Senin, 26 April 2010

Kesenjangan UN Dalam Mencapai cita-cita Pendidikan Nasional


Akbar Zulfakar, ST (FPKS-DPR RI)


Fraksi-PKS Online: Pasal 28 C UUD 1945 bahwa: "setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia".

Pengantar 
Kontroversi Ujian Nasional dapat dilihat dalam berbagai dimensi. Namun sesungguhnya jika dipahami secara komprehensif, maka UN sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan standar kualitas pendidikan nasional. Sehingga diharapkan pelaksanaan pendidikan nasional dapat melahirkan output sumber daya manusia yang berkualitas. Seharusnya pelaksanaan UN tidak hanya dipahami secara parsial, karena UN sesungguhnya adalah hanya salah satu instrumen yang terdapat dalam 8 (delapan) standarisasi pendidikan nasional, sebagaimana diatur oleh Pasal 35 Undang-Undang Sisdiknas.
Delapan standarisasi itu adalah: standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Sehingga jika UN dilaksanakan sebelum pemenuhan standarisasi pendidikan nasional, maka hasil yang diharapkan tentunya tidak akan mencapai sasaran utama sebagaimana cita-cita pendidikan nasional, yaitu dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berdasarkan Pasal 35 Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, maka UN termasuk dalam bagian penilaian pendidikan, harus dipahami secara sistematis. Sehingga sebelum pada tahapan pelaksanaan UN, maka pemerintah harus terlebih dahulu melaksanakan 7 (tujuh) instrumen sebelumnya. Karena ini adalah konsekuensi dari pemerintah untuk melaksanakan pemenuhan standarisasi pendidikan nasional, dengan penggunaan anggaran 20% yang diamanatkan oleh APBN 2010, atau sekitar 200 Triliun dari sekitar 1000 Triliun APBN, seharusnya difokuskan pada pelaksanaan standarisasi pendidikan nasional. 

STANDAR PENDIDIKAN NASIONAL 
Pelaksanaan standarisasi pendidikan nasional harus dilakukan dengan penyebaran di setiap wilayah Indonesia. Sehingga tidak ada dikotomi antara Jawa dan Luar Jawa, Pendidikan Negeri dan Swasta. Jika tidak dilakukan, hal tersebut akan melahirkan kebijakan yang diskriminasi, dan itu bertentangan dengan UUD 1945 pada Pasal 28 C UUD 1945 bahwa:
"setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia".
Dengan demikian perlakuan diskriminasi dalam pelaksanaan pemenuhan standar pendidikan nasional termasuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Pelaksanaan pemenuhan delapan standarisasi pendidikan nasional secara adil harus tersebar secara merata di hampir 17.000 pulau di seluruh Indonesia dengan memperhatikan keragaman peradaban masing-masing wilayah. Maka dari itu dituntut kapasitas Kementerian Pendidikan Nasional harus mampu mengelola dan mengatur secara adil dan bijaksana. Untuk melaksanakannya, dibutuhkan personel yang memiliki kualitas dan profesionalitas yang dapat dipertanggungjawabkan dalam pelaksanaan pemenuhan 8 (delapan) standarisasi pendidikan nasional.
Pelaksanaan standarisasi pendidikan nasional yang tidak merata sesungguhnya telah menjadi virus yang mematikan bagi daerah-daerah pedalaman, pesisir dan kepulauan, serta daerah-daerah terpencil. Sehingga hal tersebut berpengaruh pada pelaksanana pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan semakin mengaburkan tujuan pendidikan nasional sesuai dengan fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional juga bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Alih - alih untuk mencerdaskan bangsa, pemerintah sibuk dengan pelaksanaan UN yang acapkali melahirkan kontroversi dikalangan masyarakat. UN juga mengakibatkan ekses buruk bagi peserta didik dan penyelenggara pendidikan serta orang tua didik. Sekalipun sangat penting dalam pelaksanaan standarisasi kualitas peserta didik, namun UN hanya dapat dilaksanakan apabila 8 (delapan) standarisasi pendidikan nasional telah terpenuhi secar adil dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dengan anggaran 20% dari APBN pemerintah harusnya bisa melaksanakan standar pendidikan secara adil dan merata tanpa melahirkan dikotomi sehingga mengakibatkan disparitas diantara daerah. Dengan terpenuhinya standar pendidikan nasional, maka pemerintah baru dapat melaksanakan UN sebagai salah satu bentuk penilaian pendidikan nasional.

KEBERADAAN UJIAN NASIONAL 
Putusan Mahkamah Agung dengan Nomor Register 2596 K/PDT/2008, sesungguhnya telah mengingatkan kepada kita bahwa, harusnya Kemdiknas menjadikan keputusan itu sebagai dasar pijakan pelaksanaan UN. Jika ditelusuri, keberadaan Permen 74/2009 yang terbit tertanggal 13 Oktober 2009 tentang Ujian Nasional Tingkat SMP dan SMA terbit setelah adanya Putusan Mahkamah Agung pada tanggal 14 September 2009.
Permen itu menyatakan bahwa "UN tingkat SMA, MA, dan SMK 2010 akan diselenggarakan pada minggu ketiga Maret 2010 mendatang, sedangkan UN untuk SMP akan diselenggarakan satu minggu setelah pelaksanaan UN tingkat SMA, MA, dan SMK". Ternyata hal ini membuktikan bahwa perumus Peraturan Menteri tidak mendasarkan pada prinsip kehati-hatian dalam bertindak, atau dapat dikatakan tidak mendasarkan pada asas kecermatan pelakasanaan tugas dan wewenangnya dan dapat melahirkan kebijakan yang sewenang-wenang (wilekur).
Kebijakan UN yang dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menentukan kelulusan siswa sangatlah bertentangan dengan peraturan perundang-undang. Jika mengacu pada Pasal 63 Undang Undang Sisdiknas menyatakan bahwa:

Pasal 61
(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
(3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
(4) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
Pasal 61 khusunya ayat (2) bahwa kelulusan siswa dimaksudkan ditentukan oleh satuan pendidikan terakreditasi, bukan melalui Ujian Nasional, sementara menurut Pasal 1 angka 10, bahwa Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, non formal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut, keberadaan UN sebagai salah satu parameter kelulusan siswa dapat dinyatakan inkonstitusional karena bertentangan dengan maksud dari Undang Undang Sisdiknas. UU mendelegasikan adanya pembentukan peraturan pelaksana, karena tentunya tidak dapat bertenangan baik secara formil dan materil dengan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukannya. Sehingga jika bertentangan dapat menimbulkan batal demi hukum, karena bertentangan dengan asas dalam peraturan perundang-undangan yaitu, lex superiory derogate legi imferior. Yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan keberadaan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Dalam praktiknya, pelaksanaan Ujian Nasional yang dipaksakan terkesan hanya dalam rangka kepentingan anggaran sebesar Rp 560 Milyar, sehingga penggunaan anggaran ini juga harus dikontrol secara intensif, karena dikhawatirkan dapat mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang dapat merugikan keuangan negara.

