakukan monitoring serta evaluasi. Sehingga pemerintah dalam hal ini Kemdiknas akan lebih sistematis dan terarah dalam melakukan diagnosa terhadap pembaruan dan/atau perbaikan standarisasi mutu pendidikan.
UN sekiranya tidak dapat dijadikan sebagai salah satu parameter standarisasi mutu pendidikan, karena UN hanya menekankan pada salah satu variable saja terkait dengan kemampuan potensi akademik peserta didik. Karena output pendidikan sekiranya tidak hanya soal akademik, tetapi juga keterampilan, dan pekerti (moralitas dan religi). Sehingga terlampau sederhana jika standarisasi pendidikan diukur dari UN yang secara teknis hanya dilakukan penilaian terhadap prestasi akademik peserta didik melalui tes yang bersifat pilihan ganda. Karena UN sesungguhnya hanya salah satu saja dari 8 (delapan) standarisasi pendidikan nasional yang diamanatkan oleh Unndang Undang Sisdiknas.
Potensi akademik memang penting akan tetapi hal tersebut tidak hanya dipahami secara varsial (berdiri sendiri) karena potensi akademik, keterampilan/soft skill, religious dan moralitas adalah bagian yang integral dalam rangka mencapai output pendidikan nasional. Sehingga harus dipahami sebagai satu rangkaian sistem yang dinamis, satu sama lain saling berhubungan dan mempengaruhi.
Untuk mencapai tujuan dari output pendidikan sebagaimana dimaksudkan, sekiranya harus ada prasyarat penunjang yang dapat menjadi stimulus, yaitu dalam 8 (delapa) standariasasi pendidikanna nasional, yang menjadi tugas utama dari Kemdiknas untuk dilaksanakan secra adil dan merata.
Ironis jika UN dijadikan sebagai salah satu parameter untuk mengukur potensi akademik yang berimplikasi terhadap kelulusan peserta didik.
Padahal UN adalah uji mutu nasional, yang semestinya, hanya dipakai untuk memetakan mutu pendidikan, bukan untuk menentukan lulus tidaknya siswa. Seandainya paradigma UN dikembalikan pada habitatnya misalnya sebagaimana pernah dilaksanakan yaitu seperti Nilai Ebtanas Murni (NEM) bukan menjadi standar kelulusan siswa. Sehingga NEM dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menilai mutu sekolah dan mengambil langkah perbaikan oleh pemerintah dalam melaksanakan standarisasi mutu pendidikan nasional.
Dengan demikian pemerintah memang sepatutnya mengembalikan fungsi UN pada jalurnya. Tugas pokok pemerintah adalah menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, seperti peningkatan mutu guru, akses buku pelajaran bagi siswa, pembangunan sekolah, laboratorium, dan perpustakaan. Sehingga persoalan kelulusan diserahkan pada guru/institusi pendidikan dengan tetap melakukan monitoring dan kontroling.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, guru diberi wewenang mengevaluasi sekaligus menentukan kelulusan para siswanya. Sementara, berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah yang diberi wewenang mengevaluasi hasil belajar siswa.
Uji mutu nasional bisa dipakai sebagai peta untuk membantu pemerintah memperoleh informasi tertentu. Selanjutnya, gambaran itu dijadikan landasan mengambil kebijakan. Sedangkan ujian umum tujuannya menyeleksi siswa untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan lebih tinggi. Wujudnya adalah sertifikat atau ijazah kelulusan. Dari perspektif itu, ujian nasional adalah uji mutu nasional. Mestinya, hanya dipakai untuk memetakan mutu pendidikan.
Fakta lain yang sekiranya perlu diperhatikan secara komprehensif adalah terkait dengan solusi untuk menjawab bagi peserta didik yang tidak lulus UAN yang sesungguhnya berimplikasi pada lahirnya masalah baru, dalam hal ini pemerintah mengeluarkan kebijakan ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK). Siswa SMA dan kejuruan yang tidak lulus UN, boleh mengikuti UNPK Paket C kalau ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Sejak jaman dulu UNPK Paket C, sasaran program paket adalah masyarakat yang punya hambatan untuk mengikuti pendidikan reguler. Misalnya, mereka yang dari kalangan miskin. Tujuannya untuk memberantas buta huruf. Atau mereka yang kebetulan sudah bekerja tetapi butuh ijazah pendidikan lebih tinggi untuk mendapat penyesuaian pangkat dan gaji. Jangan lupa, hingga hari ini, masyarakat masih memandang sebelah mata ijazah Paket A, B, atau C, karena mutunya rendah. Atau lantaran sifatnya yang formalistis dalam meraihnya.