PERSPEKTIF UJIAN NASIONAL KEDEPAN  
Standarisasi mutu pendidikan sangat diperlukan dalam rangka menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik. Namun demikian, perlu diperjelas parameter standarisasi dan perumusan instrumen standar mutu sebagai tolok ukur pemerintah dalam melakukan monitoring serta evaluasi. Sehingga pemerintah dalam hal ini Kemdiknas akan lebih sistematis dan terarah dalam melakukan diagnosa terhadap pembaruan dan/atau perbaikan standarisasi mutu pendidikan.
UN sekiranya tidak dapat dijadikan sebagai salah satu parameter standarisasi mutu pendidikan, karena UN hanya menekankan pada salah satu variable saja terkait dengan kemampuan potensi akademik peserta didik. Karena output pendidikan sekiranya tidak hanya soal akademik, tetapi juga keterampilan, dan pekerti (moralitas dan religi). Sehingga terlampau sederhana jika standarisasi pendidikan diukur dari UN yang secara teknis hanya dilakukan penilaian terhadap prestasi akademik peserta didik melalui tes yang bersifat pilihan ganda. Karena UN sesungguhnya hanya salah satu saja dari 8 (delapan) standarisasi pendidikan nasional yang diamanatkan oleh Unndang Undang Sisdiknas.
Potensi akademik memang penting akan tetapi hal tersebut tidak hanya dipahami secara varsial (berdiri sendiri) karena potensi akademik, keterampilan/soft skill, religious dan moralitas adalah bagian yang integral dalam rangka mencapai output pendidikan nasional. Sehingga harus dipahami sebagai satu rangkaian sistem yang dinamis, satu sama lain saling berhubungan dan mempengaruhi.
Untuk mencapai tujuan dari output pendidikan sebagaimana dimaksudkan, sekiranya harus ada prasyarat penunjang yang dapat menjadi stimulus, yaitu dalam 8 (delapa) standariasasi pendidikanna nasional, yang menjadi tugas utama dari Kemdiknas untuk dilaksanakan secra adil dan merata.
Ironis jika UN dijadikan sebagai salah satu parameter untuk mengukur potensi akademik yang berimplikasi terhadap kelulusan peserta didik.
Padahal UN adalah uji mutu nasional, yang semestinya, hanya dipakai untuk memetakan mutu pendidikan, bukan untuk menentukan lulus tidaknya siswa. Seandainya paradigma UN dikembalikan pada habitatnya misalnya sebagaimana pernah dilaksanakan yaitu seperti Nilai Ebtanas Murni (NEM) bukan menjadi standar kelulusan siswa. Sehingga NEM dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menilai mutu sekolah dan mengambil langkah perbaikan oleh pemerintah dalam melaksanakan standarisasi mutu pendidikan nasional.
Dengan demikian pemerintah memang sepatutnya mengembalikan fungsi UN pada jalurnya. Tugas pokok pemerintah adalah menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, seperti peningkatan mutu guru, akses buku pelajaran bagi siswa, pembangunan sekolah, laboratorium, dan perpustakaan. Sehingga persoalan kelulusan diserahkan pada guru/institusi pendidikan dengan tetap melakukan monitoring dan kontroling.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, guru diberi wewenang mengevaluasi sekaligus menentukan kelulusan para siswanya. Sementara, berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah yang diberi wewenang mengevaluasi hasil belajar siswa.
Uji mutu nasional bisa dipakai sebagai peta untuk membantu pemerintah memperoleh informasi tertentu. Selanjutnya, gambaran itu dijadikan landasan mengambil kebijakan. Sedangkan ujian umum tujuannya menyeleksi siswa untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan lebih tinggi. Wujudnya adalah sertifikat atau ijazah kelulusan. Dari perspektif itu, ujian nasional adalah uji mutu nasional. Mestinya, hanya dipakai untuk memetakan mutu pendidikan.
Fakta lain yang sekiranya perlu diperhatikan secara komprehensif adalah terkait dengan solusi untuk menjawab bagi peserta didik yang tidak lulus UAN yang sesungguhnya berimplikasi pada lahirnya masalah baru, dalam hal ini pemerintah mengeluarkan kebijakan ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK). Siswa SMA dan kejuruan yang tidak lulus UN, boleh mengikuti UNPK Paket C kalau ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Sejak jaman dulu UNPK Paket C, sasaran program paket adalah masyarakat yang punya hambatan untuk mengikuti pendidikan reguler. Misalnya, mereka yang dari kalangan miskin. Tujuannya untuk memberantas buta huruf. Atau mereka yang kebetulan sudah bekerja tetapi butuh ijazah pendidikan lebih tinggi untuk mendapat penyesuaian pangkat dan gaji. Jangan lupa, hingga hari ini, masyarakat masih memandang sebelah mata ijazah Paket A, B, atau C, karena mutunya rendah. Atau lantaran sifatnya yang formalistis dalam meraihnya.
Lebih ironis lagi, ketika UNPK Paket C dianggap sebagai solusi bagi siswa SMK yang tidak lulus UN. Padahal, paket ini jelas tidak bisa diikuti anak-anak SMK karena materi ujiannya tidak sesuai. Sehingga, selain menyebabkan tingginya peluang tidak lulus, siswa SMK juga punya standar penilaian berbeda dari sekolah umum. Sekolah kejuruan, patokannya adalah uji kompetensi. Justru ini yang tidak ada dalam UNPK Paket C. Perangkat UNPK belum mengakomodasi karakteristik SMK.
Berdasarkan hal tersebut diatas, sekiranya UAN akan tetap dilaksanakan, namun sekiranya bukan dijadikan sebagai parameter kelulusan peserta didik, melainkan untuk:
1. Melakukan monitoring dan kontroling terhadap standarisasi mutu pendidikan. Sehingga dapat terdiagnosa sekolah-sekloah yang dianggap masih berada dibawah mutu standarisasi pendidikan nasional. Dengan informasi ini, pemerintah bisa menelusuri kekurangan yang ada pada sekolah, tenaga pengajar/guru, sarana-prasarana atau siswanya. Kelulusan siswa ditentukan oleh guru/sekolah dengan memasukkan faktor prestasi selama 3 tahun + etika/moralitas+hasil ujian nasional.
2. UN sebaiknya dijadikan sebagai standarisasi untuk masuk ke jenjang pendidikan lebih lanjut. Sebagaimana pernah dilaksanakan pada masa lalu melalui NEM (Nilai Ebtanas Murni) sehingga Nilai UASBN SD sebagai standar seleksi masuk ke jenjang SMP. Nilai UN SMP sebagai standar seleksi masuk ke jenjang SMA. Dan nilai UN SMA digunakan sebagai standar seleksi masuk PT. Dengan tetap melakukan monitoring dan kontroling terhadap transparan dan kredibel dan memiliki daya akuntabilitas yang tinggi.
3. UN dapat dijadikan sebagai standarisasi untuk mendapatkan akses beasiswa bagi peserta didik yang memiliki prestasi, baik akademik maupun softskill, sehingga diharapkan dapat menstimulan motivasi bagi peserta didik dan lembaga pendidikan (sekolah)
Simpulan
Berdasarkan hal diatas, jika pemerintah tetap menjadikan Ujian Nasional sebagai salah satu parameter penentuan kelulusan siswa adalah inkonstitusional. Hal ini bertenangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang Undang Sisdiknas. Sehingga status UN sesungguhnya batal demi hukum, apalagi hal tersebut sudah diujikan melalui Putusan Mahkamah Agung.
UN sebaiknya tidak dilaksakaan terlebih dahulu, sebelum standarisasi pendidikan sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 35 UU Sisdiknas yang terdiri dari 8 instrumen yaitu Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan Pendidikan, dan Standar Penilaian Pendidikan. Dalam pelaksanaannya maka standarisasi sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan secara merata ke seluruh daerah yang ada di Indonesia, sehingga tidak menimbulkan kesan diskriminasi.
Pasal 35 UU Sisdiknas sangat jelas menempatkan penilaian di urutan kedelapan. Seharusnya hal tersebut dipahami secara sistematis, sehingga penilaian melalui UN tidak dapat dilaksanakan jika 7 (tujuh) instrumen sebelumnya belum terealisasi diseluruh penyelengara pendidikan di wilayah Indonesia.
Alokasi anggaran 20% atau sekitar 200 Triliun dari sekitar 1000 Triliun APBN seharusnya dapat menjawab pemasalahan standarisasi pendidikan. Jika Kemendiknas merumuskan perencanaan secara professional dan akuntabel berdasarkan tahapan-tahapan yang jelas, maka pemenuhan delapan standarisasi pendidikan nasional dapat tercapai. Dengan demikian penggunaan alokasi anggaran pendidikan 20% harus diprioritaskan pada pemenuhan delapan standarisasi pendidikan nasional. Pada implementasinya harus dimonitoring dan dikontrol secara optimal oleh seluruh elemen masyarakat, agar pencapaian standariasasi dapat berjalan dengan baik.
www.info-iman.blogspot.com

Rabu, 21 April 2010

Apa perbedaan antara darah haid, istihadhah, dan darah nifas?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjawab secara panjang lebar yang kami ringkaskan sebagai berikut, “Tiga macam darah yang ditanyakan keluar dari satu jalan. Namun namanya berbeda, begitu pula hukum-hukumnya, karena perbedaan sebab keluarnya.


Adapun darah nifas sebabnya jelas, yaitu darah yang keluar dari seorang wanita karena melahirkan. Darah nifas ini merupakan sisa darah yang tertahan di dalam rahim sewaktu hamil. Bila seorang wanita telah melahirkan kandungannya, darah itu pun keluar sedikit demi sedikit. Bisa jadi waktu keluarnya lama/panjang, dan terkadang singkat. Tidak ada batasan minimal waktu nifas ini. Adapun waktu maksimalnya menurut mazhab Hambali adalah 40 hari, dan bila lebih dari 40 hari darah masih keluar sementara tidak bertepatan dengan kebiasaan datangnya waktu haid maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Namun menurut pendapat yang shahih, tidak ada pula batasan waktu maksimal dari nifas ini.

Darah yang keluar bukan karena sebab melahirkan adalah darah haid sebagai suatu ketetapan dan sunnatullah atas seorang wanita. Di mana bila si wanita sudah dapat hamil dan melahirkan maka secara umum akan datang kepadanya haid di waktu-waktu tertentu, sesuai dengan keadaan dan kebiasaan si wanita. Bila seorang wanita hamil umumnya ia tidak mengalami haid, karena janin yang dikandungnya beroleh sari-sari makanan dengan darah yang tertahan tersebut.

Keluarnya darah haid menunjukkan sehat dan normalnya si wanita. Sebaliknya tidak keluarnya darah haid menunjukkan ketidaksehatan dan ketidaknormalan seorang wanita. Makna ini disepakati oleh ahli ilmi syar’i dan ilmu kedokteran, bahkan dimaklumi oleh pengetahuan dan kebiasaan manusia. Pengalaman mereka menunjukkan akan hal tersebut. Karena itulah ketika memberikan definisi haid, ulama berkata bahwa haid adalah darah alami yang keluar dari seorang wanita pada waktu-waktu yang dimaklumi.

Menurut pendapat yang shahih, tidak ada batasan umur minimal seorang wanita mendapatkan haid. Begitu pula batasan waktu minimal lamanya haid, sebagaimana tidak ada batasan maksimalnya. Tidak ada pula batasan minimal masa suci di antara dua haid. Bahkan yang disebut haid adalah adanya darah, dan yang disebut suci adalah tidak adanya darah. Walaupun waktunya bertambah atau berkurang, mundur ataupun maju, berdasarkan zahir nash-nash syar’i yang ada, dan zahir dari amalan kaum muslimin. Juga karena tidak melapangkan bagi wanita untuk mengamalkan selain pendapat ini.

Adapun istihadhah adalah darah yang keluar dari seorang wanita di luar kebiasaan dan kewajaran, karena sakit atau semisalnya.
Bila seorang wanita terus menerus keluar darah dari kemaluannya, tanpa berhenti, maka untuk mengetahui apakah darah tersebut darah haid ataukah darah istihadhah bisa dengan tiga cara berikut ini secara berurutan.

(1) Apabila sebelum mengalami hal tersebut ia memiliki kebiasaan (‘adah) haid maka ia kembali pada kebiasaannya (‘adah-nya). Ia teranggap haid di waktu-waktu ‘adah tersebut, adapun selebihnya berarti istihadhah. Selesai masa ‘adah-nya ia mandi dan boleh melakukan ibadah puasa dan shalat (walau darahnya terus keluar karena wanita istihadhah pada umumnya sama hukumnya dengan wanita yang suci, pent.).

(2) Bila ternyata si wanita tidak memiliki ‘adah dan darahnya bisa dibedakan, di sebagian waktu darahnya pekat/kental dan di waktu lain tipis/encer, atau di sebagian waktu darahnya berwarna hitam, di waktu lain merah, atau di sebagian waktu darahnya berbau busuk/tidak sedap dan di waktu lain tidak busuk, maka darah yang pekat/kental, berwarna hitam, dan berbau busuk itu adalah darah haid. Yang selainnya adalah darah istihadhah.

(3) Apabila si wanita tidak memiliki ‘adah dan tidak dapat membedakan darah yang keluar dari kemaluannya, maka di setiap bulannya (di masa-masa keluarnya darah) ia berhaid selama enam atau tujuh hari karena adanya hadits-hadits yang tsabit dalam hal ini. Kemudian ia mandi setelah selesai enam atau tujuh hari tersebut walaupun darahnya masih terus keluar. Sedapat mungkin ia menyumpal tempat keluarnya darah (bila darah terus mengalir) dan berwudhu setiap kali ingin menunaikan shalat.”

(Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 23-26 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 263-265)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=758
www.info-iman.blogspot.com

ADAB TILAWAH DAN ADAB PEMBACA AL QUR’AN

PERTAMA BERWUDHU
Disunatkan untuk berwudlu untuk membaca Al Qur’an, karena itu adalah dzikir yang paling baik. Rasulullah saw membenci untuk berdzikir kepada Allah, kecuali dalam keadaan suci, seperti yang telah ditegaskan dalam hadits.
Imamul Haramain Al Juwaini berkata : “Dan tidak dimakruhkan membaca Al Qur’an bagi seseorang yang berhadas. Karena telah shahih dari Rasulullah saw bahwa dia membaca Al Qur’an dalam keadaan berhadas”.
Di dalam Syarah Al muhadzab disebutkan : “Jika sedang membaca, kemudian dia merasa akan keluar kentut, maka dia menahan bacaannya sehingga keluar dengan sempurna. Adapun orang yang junub dan haid, maka keduanya diharamkan untuk membaca. Ya, boleh bagi keduanya untuk melihat mushhaf dan membacanya dalam hati. Adapun orang yang mulutnya terkena najis, maka dimakruhkan baginya untuk membaca”.
Dan dikatakan : “Diharamkan, seperti haramnya menyentuh mushhaf bagi tangan yang najis”. 

KEDUA : MEMBACA AL QUR’AN DI TEMPAT YANG SUCI
Disunahkan membaca Al Qur’an di tempat yang suci. Dan yang paling utama adalah di masjid. Ada sekelompok ulama yang memakruhkan membaca Al Qur’an di kamar mandi dan jalan. An nawawi berkata : “Madzhab kami adalah tidak dimakruhkan. Sya’bi memakruhkan membacanya ditempat yang jauh dari kebersiahan dan di tempat penggilingan pada saat gilingan itu berputar”. Dia berkata : “Inilah yang seharusnya pada madzhab kami”.

KETIGA : MENGHADAP KIBLAT
Disunnahkan untuk duduk sambil menghadap qiblat dengan khusyu’ dengan tenag dan menundukkan kepala.
KEMPAT : BERSIWAK
Disunahkan untuk bersiwak sebagai penghormatan dan pengagungan. Ibnu Majah Bazar telah meriwayatkan dari Ali secara mauquf dan Al Bazar dengan sanad yang baik secara marfu’ : “Sesungguhnya mulut-mulut kalian itu adalah jalan bagi Al Qur’an. Maka bersihkanlah dengan siwak’.
Aku berkata : “jika dia memotong bacaan dan kembali lagi membaca dalam waktu dekat, maka jika dia dianjurkan untuk mengulangi membaca ta’awudz, maka seharusnya dia juga disunahkan untuk mengulagi bersiwak juga”.
KELIMA : MEMBACA TA’AWUDZ
Disunahkan untuk membaca ta’awudz sebelum membaca. Allah berfirman :
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Jika kamu membaca Al Qur’an, maka memintalah perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”. [i]
Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa ta’awudz itu setelah membaca Al Qur’an karena ayat itu menggunakan fi’il madli. Dan ada beberapa ulama yang berpendpat bahwa memabcanya adalah wajib karena dhahir perintah pada ayat itu.
An Nawawi berkata : “jika dia berjalan melewati suatu kaum dalam keadaan sedang membaca AL Qur’an dan mengucapkan salam kepada mereka, kemudian kembali membaca, jika dia mengulangi bacan ta’awudznya, maka itu adalah baik”.
Dia berkata : “Bacaanya yang terpilih adalah أعوذ بالله من الشيطان الرجيم (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).
Ada beberapa ulama salaf yang menambah dengan السميع العليم (Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).
Diriwayatkan dari Hamzah, salah seorang imam qiro’ah sab’ah bahwa menggunakan أستعيذ (aku meminta perlindungan), نستعيذ (kami meminta perlindungan) استعذت (Aku telah meminta perlindungan). Yang terakhir inilah yang dipilih oleh pengarah Al Hidayah dari Madzhab Hanafi karena sesuai dengan lafadz dalam Al Qur’an.
Dari Humaid bin Qais : أعوذ بالله القادر من الشيطان الغادر (Aku berlindung dari Allah Yang Maha Kuasa dari setan yang pendusta).
Dari Abus Samal : أعوذ بالله القوي من الشيطان الغوي (Aku berlindung kepada Allah yang Maha Kuat dari setan yang sesat).
Dari beberapa ulama : “ أعوذ بالله العظيم من الشيطان الرجيم (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mulia dari godaan setan yang terkutuk).
Dari yang lainnya : “ إن الله هو السميع العليم أعوذ بالله من الشيطان الرجيم (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).
Dan masih ada lafadz-lafadz yang lain.
Al Hulwani berkata dalam Kitab Jami’nya : “Ta’awudz ini tidak memiliki batas akhirnya. Barangsiapa yang menginkan maka dia boleh menambah sesukanya dan barangsiapa yang meninginkan untuk mengurangi, maka juga diperbolehkan”.
Di dalam An nasyr disebutkan : “Yang dipilih oleh para imam qiro’ah adalah membacanya dengan keras. Ada yang mengatakan ta’awudz itu dibaca dengan lirih secara mutlak. Ada yang mengatakan pada selain Surat Al Fatihah. Dia berkata : “Mereka telah memutlakkan memilih membacanya dengan keras. Abu Syamah memberikan batasan yang harus ada, yaitu jika ada seseorang yang mendengarkan bacaannya. Dia berkata : “karena membaca ta’awaudz dengan keras adalah dapat menampakkan syi’ar bacaan seperti membaca talbiyah dan takbir pada hari raya dengan keras. Daintara faedahnya adalah agar pendengar mendengarkan dari awal bacaan, tidak ada satupun yang terlewatkan. Jika dia membacanya dengan lirih, maka pendengar itu tidak mengetahui bacaanya kecuali setelah ada beberapa hal yang trelewatkan. Inilah makna pembeda anatar bacaan pada waktu shalat dan selain shalat”.
Dia berkata : “Para ulama mutakhirin berbeda pendapat tentang makna menyamarkannya. Jumhur berpendapat bahwa maksudnya adalah membacanya dengan lirih. Jadi harus dibaca dan dapat didengar oleh dirinya sendiri. Ada yang mengatakan maksudnya adalah menyembunyikannya dengan menyebutkan dalam hati tanpa mengucapkannya”.
Dia berkata : “Jika dia memotong bacaan atau menyelainya dengan perkataan yang lain –walupun karena menjawab salam-, maka dia mengulanginya. Dan jika pemotongan itu berhubungan dengan kemashlahatan bacaan, maka tidak mengulanginya”.
Dia berkata : “Apakah ta’awudz itu sunnah kifayah atau sunnah ‘ainiyah, dimana jika ada jama’ah yang berkumpul kemudian slah seorang dari mereka membaca ta’awudz, maka apakah itu mencukupi bagi mereka semua ataukah tidak mencukupi, seperti membaca basmalah pada waktu makan ?”. Aku tidak menemukan adanya nash di sini. Tetapi yang dzahir adalah yang kedua. Karena maksud dari ta’awudz itu adalah permintaan perlindungan dari seorang pembaca kepada Allah dari godaan setan. Maka bacaan ta’awudz dari slah seorang mereka tidaklah mencukupi bagi yang lainnya”. Selesai perkataan Ibnul Jazari. [ii]
KEENAM : MEMBACA BASMALAH DI AWAL SETIAP SURAT
Hendaklah dijaga bacaan basmalah di awal setiap surat, selain Surat Bara’ah. Karena menurut kebanyakan ulama basmalah adalah satu ayat. Jika basmalah itu termasuk salah satu darinya, maka dia tidak menghatamkannya menurut pendapat kebanyakan ulama. Jika mulai membaca di awal surat, maka disunnahkan untuk membacanya juga. Ini ditegaskan oleh Imam Syafi’i yang diriwayatkan oleh Al ‘Ibadi.

Ibnul Jazari berkata : “Memulai dari ayat-ayat di tengah-tengah Surat Bara’ah sedikit sekali yang melakukannya. Abul Hasan As Sakhawi telah menegaskan adanya bacaan basmalah padanya. Dan ini dibantah oleh Al Ja’bari. [vii]