Lebih ironis lagi, ketika UNPK Paket C dianggap sebagai solusi bagi siswa SMK yang tidak lulus UN. Padahal, paket ini jelas tidak bisa diikuti anak-anak SMK karena materi ujiannya tidak sesuai. Sehingga, selain menyebabkan tingginya peluang tidak lulus, siswa SMK juga punya standar penilaian berbeda dari sekolah umum. Sekolah kejuruan, patokannya adalah uji kompetensi. Justru ini yang tidak ada dalam UNPK Paket C. Perangkat UNPK belum mengakomodasi karakteristik SMK.
Berdasarkan hal tersebut diatas, sekiranya UAN akan tetap dilaksanakan, namun sekiranya bukan dijadikan sebagai parameter kelulusan peserta didik, melainkan untuk:
1. Melakukan monitoring dan kontroling terhadap standarisasi mutu pendidikan. Sehingga dapat terdiagnosa sekolah-sekloah yang dianggap masih berada dibawah mutu standarisasi pendidikan nasional. Dengan informasi ini, pemerintah bisa menelusuri kekurangan yang ada pada sekolah, tenaga pengajar/guru, sarana-prasarana atau siswanya. Kelulusan siswa ditentukan oleh guru/sekolah dengan memasukkan faktor prestasi selama 3 tahun + etika/moralitas+hasil ujian nasional.
2. UN sebaiknya dijadikan sebagai standarisasi untuk masuk ke jenjang pendidikan lebih lanjut. Sebagaimana pernah dilaksanakan pada masa lalu melalui NEM (Nilai Ebtanas Murni) sehingga Nilai UASBN SD sebagai standar seleksi masuk ke jenjang SMP. Nilai UN SMP sebagai standar seleksi masuk ke jenjang SMA. Dan nilai UN SMA digunakan sebagai standar seleksi masuk PT. Dengan tetap melakukan monitoring dan kontroling terhadap transparan dan kredibel dan memiliki daya akuntabilitas yang tinggi.
3. UN dapat dijadikan sebagai standarisasi untuk mendapatkan akses beasiswa bagi peserta didik yang memiliki prestasi, baik akademik maupun softskill, sehingga diharapkan dapat menstimulan motivasi bagi peserta didik dan lembaga pendidikan (sekolah)
Simpulan
Berdasarkan hal diatas, jika pemerintah tetap menjadikan Ujian Nasional sebagai salah satu parameter penentuan kelulusan siswa adalah inkonstitusional. Hal ini bertenangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang Undang Sisdiknas. Sehingga status UN sesungguhnya batal demi hukum, apalagi hal tersebut sudah diujikan melalui Putusan Mahkamah Agung.
UN sebaiknya tidak dilaksakaan terlebih dahulu, sebelum standarisasi pendidikan sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 35 UU Sisdiknas yang terdiri dari 8 instrumen yaitu Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, dan Standar Penilaian Pendidikan. Dalam pelaksanaannya maka standarisasi sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan secara merata ke seluruh daerah yang ada di Indonesia, sehingga tidak menimbulkan kesan diskriminasi.
Pasal 35 UU Sisdiknas sangat jelas menempatkan penilaian di urutan kedelapan. Seharusnya hal tersebut dipahami secara sistematis, sehingga penilaian melalui UN tidak dapat dilaksanakan jika 7 (tujuh) instrumen sebelumnya belum terealisasi diseluruh penyelengara pendidikan di wilayah Indonesia.
Alokasi anggaran 20% atau sekitar 200 Triliun dari sekitar 1000 Triliun APBN seharusnya dapat menjawab pemasalahan standarisasi pendidikan. Jika Kemendiknas merumuskan perencanaan secara professional dan akuntabel berdasarkan tahapan-tahapan yang jelas, maka pemenuhan delapan standarisasi pendidikan nasional dapat tercapai. Dengan demikian penggunaan alokasi anggaran pendidikan 20% harus diprioritaskan pada pemenuhan delapan standarisasi pendidikan nasional. Pada implementasinya harus dimonitoring dan dikontrol secara optimal oleh seluruh elemen masyarakat, agar pencapaian standariasasi dapat berjalan dengan baik.
www.info-iman.blogspot.com