KETUJUH : MEMBACA DENGAN TARTIL
DAN TIDAK MEMBACA DENGAN SANGAT CEPAT
Disunatkan untuk membaca Al Qur’an dengan tartil. Allah berfirman :
وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلاً
Dan bacalah Al Qur’an dengan benar-benar tartil“.
Abu dawud dan yang lainya meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa dia menerangkan cara Rasulullah saw membaca Al Qur’an :
قِرَاءَةُ النَّبِيِّ قِرَاءَةٌ مُفَسَّرَةٌ حَرْفًا حَرْفًا
“Bacaan yang dapat ditafsirkan, satu huruf satu huruf”.
Di dalam Shahih Bukhari dari Anas bahwa dia ditanya tentang bacaan Rasulullah saw, maka dia berkata :
كَانَتْ مَدًّا، ثُمَّ قَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَمُدُّ اللهَ وَيَمُدُّ الرّْحْمَنَ وَيَمُدُّ الرَّحِيْمَ
“Bacaannya adalah panjang. Dia membaca بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ . Dia membaca panjang pada الله , panjang pada الرحمن dan panjang pada الرحيم “.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepadanya :
أَنَّ رَجُلاً قَالَ لَهُ : إِنِّيْ أَقْرَأُ الْمُفَصَّلَ فِيْ رَكْعَةٍ وَاحِدَةٍ فَقَالَ هَذَا كَهَذْيِ الشِّعْرِ، إِنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيْهِمْ، وَلَكِنْ إِذَا وَقَعَ فِي الْقَلْبِ فَرَسَخَ فِيْهِ نَفَعَ
“Aku membaca surat-surat mufashol pada satu raka’at”. Mak dia berkata : “Dia menggigau seperti gigauan syair-syair. Sesungguhnya ada beberapa kaum yang membaca Al Qur’an yang tidak melebihi kerongkongan mereka. Tetapi jika masuk ke dalam hati dan tertanam kuat, maka akan ada manfaat padanya“.[viii]
Al Ajuri meriwayatkan dalam Kitab Hamalatul Qur’an dari Ibnu Mas’ud bahwa dia berkata : “Berhentilah ketika ada hal-hal yang menakjubkan padanya. Dan gerakkalah hati dengannya. Dan janganlah perhatian salah seorang diantara kalian itu akhir setiap surat”.
Dan dia meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar secara marfu’ :
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ : اِقْرَأْ وَارْقِ فِي الدَّرَجَاتِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا، فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ كُنْتَ تَقْرَؤُهَا
“Dikatakan kepada pembaca Al Qur’an : “bacalah, maka deraja kalian akan naik. Dan membacalah dengan tartil seperti bacaan tartilmu di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu sesuai dengan akhir ayat yang kamu baca”.
An Nawawi berkata dalam Syarah Al muhadzab : “Mereka sepakat tentang kemakruhan membaca Al qur’an dengan berlebih-lebihan cepatnya”.
Mereka berkata : “Membaca satu juz Al Qur’an dengan tartil adalah lebih baik dari pada membaca dua juz dengan waktu yang sama dengan tanpa tartil”.
Mereka berkata : “Tujuan kesunnahan untuk membaca dengan tartil adalah untuk merenungi. Dan karena itu adalah lebih dekat kepada pengagungan dan penghormatan dan lebih berpengaruh ke dalam hati. Karena itulah juga disunnahkan tartil bagi orang asing yang tidak memahami maknanya”.
Di dalam An Nasyr disebutkan : “Diperselisihkan apakah yang lebih utama membaca sedikit dengan tartil ataukah membaca dengan cepat dan banyak. Telah berbuat baik beberapa imam-imam kami yang berpendapat bahwa sesungguhnya bacaan dengan tartil itu lebih banyak pahalanya dan bacaan yang banyak itu lebih banyak jumlahnya, karena setiap huruf itu ditulis sepuluh kebaikan.
Di dalam Al Burhan karya Az Zarkasyi : Kesempurnaan tartil adalah dengan membaca dengan sempurna pada lafadz-lafadznya dan membaca secara jelas huruf-hurufnya dan agar setiap huruf itu tidak dimasukkan ke dalam huruf yang lain. Ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah tingkat terendahnya. Yang paling sempurna adalah dengan membacanya sebagaimana kedudukannya. Jika membaca ayat-ayat ancaman, maka dia membaca seperti itu. Dan jika dia membaca ayat-ayat tentang pengagungan, maka dia mengucapkannya demikian. [ix]
KEDELAPAN : MERENUNGI MAKNANYA
Disunahkan untuk membaca dengan merenungi dan memahami. Inilah tujuan utama dan perintah yang paling penting. Dengannya hati akan menjadi lapang dan menjadi bersinar. Allah ta’ala berfirman :
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ
Kitab yang Aku turunkan kepada mereka agar mereka merenungkan ayat-ayatnya [x]
dan firmannya :
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ
Apakah mereka itu tidak merenungkan Al Qur’an”[xi]
Caranya adalah dengan membuat hati sibuk memikirkan makna apa yang diucapkan, sehingga dia mengetahui makna setiap ayat, memperhatikan perintah-perintah dan larangan-larangan dan meyakini akan menerima hal itu. Jika dia merasa telah berbuat kekuarangan pada masa lalu, maka dia meminta ampun dan beristighfar. Jika melewati ayat tentang rahmat, maka dia merasa gembira dan memohon atau melewati ayat tentang siksa, maka dia merasa sedih dan meminta perlindungan atau melewati ayat tentang penyucian Allah, maka dia mensucikannya atau ayat tentang do’a, maka dia merendahkan diri dan meminta.
Muslim meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa dia berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ ثُمَّ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ
“Aku shalat bersama dengan Rasulullah saw pada suatu malam. Maka dia memulai dengan Surat Al Baqoroh, kemudian An nisa’. Kemudian dengan Surat Ali Imran. Dia membacanya dengan lepas. Jika dia melewati ayat tentang tasbih, maka dia mengucapkan tasbih. Dan jika melewati ayat permohonan, maka dia memohon. Dan jika melewati ayat tentang perlindungan, maka dia meminta perlindungan”.
Abu dawud, Nasa’i dan yang lainnya meriwayatkan dari Auf bin malik bahwa dia berkata :
قُمْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَامَ فَقَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ لَا يَمُرُّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ إِلَّا وَقَفَ فَسَأَلَ وَلَا يَمُرُّ بِآيَةِ عَذَابٍ إِلَّا وَقَفَ فَتَعَوَّذَ
“Aku melakukan qiyamul lail bersama dengan Rasulullah saw pada suatu malam. Maka dia berdiri membaca Surat Al Baqoroh. Dia tidak melewati ayat tentang rahmat, kecuali dia berhendit dan memohon dan tidak melewati ayat tentang adzab, kecuali berhenti dan meminta perlindungan”.
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan hadits :
مَنْ قَرَأَ {وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ}فَقَرَأَ {أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ}، فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنْ الشَّاهِدِينَ، وَمَنْ قَرَأَ لاَ أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا : أَلَيْسَ ذلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى فَلْيَقُلْ بَلَى، وَمَنْ قَرَأَ وَالْمُرْسَلاَتِ فَبَلَغَ فَبِأَيِّ حَدِيْثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُوْنَ فَلْيَقُلْ : آمَنَّا بِاللهِ
“Barangsiapa yang membaca wattini wazzaitun sampai akhirnya, maka hendaklah berkata : “ بَلى وَأَنَا عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ ” (Ya, dan aku adalah sebagain dari orang-orang yang bersaksi terhadap hal itu). Dan barangsiapa yang membaca Surat Al Qiyamah dan samapai ke akhinya : { أليس ذلك بقادر على أن يحيي الموتى } “Bukankah yang itu benar-benar mampu untuk menghidupakan orang-orang yang mati”, hendaklah dia berkata : بلى “Ya”. Dan barangsiapa yang membaca Surat Al Mursalat dan sampai kepada : { فبأي حديث بعده يؤمنون } “Dan dengan perkataan mana setelah itu mereka itu beriman”, maka hendaklah dia berkata : آمنا بالله “Kami beriman kepada Allah”.
Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Abbas
أَنّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا قَرَأَ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى قَالَ : سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى
bahwa Rasulullah saw jika membaca Surat Al A’la maka dia berkata : سبحان ربي الأعلى “ Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi’.
Tirmidzi dan Hakim meriwayatkan dari Jabir bahwa dia berkata :
خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَى أَصْحَابِهِ فَقَرَأَ عَلَيْهِمْ سُوْرَةُ الرَّحْمنِ مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا فَسَكَتُوْا، فَقَالَ : لَقَدْ قَرَأْتُهَا عَلَى الْجِنِّ، فَكَانُوْا أَحْسَنَ مَرْدُوْدًا مِنْكُمْ، كُنْتُ كُلَّمَا أَتَيْتُ عَلَى قَوْلِهِ : فَبِأَيِّ آلاَءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ، قَالُوْا : وَلاَ بِشَيْءٍ مِنْ نِعَمِكَ رَبَّنَا نَكْذِبُ، فَلَكَ الْحَمْدُ
“Rasulullah saw keluar menuju para sahabatnya. Dia membaca di hadapan mereka surat Ar Rahman dari awal sampai akhir. Mereka diam. Dia berkata : “Aku telah membacanya di hadapan para jin. Mereka itu lebih baik jawabannya daripada kalian. Setiap aku membaca firman Allah {فبأي آلاء ربكما تكذبان }: maka terhadap nikmat tuhanmu yang manakah kamu berdua mendustakan”, mereka berkata : “Tidak satu pun nikmat-Mu, Wahai Tuhan kami yang kami dustakan. Segala puji adalah mulik-Mu”.
Ibnu Mardawaih, Dailami, Ibnu Abid Dunya dalam Bab tentang do’a dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang sangat dla’if dari Jabir bahwa Rasulullah saw membaca firman Allah : [xii] { وإذا سألك عبادي عني فإني قريب }Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka katakanlah Aku dekat“. [xiii] al ayat. Maka dia berkata : “Ya Allah. Engakau menyuruh untuk berdo’a dan engkau menjamin akan dikabulkan. Aku penuhi panggilan-Mu, Ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian dan nikmat itu adalah milik-Mu. Dan kerajaan, tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa Engkau adalah satu sebagai tempat bergantung. Engaku tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang menanding-Mu. Dan aku bersaksi bahwa janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-Mu adalah benar. Surga itu benar. Neraka itu benar. Hari kiamat itu akan datang, tidak ada keraguan di dalamnya dan Engkau akan membangunkan orang-orang dari kubur”.
Abu dawud dan yang lainnya meriwayatkan dari Wail bin Hajar bahwa dia berkata :
سَمِعْتُ النَّبِيَّ قَرَأَ وَلاَ الضَّالِّيْنَ فَقَالَ آمِيْن، يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ
“Aku mendengar Rasulullah saw membaca :ولا الضالين “, maka dia berkata : آمين . Dia memanjangkan suaranya.
Thabrani meriwayatkan dengan lafadz : Dia berkata آمين “. tiga kali. Dan Baihaqi meriwayatkannya dengan lafadz : Dia berkata : “ آمين رب اغفرلي (Ya Allah ampunilah aku. Aamiin).
Abu Ubaid meriwayatkan dari Abu Maisaroh bahwa Jibril mengajari Rasulullah saw ketika membaca akhir Surat Al baqoroh : “ آمين “.
Dan dia meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw jika menghatamkan Surat Al Baqoroh, dia berkata : ” آمين “.
An Nawawi berkata : “Termasuk diantara adab, ketika dia membaca ayat seperti [xiv]{ وقالت اليهود عزيرا بن الله }Dan orang-orang Yahudi berkata bahwa Uzair itu adalah anakAllah”[xv]. Dan seperti firman Allah : { وقالت اليهود يد لله مغلولة } [xvi] (Dan orang-orang Yahudi berkata : “Tangan Allah itu terbelengu)[xvii] agar dia merendahkan suaranya. Demikianlah yang dilakukan oleh An Nakho’i.
KESEMBILAN : MENGULANGI-ULANG BEBERAPA AYAT
Tidak apa-apa untuk mengulang-ulang satu ayat. Nasa’i dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Dzar bahwa Rasulullah saw berdiri membaca satu ayat mengulang-ulangnya sampai pagi, yaitu fimran Allah : { إن تعبهم فإنهم عبادك } [xviii] (Jika Engkau menyiksa mereka, maka mereka adalah hamba-hamba-Mu).[xix]
 


Ditulis oleh fauzi di/pada 19/01/2009

[i] Surat An Nahl : 98
[ii] Lihatlah An Nasyr, I : 252 dan halaman selanjutnya. Dinukil dengan sedikit perubahan
[iii] Fusilat : 47
[iv] Surat Fushilat : 48
[v] Al An’am : 141
[vi] Surat Al An’am : 141
[vii] An Nasyr, I : 266 dengan sedikit perubahan.
[viii] Shahih Muslim, hal : 563
[ix] Al burhan, I : 45
[x] Surat Shod : 29
[xi] Surat An Nisa’ : 2
[xii] Al Baqoroh : 186
[xiii] Al baqoroh : 186
[xiv] At taubah 30
[xv] Surat At Taubah : 30
[xvi] Al maidah : 64
[xvii] Surat Al Maidah : 64
[xviii] Al Maidah : 118
[xix] Surat Al Maidah : 118
[xx] Al Isra’ : 109

www.info-iman.blogspot.com

Kamis, 08 April 2010

Darah Wanita


Bagi kebanyakan wanita, haid dan nifas identik dengan tidak menjalankan shalat atau puasa. Padahal banyak hal lain yang juga perlu diketahui kaitannya dengan ibadah saat seorang wanita mendapatkan haid atau nifas. 





Permasalahan darah yang keluar dari kemaluan wanita merupakan permasalahan yang penting. Butuh untuk diterangkan karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta`ala. Kita lihat kenyataan yang ada banyak wanita buta terhadap permasalahan yang justru lekat dengan dirinya ini. Karena itu pada tampilan perdana dalam rubrik ini kami coba menerangkan kepada pembaca seputar masalah ini secara ringkas, semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, amin… ! Dan semoga menjadi simpanan amal kebajikan bagi kami pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak, kecuali hamba yang menemui Allah dengan hati yang selamat… !

Kami angkat permasalahan ini dengan menerjemahkan secara ringkas kitab yang disusun oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berjudul “Risalah fid Dima Ath Thabi`iyyah Lin Nisa‘ disertai dengan tambahan dari sumber yang lain .

Wanita dengan kodratnya yang ditentukan dengan keadilan Illahi mengalami masa-masa di mana ia mendapatkan darah keluar dari organnya yang khusus. Darah tersebut bisa jadi menahan dia dari melaksanakan ibadah shalat dan puasa, dan bisa pula ia tetap dibolehkan shalat dan puasa karena darah tersebut tidak mengeluarkan dirinya dari hukum wanita yang suci.
Adapun darah yang biasa keluar dari kemaluan wanita adalah darah haid, istihadhah dan darah nifas. Untuk yang awal, kami akan menyinggung masalah haid.

Haid

Secara bahasa, haid adalah mengalirnya sesuatu. Adapun pengertiannya yang syar`i, haid adalah darah yang keluar pada waktu-waktu tertentu dari organ khusus wanita secara alami tanpa adanya sebab, bukan karena sakit, luka atau keguguran atau selesai melahirkan. Haid ini keadaannya berbeda-beda tergantung keadaan masing-masing wanita.
Ulama berselisih pendapat dalam masalah kapan usia awal seorang wanita mengalami haid. Berkata Ad Darimi rahimahullah setelah menyebutkan perselisihan yang ada: “Semua pendapat ini menurutku salah! Karena yang menjadi rujukan dalam semua itu adalah adanya darah. Maka pada keadaan dan umur berapa saja didapatkan adanya darah yang keluar dari kemaluan maka itu harus dianggap darah haid, wallahu a`lam“.

Pendapat Ad Darimi yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah ini dibenarkan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin karena hukum haid dikaitkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan adanya darah tersebut. Allah dan Rasul-Nya tidak memberi batasan umur tertentu, maka wajib mengembalikan hal ini kepada ada tidaknya darah, bukan batasan umur .

Dalam permasalahan lamanya masa haid juga ada perselisihan pendapat. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: “Berkata sekelompok ulama: “Tidak ada batasan minimal dan tidak pula batasan maksimal hari haid”. Pendapat ini yang dibenarkan Syaikh Ibnu Utsaimin dengan dalil-dalil sebagai berikut:

Pertama, Allah Ta`ala berfirman :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh karena itu hendaklah kalian menjauhi para istri ketika mereka sedang haid dan jangan kalian mendekati mereka hingga mereka suci dari haid”. (Al Baqarah: 222

Dalam ayat di atas Allah menjadikan batasan larangan menyetubuhi istri yang sedang haid adalah sampai selesainya haid (suci), bukan batasan hari. Jadi hukum haid berlaku selama ada darah yang keluar berapapun lama waktunya.

Kedua, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radliallahu anha yang haid saat ia sedang melakukan ibadah haji :
“Lakukanlah semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka`bah hingga engkau suci” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, hal. 30, Syarah Nawawi)
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjadikan batasan larangan thawaf sampai suci dari haid dan beliau tidak menetapkan batasan bilangan hari tertentu, jadi patokannya ada tidaknya darah.

Ketiga, batasan-batasan yang disebutkan oleh para fuqaha dalam masalah ini tidak ada dalilnya dalam Al Qur’an dan tidak pula dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam Padahal hal ini sangat perlu untuk diterangkan bila memang harus ada pembatasan.
Keempat, banyaknya perbedaan dan pertentangan pendapat dari mereka yang membuat batasan. Ini menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang dapat dituju, namun ini sekedar ijtihad yang bisa benar dan bisa salah.

Dengan demikian, setiap kali wanita melihat darah keluar dari kemaluan bukan disebabkan luka atau semisalnya maka darah tersebut darah haid tanpa ada batasan waktu dan umur. Kecuali bila darah itu keluar terus menerus tidak pernah berhenti atau berhenti hanya sehari dua hari dalam sebulan maka darah itu adalah darah istihadhah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Pada asalnya setiap darah yang keluar dari rahim adalah darah haid sampai tegak bukti bahwa darah itu adalah istihadhah”.

Haidnya Wanita Hamil

Apakah wanita hamil mengalami haid? Secara umum apabila wanita hamil ia akan terhenti dari haidnya. Namun ada di antara wanita hamil yang tetap keluar darah dari kemaluannya pada masa-masa haidnya, dan ini dihukumi sebagai darah haid karena tidak ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah yang menyebutkan mustahilnya haid bagi wanita hamil. Ini adalah pendapatnya Imam Malik , Syafi’i, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.

Kejadian Haid

Ada beberapa macam kejadian haid.
Pertama, bertambah atau berkurang waktunya. Misalnya seorang wanita kebiasaan haidnya enam hari. Suatu ketika darah yang keluar berlanjut sampai hari ketujuh. Atau kebiasaan haidnya enam hari namun belum berjalan enam hari haidnya berhenti.

Kedua, terlambat atau maju dari jadwal yang ada. Misal kebiasaan haid seorang wanita jatuh pada akhir bulan, namun suatu ketika ia melihat darah haidnya keluar pada awal bulan, atau sebaliknya.
Terhadap dua keadaan di atas terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Namun yang benar, kapan saja seorang wanita melihat keluarnya darah maka ia haid. Dan kapan ia tidak melihat darah berarti ia suci, sama saja apakah waktu haidnya bertambah atau berkurang dari kebiasaannya, dan sama saja apakah waktunya maju atau mundur. Ini merupakan pendapatnya Imam Syafi`i dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.

Ketiga, warna kekuningan atau keruh yang keluar dari kemaluan. Apabila cairan ini keluarnya pada masa haid atau bersambung dengan masa haid sebelum suci maka dihukumi sebagai darah haid. Namun bila keluarnya di luar masa haid, cairan tersebut bukan darah haid. Ummu `Athiyah radliallahu’anha mengabarkan: “Kami dulunya tidak mempedulikan sedikitpun cairan yang keruh dan cairan kuning yang keluar setelah suci dari haid”. (HR. Abu Daud. Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya namun tanpa lafaz “setelah suci”. Akan tetapi beliau memberi judul untuk hadits ini dengan Bab “Cairan kuning dan keruh yang keluar pada selain hari-hari haid”.)

Keempat, keringnya darah di mana si wanita hanya melihat sesuatu yang basah (ruthubah) seperti lendir dan semisalnya. Kalau ini terjadi pada masa haid atau bersambung dengan waktu haid sebelum masa suci maka ia terhitung haid. Bila di luar masa haid maka ia bukan darah haid, sebagaimana keadaan cairan kuning atau keruh.

Hukum-Hukum Haid

Banyak sekali hukum-hukum yang berkaitan dengan haid namun karena terbatasnya ruang maka kami mencukupkan dengan apa yang kami sebutkan berikut ini:


Shalat dan Puasa
Wanita haid diharamkan untuk mengerjakan shalat dan puasa, baik yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengabarkan hal ini ketika ada wanita yang mempertanyakan keberadaan kaum wanita yang dikatakan kurang agama dan akalnya, beliau bersabda :
“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. Maka itulah yang dikatakan setengah agamanya”. (HR. Bukhari dalam shahihnya no. 304, 1951 dan Muslim no. 79)

Adapun puasa wajib (Ramadlan) yang dia tinggalkan harus dia qadha (ganti) di hari yang lain saat suci, sedangkan shalat tidak ada kewajiban untuk mengqadhanya, berdasarkan hadits Aisyah radliallahu’anha, ketika ada yang bertanya kepadanya: “Apakah salah seorang dari kami harus mengqadla shalatnya bila telah suci dari haid ?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari: “Apakah engkau wanita Haruriyah? Kami dulunya haid di masa Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat”. (HR. Bukhari no. 321)
Dalam riwayat Muslim Aisyah mengatakan: “Kami dulunya ditimpa haid maka kami hanya diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat“. (HR. Muslim no. 69)

Thawaf di Baitullah
Wanita haid diharamkan untuk thawaf di Ka`bah baik thawaf yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radliallahu anha yang ditimpa haid saat sedang melakukan amalan haji :
“Lakukanlah semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka`bah hingga engkau suci” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, hal. 30, Syarah Nawawi)
Adapun amalan haji yang lain seperti sa`i, wuquf di Arafah, dan sebagainya tidak ada keharaman untuk dikerjakan oleh wanita yang haid.

Jima’ (bersetubuh)
Diharamkan bagi suami untuk menggauli istrinya yang sedang haid pada farji (kemaluannya) dan diharamkan pula bagi istri untuk memberi kesempatan dan memperkenankan suaminya untuk melakukan hal tersebut. Karena Allah ta`ala berfirman:
“…maka jauhilah (tidak boleh jima`) oleh kalian para istri ketika haid dan janganlah kalian mendekati mereka (untuk melakukan jima`) hingga mereka suci”. (Al Baqarah: 222)
Selain jima`, dibolehkan bagi suami untuk melakukan apa saja terhadap istrinya yang sedang haid karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (yakni jima`)”. (HR. Abu Daud no. 2165, dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam kitab beliau “Shahih Sunan Abi Daud” no. hadits 1897)

Talak
Ketika istri sedang haid, haram bagi suaminya untuk mentalaknya berdasarkan firman Allah ta`ala:
“Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri kalian maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) iddahnya…”. (Ath Thalaq: 1)
Ibnu Abbas radliallahu’anhuma menafsirkan: “Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa menceraikannya”. (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Jadi bila talak hendak dijatuhkan maka harus pada masa suci si wanita (tidak dalam keadaan haid) dan belum disetubuhi ketika suci tersebut. Demikian hal ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Atha’, Mujahid, Al Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Maimun bin Mihran dan Muqatil bin Hayyan. (Lihat Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan: “Ada tiga keadaan yang dikecualikan dalam pengharaman talak ketika istri sedang haid (yakni boleh mentalaknya walaupun dalam keadaan haid):

Pertama, apabila talak dijatuhkan sebelum ia berduaan dengan si istri atau sebelum ia sempat bersetubuh dengan si istri setelah atau selama nikahnya. Dalam keadaan demikian tidak ada `iddah bagi si wanita dan tidak haram menceraikannya dalam masa haidnya.

Kedua, apabila haid terjadi di waktu istri sedang hamil karena lamanya `iddah wanita hamil yang dicerai suaminya adalah sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya bukan dihitung dengan masa haidnya. Allah ta`ala berfirman :
“Wanita-wanita yang hamil masa iddahnya adalah sampai mereka melahirkan anak yang dikandungnya”. (Ath Thalaq: 4)

Ketiga, apabila talak dijatuhkan dengan permintaan istri dengan cara ia menebus dirinya dengan mengembalikan sesuatu yang pernah diberikan suaminya atau diistilahkan khulu`.
Hal ini dipahami dari hadits Ibnu Abbas radliallahu’anhuma dalam shahih Bukhari (no. 5273, 5374, 5275, 5276). Disebutkan bahwasanya istri Tsabit bin Qais bin Syamas datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam lalu menyatakan keinginannya untuk berpisah dengan suaminya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyuruhnya untuk mengembalikan kebun yang pernah diberikan kepadanya dan memerintahkan Tsabit untuk menerima pengembalian tersebut dan menceraikan istrinya. Dalam hadits ini Nabi sama sekali tidak menanyakan kepada wanita tersebut apakah ia dalam keadaan haid atau tidak.

Masa Iddah Wanita yang Bercerai dari Suaminya

Perhitungan masa iddah wanita yang bercerai dari suaminya dalam keadaan ia tidak hamil adalah dengan tiga kali haid, berdasarkan firman Allah ta`ala :
“Wanita-wanita yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri mereka (menunggu) selama tiga quru…” (Al Baqarah: 228)

Mandi Haid
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu’anha:
“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari yang engkau biasa haid padanya, dan jika telah selesai haidmu mandilah dan shalatlah”. (HR. Bukhari no. 325)
Yang wajib ketika mandi ini adalah minimal meratakan air ke seluruh tubuh hingga pokok rambut. Dan yang utama melakukan mandi sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika beliau ditanya oleh seorang wanita Anshar tentang tata cara mandi haid. Beliau sebagaimana dikabarkan Aisyah bersabda :
“Ambillah secarik kain yang diberi misik (wewangian) lalu bersucilah dengannya”. Wanita itu bertanya: “Bagaimana cara aku bersuci dengannya ?” Nabi menjawab : “Bersucilah dengannya”. Wanita itu mengulangi lagi pertanyaannya. Nabi menjawab: “Subhanallah, bersucilah”. Aisyah berkata: Maka aku menarik wanita tersebut ke dekatku lalu aku katakan kepadanya: “Ikutilah bekas darah dengan kain tersebut”. (HR. Bukhari no. 314, 315 dan Muslim no. 60)
Atau lebih lengkapnya dalam riwayat Muslim (no. 61) bahwasanya Asma bintu Syakl bertanya tentang tata cara mandi haid maka beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
“Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun sidr (bidara) lalu ia bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia tuangkan air ke kepalanya dan ia gosok dengan kuat hingga air tersebut sampai ke akar-akar rambutnya, kemudian ia tuangkan air ke atasnya. Kemudian ia ambil secarik kain yang diberi misik lalu ia bersuci dengannya…”. (HR. Muslim no. 61)

Apabila wanita haid telah suci dari haidnya di tengah waktu shalat yang ada, wajib baginya untuk segera mandi agar ia dapat menunaikan shalat tersebut pada waktunya. Apabila ia sedang safar dan tidak ada air padanya atau ada air namun ia khawatir bahaya bila memakainya atau ia sakit yang akan berbahaya bila ia memakai air, maka cukup baginya bertayammum sebagai pengganti mandi hingga hilang darinya udzur. Wallahu a`lam bishawwab. Demikian pembahasan haid secara ringkas yang dapat kami persembahkan untukmu Muslimah….!

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=11
posted in Fiqh Ibadah |
Penulis: Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah
www.info-iman.blogspot.com

Rabu, 07 April 2010

Naghom adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang artinya lagu/irama. Populernya istilah Naghom berasal dari para Qori’/ para Syech/ dari Mesir yang pernah mengajarkan ilmunya di Indonesia pada tahun 1973.

Kata naghom yang akhirnya kemudian dirangkai dengan Al-Qur’an menjadi Naghom Al-Qur’an yang artinya melagukan Al-Qur’an, bisa juga disebut dengan Tahsin As-Shout dalam membaca Al-Qur’an (membaguskan suara dalam membaca Al-Qur’an). Naghom adalah khusus untuk tilawah Al-Qur’an, kemudian di Indonesia terkenal dengan sebutan Seni Baca Al-Qur’an.
Kata Naghom memiliki arti yang sama dengan kata Talhin atau Lahn dan Taronnum atau Tarnim yang dalam bahasa Arab disebut dengan Murodif atau Sinonim. Namun ketiga istilah ini (naghom, talhin, dan taronnum) sama-sama menunjukkan vocal suara yang bernada seni yang indah dan sama-sama digunakan untuk istilah “Seni Baca Al-Qur’an”, seperti sebutan Naghom Al-Qur’an, Talhin Al-Qur’an, dan Taronnum Al-Qur’an.
Dalam hal ini para pakar Dzawil Ashwat (memiliki suara indah) seperti Abduh As-Shu’udi,Azro’I Abd Rouf dan Mukhtar Luthfi Al-Anshory mempertegas pengertian istilah-istilah tersebut, yaitu :

  1. Naghom, ialah vocal suara indah tunggal (tanpa diiringi alat musik), dan tidak terikat dengan not balok serta khusus dipergunakan untuk Tazyin As-Shout bi tilawah Al-Qur’an

  2. Talhin, yaitu vocal suara indah dan tunggal yang “arobiyy Al-Qur’an, namun ada yang terkait dengan not balok, sehingga dipergunakan juga untuk selain Al-Qur’an, seperti Qoshidah, Nasyid dan lain-lain.

  3. Taronnum, ialah vocal suara indah Al-Qur’an, namun suara ini ada juga yang mempergunakan alat musik, sehingga banyak terkait dengan not balok. Di sinilah timbul istilah Tawsyich bagi orang yang mempelajari Seni Baca Al-Qur’an (taronnum Al-Qur’an), karena kebanyakan tawsyich itu terikat dengan not-not yang telah tersusun..
Naghom adalah program materi tilawah bagi para Dzawil Ashwat. Sedangkan Tilawah adalah merupakan program utama dan menjadi ciri khas Komunitas H.O.T. (house of tilawah al-Qur’an) yaiyu program pelatihan khusus membentuk santri/para peserta kursus naghom menjadi seorang Qori’ yang mampu membaca Al-Qur’an dengan lagu dan irama yang baik dan benar.
Adapun arti Seni adalah sebagian dari rasa indah yang lahir dari dalam rohani manusia. Manusia dapat menciptakan sesuatu karena kemauan, dan kemauan itu timbul karena daya paduan antara rasa rohaniyah manusia dan pikirannya sebagaimana disebutkan dalam ilmu jiwa. Ilmu jiwa membagi rasa dalam dua bagian yaitu, rasa indera dan rasa rohani. Sedangkan rasa rohani terbagi lagi dalam rasa agama, rasa etika, rasa estetika, rasa intelek, rasa rasional, dan rasa diri sendiri.
Dalam pembagian diatas kita dapati bahwa ahli ilmu jiwa meninjau pembagiaannya yang ada pada diri manusia dari segi rasa, rasa indera, dan rasa rohaniah. Golongan filsafat menyatakan bahwa diri manusia itu terdiri dari kepribadian. Kepribadian adalah kualitas keseluruhan dari diri seseorang, baik rasa, karsa maupun cipta yang mencakup segala hal yang menjadi tenaga pendorong, seperti hasrat, kemauan, rasa dan segala hal yang ada hubungannya dengan persoalan-persoalan yang bersifat keharuan, baik senang maupun susah.
Selanjutnya cipta merupakan kegiatan yang ditimbulkan oleh kekuatan akal pikiran dalam mengadakan sesuatu. Kalau kita perhatikan, pada hakekatnya pendapat tersebut banyak persamaannya. Yaitu bahwa diri manusia dihiasi oleh sifat-sifat seni, karena pada diri manusia ada sifat menyenangi dan haru terhadap sesuatu yang indah. Hal ini sudah menjadi instink yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada manusia, sesuai dengan firman-Nya :
Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaa kepada apa-apa yang diingini yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, sawah lading, itulah kesenangan di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” QS Ali Imron 14
Demikianlah sekilas info tentang pengertian seni di dalam Al-Qur’an.
Wallahu A’lam bish-Showab.. (zul)

www.info-iman.blogspot.com

ADAB TILAWAH DAN ADAB PEMBACA AL QUR’AN

Ada beberapa ulama yang secara khusu mengarang sebuah karya ilmiah tentang masalah ini, seperti An Nawawi  dalam At Tibyan [i]. Di dalamnya, di dalam Syarah Al Muhadzab, Al Adzkar dia telah menyebutkan beberapa hal tentang adab. Dan tidak ketinggalan Al Imam Jalaluddin As Suyuthi di dalam sebuah karya fenomenalnya, yaitu Al Itqon fi ‘ulumil qur’an dan sebagian besar tulisan ini adalah merupakan inti sari dari kitab karya beliau ini.


SUNNAH MEMBACA AL QUR’AN
Disunnatkan untuk memperbanyak membaca Al Qur’an. Allah ta’ala berfirman untuk memuji orang-orang yang kebiasaannya membaca Al Qur’an :
يَتْلُونَ آَيَاتِ اللَّهِ آَنَاءَ اللَّيْلِ
Mereka selalu membaca Al Qur’an pada pertengahan malam”. [ii]


Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari Ibnu Umar bahwa Rasululah saw bersabda :
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِيْ اِثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ
“tidak ada hasad kecuali pada dua hal, yaitu seorang laki-laki yang diberikan karunia Al Qur’an oleh Allah dan dia membacanya di malam dan siang hari”. Al hadits [iii]
Turmudzi meriwayatkan dari hadits Ibnu Mas’ud :
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dalam Al Qur’an, maka dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan”.
Dan dia meriwayatkan dari hadits Abu Sa’id dari Rasululah saw :
يَقُوْلُ الرَّبُّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى : مَنْ شَغَلَهُ الْقُرْآنُ وَذِكْرِيْ عَنْ مَسْأَلَتِيْ أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِيْنَ وَفَضْلُ كَلاَمِ اللهِ عَلَى سَائِرِ الْكَلاَمِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى سَائِرِ خَلْقِهِ
“Allah subhaanahu wa ta’ala berkata : “Barangsiapa yang disibukkan dengan Al Qur’an dan berdzikir kepada-Ku, hingga tidak sempat meminta kepada-Ku, maka aku akan memberikan apa yang terbaik yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta. Dan keutamaan firman Allah atas perkataan makhluk-Nya adalah seperti keutamaan Allah atas semua makhluk-Nya”.
Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Umamah :
اِقْرَؤُوا الْقُرْآنَ، فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لأَصْحَابِهِ
“Bacalah Al Qur’an. Sesunggguhnya Al Qur’an itu akan datang memberikan syafa’at kepada pembacanya pada hari Kiamat”.
Baihaqi meriwayatkan dari hadits Aisyah :
اَلْبَيْتُ الَّذِيْ يُقْرَأُ فِيْهِ الْقُرْآنُ يَتَرَاءَى لأَهْلِ السَّمَاءِ كَمَا تَتَرَاءى النُّجُوْمُ لأَهْلِ الأَرْضِ
“Rumah yang di dalamnya di baca Al Qur’an akan terlihat oleh penduduk langit seperti terlihatnya bintang-bintang oleh penduduk bumi”.
Dia meriwayatkan hadits dari Anas :
نَوِّرُوْا مَنَازِلَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Terangilah rumah-rumah kalian dengan shalat dan membaca Al Qur’an”.
Dia meriwayatkan hadits dari Nu’man bin Basyir :
أَفْضَلُ عِبَادَةِ أُمَّتِيْ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Sebaik-baik ibadah umatku adalah membaca Al Qur’an”.
Dia meriwayatkan hadits dari Samurah bin Jundub :
كُلُّ مُؤَدِّبٍ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى مَأْدُبَتُهُ، وَمَأْدُبَةُ اللهِ الْقُرْآنُ، فَلاَ تَهْجُرُوْهُ
“Setiap pengajar senang jika ajarannya diamalkan. Dan ajaran Allah adalah Al Qur’an. Maka janganlah kalian berseteru dengannya”.
Dia meriwayatkan hadits dari Ubaidah Al Maki secara marfu’ dan mauquf :
يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ، لاَ تَتَوَسَّدُوا الْقُرْآنَ، وَاتْلُوْهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَأَفْشُوْهُ وَتَدَبَّرُوْا مَا فِيْهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai para pengemban Al Qur’an. Janganlah kalian menjadikan Al Qur’an sebagai bantal. Bacalah Al Qur’an itu dengan sebenarnya siang dan malam hari dan sebarkanlah serta renungilah apa yang ada di dalamnya. Semoga kalian bahagia”.
KADAR BACAAN YANG DISUNNAHKAN
Tentang kadar bacaan, para ulama salaf mempunyai beberapa macam kebiasaan. Riwayat yang menjelaskan tentang paling banyaknya bacaan Al Qur’an adalah riwayat : yaitu :
  1. ada yang menghatamkan Al Qur’an delapan kali semalam, empat kali pada waktu siang hari dan empat hari pada waktu malam hari”.
  2. berikutnya adalah “orang-orang yang menghatamkan Al Qur’an empat kali sehari semalam”. Dan berikutnya tiga kali, kemudian dua kali, kemudian sekali.
Aisyah mencela hal itu. Abu dawud meriwayatkan dari Muslim bin Mikhraq bahwa dia berkata : “Aku berkata kepada Aisyah : “Sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki yang menghatamkan Al Qur’an dua atau tiga kali semalam”. Maka dia berkata : “Mereka itu membaca padahal mereka tidak membaca. Aku shalat malam bersama dengan Rasulullah saw. Dia membaca Surat Al Baqoroh, Ali Imran dan An Nisa’. Dia tidak melewati ayat tentang berita gembira, kecuali berdo’a dan mengharap dan tidak melewati ayat-ayat tentang siksa, kecuali berdo’a dan meminta perlindungan”.
  1. Dan berikutnya adalah orang-orang yang menghatamkan dalam dua hari
  2. dan berikutnya adalah orang-orang yang menghatamkan dalam tiga hari. Itu adalah baik.
Ada beberapa orang yang memakruhkan khatam dalam waktu yang lebih pendek dari tiga hari itu, karena sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan dia menyatakanannya shahih dari hadits Abudllah bin Umar secara marfu’ :
لاَ يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِيْ أَقَلَّ مِنْ ثَلاَثٍ
“Orang yang membaca Al Qur’an dalam waktu kurang dari tiga hari tidak akan memahaminya”.
Ibnu Abi Dawud dan Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud secara mauquf bahwa dia berkata : “Janganlah kalian membaca Al Qur’an (menghatamkanya) dalam waktu kurang dari tiga hari”.
Abu Ubaid meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa dia memakruhkan membaca Al Qur’an dalam waktu kurang dari tiga hari.
Ahmad dan Abu Ubaid meriwayatkan dari Sa’id bin Mundzir –dia tidak memiliki riwayat lain selain ini- bahwa dia berkata :
يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَقْرَأُ الْقُرْآنَ فِيْ ثَلاَثٍ ؟، قاَلَ : نَعَمْ، إِنِ اسْتَطَعْتَ
“Aku berkata : “Wahai Rasulullah, bolehkan aku membaca Al Qur’and alam tiga hari ?”. Dia berkata : “Ya, jika kamu bisa”.
  1. Dan berikutnya adalah orang-orang yang menghatamkan Al Qur’an dalam empat hari,
  2. kemudian lima hari,
  3. kemudian enam hari, kemudian tujuh hari.
Yang terakhir inilah yang pertengahan dan yang terbaik. Dan inilah yang dilakukan oleh kebanyakan sahabat dan yang lainnya.
Asy Syaikhoni meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bahwa dia berkata :
اِقْرَأْ الْقُرْآنَ فِيْ شَهْرٍ، قُلْتُ : إِنِّيْ أَجَدُ قُوَّةً، قَالَ : اِقْرَأْهُ فِيْ عَشْرٍ، قُلْتُ : إِنِّيْ أَجِدُ قُوَّةً، قَالَ : اِقْرَأْهُ فِيْ سَبْعٍ، وَلاَ تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ
“Rasulullah saw berkata kepadaku : “Bacalah Al Qur’an dalam satu bulan”. Aku berkata : “Aku masih kuat”. Dia berkata : “Bacalah dalam sepuluh hari”. Aku berkata : “Aku masih kuat”. Dia berkata : “Bacalah dalam tujuh hari. Dan janganlah kamu menambah darinya”.
Abu Ubaid dan yang lainnya meriwayatkan dari jalur Wasi’ bin Hiban dari Qais bin Abi Sha’sha’ah – dan dia tidak memiliki riwayat lain selain ini- bahwa dia berkata : “
يَا رَسُوْلَ اللهِ، فِيْ كَمْ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ؟، قَالَ : فِيْ خَمْسَةَ عَشَرَ، قُلْتُ : إِنِّيْ أَجِدُِنْي أَقْوَى مِنْ ذَلِكَ، قَالَ : اِقْرَأْهُ فِيْ جُمْعَةٍ
Wahai Rasulullah, dalam berapa hari aku membaca Al Qur’an ?”. Dia berkata : “Dalam lima belas hari”. Aku berkata : “Aku mampu lebih dari itu”. Dia berkata : “Bacalah dalam satu Jum’ah”.
Dan berikutnya adalah orang-orang yang menghatamkan dalam delapan hari, kemudian dalam sepuluh hari, kemudian dalam sebulan dan kemudian dalam dua bulan. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dari Makhul bahwa dia berkata : ” Sahabat-sahabat Rasulullah saw yang kuat membaca Al Qur’and dalam tujuh hari. Beberapa diantara mereka membaca dalam satu bulan dan beberapa yang lain dalam dua bulan dan sebagian yang lain lebih lama dari itu”.
Abu Laits berkata dalam Al Bustan : “Seyogyanya seorang pembaca itu menghatamkan Al Qur’an dua kali dalam satu tahun, jika dia tidak mampu lebih dari itu”.
Hasan bin Ziyad telah meriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa dia berkata : ” Barangsiapa yang membaca Al Qur’an dua kali dalam satu tahun, maka dia telah memberikan hak Al Qur’an itu. Karena Rasulullah saw membaca Al Qur’an di hadapan Jibril pada tahun meninggalnya dua kali”.
Yang lainnya berkata : “Dimakruhkan mengakhirkan satu kali lebih dari empat puluh hari dengan tanpa adanya halangan. Inilah yang ditegaskan oleh Ahmad. Karena Abdulah bin Umar bertanya kepada Rasulullah saw : “Pada berapa hari kita menghatamkan Al Qur’an?”. Dia berkata : “Pada empat puluh hari”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
An Nawawi berkata dalam Al Adzkar : “Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu berbeda dari orang ke orang lain. Barangsiapa yang mempunyai pemikiran yang jernih, maka hendaklah dia membatasi pada kadar dimana dia dapat memahami apa yang dia baca. Begitu juga bagi orang yang sibuk untuk menyebarkan ilmu, menjadi hakim atau urusan-urusan keagamaan yang lainnya, maka hendaklah dia membatasi pada kadar dimana dia tidak menyia-nyiakan tugas yang dibebankannya. Dan jika bukan termasuk kelompok ini, maka hendaklah dia memperbanyak sebanyak mungkin sekira dia tidak bosan atau menjadikannya membaca dengan cepat sekali”.
HUKUM MELUPAKAH HAFALAN AL QUR’AN
Melupakannya adalah termasuk dosa besar. Ini ditegaskan oleh An Nawawi di dalam Ar Raudlah dan yang lainnya karena sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud dan yang lainnya :
عُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوْبُ أُمَّتِيْ فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُوْرَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوْتِيْهَا رَجُلٌ ثَمَّ نَسِيَهَا
“Diperlihatkan kepadaku dosa-dosa umatku. Aku tidak melihat satu dosa yang lebih besar daripada satu surat atau satu ayat yang diberikan oleh Allah kepada seorang laki-laki kemudian dilupakannya”.
Dan dia juga meriwayatkan sebuah hadits :
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ ثُمَّ نَسِيَهُ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَجْذَمُ
“Barangsiapa yang membaca Al Qur’an, kemudian dia melupakannya, maka dia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan berpenyakit kusta“.
Di dalam Shahih Bukari dan Muslim :
تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الإِبِلِ فِيْ عِقَلِهَا
“Peliharalah Al Qur’an. Demi Dzat dinama Muhammad berada dalam tangan-Nya, Al Qur’an itu lebih cepat lepas daripada seekor onta di tempat ikatannya”.[iv]
Ditulis oleh fauzi di/pada 19/01/2009

www.info-iman.blogspot.com

Label

'idul adha adab dan sunnah adik saudara sepersusuan adzan air kencing bayi air kencing Rasulullah Akhirat akhlak Akhlaq Kepribadian Akhwat akidah Al Qur'an Al Qur#039;an Al Quran Al-Qur'an Alam Aliran-aliran Amalan AMALIYAH NU anak Analisa Angin Aqidah Aqiqah Artikel Artikel IImiah Asmara Astronomi ASWAJA Azab Bab Adab Bab Nikah Bab Puasa Bab Sholat Bab Thaharah Bab Zakat bantahan belajar islam Berita bersin Bid'ah bid'ah dalam aqidah bid'ah dalam ibadah Biografi Biologi Bisnis Blackberry Budaya Budi Daya buka puasa buku Cantik Fisik catatanku Cerpen Chairil Anwar Curahan Hati Curhat daging qurban Dakwah Dakwah Pemikiran Islam dakwah umum Dambaan insan Dari Salafushshalih Dasar Islam Dasar Keislaman demam Desain Dhaif Do'a do'a buka puasa Do'a dan Dzikir Doa doa bersama doa sholat tarawih download dunia islam Dunia Islam Kontemporer Dzikir dzikir dengan tangan kiri Ekonomi Eksoplanet Emansipasi Emha Ainun Nadjib Fakta Ilmiah Fakta Jin-Iblis-Syetan Fakta Manusia faraidh Fenomena Asteroid Fenomena Bencana Alam Fenomena Bintang Fenomena Bulan Fenomena Bumi Fenomena Hewan Fenomena Kutub Fenomena Langit Fenomena Matahari Fenomena Meteorit Fenomena Petir Fenomena Planet Fenomena Ruang Angkasa Fenomena Tumbuhan Fiqh Fiqh Muamalat Fiqh Wanita Fiqih Fisika Galaksi Geografi Geologi gerhana gigi palsu Hadis Hadis 40 hadist Hadits Hadits Palsu HAID Halal Haram HAM HARI RAYA ID HUKUM ISLAM hukum natal bersama hutang i'tikaf Ibadah ibadah yang baik ibu mertua ilmu ilmuan muslim Ilmuwan imam terlalu cepat bacaannya IMAN Inovasi intermezzo Internet Iptek iqomah isbal Islam jabat tangan setelah sholat JADWAL RAMADHAN Jagad Raya Jalaluddin Rumi jamaah sholat jumat jenazah Jual Beli judi junub Kabar Dalam Negeri kabar manca negara Kahlil Gibran Kajian Karya Buku Karya Ulama KB Keajaiban Alam Keajaiban Hewan KECANTIKAN Kecelakaan Maut Kehutanan Kelautan keluarga Kepemerintahan Kepengurusan Kerajaan Kesehatan Keuangan Keutamaan KHITAN Khitan Wanita khurofat Khutbah Khutbah Jum'at khutbah jumat Khutbah Rasulullah saw Kiamat Kidung Hati Kimia Kisah Kisah Kami Kisah Nyata Kisah Orang-Orang Shaleh Kisah Teladan Komputer Konversi Energi Kosmologi Kumpulan Do'a Kumpulan Kata lafadz adzan lafadz iqomah Lain-Lain Lalu Lintas lembaga sosial Lingkungan Hidup Lubang Hitam macam puasa sunnah mahram Makanan mandi jum'at mandi wajib Manhaj Manusia Manusia dan Teknologi masjid masjid quba Masuk Perguruan Tinggi Matahari Materi gelap Mayit media cetak memandikan jenazah membayar zakat memotong kuku memotong rambut mendahului gerakan imam menemani sholat jamaah menembok kuburan mengadzankan mayit di liang kubur mengangkat tangan menghadiahkan pahala mengqadha puasa menguburkan jenazah mengucapkan selamat natal mengusap kepala Mengusap muka setelah berdoa menikah di bulan syawwal menikah setelah berzina meninggal dunia Meninggalkan sholat jum'at menjawab adzan menjual kotoran hewan menyapu kepala menyentuh wanita Meteorologi Meteorologi-Klimatologi mihrab Mineralogi minum air zamzam Motivasi motivasi belajar Motivasi Beramal MQ (menejemen qolbu) mu'athilah Muallaf muamalah Muhasabah Mungkar murottal Muslimah Muslimah Articles Musyabbihah Mutiara Hikmah Mutiara Kalimat Mutiara Tafakur Nabi Muhammad Nagham Alqur'an Nasehat Neraka News niat sholat nikah nisfu aya'ban Oase Iman Olah Raga OLAHRAGA Otak PAKAIAN panas PAUD Pendidikan Penelitian penelitian sunnah Pengembangan Diri Pengobatan Akibat Sihir Peninggalan Sejarah Penjajahan Pentingnya Waktu Peradaban Islam Perbandingan Agama dan Aliran Perbankan Pergaulan Perkawinan Perkembangan Da'wah Islam Permata Hati pernikahan Personaliti Pesawat Ruang Angkasa Pesepakbola Muslim Pojok Ramadhan posisi imam wanita produksi awal program kerja Proyek Luar Angkasa Psikologi Puasa puasa daud puasa rajab Puasa Setiap Hari puasa sunnah puasa wanita hamil Puisi Puisi bahasa Ingris qunut nazilah QURAN radar lampung Radio Rajab Ramadhan ramalan cuaca Renungan Riba dan Jual Beli salafush shalih salah bacaan sholat Salam Khudam Sastra sedekah Sejarah Sejarah Islam SEKS Sentilan Seputar Daerah Buton Shalat shodaqoh shodaqoh melebihi kadar Sholat sholat dan keputihan sholat di rumah sholat ghoib sholat jamaah sholat jamaah estafet sholat jumat sholat jumat wanita sholat pindah tempat sholat qashar sholat sambil melihat mushaf sholat sendirian sholat sunnah sholat sunnah qobliyah isya sholat sunnah sebelum asar sholat sunnah setelah shubuh sholat takhiyatul masjid sholat wanita sifat dzatiyah sifat fi'aliyah Sihir Simpan Pinjam Sirah Siroh Shahabiyyah Software Islami Sosial Kemasyarakatan Sosiologi sujud sahwi sujud syukur sumpah dan nadzar Sunnah sutrah sutroh syafaat Syurga Tafakur Alam Semesta Tafsir Tafsir Al-Qur'an tahlilan Takbirotul ihram takwil mimpi tambal gigi tamsil Tanda Akhir Zaman Tanda-Tanda Kiamat Tanya jawab Tarbiyah Tasawwuf dan Adab tata cara tidur menurut sunnah Tata Surya Taufiq Ismail Tauhid tayammum Tazkirah Tazkiyah tazkiyatun nafs Tech News Teknik Sipil teladan Tenaga Kerja tertawa saat sholat Thoharoh tidak taat suami tinggi TK Tokoh Tokoh Dan Ulama Tokoh Islam Tools TPA Tsunami Tujuan Hidup tuntunan sholat uang pensiun dari riba uang riba ucapan assalamualaika UNCATEGORY Video da'wah video Motivasi Diri Video Muhasabah video murotal W. S. Rendra waktu membaca doa wanita wanita haid Wisata wudhu yasinan zakat zakat anak kepada orang tua zakat barang temuan zakat harta zakat harta warisan zakat hasil perkebunan zakat hasil pertanian zakat mal zakat padi zakat pns zakat tanah zina